• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III JENDER DAN DISKURSUS PERNIKAHAN

B. Isu-Isu Jender dalam Bidang Fikih Munakahat

1. Perwalian

Kata “wali” menurut bahasa berasal dari bahasa Arab, yaitu al-wali dengan

bentuk jamak awliya yang berarti pencinta, saudara, atau penolong.9 Dalam istilah

lain, kata “wali” mengandung pengertian orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi untuk mengurus kewajiban anak yatim, sebelum anak itu dewasa. Pihak yang mewakilkan pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang

melakukan janji nikah dengan pengantin pria).10

Perwalian adalah seseorang yang secara hukum mempunyai otoritas terhadap seseorang lantaran memang mempunyai kompetensi untuk menjadi pelindung. Sedangkan seseorang membutuhkan wali, untuk melindungi kepentingan serta haknya lantaran ia tidak mampu berbuat tanpa tergantung pada pengaruh orang lain.11

Amir Syarifuddin mendefinisikan wali nikah sebagai seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam pelaksanaan akad nikah. Akad nikah tersebut dilangsungkan oleh kedua mempelai, yaitu pihak laki-laki yang dilakukan oleh mempelai laki-laki itu sendiri dan pihak perempuan yang dilakukan

9Louis Ma‟luf, Al Munjid

, (Beirut: Dar al-Masyrik, 1975), h. 919.

10

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 1007.

11Hammudah Abd. al „Afi,

oleh walinya.12 Sedangkan Abdurrahman Al-Jaziry mengatakan tentang wali

dalam al-Fiqh „ala Mazhab al-Arba‟ah:

ِونو ُدب ُّحصي لَف ِدْ قعلا ،ةّحص ويلع قفوتي ام :وى حاكنلا فى لىولا

Artinya: “Wali dalam nikah adalah yang padanya terletak sahnya akad nikah,

maka tidak sah akadnya tanpa adanya (wali)”.13

Dari beberapa pengertian di atas dapat diambil pengertian bahwa wali dalam pernikahan adalah orang yang melakukan akad nikah mewakili pihak mempelai wanita, karena wali merupakan syarat sah nikah, dan akad nikah yang dilakukan tanpa wali dinyatakan tidak sah. Wali yang bersifat umum dan yang bersifat khusus, yang umum berkaitan dengan orang banyak dalam satu wilayah atau negara yang khusus berkenaan dengan seseorang dan harta benda.

Yang berhak menempati kedudukan wali ada dua kelompok, yaitu: wali nasab atau wali yang berhubungan dengan tali kekeluargaan dengan perempuan yang akan menikah, dan wali hakim atau orang yang menjadi wali dalam kedudukannya

sebagai hakim atau penguasa.14

Secara urutan, orang yang berhak menjadi wali nikah adalah: ayah, kakek (bapaknya bapak), saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki seayah, anak laki- laki saudara kandung, anak laki-laki saudara seayah, paman sekandung, paman

12

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 77.

13

Abdurrahman Al Jaziry, Al-Fiqh „ala Mazahib Al-Arba‟ah, (Beirut: Dar Al-Fikr, t.th), Juz 4, h. 29.

14

seayah, anak laki-laki paman sekandung, anak laki-laki paman seayah, keluarga

yang mendapatkan ashabah. Jika tidak ada maka beralih ke wali hakim.15

Eksistensi seorang wali dalam akad nikah adalah sesuatu yang mesti. Akad nikah yang tidak dilakukan oleh wali hukumnya tidak sah. Wali ditempatkan sebagai rukun dalam pernikahan, dan dapat berkedudukan sebagai orang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dan dapat pula sebagai orang yang diminta persetujuannya untuk kelangsungan pernikahan tersebut.

Ayat yang menjelaskan wali nikah adalah sebagai berikut:

ُوَّللا ُمِهِنْغُ ي َءاَرَقُ ف اوُنوُكَي ْنِإ ْمُكِئاَمِإَو ْمُكِداَبِع ْنِم َينِِلحاَّصلاَو ْمُكْنِم ىَماَيَْلْا اوُحِكْنَأَو

ُوَّللاَو ِوِلْضَف ْنِم

ٌميِلَع ٌعِساَو

:رونلا(

١٣

)

Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan

orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia- Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. An-Nur ayat 32)

Dalam mendudukannya sebagai orang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam melakukan akad terdapat beda pendapat di kalangan ulama. Terhadap mempelai yang masih kecil, baik laki-laki atau perempuan, ulama sepakat dalam mendudukannya sebagai rukun atau syarat dalam pernikahan. Alasannya ialah bahwa mempelai yang masih kecil tidak dapat melakukan akad

dengan sendirinya dan oleh karena itu akad tersebut dilakukan oleh walinya.16

15

M. Al-Khin, dkk., Al-Fiqhu al-Manhaji ala Mazhabi al-Imam al-Syafi‟i, Vol. 2., (Damaskus: Dar al-Qolam, 2005), h. 59.

16

Namun terhadap perempuan yang telah dewasa (baligh) baik ia sudah janda atau masih perawan, ulama berbeda pendapat. Mayoritas ulama dari mazhab

Maliki, Syafi‟i, dan Hambali mensyaratkan adanya wali nikah baginya,17

sedangkan ulama mazhab Hanafi tidak mensyaratkan adanya wali baginya, dan dia berhak menikahkan dirinya sendiri atau menjadi wali bagi perempuan lain.

Ulama mazhab Hanafi yang membolehkan perempuan sudah baligh dan cakap hukum untuk melangsungkan pernikahan untuk dirinya dan orang lain

berpedoman kepada Hadis Nabi SAW.18

للا ىلص َّبىَّنلا َّنَا ٍساَّبَع ِنْبا ِنَع

ويلع ول

ا(( : َلاَق ملسو

ُبييَّ ثل

َو ْنِم اَهِسْفَ نِب ُّقَحأ

ْأتْسُت ُرْكِبْلاَو اَهي يِل

ُرَم

ُص اَهُ نْذِإَو اَهِسْفَ ن ِفى

وُك

)ملسم هاور( .)) اَهُ ت

Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Nabi SAW bersabda: “Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan seorang gadis

dimintai izinnya dan izinnya adalah diamnya”. (HR. Muslim)19

Sedangkan jumhur ulama (mayoritas ulama) yang tidak mengesahkan wali perempuan berpedoman kepada hadis Nabi SAW dari Abu Hurairah menurut riwayat Ibn Majah:

َزُ ت َلا (( : ملسو ويلع للها ىلص ِوَّللا ُلوُسَر َلاَق : َلاَق َةَرْ يَرُى ِبَِأ ْنَع

َأْرَمْلا ُجيو

َةَأْرَمْلا ُة

ُةَأْرَمْلا ُجيوَزُ ت َلاَو

)ومج نبا هاور( ))اَهَسْفَ ن ُجيوَزُ ت ِتَِّلا َيِى َةَيِناَّزلا َّنِإَف اَهَسْفَ ن

Artinya: Dari Abu Hurairah ra. berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Perempuan

tidak boleh mengawinkan perempuan dan perempuan juga tidak boleh

17

Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Vol. 2. (Kairo: Maktabah al-Azhar, 1966), h. 9.

18

Al Kasani, Bada‟i al-Shana‟i, Vol. 2. (Kairo: Maktabah al-Azhar, 1982), h. 241-247.

19

Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, Terjemah A. Hasan, (Bandung: Diponegoro, 1996). h. 297-298.

mengawinkan dirinya sendiri. Perempuan yang berzina adalah perempuan yang mengawinkan dirinya sendiri”. (HR. Ibnu Majah).20

Dari kedua pendapat di atas beserta dalil-dalilnya, Hafiz Muhammad Anwar merajihkan pendapat jumhur ulama yang tidak memperbolehkan seorang perempuan menjadi wali nikah atas dirinya atau orang lain karena dalil mereka lebih kuat lagi jelas, dan pendapat mereka lebih membawa kemaslahatan bagi banyak orang terutama keluarga perempuan, sebab bagaimanapun juga sang calon suami akan menjadi bagian dari keluarga itu maka seyogyanya dia adalah laki-laki yang direstui keluarga tersebut, dibuktikan dengan adanya wali nikah. Sedangkan

hadis yang mereka jadikan pedoman di atas bahwa “seorang janda lebih berhak

atas dirinya daripada walinya”. Bermaksud perempuan lebih berhak untuk

menentukan calon pendamping hidupnya, bukan lebih berhak menikahkan

(menjadi wali) dirinya.21

Selama ini ada pandangan umum yang menyatakan bahwa perempuan menurut fiqh Islam tidak berhak menentukan pilihan atas pasangan hidupnya. Yang menentukan dalam hal ini adalah ayah atau kakeknya. Hal ini menimbulkan asumsi umum bahwa Islam membenarkan kawin paksa. Pandangan ini dilatarbelakangi oleh suatu pemahaman terhadap apa yang dikenal dengan hak

20

Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, h. 298.

21

Hafiz Muhammad Anwar, Wilayat al-Mar‟ah fi al-Fiqh al-Islamy, (Riyadh: Dar Balansiyah, t.th), h. 579.

ijbar. Hak ijbar dipahami oleh banyak orang sebagai hak memaksakan suatu

perkawinan oleh orang lain yang dalam hal ini adalah ayahnya.22

Istilah wali mujbir sudah dikenal dalam perkawinan, yaitu wali nikah yang mempunyai hak terhadap anak gadisnya untuk menikah dengan laki-laki dalam batas-batas yang wajar. Wali mujbir ini adalah mereka yang mempunyai garis keturunan ke atas dengan perempuan yang akan menikah. Mereka yang termasuk

dalam wali mujbir ialah sah dan seterusnya ke atas menurut garis patrilineal.23

Wali mujbir dapat mengawinkan anak gadisnya tanpa persetujuan putrinya jika penting untuk kebaikan putrinya. Kebolehan wali mujbir ini dengan syarat

sebagai berikut:24 1) Jika putrinya dinikahkan dengan laki-laki yang sekufu. 2) Jika

mahar yang diberikan calon suaminya sebanding dengan kedudukan putrinya. 3) Jika tidak dinikahkan dengan laki-laki yang mengecewakan. 4) Jika tidak ada konflik kepentingan antara wali mujbir dengan putrinya dengan laki-laki tersebut. 5) Jika putrinya tidak mengikrarkan dia tidak perawan lagi.

Menurut beberapa Ulama Mazhab, wali mujbir dalam daerah perwalian (wilayah) terhadap anak gadis, khususnya adalah Ayah maka baginya boleh memaksa anak gadisnya untuk menikah dengan pilihan sang Ayah. Pendapat ini

merupakan pendapat dari Ulama Syafi‟iyah dan Malikiyah. Berbeda dengan

pendapat lain, Abu Hanifah menyatakan bahwa anak gadis yang telah dewasa

22

Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, (Yogyakarta: LkiS, 2001), h. 78.

23

Imamul Muttaqin, Jurnal AL-HUKAMA, Vol. 2, No. 1, Juni 2012, h. 23.

24

tidak boleh dipaksa untuk menikah. Pendapat ini juga senada dengan pendapat al-

Auza‟i.25

Adapun konsekuensinya, hak untuk menentukan jodoh dan melakukan perkawinan adalah hak pribadi perempuan itu sendiri sehingga tidak tergantung atau terpengaruh kepada wali nikah. Jika perkawinan tetap dilakukan juga oleh wali, yakni yang ijabnya diucapkan oleh wali, tetap dinyatakan sah, tetapi dipersyaratkan harus mendapatkan persetujuan dari calon mempelai perempuan yang bersangkutan. Begitu juga dalam persoalan orang-orang yang berhak menjadi wali. Dengan dibolehkannya perempuan menikahkan dirinya sendiri, maka wajar

jika dibolehkan pula menjadi wali nikah kerabatnya.26

Tentang wali mujbir, penulis cenderung kepada pendapat ulama mazhab hanafi yang melarang wali menikahkan perempuan yang ada di bawah perwaliannya kecuali atas izin darinya selama perempuan tersebut sudah dewasa dan cakap hukum. Artinya, perempuan yang sudah dewasa dan cakap hukum berhak menentukan calon pendamping hidupnya sendiri sesuai hati nuraninya, sedangkan peran wali sebagai pemberi pertimbangan dan masukan-masukan berharga. Karenanya, penulis tidak sepakat atas hak ijbar bagi perempuan dewasa dan cakap hukum dengan alasan, adanya nash-nash yang mensyaratkan izin perempuan dan nash-nash yang menyebutkan penolakan Rasulullah SAW terhadap

25

Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid Juz II. Dapat dilihat juga Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Jender, h. 83-88.

26

Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, (Jakarta: el-KAHFI, 2008), h. 232.

pernikahan tanpa izin perempuan. Hadis riwayat Imam Muslim di atas secara tegas mensyaratkan adanya izin dari anak perempuan dalam pernikahan.

Dalam dokumen Pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh tentang (Halaman 39-46)

Dokumen terkait