• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Obesitas dan Sindrom Metabolik

2.1.1 Epidemiologi

Tahun 2008, satu setengah milyar orang dewasa diatas 20 tahun termasuk overweight, dan lebih dari 200 juta pria dan hampir 300 juta wanita termasuk obesitas. Secara keseluruhan, lebih dari 1 diantara 10 orang dewasa di dunia termasuk obesitas. Hal ini diperparah dengan kenyataan pada tahun 2010, hampir 43 juta anak-anak dibawah usia 5 tahun mengalami overweight (Ferrari, 2008).

Berdasarkan data The Behavioral Risk Factor Surveillance System, pada tahun 2005 diperkirakan 60,5% orang Amerika mengalami overweight, 23,9% obesitas dan 3% tergolong sangat obesitas. Obesitas tidak hanya menyebabkan masalah kesehatan yang serius namun juga menurunkan angka harapan hidup (Petrucelli, 2008; Singla et al., 2010).

Peningkatan angka kejadian sindrom metabolik salah satunya disebabkan oleh peningkatan populasi dan prevalensi obesitas. Obesitas dan sindrom metabolik memiliki keterkaitan yang erat dan merupakan suatu hubungan kausal. Berdasarkan data the National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) tahun 1988-1994 dan 1999-2000 diketahui bahwa 22% orang dewasa di Amerika Serikat mengalami sindrom metabolik. Disamping itu, terjadi peningkatan prevalensi sindrom metabolik seiring dengan peningkatan usia (Ferrari, 2008; Petrucelli, 2008; Singla et al., 2010; Shen et al., 2012).

Peningkatan prevalensi obesitas tidak hanya terjadi di negara Barat, namun juga di Asia. Dibandingkan dengan ras Kaukasia, orang Asia memiliki Indeks Massa Tubuh (IMT) yang lebih rendah namun memiliki prevalensi risiko sindrom

2

metabolik ternyata lebih tinggi. Data prevalensi sindrom metabolik pada beberapa populasi diseluruh dunia berdasarkan kriteria diagnostik yang berbeda dapat dilihat pada tabel 1 (Ferrari, 2008; Huang et al., 2009).

Riset Kesehatan Indonesia 2010 menyatakan prevalensi obesitas pada penduduk usia diatas 15 tahun adalah 21,7%, dengan prevalensi obesitas abdominal didalamnya sebesar 18,8% (Riskesdas, 2010). Prevalensi obesitas di Bali adalah sebesar 26,2% (Dwipayana et al., 2011).

3

Tabel 1. Prevalensi Sindrom Metabolik pada Populasi Tertentu di Asia (Ferrari, 2008)

Negara/Kota Sampel Usia

(tahun) Prevalesi SM Sumber

Cina, Beijing 16.324 dewasa 20-90 10,2% (wanita), 15,7% (pria) Li et al, 2006 China, Hong Kong 1513 18-66 9,6% (ATP III), 13,4% (WHO) Ko et al, 2005 China, Hong Kong 5202 pasien diabetes 16-95 49,2-58,1% Ko et al, 2006

India, Jaipur 1800 dewasa 20 24,9%, 30,9%

(wanita), 18,4% (pria) Gupta et al, 2004 Jepang, Kagoshima 471 anak dengan overweight, atau obes 6-11 8,7% (overweight), 17,7% (obes) Yoshinaga et al, 2005 Jepang 3264 dewasa 20-79 7,8%, 1,7% (wanita), 12,1% (pria) Arai et al, 2006 Vietnam, Ho Chi Minh

611 dewasa 18+ 12% Son et al, (2005)

Singapore cardiovascular cohort study 4334 dewasa 18-69 17,7% (IDF), 26,2%(AHA) Lee et al, 2007

Korea Selatan 6824 dewasa 20-80 15,0% (wanita), 13,5% (pria)

Park et al, (2006)

Taiwan 124513 dewasa 20-94 13,9% (IDF),

22,4 (AHA) Huang et al, 2008 Taiwan, Taichung 2359 dewasa 40-64 65+ 24,19% (wanita), 35,23% (pria) 51,82% (wanita), 43,23% (pria) Lin et al, 2007

Thailand 602 dewasa 20-90 15% Pongchaiyakul et

al, 2007

ATP III : The Adult Treatment Panel III of the National Cholesterol Education Program, AHA :

American Heart Association, IDF : International Dabetes Federation

4

2.1.2 Definisi Obesitas

Overweight dan obesitas didefinisikan sebagai akumulasi lemak abnormal atau berlebih yang dapat mengganggu kesehatan. Obesitas dibedakan menurut indeks massa tubuh dan distribusi lemak. Berdasarkan distribusi lemak, obesitas dibagi menjadi obesitas umum dan obesitas abdominal atau obesitas sentral. Obesitas abdominal adalah kondisi kelebihan lemak perut atau lemak pusat. Salah satu indikator pengukuran obesitas abdominal adalah lingkar perut. Indeks Masa Tubuh (IMT) merupakan indeks sederhana berat dan tinggi badan yang umum digunakan untuk mengklasifikasikan overweight dan obesitas pada dewasa. Indeks massa tubuh didefinisikan sebagai berat badan seseorang dalam kilogram dibagi dengan kuadrat tinggi badannya dalam meter (kg/m2). Untuk penduduk

Barat dikatakan obesitas bila IMTnya ≥ 30 kg/m2 atau lingkar perut ≥ 102 cm

pada pria atau ≥ 88 cm pada wanita, sedangkan untuk penduduk Asia, IMTnya >

25kg/m2atau lingkar perut ≥90 cm pada pria dan ≥ 80cm pada wanita. Berikut ini adalah klasifikasi IMT yang ditetapkan oleh World Health Organization (WHO) pada tahun 1998 (Tabel 2) (WHO, 2014)

Tabel 2. Klasifikasi IMT pada Dewasa Ras Eropa

Klasifikasi IMT (kg/m2) Risiko Komorbiditas

Underweight <18,5 Rendah (namun terdapat

peningkatan risiko untuk masalah klinis lainnya)

Normal 18,5-24,9 Rata-rata Overweight  Preobese  Obese I  Obese II  Obese III >25 25-29,9 30-34,9 35-39,9 ≥40 Meningkat Sedang Berat Sangat berat

5

Berbeda dengan Eropa, terdapat perbedaan pada distribusi lemak tubuh khususnya di daerah Asia Pasifik. Sebagai contoh, Asia Selatan (India) memiliki distribusi lemak tubuh tersentralisasi di mana thick trunk shinfold dan rata-rata waist-to-hip ratio-nya lebih tinggi pada IMT yang sama dibandingkan ras Eropa. Pada populasi Asia, morbiditas dan mortalitas terjadi pada individu dengan IMT yang lebih rendah dan lingkar pinggang yang lebih kecil. Selain itu, mereka cenderung memiliki lemak intraabdominal tanpa terlihat obesitas secara keseluruhan. Berikut ini adalah klasifikasi IMT pada orang Asia dewasa (Tabel 3) (WHO,2014).

Tabel 3. Klasifikasi IMT pada Orang Asia Dewasa

Klasifikasi IMT (Kg/m2) Risiko Komorbiditas

Underweight <18,5 Rendah (namun terdapat

peningkatan risiko untuk masalah klinis lainnya)

Normal 18,5-22,9 Rata-rata Overweight  Dalam risiko  Obes I  Obes 2 >23 23-24,9 25-29,9 ≥30 Meningkat Sedang Berat

2.1.3. Definisi Sindrom Metabolik

Kombinasi berbagai gangguan metabolik yang sekarang dikenal dengan sindrom metabolik pertama kali digambarkan oleh Kylin pada tahun 1920-an sebagai sekelompok gejala hipertensi, hiperglikemia dan gout. Dua dekade kemudian, Vague menyatakan bahwa upper body adiposity (android atau male type obesity) merupakan tipe yang paling berkaitan dengan abnormalitas metabolik yang terlihat pada diabetes dan penyakit kardiovaskular. Pada tahun 1988, Reaven menggunakan istilah Sindrom X dan menetapkan beberapa gejala

6

klinis yang penting meskipun obesitas tidak termasuk didalamnya. Pada tahun 1989, Kaplan menyebutnya The Deadly Quartet dan lainnya lalu menggunakan istilah The Insulin Resistance Syndrome. Namun, saat ini istilah sindrom metabolik diterima secara luas untuk sekumpulan gejala metabolik yang berkaitan dengan faktor risiko kardiovaskuler serta dapat memprediksi risiko terjadinya diabetes (Alberti et al., 2006).

Karakteristik umum sindrom metabolik diantaranya: 1) distribusi lemak tubuh yang abnormal; 2) Resistensi insulin; 3) Dislipidemia aterogenik; 4) peningkatan tekanan darah; 5) Status proinflamasi; dan 6) Status protrombotik. Berikut adalah berbagai kriteria yang ditetapkan oleh beberapa organisasi untuk membantu menetapkan diagnosis klinis sindrom metabolik (Huang et al., 2009; Alberti et al., 2006);

2.1.3.1 Sindrom Metabolik berdasarkan The Adult Treatment Panel III of the National Cholesterol Education Program (NCEP ATP III)

Beberapa waktu sebelumnya tidak diketahui hubungan antara hiperinsulinemia, resistensi insulin, hipertensi, dislipidemia dan diabetes. Saat ini diketahui bahwa keterkaitan tersebut mengacu pada sindrom metabolik. The Adult Treatment Panel III of the National Cholesterol Education Program membantu mengidentifikasi orang dengan sindrom metabolik melalui sejumlah kriteria klinis dan menetapkan bahwa diagnosis sindrom metabolik dilakukan bila terdapat 3 atau lebih faktor risiko (Tabel 4). Faktor risiko ini termasuk obesitas abdominal, kadar High Density Lipoprotein Cholesterol (HDL-C) yang rendah dan peningkatan tekanan darah, glukosa puasa serta kadar Trigliserida (Huang et al., 2009).

7

Tabel 4. Definisi Sindrom Metabolik Menurut ATP III

Faktor Risiko Definisi

Obesitas Abdominal (Lingkar pinggang)

 Pria  Wanita >40 inch >30 inch Trigliserida ≥150 mg/dl HDL Cholesterol  Pria  Wanita <40mg/dl <50mg/dl Tekanan Darah ≥130/85

Gula darah puasa ≥110 mg/dl

2.1.3.2 Sindrom Metabolik berdasarkan World Health Organization (WHO) Pada tahun 1999, WHO menetapkan definisi sindrom metabolik. Definisi WHO ditetapkan berdasarkan asumsi bahwa resistensi insulin merupakan salah satu kontributor utama sindrom metabolik. Untuk menetapkan diagnosis, disamping resistensi insulin, sedikitnya dua komponen lain yaitu peningkatan tekanan darah, peningkatan kadar trigliserida, penurunan kadal HDL-C, obesitas dan mikroalbumiuria. (Tabel 5) (Petrucelli, 2008; Alberti et al., 2006).

8

Tabel 5. Krteria Klinis Sindrom Metabolik Menurut WHO (Petrucelli, 2008) Insulin Resisten, memenuhi salah satunya dari;

Diabetes mellitus tipe 2

Glukosa darah puasa terganggu Tolerasi glukosa terganggu

Hiperinsulinemi, euglikemia dengan ambilan glukosa rendah Disertai 2 dari kriteria;

Mendapatkan terapi anti hipertensi atau tekanan darah ≥ 140/90 Trigliseride plasma ≥ 150 mg/dl

HDL-C < 35 mg/dl pada pria, atau < 39 mg/dl pada wanita

BMI > 30kg/m2 dan/atau rasio pinggang:pinggul > 0,9 pada pria, >0,85 pada wanita

Mikroalbuminuria; urine albumin excretion rate ≥ 20 microgram/menit atau albumin: creatinin ratio ≥ 30 mg/g

2.1.3.3 Sindrom Metabolik berdasarkan International Diabetes Federation (IDF) Sindrom metabolik mengacu pada sekumpulan abnormalitas metabolik, termasuk obesitas sentral, toleransi glukosa, tekanan darah tinggi dan dislipidemia. Berbagai studi menunjukkan bahwa akumulasi lemak intraabdominal merupakan prediktor risiko metabolik dan penyakit kardiovaskular yang independen (Huang et al., 2006).

International Diabetes Federation menetapkan alat diagnosis yang sederhana untuk dapat digunakan dalam praktek klinis dan penelitian di seluruh dunia. Tujuannya selain membantu identifikasi sindrom metabolik juga memfokuskan pada upaya penanganan pasien (Tabel 6) (Alberti et al., 2006).

9

Tabel 6. Definisi Sindrom Metabolik Menurut Internasional Diabetes Federation (IDF) (Alberti et al, 2006)

Obesitas Sentral

Lingkar pinggang sesuai etnis, ditambah dua dari kriteria berikut;

Peningkatan Trigliserida

≥ 1,7 mmol/l (150 mg/dl) atau terapi spesifik untuk dyslipidemia

Penurunan HDL-C

< 1,03 mmol/l (40mg/dl) pada pria < 1,29 mmol/l (50mg/dl) pada wanita Peningkatan

tekanan darah

Sistolik: ≥ 130 mmHg Atau

Diastolik: ≥ 85 mmHg

Atau sudah mendapatkan terapi dengan diagnosis hipertensi Peningkatan

glukosa darah puasa

Glukosa darah puasa ≥ 5,6 mol/l (100 mg/dl) atau telah terdiagnosa sebagai diabetes mellitus

Jika > 5,6 mmol/l atau 100 mg/dl, Uji toleransi glukosa sangat direkomendasikan, namun tidak begitu diperlukan untuk membedakannya pada sindrom ini.

2.1.4 Patogenesitas Obesitas dan Sindrom Metabolik

Penyebab fundamental overweight dan obesitas adalah ketidakseimbangan energi antara kalori yang dikonsumsi dengan kalori yang digunakan. Secara global, terjadi peningkatan asupan makanan kaya lemak, garam, dan gula namun rendah vitamin, mineral dan mikronutrien lain. Selain itu juga terjadi penurunan aktivitas fisik akibat gaya hidup sedenter dan urbanisasi. Asupan kalori berlebih dan aktivitas fisik yang kurang, memicu terjadinya penumpukan lemak subkutan, periviseral dan intraviseral (Petrucelli, 2008; Huang et al., 2009)

Obesitas dapat memicu tekanan darah tinggi, peningkatan kolesterol, penurunan HDL-C dan hiperglikemi. Sel adiposa diketahui mensekresikan sitokin dan molekul lain yang dapat memicu peningkatan kondisi proinflamasi, protrombotik dan resistensi insulin. Kondisi tersebut terlibat dalam patogenesis

10

sindrom metabolik. Selain itu, diketahui pula bahwa resistensi insulin memicu faktor risiko metabolik lainnya termasuk hipertensi, hipertrigliseridemia, hiperglikemia dan dislipidemia (Petrucelli, 2008).

Diperkirakan, setiap peningkatan berat badan sebesar 1 kg berkaitan dengan peningkatan risiko diabetes tipe 2 sebesar 9%. Obesitas berkaitan erat dengan risiko stroke iskemik maupun hemoragik. Setiap satuan peningkatan IMT berkaitan dengan peningkatan risiko stroke sebesar 6% (Ferrari, 2008).

Walaupun etiologinya masih kontroversial, namun diketahui bahwa sindrom metabolik dipicu oleh obesitas, resistensi insulin dan sejumlah faktor lain seperti kerentanan genetik dan peningkatan usia. Diketahui pula bahwa sindrom metabolik dapat terjadi akibat efek samping dari pengobatan termasuk kortikosteroid, inhibitor protease, antidepresan dan antipsikotik (Petrucelli,2008).

2.1.5 Peran Jaringan Adiposa sebagai Organ Endokrin

Selain berperan sebagai tempat penyimpanan energi, jaringan adiposa diketahui merupakan organ endokrin utama yang mengatur metabolisme tubuh. Peningkatan massa sel lemak memicu terjadinya ketidakseimbangan pelepasan hormon dan akhirnya menyebabkan berbagai efek metabolik. Komplikasi metabolik obesitas yang dikenal dengan sindrom metabolik ditandai oleh resistensi insulin yang seringkali menyebabkan kerusakan sel beta pancreas, gangguan toleransi glukosa dan diabetes tipe 2, dislipidemia, hipertensi dan penyakit jantung yang terjadi lebih dini. Selain itu, obesitas abdominal, akumulasi lemak ektopik, steatosis hepatik dan sleep apnea juga termasuk ke dalam komplikasi metabolik obesitas (Zhang, 2010).

11

Sel Adiposa mensekresikan berbagai molekul yang aktif secara biologis yang dinamakan adipositokin atau adipokin yang meliputi sejumlah sitokin (misal Tumor Necrosis Factor (TNF)-α dan Interleukin (IL)-6), Kemokin (misal IL-8 dan Monocyte Chemoattractant Protein (MCP)-1). Selain itu, jaringan adiposa mensekresikan berbagai hormon yang salah satunya berperan dalam regulasi berat badan seperti leptin, visfatin, apelin, resistin dan adiponektin (Zhang, 2010).

2.2. Leptin

Hormon leptin diproduksi oleh jaringan lemak. Leptin dalam sirkulasi dapat menghubungkan antara kondisi energi tubuh dengan sistem saraf pusat untuk menekan asupan makan dan memicu pemakaian energi (Morton, 1998). 2.2.1 Regulasi Leptin

Leptin dipengaruhi oleh sistem umpan balik dari simpanan energi tubuh terhadap otak, sesuai dengan definisi oleh Kennedy pada tahun 1953 dimana kadar leptin dikatakan menurun pada kondisi starvasi saat cadangan lemak tubuh berkurang untuk mendukung kebutuhan energi dasar organisme dan leptin meningkat saat re-feeding saat cadangan lemak kembali terkumpul (Morton, 1998).

Demikian pula banyak adaptasi fisiologis yang dicetuskan oleh puasa berkepanjangan yang dapat dicegah melalui pemberian leptin eksogen saat puasa, sehingga memberikan signal palsu pada otak seolah cadangan energi telah tergantikan. Kadar leptin yang cukup akan membuat pemakaian energi yang cukup untuk proses reproduksi dan pertumbuhan serta pengaturan sistem saraf otonom, endokrin, dan sistem imun (Münzberg et al., 2005; Sobhani et al., 2000).

12

Leptin Reseptor b (LRb) terdapat pada beberapa jaringan namun paling banyak pada neuron beberapa nuklei hipotalamus meliputi arkuata (ARC), dorsomedial (DMH), ventromedial (VMH) dan premamilari serta pada batang otak yaitu di nukleus traktus solitarius (NTS) dan nukleus motorik dorsal nervus vagus (DMX), substansi grisea periakuaeduktal dan hipokampus. Terdapat 2 populasi mRNA LRb yang terdeteksi, yaitu yang menghasilkan agouti-related peptide (AgRP) dan yang menghasilkan pro-opiomelanocortin (POMC) untuk memproduksi a-melanocyte-stimulating-hormone (aMSH) untuk mensignalkan anoreksia (penurunan napsu makan) dengan mengaktifkan melanocortin-4 receptor (MC4R) dan melanocortin-3 receptor (MC3R). Leptin Reseptor b merangsang sintesis POMC dan mengaktifkan/mendepolarisasikan neuron LRb/POMC. Neuropeptide Y merupakan hormon yang oreksigenik (merangsang napsu makan) yang juga mensupresi pertumbuhan yang didasari LRb pada sentral dan aksis reproduksi. Agouti-related peptide adalah antagonis dari aMSH/MC4R dan inhibitor dari aktivitas MC4R endogen. Leptin bekerja melalui LRb untuk menghambat NPY/AgRP neuron dan mensupresi ekspresi neuropeptida tersebut. Dengan demikian, adanya signal LRb merangsang produksi neuropeptida anorektik dan mensupresi kadar peptida oreksigenik. Sebaliknya, penurunan aktivitas atau kadar leptin (misal saat starvasi dan pada tikus ob/db) merangsang napsu makan dengan mensupresi sintesis neuropeptida anorektik (misal POMC) dan meningkatkan ekspresi peptida oreksigenik (misal NPY dan AgRP). Pada Arcuata, neuron yang mengekspresikan LRb mRNA dan NPY/AgRP dan/atau POMC juga mengatur pemakaian energi dan elemen lainnya dari fungsi neuroendokrin. Ghrelin dapat mengaktivasi neuron NPY/AgRP. Ablasi genetik

13

NPY/AgRP dapat menyebabkan makan yang berlebihan dan peningkatan berat badan (Münzberg et al., 2005).

2.2.2 Abnormalitas Leptin

Kekurangan leptin akibat mutasi pada leptin (ob) maupun reseptor leptin (LR) (misalnya db) pada tikus dan manusia menyebabkan peningkatan asupan makanan dan berkurangnya pemakaian energi sebagai respon neuroendokrin terhadap starvasi (meliputi hipotiroidisme, berkurangnya pertumbuhan, infertilitas, dan penurunan fungsi imun) disamping obesitas itu sendiri (Münzberg et al., 2005; Sobhani et al., 2000). Gaster merupakan organ target dari leptin (Sobhani et al., 2000). Konsentrasi leptin serum berkaitan dengan persentase lemak tubuh, mengindikasikan bahwa pada kebanyakan orang dengan obesitas adalah tidak sensitif terhadap produksi leptin endogen (Considine et al., 1996). 2.2.3 Mekanisme Intraseluler Leptin

Reseptor leptin berasal dari golongan reseptor sitokin kelas 1 interleukin-6 (IL-6) yang terdiri dari daerah pengikat ligan ekstraselular dan sitoplasmik. Reseptor leptin b tidak memiliki aktivitas enzimatik intrinsik namun memberikan signal melalui ikatan non-kovalen terkait aktivitas tirosin kinase dari famili Jak kinase (Jak2). Terikatnya leptin mengubah konformasi dimer LRb dan memungkinkan terjadinya aktivasi LRb intraseluler yang terkait Jak2. Jak kinase 2 yang teraktivasi kemudian memfosforilasi residu tirosin lainnya pada kompleks LRb/Jak2 untuk memperantarai signal downstream. Pensignalan yang tergantung tirosin kinase tersebut pada umumnya berlanjut melalui protein yang mengandung domain khusus untuk pengikatan fosfotirosin (misal domain SH2). Masing-masing isoform domain SH2 mengenali fosfotirosin dengan asam amino spesifik.

14

Fosforilasi tirosin berperan sebagai penanda molekular untuk menarik protein yang mengandung SH2 dengan isoform yang spesifik, dikenali melalui asam amino penyusunnyan (Münzberg et al., 2005).

2.2.4 Faktor yang Pengaruhi Ekspresi Leptin

Indeks masa tubuh merupakan faktor prediktor terbaik untuk menentukan kadar leptin dalam darah. Pasien dengan puasa 24 jam akan mengalami penurunan kadar leptin mencapai 30% dan pasien dengan overfeeding massif akan meningkatkan 50% kadar leptin dalam darah (Meier and Gressner, 2004). Dengan meretriksi diet akan menurunkan kadar leptin mencapai 27,2% (CI 95%) (Campilo et al., 2001; Houseknecht et al., 1998)

Penurunan berat badan 10% pada pasien obesitas akan menurunkan kadar leptin serum sebesar 53%, sedangkan peningkatan 10% berat badan akan meningkatkan 30% kadar leptin serum. Injeksi leptin akan menurunkan asupan makanan, menurunkan berat badan, kehilangan massa lemak, dan peningkatan metabolisme energi (Houseknecht et al., 1998). Namun pemberian leptin pada orang dengan obesitas hanya memberikan efek yang terbatas, hal ini diduga disebabkan oleh kemampuan kelarutan leptin untuk melewati sawar darah otak atau gangguan pada tingkatan reseptor aktivasi atau transduksi signal (Meier and Gressner,2004).

Kadar leptin pada perempuan (12,7 µg/L) lebih tinggi dibandingkan laki-laki (4,6 µg/L). Kadar leptin berhubungan dengan rerata 4 Skinfod thickness (r= 0,74-0,8; p≤0,001), lingkar perut dan panggul (r=0,38;p≤0,001), etnis dan umur (Ruhl and Everhart., 2001)

Kadar leptin meningkat oleh overfeeding, insulin, glukokortikoid, endotoksin, sitokin, dan menurun oleh puasa, testosterone, hormon tiroid, dan

15

suhu dingin (Houseknecht et al.,1998; Yang and Barouch., 2007; Pi-Sunyer and

Leferre’re, 1999). Dengan pemberian glukokortikoid secara in vivo dan in vitro

akan meningkatkan ekspresi dari leptin serum. Peningkatan kadar leptin akan menghambat produksi kortisol dan sel adrenal (Houseknecht et al., 1998; Pi-Sunyer and Leferre’re., 1999). Selain itu faktor lain yang mempengaruhi kadar leptin yaitu fungsi hepar. Penelitian yang dilakukan Campilo et al., (2001) memperlihatkan kadar leptin meningkat sesuai dengan perbaikan fungsi hepar pada pasien sirosis hepatis akibat alkohol (Campilo et al., 2001).

Thiazolinediones, yang merupakan ligand dari PPARγ, dapat menghambat dari regulasi mRNA leptin pada adiposit. Dilaporkan canonical DR+1 PPARγ berikatan di lokasi ikatan pada -3,951 sampai -3,939 pada tikus sekuen 5’ -flanking dari gen leptin. Dalam hal ini PPARγ2 berperan menghambat peranan dari promoter leptin dengan menghambat mediasi transkripsi dari C/EBP-α (Houseknecht et al., 1998).

Hubungan antara leptin dengan kadar lipid atau lipoprotein masih merupakan hal yang diperdebatkan, namun hubungan leptin yang signifikan ditemukan dengan HDL, HDL-TG, dan HDL-apo (Pi-Sunyer and Leferre’re, 1999). Pada penelitian terhadap pasien hemodialisis ditemukan hubungan signifikan antara leptin dengan kadar LDL-C (r=-0,29, p=0,09), dan leptin berhubungan signifikan dengan serum trigliserida (r=0,30, p=0,078) (Nasri et al., 2006).

2.2.5 Fungsi Neuroendokrin Leptin

Sejauh ini, terdapat 2 jalur pensignalan LRb yang terkait pada kerja leptin, yaitu STAT3 dan jalur IRS proteinÆPI 3¢-kinase. Protein IRS 1-4 merupakan molekul pensignal intraseluler yang difosforilasi oleh beberapa tirosin kinase

16

(misalnya reseptor insulin dan beberapa reseptor sitokin). Pada tikus yang tidak memiliki IRS-2 (IRS-2 --) terjadi peningkatan makan dan penurunan laju metabolik terkait dengan peningkatan jaringan lemak dan leptin dalam sirkulasi, mengindikasikan adanya resistensi leptin fungsional. Sehingga dikatakan bahwa IRS-2 memiliki peran khusus dalam pensignalan anorektik. Blokade aktivitas PI 3¢-kinase diduga terkait dengan mekanisme leptin dalam menyebabkan hiperpolarisasi atau penghambatan neuron hipotalamik LRb/NPY/AgRP. Leptin merangsang IRS-2 terkait dengan aktivitas PI 3¢-kinase pada hipotalamus, dan secara farmakologis blokade PI 3¢-kinase pada hipotalamus akan menyebabkan efek anorektik secara in vivo. Aktivitas PI 3¢-kinase juga dibutuhkan untuk fungsi sistem saraf simpatik yang diatur oleh leptin dan juga untuk fungsi leptin lainnya pada neuroendokrin dan regulasi imun. Pensignalan LRb melalui STAT3 memperantarai sebagian kerja dari leptin, yaitu penting bagi kerja melanokortin hipotalamik. Disregulasi pensignalan melanokortin karena perubahan NPY berkontribusi terhadap terjadinya obesitas. Jalur yang tidak tergantung LRbÆSTAT3 akan mengatur kontrol gula darah, reproduksi, pertumbuhan, dan kadar NPY sebagai respon dari leptin. Disimpulkan bahwa jalur Jak2-IRS protein-PI 3¢-kinase merupakan perantara utama kerja LRb yang tidak tergantung STAT3 (H. Münzberg, 2005). Leptin menghambat sekresi insulin yang diinduksi oleh cAMP selular pada sel B pankreatik (sel INS-1) (Ahre, 1999).

17

Gambar 1. Regulasi dan Fungsi Neuroendokrin Leptin (Münzberg et al., 2005)

Dokumen terkait