• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN GLUCAGON LIKE PEPTIDE-1 (GLP-1) DENGAN LEPTIN PADA OBESITAS ABDOMINAL.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "HUBUNGAN GLUCAGON LIKE PEPTIDE-1 (GLP-1) DENGAN LEPTIN PADA OBESITAS ABDOMINAL."

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

HUBUNGAN

GLUCAGON LIKE PEPTIDE-1

(GLP-1)

DENGAN LEPTIN PADA OBESITAS ABDOMINAL

I GUSTI NGURAH AGUNG TRESNA ERAWAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR

(2)

ii

TESIS

HUBUNGAN

GLUCAGON LIKE PEPTIDE-1

(GLP-1)

DENGAN LEPTIN PADA OBESITAS ABDOMINAL

I GUSTI NGURAH AGUNG TRESNA ERAWAN NIM 1014048211

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(3)

iii

HUBUNGAN

GLUCAGON LIKE PEPTIDE-1

(GLP-1)

DENGAN LEPTIN PADA OBESITAS ABDOMINAL

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Combined Degree,

Program Pascasarjana Universitas Udayana

I GUSTI NGURAH AGUNG TRESNA ERAWAN NIM 1014048211

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(4)

iv

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI

TANGGAL 18 April 2016………...

Pembimbing I,

Prof.Dr.dr AAG. Budhiarta, Sp.PD- KEMD, FINASIM

NIP. 19441221 197206 1001

Pembimbing II,

Dr.dr. Made Ratna Saraswati, Sp.PD-KEMD, FINASIM NIP. 197006272003122001

Mengetahui

Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas

Udayana

Dr. dr. G. N. Indraguna Pinatih,MSc,SpGK NIP. 195805211985031002

Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana

(5)

v

Tesis Ini Telah Diuji pada

Tanggal 18 April 2016

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor

Universitas Udayana, No :……….,Tanggal……

…………

Ketua : Prof. Dr. dr. AAG. Budiartha, Sp.PD-KEMD, FINASIM

Anggota :

1. Dr. dr. Made Ratna Saraswati, Sp.PD-KEMD,FINASIM

2. Dr. dr. Yenny Kandarini, SpPD-KGH, FINASIM

3. dr. IGP Suka Aryana, SpPD-KGer, FINASIM

(6)

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur ke hadapan

Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha esa, karena hanya atas asung wara

nugraha-Nya/ kurnianya, tesis ini dapat diselesaikan.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terimakasih yang

sebesar- besarnya kepada Prof. Dr. dr. AAG. Budiarta SpPD KEMD, FINASIM

pembimbing I yang dengan penuh perhatian telah memberikan dorongan, semangat,

bimbingan, dan saran selama penulis mengikuti program magister, khususnya dalam

penyelesaian tesis ini. Terima kasih sebesar-besarnya pula penulis sampaikan kepada

Dr.dr. Made Ratna Saraswati SpPD KEMD,FINASIM pembimbing II yang dengan

penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan bimbingan dan saran kepada

penulis.

Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana Prof.

Dr. dr. Ketut Suastika SpPD KEMD, FINASIM atas kesempatan dan fasilitas yang

diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program

Magister di Universitas Udayana. Ucapan terimakasih ini juga ditujukan kepada

Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana yang dijabat Prof. Dr. dr. A.A.

Raka Sudewi, Sp.S (K) atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk

menjadi mahasiswa Program S2 pada Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Tidak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. dr. Putu Astawa, SpOT,

M.Kes, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana atas ijin yang diberikan

kepada penulis untuk mengikuti pendidikan program magister. Pada kesempatan ini,

penulis juga menyampaikan rasa terimakasih kepada Kepala Program Studi Ilmu

(7)

vii

SpPD KHOM selaku Kepala Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam RSUP Sanglah

Denpasar. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada para penguji, yaitu

Dr. dr. Yenny Kandarini, SpPD-KGH, dr. IGP Suka Aryana, SpPD-KGer, dan Dr.dr.

Ida Sri Iswari SpMK.,M.Kes, yang telah memberikan masukan, saran, sanggahan,

dan koreksi sehingga tesis ini dapat terwujud seperti ini.

Pada kesempatan ini ijinkan juga penulis mengucapkan terima kasih dan

penghormatan yang tulus kepada Prof. Dr. dr Tjok Raka Putra, SpPD-KR, sebagai

mantan Kepala Bagian /SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/ RSUP Sanglah dan

Prof. Dr. dr Ketut Suwitra, SpPD-KGH sebagai mantan Ketua Program Studi Ilmu

Penyakit Dalam FK Unud/ RSUP Sanglah yang pada masanya telah memberi

kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan spesialisasi. Penulis juga

memberikan ucapan yang sama kepada dr. IGP Suka Aryana, SpPD-KGer sebagai

pembimbing akademik penulis atas arahan dan bimbingan selama mengikuti

pendidikan spesialis Ilmu Penyakit Dalam.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus

disertai penghargaan kepada seluruh guru-guru yang telah membimbing penulis,

mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Juga penulis ucapkan terima kasih

kepada kedua orang tua, Ajung I Gusti Ngurah Agung dan Ibu Cokorda Istri Tirta,

yang senantiasa memberikan dorongan moril dan matriil. Kepada adik saya I Gusti

Istri Agung Widnyani, juga kepada keluarga di Batu-Malang yang telah memberikan

motivasi kepada penulis. Penulis juga mengucapkan terimakasih pada rekan residen

seperjuangan: dr. Mario Steffanus, dr. Aulia Sandjaja, dr. Vika Wirdhani, dr.

Herawati Purba, dr. Agung Istri, dr. Ria, dr. Cindy, dr. Wira Mahadita serta

(8)

viii

selama ini. Juga kepada paramedis, staf tata usaha Bagian /SMF Ilmu Penyakit

Dalam FK Unud/ RSUP Sanglah atas segala bantuan serta kerjasama yang baik

selama menjalani pendidikan spesialis Ilmu Penyakit Dalam.

Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa selalu

melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan

dan penyelesaian tesis ini, serta kepada penulis sekeluarga.

(9)

ix

ABSTRAK

HUBUNGAN GLUCAGON LIKE PEPTIDE-1 (GLP-1) DENGAN LEPTIN

PADA OBESITAS ABDOMINAL

I Gusti Ngurah Agung Tresna Erawan, AA Gede Budhiarta

Bagian SMF Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah, Denpasar

Obesitas berkontribusi menempati urutan kelima penyebab kematian di

seluruh dunia. Risiko ini lebih tinggi pada obesitas abdominal. Disregulasi leptin

pada patogenesis obesitas mengakibatkan peningkatan kadar leptin pada pasien

dengan obesitas. Glucagon Like Peptide-1 (GLP-1) adalah hormon inkretin yang

selain berperan terhadap metabolisme glukosa, peptida ini juga berefek pada

pengendalian pusat lapar, kadar GLP-1 diketahui menurun pada obesitas. Leptin

secara in vitro terbukti menstimulasi sekresi GLP-1 pada sel L intestinal tikus

(GLUTag) dan sel L manusia (NCI-H716), tetapi dalam penelitian berikutnya secara

in vitro pada sel L intestinal tikus obesitas dengan resistensi leptin terdapat

penurunan dua kali kadar basal GLP-1 dan kegagalan respon GLP-1 setelah stimulas

glukosa oral. Belum adanya penelitian secara in vivo pada manusia adalah latar

belakang dilakukan penelitian ini, untuk melihat bagaimana korelasi GLP-1 dan

leptin pada dewasa dengan obesitas abdominal. Hipotesis penelitian terdapat korelasi

GLP-1 dengan leptin pada Obesitas Abdominal.

Penelitian ini merupakan studi observasional analitik potong lintang. Kriteria

inklusi yaitu dewasa usia 18-60 tahun, obesitas abdominal dengan lingkar pinggang ≥80cm pada wanita dan ≥90cm pada pria dan bersedia berpartisipasi. Kriteria eksklusi adalah penderita diabetes melitus, infeksi berat, penyakit ginjal kronik

stadium III keatas, gangguan fungsi hati berat, keganasan, kelainan hormon tiroid,

sedang mendapatkan terapi steroid, dan testosterone. Perekrutan sampel dilakukan

secara acak konsekutif yang menjalani General Check Up di Laboratorium Prodia

sejumlah 80 subjek pada bulan Desember 2015 – Januari 2016. Subjek diperiksa

kadar GLP-1 Puasa dan GLP-1 30 menit setelah pembebanan glukosa 75 gram serta

(10)

x

Delapan puluh subjek penelitian terdiri dari 39 pria (48,8%) dan 41 wanita

(51,2%). Rerata umur 42,4 ± 9,6 tahun. Median IMT 29,49 kg/m2 dengan IMT

terendah adalah 25,6 kg/m2 dan tertinggi 47,5 kg/m2. Median lingkar pinggang

seluruh sampel adalah 95 cm dengan lingkar pinggang terkecil 82 cm dan yang

terbesar 129 cm. Median (minimal-maksimal) lingkar pinggang pada pria adalah 96

(91-117) cm, sedangkan pada wanita adalah 94 (82-129) cm. Rerata kadar leptin

serum adalah 20,2±15,5 ng/ml, rerata kadar GLP-1 puasa adalah 2,9±1,7 pg/L.

Rerata kadar GLP-1 post prandial adalah 3,2±1,8 pg/L. Dari uji Pearson didapatkan

nilai koefisien korelasi leptin dengan GLP-1 puasa adalah r = -0,34; p = 0,002.

Koefisien korelasi leptin dengan GLP-1 post prandial adalah r = -0,27; p = 0,017.

Hasil dari penelitian ini secara konsisten memperlihatkan adanya hubungan terbalik

yang secara statistik bermakna antara kadar leptin dengan GLP-1, baik puasa

maupun post prandial.

(11)

xi

ABSTRACT

CORRELATION BETWEEN GLUCAGON LIKE PEPTIDE-1 (GLP-1) AND

LEPTIN IN PATIENTS WITH ABDOMINAL OBESITY

I Gusti Ngurah Agung Tresna Erawan, AA Gede Budhiarta Department of Internal Medicine,

Faculty of Medicine, Udayana University/Sanglah General Hospital Denpasar

Obesity contributes to the fifth leading cause of mortality worldwide. This

risk is higher in the case of abdominal obesity. The dysregulation of leptin in the

pathogenesis of obesity leads to increased levels of leptin in obese patients. Glucagon

Like Peptide -1 (GLP -1) is an incretin hormone which contributes not only to the

metabolism of glucose but also to the central hunger control, levels of GLP-1 is

known to decrease in obesity. “In vitro” leptin is proven to stimulate secretion of

GLP-1 in the L cell of rat’s intestine (GLUtag) and human’s L-cell (NCI-H716). On

another research done using the in vitro method, obese rat’s intestine with leptin

resistance was found to experience a double decline of basal GLP-1 levels and a

response failure of GLP-1 after oral glucose stimulus. The fact that there has not

been any in vivo research on human is the reason underlying the conduct of this

research. It is to observe the correlation between GLP-1 and Leptin in adults with

abdominal obesity. The hypothesis of the research later suggested that there is.

This research is an analytical observation with cross sectional study. The

inclusion criteria are adults aged between 18 and 60 years old with abdominal

obesity with waist circumference equals to or more than 80cm in women and equals

to or more than 90cm in men and lastly, they are willing to participate. The exclusion

criteria are diabetes mellitus, severe infection, chronic kidney disease at third stage

or above, impaired liver function, malignancies, thyroid hormone abnormalities,

currently undergoing steroid or testosterone therapy. Samples were selected

randomly consecutive from people undergoing General Check Up at Prodia

Laboratorium which totaled to 80 subjects from December 2015 to January 2016. Subject’s GLP-1 level on fasting and GLP-1 were examined 30 minutes post prandial of 75 grams of glucose. The level of serum leptin was also examined.

80 research subjects consist of 39 men (48,8%) and 41 women (51,2%) with

(12)

xii

25,6 kg/m2 at the lowest and 47,5 kg/m2 at the highest. The waist circumference

median of all samples was 95cm with 82cm being the smallest and 129cm being the

biggest. The waist circumference median (minimum- maximum) were 96 (91-117)

cm for men and 94 (82-129)cm for women. The mean value of serum leptin level

was 20,2±15,5 ng/ml. The mean value of GLP-1 on fasting levels was 2,9±1,7 pg/L,

and the mean value of post prandial GLP-1 levels was 3,2±1,8 pg/L. Based on the

Pearson test, the coefficient correlation value of leptin levels with GLP-1 (fasting)

was r= -0,34; p= 0,002. Coefficient correlation of leptin with GLP-1 post prandial

was r= -0,27 ; p= 0,017. The research result has consistently showed that there was a

substantial inverse correlation between leptin levels and GLP-1 on both post prandial

and fasting.

(13)

xiii

DAFTAR ARTI LAMBANG, SINGKATAN, DAN ISTILAH ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xx

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1.Latar Belakang Penelitian ... 1

1.2.Rumusan Masalah ... 5

2.1.3. Definisi Sindrom Metabolik ... 11

2.1.4 Patogenesitas Obesitas dan Sindrom Metabolik ... 15

(14)

xiv

2.3.1 Resistensi Leptin – Defek Transport versus Defek Signal ... 23

2.3.2. Telaah Anatomi Resistensi Leptin ... 25

2.4. Hormon Inkretin ... 26

2.4.1 Penemuan Hormon Inkretin ... 26

2.5. GLP-1 ... 29

2.6. Leptin & GLP1 ... 31

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN ……… 33

3.1.Kerangka Berpikir ... 33

3.2.Konsep Penelitian ... 35

3.3.Hipotesis Penelitian ... 36

BAB IV METODE PENELITIAN ... 37

4.1.Rancangan Penelitian ... 37

4.2.Tempat dan Waktu Penelitian ... 37

4.3.Ruang Lingkup Penelitian……… 37

4.4.Populasi dan Sampel ... 37

4.4.1.Populasi ... 37

4.4.2.Sampel ... 37

4.4.2.1.Kriteria Inklusi ... 37

4.4.2.2.Kriteria Ekslusi………. . 38

4.4.2.3.Besaran Sampel Penelitian……… . 38

(15)

xv

4.5.Variabel Penelitian ... 39

4.5.1.Klasifikasi dan Identifikasi Variabel ... 39

4.5.2.Definisi Operasional Variabel ... 39

4.6.Bahan dan Instrumen Penelitian ... 43

4.7.Prosedur Penelitian ... 43

4.8.Alur Penelitian ... 44

4.9.Analisis Data ... 46

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 47

SIMPULAN DAN SARAN ... 55

DAFTAR PUSTAKA ... 56

(16)

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel 1.Prevalensi Sindrom Metabolik pada Populasi Tertentu di Asia ... 9

Tabel 2.Klasifikasi IMT pada Dewasa Ras Eropa ... 10

Tabel 3.Klasifikasi IMT pada Orang Asia Dewasa ... 11

Tabel 4.Definisi Sindrom Metabolik menurut ATP III ... 13

Tabel 5.Kriteria Klinis Sindrom Metabolik Menurut WHO... 14

Tabel 6.Definisi Sindrom Metabolik Menurut IDF ... 15

Tabel 7. Indeks Wayne’s, Diagnosis Hipertiroidsm Berdasarkan Gejala dan Tanda ... 42

Tabel 5.1. Karakteristik Subyek Penelitian……….. 47

(17)

xvii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.Regulasi dan Fungsi Neuroendokrin Leptin ... 22

Gambar 2.Signal LRb ... 25

Gambar 3.1. Konsep Penelitian……… 35

Gambar 4.1.Alur Penelitian ... 46

Gambar 5.1. Perbedaan Rerata Kadar GLP-1 Puasa dan Post Prandial………. 48

Gambar 5.2. Grafik Scatter Plot korelasi antara Kadar Leptin serum dan GLP-1 Puasa pada Obesitas Abdominal………. 51

(18)

xviii

DAFTAR ARTI LAMBANG, SINGKATAN, DAN ISTILAH

SINGKATAN

AgRP : Agouti-Related Peptide

aMSH : a-Melanocyte-Stimulating-Hormone

ARC : Arkuata

Bdnf : Brain-Derived Neurotrohic Factor

BBB : Sawar Darah Otak

CVO : Organ Circumventricular

DIO : Diet-induced-obese

DMH : Dorsomedial

DMX : Nukleus Motorik Dorsal Nervus Vagus

DPP-IV : Dipeptidil Peptidase 4

GIP : Gastric Inhibitory Polypeptide

GLP-1 : Glucagon like Peptide-1

GRP : Glucose Related Peptide

HDL-C : High Density Lipoprotein Cholesterol

IDF :International Diabetes Federation

IL :Interleukin

IMT : Indeks Massa Tubuh

Jak2 : Jak kinase

LR : reseptor leptin

ME : Median Eminence

(19)

xix MC3R : Melanocortin-3 Receptor

MC4R : Melanocortin-4 Receptor

NHANES : the National Health and Nutrition Examination Survey

NTS : Nukleus Traktus Solitarius

ob : gen obesitas

POMC : Pro-Opiomelanocortin

SM : Sindrom Metabolik

TNF-α : Tumor Necrosis Factor

VMH : Ventromedial

WHO : World Health Organization

(20)

xx

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Keterangan Kelaiakan Etik……….. 61

Lampiran 2.Informasi Yang Diberikan Kepada Subyek Penelitian ... 62

Lampiran 3. Perkiraan Biaya……….. . 64

Lampiran 4.Informed Consent ... 65

Lampiran 5.Status Penderita ... 66

Lampiran 6.Rencana dan Jadwal Penelitian ... 67

Lampiran 7. Prosedur Pemeriksaan Kadar GLP-1 ... 68

Lampiran 8. Alur Pemeriksaan Kadar Leptin ... 70

(21)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Overweight dan obesitas didefinisikan sebagai akumulasi lemak abnormal

atau berlebih yang dapat mengganggu kesehatan. Dahulu obesitas identik dengan

kemakmuran, akan tetapi saat ini kelebihan berat badan dan obesitas sudah

dianggap sebagai suatu masalah global. Di seluruh dunia terjadi peningkatan

prevalensi obesitas.

Obesitas atau kegemukan berkontribusi menempati urutan kelima

penyebab kematian di seluruh dunia. Sedikitnya 2,8 juta orang dewasa meninggal

setiap tahun akibat kondisi tersebut (WHO, 2014).

Berdasarkan distribusi lemak, obesitas dibedakan menjadi dua kategori;

obesitas umum dan obesitas abdominal. Obesitas abdominal adalah kondisi

kelebihan lemak perut atau lemak pusat. Kondisi overweight dan obesitas

merupakan risiko utama bagi sejumlah komorbiditas. Diketahui bahwa 44%

kejadian diabetes, dua puluh tiga persen kejadian penyakit jantung iskemik dan

sekitar 7-41% kejadian kanker meningkat risikonya pada obesitas abdominal

(WHO, 2014).

Prevalensi obesitas di beberapa negara cenderung meningkat, termasuk

Indonesia. Riset Kesehatan Indonesia 2010 menyatakan prevalensi obesitas pada

(22)

2

abdominal didalamnya sebesar 18,8% (Riskesdas, 2010). Prevalensi obesitas di

Bali adalah sebesar 26,2% (Dwipayana et al., 2011).

Penyebab fundamental overweight dan obesitas adalah ketidakseimbangan

energi antara kalori yang dikonsumsi dengan kalori yang digunakan. Asupan

kalori berlebih dan aktivitas fisik yang kurang memicu terjadinya penumpukan

jaringan adiposa di subkutan, periviseral dan intraviseral (Petrucelli, 2008).

Selain berperan sebagai tempat penyimpanan energi, jaringan adiposa

diketahui merupakan organ endokrin utama yang mengatur metabolisme tubuh.

Peningkatan massa sel lemak terutama di perut memicu terjadinya

ketidakseimbangan pelepasan hormon dan akhirnya menyebabkan berbagai efek

metabolik. Sel adiposa mensekresikan berbagai molekul yang aktif secara biologis

yang dinamakan adipositokin atau adipokin yang meliputi sejumlah sitokin (misal

Tumor Necrosis Factor (TNF)-α dan Interleukin (IL)-6), Kemokin (misal IL-8

dan Monocyte Chemoattractant Protein (MCP)-1). Selain itu, jaringan adiposa

mensekresikan berbagai hormon yang salah satunya berperan dalam regulasi berat

badan seperti visfatin, apelin, resistin, adiponektin dan leptin (Zhang, 2010).

Leptin diproduksi oleh gen obesitas (ob), 167-asam amino peptide, yang

diekspresikan oleh jaringan adiposa. Defisiensi hormon leptin dalam serum

mengakibatkan rasa lapar berlebih (hiperfagia), menurunnya penggunaan energi,

obesitas abdominal dan resistensi insulin yang akan berkembang menjadi

diabetes. Akan tetapi penelitian terakhir menyebutkan bahwa terjadi disregulasi

leptin pada patogenesis obesitas akibat terjadinya mutasi pada gen ob maupun

(23)

3

ditemukannya peningkatan kadar leptin yang tinggi pada pasien dengan obesitas.

Mekanisme yang dapat menjelaskan mengapa terjadi peningkatan leptin serum

pada obesitas adalah keterlibatan mutasi yang terjadi pada gen ob. Pada penelitian

yang dilakukan oleh Considine et al., menemukan bahwa terjadi peningkatan

jumlah ob mRNA pada adiposit dari subjek dengan obesitas dibandingkan dengan

subjek dengan berat badan normal. Akibatnya adalah terjadi peningkatan kadar

serum leptin sampai empat kali nilai normal yang kemungkinan diakibatkan oleh

hipertropi sel adiposit (Considine et al., 1996) .

Kadar rerata leptin pada obesitas adalah sebesar 31,3±24,1 ng/ml,

sedangkan rerata subjek berat badan normal adalah 7,5±9,3 ng/ml. Hasil ini

mengindikasikan bahwa pada kebanyakan orang dengan obesitas adalah tidak

sensitif terhadap produksi leptin endogen. Hal ini berhubungan dengan gangguan

toleransi glukosa serta resistensi insulin yang selanjutnya disebut dengan

resistensi leptin (Considine et al., 1996; Halim, 2003).

Konsep resistensi leptin pada obesitas dicurigai pertama kalinya akibat

efek terbatas pemberian terapi leptin eksogen pada pasien dengan obesitas. Hal ini

diduga disebabkan oleh kemampuan kelarutan leptin untuk melewati sawar darah

otak atau gangguan pada tingkatan reseptor aktivasi atau transduksi signal (Meier

and Gressner, 2004). Mutasi dari gen Bdnf (brain-derived neurotrohic factor)

pada neuron subjek dengan obesitas, adalah salah satu sebab yang dipercaya

berperan pada pathogenesis ini (Liao et al., 2012)

Penemuan inkretin merupakan suatu langkah penting dalam

(24)

4

endocrine secretion pertama kali dihipotesiskan tahun 1902 (Marzieh, 2006).

Inkretin merupakan suatu substrat yang dihasilkan oleh saluran pencernaan (sel L)

yang memiliki efek menstimulasi hormon endokrin (pankreas-insulin) (Perfetti

and Merkel, 2000). Saat ini dikenal dua inkretin yaitu Gastric Inhibitory

Polypeptide (GIP) dan Glucagon like Peptide-1 (GLP-1) (Raganath et al., 1996).

Gastric Inhibitory Polypeptide dan GLP-1 merupakan suatu senyawa

inkretin yang memberikan serangkaian efek metabolik yaitu mampu

meningkatkan sekresi insulin. Selain efeknya terhadap metabolisme glukosa,

kedua peptida ini juga berefek pada berbagai organ antara lain pancreas, lemak,

tulang dan otak. Pada pankreas, GIP dan GLP-1 bersama-sama meningkatkan

proliferasi sel B pankreas dan menghambat apoptosis. Gastric Inhibitory

Polypeptide meningkatkan glukagon postprandial dan meningkatkan deposisi

lemak tubuh, sedangkan GLP-1 justru menurunkan kadar glukagon dan

mengendalikan pusat lapar sehingga GLP-1 lebih bermanfaat pada penderita

dengan overweight, obesitas, dyslipidemia dan diabetes (Szayna, 2000; Bello and

Moran, 2008; Hagememann et al., 2007). Pada penelitian in vivo yang dilakukan,

GLP-1 secara cepat disekresikan oleh sel L setelah mendapatkan asupan makanan

baik gula maupun lemak. Pada mekanisme ini diketahui terdapat dua macam efek

langsung maupun tidak langsung yang bekerja untuk merangsang sekresi GLP-1.

Efek langsung berasal dari jumlah makanan, dan efek tidak langsung berasal dari

pengaruh endokrin dan mediator neural termasuk GRP (Rocca et al, 1999;

Persson et al, 2000). Sebagai akibatnya, GLP-1 selanjutnya akan disekresikan

(25)

5

menit, dan melalui efek langsung akan disekresikan lebih lambat yaitu pada menit

60-120 postprandial (Anini et al, 1999). Kadar GLP-1 telah diketahui menurun

kadarnya pada pasien dengan obesitas. Penurunan kadar GLP-1 pada obesitas

sampai saat ini masih belum diketahui penyebabnya. (Raganath et al., 1996).

Leptin secara in vitro terbukti menstimulasi sekresi GLP-1 pada sel L

intestinal tikus (GLUTag) dan sel L manusia (NCI-H716), namun penelitian in

vitro pada sel L intestinal tikus obesitas dengan resistensi leptin justru didapatkan

terjadi penurunan dua kali kadar basal GLP-1 dan kegagalan respon GLP-1

setelah stimulas glukosa oral (Anini and Brubaker, 2003). Sampai saat ini korelasi

antara kadar leptin dan GLP-1 secara in vivo pada manusia belum diteliti,

sehingga menarik penulis melakukan penelitian ini.

Mengingat semakin meningkatnya masalah obesitas serta adanya dualisme

dari sifat kadar GLP-1 terhadap kadar leptin pada penelitian in vitro sebelumnya,

penulis ingin membuktikan adanya korelasi kadar GLP-1 dengan kadar leptin

pada orang dewasa dengan obesitas abdominal.

1.2.Rumusan Masalah

Dengan memperhatikan latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah

penelitian sebagai berikut :

Apakah terdapat hubungan antara kadar leptin dengan kadar GLP-1 pada

(26)

6

1.3.Tujuan Penelitian

Sehubungan dengan masalah yang diangkat dalam penelitian ini, maka

tujuan penelitian ini adalah:

1.3.1 Tujuan Umum

- Mengetahui peran leptin dan GLP-1 pada patogenesis obesitas abdominal.

1.3.2 Tujuan Khusus

- Membuktikan hubungan kadar leptin dengan GLP-1 pada obesitas

abdominal.

1.4.Manfaat Penelitian

1.4.1.Manfaat Akademik

Penelitian ini merupakan penelitian analitik yang hasilnya dapat menambah

pengetahuan kita tentang korelasi kadar GLP-1 dengan leptin pada obesitas

abdominal. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan data dasar dan

bermanfaat memberi penegasan terhadap patogenesis obesitas abdominal dan

hubungannya dengan diabetes mellitus tipe 2, terkait dengan peran leptin dengan

kadar GLP-1 pada manusia dewasa.

1.4.2.Manfaat Praktis

Selama ini diketahui bahwa memberikan terapi leptin eksogen pada

obesitas dewasa dinilai tidak memberikan hasil yang memuaskan terkait kondisi

resistensi leptin. Bila penelitian ini membuktikan hubungan antara kadar GLP-1

dengan leptin pada obesitas abdominal, penelitian lebih lanjut tentang terapi

(27)

1

B A B II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Obesitas dan Sindrom Metabolik

2.1.1 Epidemiologi

Tahun 2008, satu setengah milyar orang dewasa diatas 20 tahun termasuk

overweight, dan lebih dari 200 juta pria dan hampir 300 juta wanita termasuk

obesitas. Secara keseluruhan, lebih dari 1 diantara 10 orang dewasa di dunia

termasuk obesitas. Hal ini diperparah dengan kenyataan pada tahun 2010, hampir

43 juta anak-anak dibawah usia 5 tahun mengalami overweight (Ferrari, 2008).

Berdasarkan data The Behavioral Risk Factor Surveillance System, pada

tahun 2005 diperkirakan 60,5% orang Amerika mengalami overweight, 23,9%

obesitas dan 3% tergolong sangat obesitas. Obesitas tidak hanya menyebabkan

masalah kesehatan yang serius namun juga menurunkan angka harapan hidup

(Petrucelli, 2008; Singla et al., 2010).

Peningkatan angka kejadian sindrom metabolik salah satunya disebabkan

oleh peningkatan populasi dan prevalensi obesitas. Obesitas dan sindrom

metabolik memiliki keterkaitan yang erat dan merupakan suatu hubungan kausal.

Berdasarkan data the National Health and Nutrition Examination Survey

(NHANES) tahun 1988-1994 dan 1999-2000 diketahui bahwa 22% orang dewasa

di Amerika Serikat mengalami sindrom metabolik. Disamping itu, terjadi

peningkatan prevalensi sindrom metabolik seiring dengan peningkatan usia

(Ferrari, 2008; Petrucelli, 2008; Singla et al., 2010; Shen et al., 2012).

Peningkatan prevalensi obesitas tidak hanya terjadi di negara Barat, namun

juga di Asia. Dibandingkan dengan ras Kaukasia, orang Asia memiliki Indeks

(28)

2

metabolik ternyata lebih tinggi. Data prevalensi sindrom metabolik pada beberapa

populasi diseluruh dunia berdasarkan kriteria diagnostik yang berbeda dapat

dilihat pada tabel 1 (Ferrari, 2008; Huang et al., 2009).

Riset Kesehatan Indonesia 2010 menyatakan prevalensi obesitas pada

penduduk usia diatas 15 tahun adalah 21,7%, dengan prevalensi obesitas

abdominal didalamnya sebesar 18,8% (Riskesdas, 2010). Prevalensi obesitas di

(29)

3

Tabel 1. Prevalensi Sindrom Metabolik pada Populasi Tertentu di Asia (Ferrari, 2008)

Negara/Kota Sampel Usia

(tahun) Prevalesi SM Sumber

Cina, Beijing 16.324 dewasa 20-90 10,2%

Thailand 602 dewasa 20-90 15% Pongchaiyakul et

al, 2007

ATP III : The Adult Treatment Panel III of the National Cholesterol Education Program, AHA :

American Heart Association, IDF : International Dabetes Federation

(30)

4

2.1.2 Definisi Obesitas

Overweight dan obesitas didefinisikan sebagai akumulasi lemak abnormal

atau berlebih yang dapat mengganggu kesehatan. Obesitas dibedakan menurut

indeks massa tubuh dan distribusi lemak. Berdasarkan distribusi lemak, obesitas

dibagi menjadi obesitas umum dan obesitas abdominal atau obesitas sentral.

Obesitas abdominal adalah kondisi kelebihan lemak perut atau lemak pusat. Salah

satu indikator pengukuran obesitas abdominal adalah lingkar perut. Indeks Masa

Tubuh (IMT) merupakan indeks sederhana berat dan tinggi badan yang umum

digunakan untuk mengklasifikasikan overweight dan obesitas pada dewasa.

Indeks massa tubuh didefinisikan sebagai berat badan seseorang dalam kilogram

dibagi dengan kuadrat tinggi badannya dalam meter (kg/m2). Untuk penduduk

Barat dikatakan obesitas bila IMTnya ≥ 30 kg/m2 atau lingkar perut ≥ 102 cm

pada pria atau ≥ 88 cm pada wanita, sedangkan untuk penduduk Asia, IMTnya >

25kg/m2atau lingkar perut ≥90 cm pada pria dan ≥ 80cm pada wanita. Berikut ini

adalah klasifikasi IMT yang ditetapkan oleh World Health Organization (WHO)

pada tahun 1998 (Tabel 2) (WHO, 2014)

Tabel 2. Klasifikasi IMT pada Dewasa Ras Eropa

Klasifikasi IMT (kg/m2) Risiko Komorbiditas

Underweight <18,5 Rendah (namun terdapat

(31)

5

Berbeda dengan Eropa, terdapat perbedaan pada distribusi lemak tubuh

khususnya di daerah Asia Pasifik. Sebagai contoh, Asia Selatan (India) memiliki

distribusi lemak tubuh tersentralisasi di mana thick trunk shinfold dan rata-rata

waist-to-hip ratio-nya lebih tinggi pada IMT yang sama dibandingkan ras Eropa.

Pada populasi Asia, morbiditas dan mortalitas terjadi pada individu dengan IMT

yang lebih rendah dan lingkar pinggang yang lebih kecil. Selain itu, mereka

cenderung memiliki lemak intraabdominal tanpa terlihat obesitas secara

keseluruhan. Berikut ini adalah klasifikasi IMT pada orang Asia dewasa (Tabel 3)

(WHO,2014).

Tabel 3. Klasifikasi IMT pada Orang Asia Dewasa

Klasifikasi IMT (Kg/m2) Risiko Komorbiditas

Underweight <18,5 Rendah (namun terdapat

peningkatan risiko untuk

Kombinasi berbagai gangguan metabolik yang sekarang dikenal dengan

sindrom metabolik pertama kali digambarkan oleh Kylin pada tahun 1920-an

sebagai sekelompok gejala hipertensi, hiperglikemia dan gout. Dua dekade

kemudian, Vague menyatakan bahwa upper body adiposity (android atau male

type obesity) merupakan tipe yang paling berkaitan dengan abnormalitas

metabolik yang terlihat pada diabetes dan penyakit kardiovaskular. Pada tahun

(32)

6

klinis yang penting meskipun obesitas tidak termasuk didalamnya. Pada tahun

1989, Kaplan menyebutnya The Deadly Quartet dan lainnya lalu menggunakan

istilah The Insulin Resistance Syndrome. Namun, saat ini istilah sindrom

metabolik diterima secara luas untuk sekumpulan gejala metabolik yang berkaitan

dengan faktor risiko kardiovaskuler serta dapat memprediksi risiko terjadinya

diabetes (Alberti et al., 2006).

Karakteristik umum sindrom metabolik diantaranya: 1) distribusi lemak

tubuh yang abnormal; 2) Resistensi insulin; 3) Dislipidemia aterogenik; 4)

peningkatan tekanan darah; 5) Status proinflamasi; dan 6) Status protrombotik.

Berikut adalah berbagai kriteria yang ditetapkan oleh beberapa organisasi untuk

membantu menetapkan diagnosis klinis sindrom metabolik (Huang et al., 2009;

Alberti et al., 2006);

2.1.3.1 Sindrom Metabolik berdasarkan The Adult Treatment Panel III of the

National Cholesterol Education Program (NCEP ATP III)

Beberapa waktu sebelumnya tidak diketahui hubungan antara

hiperinsulinemia, resistensi insulin, hipertensi, dislipidemia dan diabetes. Saat ini

diketahui bahwa keterkaitan tersebut mengacu pada sindrom metabolik. The Adult

Treatment Panel III of the National Cholesterol Education Program membantu

mengidentifikasi orang dengan sindrom metabolik melalui sejumlah kriteria klinis

dan menetapkan bahwa diagnosis sindrom metabolik dilakukan bila terdapat 3

atau lebih faktor risiko (Tabel 4). Faktor risiko ini termasuk obesitas abdominal,

kadar High Density Lipoprotein Cholesterol (HDL-C) yang rendah dan

peningkatan tekanan darah, glukosa puasa serta kadar Trigliserida (Huang et al.,

(33)

7

Tabel 4. Definisi Sindrom Metabolik Menurut ATP III

Faktor Risiko Definisi

Obesitas Abdominal (Lingkar pinggang)

 Pria

 Wanita

>40 inch >30 inch

Trigliserida ≥150 mg/dl

HDL Cholesterol

 Pria

 Wanita

<40mg/dl <50mg/dl

Tekanan Darah ≥130/85

Gula darah puasa ≥110 mg/dl

2.1.3.2 Sindrom Metabolik berdasarkan World Health Organization (WHO)

Pada tahun 1999, WHO menetapkan definisi sindrom metabolik. Definisi

WHO ditetapkan berdasarkan asumsi bahwa resistensi insulin merupakan salah

satu kontributor utama sindrom metabolik. Untuk menetapkan diagnosis,

disamping resistensi insulin, sedikitnya dua komponen lain yaitu peningkatan

tekanan darah, peningkatan kadar trigliserida, penurunan kadal HDL-C, obesitas

(34)

8

Tabel 5. Krteria Klinis Sindrom Metabolik Menurut WHO (Petrucelli, 2008) Insulin Resisten, memenuhi salah satunya dari;

Diabetes mellitus tipe 2

Glukosa darah puasa terganggu

Tolerasi glukosa terganggu

Hiperinsulinemi, euglikemia dengan ambilan glukosa rendah

Disertai 2 dari kriteria;

Mendapatkan terapi anti hipertensi atau tekanan darah ≥ 140/90 Trigliseride plasma ≥ 150 mg/dl

HDL-C < 35 mg/dl pada pria, atau < 39 mg/dl pada wanita

BMI > 30kg/m2 dan/atau rasio pinggang:pinggul > 0,9 pada pria, >0,85 pada

wanita

Mikroalbuminuria; urine albumin excretion rate ≥ 20 microgram/menit atau

albumin: creatinin ratio ≥ 30 mg/g

2.1.3.3 Sindrom Metabolik berdasarkan International Diabetes Federation (IDF)

Sindrom metabolik mengacu pada sekumpulan abnormalitas metabolik,

termasuk obesitas sentral, toleransi glukosa, tekanan darah tinggi dan

dislipidemia. Berbagai studi menunjukkan bahwa akumulasi lemak

intraabdominal merupakan prediktor risiko metabolik dan penyakit kardiovaskular

yang independen (Huang et al., 2006).

International Diabetes Federation menetapkan alat diagnosis yang

sederhana untuk dapat digunakan dalam praktek klinis dan penelitian di seluruh

dunia. Tujuannya selain membantu identifikasi sindrom metabolik juga

(35)

9

Tabel 6. Definisi Sindrom Metabolik Menurut Internasional Diabetes Federation (IDF) (Alberti et al, 2006)

Obesitas Sentral

Lingkar pinggang sesuai etnis, ditambah dua dari kriteria berikut;

< 1,03 mmol/l (40mg/dl) pada pria < 1,29 mmol/l (50mg/dl) pada wanita

Peningkatan tekanan darah

Sistolik: ≥ 130 mmHg Atau

Diastolik: ≥ 85 mmHg

Atau sudah mendapatkan terapi dengan diagnosis hipertensi

Peningkatan glukosa darah puasa

Glukosa darah puasa ≥ 5,6 mol/l (100 mg/dl) atau telah terdiagnosa sebagai diabetes mellitus

Jika > 5,6 mmol/l atau 100 mg/dl, Uji toleransi glukosa sangat direkomendasikan, namun tidak begitu diperlukan untuk membedakannya pada sindrom ini.

2.1.4 Patogenesitas Obesitas dan Sindrom Metabolik

Penyebab fundamental overweight dan obesitas adalah ketidakseimbangan

energi antara kalori yang dikonsumsi dengan kalori yang digunakan. Secara

global, terjadi peningkatan asupan makanan kaya lemak, garam, dan gula namun

rendah vitamin, mineral dan mikronutrien lain. Selain itu juga terjadi penurunan

aktivitas fisik akibat gaya hidup sedenter dan urbanisasi. Asupan kalori berlebih

dan aktivitas fisik yang kurang, memicu terjadinya penumpukan lemak subkutan,

periviseral dan intraviseral (Petrucelli, 2008; Huang et al., 2009)

Obesitas dapat memicu tekanan darah tinggi, peningkatan kolesterol,

penurunan HDL-C dan hiperglikemi. Sel adiposa diketahui mensekresikan sitokin

dan molekul lain yang dapat memicu peningkatan kondisi proinflamasi,

(36)

10

sindrom metabolik. Selain itu, diketahui pula bahwa resistensi insulin memicu

faktor risiko metabolik lainnya termasuk hipertensi, hipertrigliseridemia,

hiperglikemia dan dislipidemia (Petrucelli, 2008).

Diperkirakan, setiap peningkatan berat badan sebesar 1 kg berkaitan

dengan peningkatan risiko diabetes tipe 2 sebesar 9%. Obesitas berkaitan erat

dengan risiko stroke iskemik maupun hemoragik. Setiap satuan peningkatan IMT

berkaitan dengan peningkatan risiko stroke sebesar 6% (Ferrari, 2008).

Walaupun etiologinya masih kontroversial, namun diketahui bahwa

sindrom metabolik dipicu oleh obesitas, resistensi insulin dan sejumlah faktor lain

seperti kerentanan genetik dan peningkatan usia. Diketahui pula bahwa sindrom

metabolik dapat terjadi akibat efek samping dari pengobatan termasuk

kortikosteroid, inhibitor protease, antidepresan dan antipsikotik (Petrucelli,2008).

2.1.5 Peran Jaringan Adiposa sebagai Organ Endokrin

Selain berperan sebagai tempat penyimpanan energi, jaringan adiposa

diketahui merupakan organ endokrin utama yang mengatur metabolisme tubuh.

Peningkatan massa sel lemak memicu terjadinya ketidakseimbangan pelepasan

hormon dan akhirnya menyebabkan berbagai efek metabolik. Komplikasi

metabolik obesitas yang dikenal dengan sindrom metabolik ditandai oleh

resistensi insulin yang seringkali menyebabkan kerusakan sel beta pancreas,

gangguan toleransi glukosa dan diabetes tipe 2, dislipidemia, hipertensi dan

penyakit jantung yang terjadi lebih dini. Selain itu, obesitas abdominal,

akumulasi lemak ektopik, steatosis hepatik dan sleep apnea juga termasuk ke

(37)

11

Sel Adiposa mensekresikan berbagai molekul yang aktif secara biologis

yang dinamakan adipositokin atau adipokin yang meliputi sejumlah sitokin (misal

Tumor Necrosis Factor (TNF)-α dan Interleukin (IL)-6), Kemokin (misal IL-8

dan Monocyte Chemoattractant Protein (MCP)-1). Selain itu, jaringan adiposa

mensekresikan berbagai hormon yang salah satunya berperan dalam regulasi berat

badan seperti leptin, visfatin, apelin, resistin dan adiponektin (Zhang, 2010).

2.2. Leptin

Hormon leptin diproduksi oleh jaringan lemak. Leptin dalam sirkulasi

dapat menghubungkan antara kondisi energi tubuh dengan sistem saraf pusat

untuk menekan asupan makan dan memicu pemakaian energi (Morton, 1998).

2.2.1 Regulasi Leptin

Leptin dipengaruhi oleh sistem umpan balik dari simpanan energi tubuh

terhadap otak, sesuai dengan definisi oleh Kennedy pada tahun 1953 dimana

kadar leptin dikatakan menurun pada kondisi starvasi saat cadangan lemak tubuh

berkurang untuk mendukung kebutuhan energi dasar organisme dan leptin

meningkat saat re-feeding saat cadangan lemak kembali terkumpul (Morton,

1998).

Demikian pula banyak adaptasi fisiologis yang dicetuskan oleh puasa

berkepanjangan yang dapat dicegah melalui pemberian leptin eksogen saat puasa,

sehingga memberikan signal palsu pada otak seolah cadangan energi telah

tergantikan. Kadar leptin yang cukup akan membuat pemakaian energi yang

cukup untuk proses reproduksi dan pertumbuhan serta pengaturan sistem saraf

(38)

12

Leptin Reseptor b (LRb) terdapat pada beberapa jaringan namun paling

banyak pada neuron beberapa nuklei hipotalamus meliputi arkuata (ARC),

dorsomedial (DMH), ventromedial (VMH) dan premamilari serta pada batang

otak yaitu di nukleus traktus solitarius (NTS) dan nukleus motorik dorsal nervus

vagus (DMX), substansi grisea periakuaeduktal dan hipokampus. Terdapat 2

populasi mRNA LRb yang terdeteksi, yaitu yang menghasilkan agouti-related

peptide (AgRP) dan yang menghasilkan pro-opiomelanocortin (POMC) untuk

memproduksi a-melanocyte-stimulating-hormone (aMSH) untuk mensignalkan

anoreksia (penurunan napsu makan) dengan mengaktifkan melanocortin-4

receptor (MC4R) dan melanocortin-3 receptor (MC3R). Leptin Reseptor b

merangsang sintesis POMC dan mengaktifkan/mendepolarisasikan neuron

LRb/POMC. Neuropeptide Y merupakan hormon yang oreksigenik (merangsang

napsu makan) yang juga mensupresi pertumbuhan yang didasari LRb pada sentral

dan aksis reproduksi. Agouti-related peptide adalah antagonis dari aMSH/MC4R

dan inhibitor dari aktivitas MC4R endogen. Leptin bekerja melalui LRb untuk

menghambat NPY/AgRP neuron dan mensupresi ekspresi neuropeptida tersebut.

Dengan demikian, adanya signal LRb merangsang produksi neuropeptida

anorektik dan mensupresi kadar peptida oreksigenik. Sebaliknya, penurunan

aktivitas atau kadar leptin (misal saat starvasi dan pada tikus ob/db) merangsang

napsu makan dengan mensupresi sintesis neuropeptida anorektik (misal POMC)

dan meningkatkan ekspresi peptida oreksigenik (misal NPY dan AgRP). Pada

Arcuata, neuron yang mengekspresikan LRb mRNA dan NPY/AgRP dan/atau

POMC juga mengatur pemakaian energi dan elemen lainnya dari fungsi

(39)

13

NPY/AgRP dapat menyebabkan makan yang berlebihan dan peningkatan berat

badan (Münzberg et al., 2005).

2.2.2 Abnormalitas Leptin

Kekurangan leptin akibat mutasi pada leptin (ob) maupun reseptor leptin

(LR) (misalnya db) pada tikus dan manusia menyebabkan peningkatan asupan

makanan dan berkurangnya pemakaian energi sebagai respon neuroendokrin

terhadap starvasi (meliputi hipotiroidisme, berkurangnya pertumbuhan,

infertilitas, dan penurunan fungsi imun) disamping obesitas itu sendiri (Münzberg

et al., 2005; Sobhani et al., 2000). Gaster merupakan organ target dari leptin

(Sobhani et al., 2000). Konsentrasi leptin serum berkaitan dengan persentase

lemak tubuh, mengindikasikan bahwa pada kebanyakan orang dengan obesitas

adalah tidak sensitif terhadap produksi leptin endogen (Considine et al., 1996).

2.2.3 Mekanisme Intraseluler Leptin

Reseptor leptin berasal dari golongan reseptor sitokin kelas 1 interleukin-6

(IL-6) yang terdiri dari daerah pengikat ligan ekstraselular dan sitoplasmik.

Reseptor leptin b tidak memiliki aktivitas enzimatik intrinsik namun memberikan

signal melalui ikatan non-kovalen terkait aktivitas tirosin kinase dari famili Jak

kinase (Jak2). Terikatnya leptin mengubah konformasi dimer LRb dan

memungkinkan terjadinya aktivasi LRb intraseluler yang terkait Jak2. Jak kinase

2 yang teraktivasi kemudian memfosforilasi residu tirosin lainnya pada kompleks

LRb/Jak2 untuk memperantarai signal downstream. Pensignalan yang tergantung

tirosin kinase tersebut pada umumnya berlanjut melalui protein yang mengandung

domain khusus untuk pengikatan fosfotirosin (misal domain SH2).

(40)

14

Fosforilasi tirosin berperan sebagai penanda molekular untuk menarik protein

yang mengandung SH2 dengan isoform yang spesifik, dikenali melalui asam

amino penyusunnyan (Münzberg et al., 2005).

2.2.4 Faktor yang Pengaruhi Ekspresi Leptin

Indeks masa tubuh merupakan faktor prediktor terbaik untuk menentukan

kadar leptin dalam darah. Pasien dengan puasa 24 jam akan mengalami penurunan

kadar leptin mencapai 30% dan pasien dengan overfeeding massif akan

meningkatkan 50% kadar leptin dalam darah (Meier and Gressner, 2004). Dengan

meretriksi diet akan menurunkan kadar leptin mencapai 27,2% (CI 95%)

(Campilo et al., 2001; Houseknecht et al., 1998)

Penurunan berat badan 10% pada pasien obesitas akan menurunkan kadar

leptin serum sebesar 53%, sedangkan peningkatan 10% berat badan akan

meningkatkan 30% kadar leptin serum. Injeksi leptin akan menurunkan asupan

makanan, menurunkan berat badan, kehilangan massa lemak, dan peningkatan

metabolisme energi (Houseknecht et al., 1998). Namun pemberian leptin pada

orang dengan obesitas hanya memberikan efek yang terbatas, hal ini diduga

disebabkan oleh kemampuan kelarutan leptin untuk melewati sawar darah otak

atau gangguan pada tingkatan reseptor aktivasi atau transduksi signal (Meier and

Gressner,2004).

Kadar leptin pada perempuan (12,7 µg/L) lebih tinggi dibandingkan

laki-laki (4,6 µg/L). Kadar leptin berhubungan dengan rerata 4 Skinfod thickness (r=

0,74-0,8; p≤0,001), lingkar perut dan panggul (r=0,38;p≤0,001), etnis dan umur

(Ruhl and Everhart., 2001)

Kadar leptin meningkat oleh overfeeding, insulin, glukokortikoid,

(41)

15

suhu dingin (Houseknecht et al.,1998; Yang and Barouch., 2007; Pi-Sunyer and

Leferre’re, 1999). Dengan pemberian glukokortikoid secara in vivo dan in vitro

akan meningkatkan ekspresi dari leptin serum. Peningkatan kadar leptin akan

menghambat produksi kortisol dan sel adrenal (Houseknecht et al., 1998;

Pi-Sunyer and Leferre’re., 1999). Selain itu faktor lain yang mempengaruhi kadar

leptin yaitu fungsi hepar. Penelitian yang dilakukan Campilo et al., (2001)

memperlihatkan kadar leptin meningkat sesuai dengan perbaikan fungsi hepar

pada pasien sirosis hepatis akibat alkohol (Campilo et al., 2001).

Thiazolinediones, yang merupakan ligand dari PPARγ, dapat menghambat

dari regulasi mRNA leptin pada adiposit. Dilaporkan canonical DR+1 PPARγ

berikatan di lokasi ikatan pada -3,951 sampai -3,939 pada tikus sekuen 5’

-flanking dari gen leptin. Dalam hal ini PPARγ2 berperan menghambat peranan

dari promoter leptin dengan menghambat mediasi transkripsi dari C/EBP-α

(Houseknecht et al., 1998).

Hubungan antara leptin dengan kadar lipid atau lipoprotein masih

merupakan hal yang diperdebatkan, namun hubungan leptin yang signifikan

ditemukan dengan HDL, HDL-TG, dan HDL-apo (Pi-Sunyer and Leferre’re,

1999). Pada penelitian terhadap pasien hemodialisis ditemukan hubungan

signifikan antara leptin dengan kadar LDL-C (r=-0,29, p=0,09), dan leptin

berhubungan signifikan dengan serum trigliserida (r=0,30, p=0,078) (Nasri et al.,

2006).

2.2.5 Fungsi Neuroendokrin Leptin

Sejauh ini, terdapat 2 jalur pensignalan LRb yang terkait pada kerja leptin,

yaitu STAT3 dan jalur IRS proteinÆPI 3¢-kinase. Protein IRS 1-4 merupakan

(42)

16

(misalnya reseptor insulin dan beberapa reseptor sitokin). Pada tikus yang tidak

memiliki IRS-2 (IRS-2 --) terjadi peningkatan makan dan penurunan laju

metabolik terkait dengan peningkatan jaringan lemak dan leptin dalam sirkulasi,

mengindikasikan adanya resistensi leptin fungsional. Sehingga dikatakan bahwa

IRS-2 memiliki peran khusus dalam pensignalan anorektik. Blokade aktivitas PI

3¢-kinase diduga terkait dengan mekanisme leptin dalam menyebabkan

hiperpolarisasi atau penghambatan neuron hipotalamik LRb/NPY/AgRP. Leptin

merangsang IRS-2 terkait dengan aktivitas PI 3¢-kinase pada hipotalamus, dan

secara farmakologis blokade PI 3¢-kinase pada hipotalamus akan menyebabkan

efek anorektik secara in vivo. Aktivitas PI 3¢-kinase juga dibutuhkan untuk fungsi

sistem saraf simpatik yang diatur oleh leptin dan juga untuk fungsi leptin lainnya

pada neuroendokrin dan regulasi imun. Pensignalan LRb melalui STAT3

memperantarai sebagian kerja dari leptin, yaitu penting bagi kerja melanokortin

hipotalamik. Disregulasi pensignalan melanokortin karena perubahan NPY

berkontribusi terhadap terjadinya obesitas. Jalur yang tidak tergantung

LRbÆSTAT3 akan mengatur kontrol gula darah, reproduksi, pertumbuhan, dan

kadar NPY sebagai respon dari leptin. Disimpulkan bahwa jalur Jak2-IRS

protein-PI 3¢-kinase merupakan perantara utama kerja LRb yang tidak tergantung STAT3

(H. Münzberg, 2005). Leptin menghambat sekresi insulin yang diinduksi oleh

(43)

17

Gambar 1. Regulasi dan Fungsi Neuroendokrin Leptin (Münzberg et al., 2005)

2.3. Resistensi Leptin

Obesitas telah menjadi masalah kesehatan pada dunia Barat dan menjadi

faktor risiko mayor untuk diabetes tipe 2 dan penyakit kardiovaskuler. Setelah

ditemukannya leptin, memberikan harapan bahwa terapi leptin eksogen dapat

menginduksi rasa kenyang dan penurunan berat badan pada manusia. Hal ini

terlihat dari hasil perlakuan memberikan leptin pada tikus dengan obesitas dengan

defisiensi leptin, dapat menurunkan rasa lapar dan memperbaiki neuroendokrin

yang terganggu. Oleh karenanya leptin telah digunakan sebagai terapi pada

kondisi hiperfagia dan kelainan endokrin terkait dengan defisiensi leptin dalam

tubuh yang menyebabkan obesitas pada penderitanya. Melalui terapi leptin

eksogen, telah terlihat keberhasilannya dalam mengendalikan rasa lapar dan juga

menurunkan berat badan pada manusia. Namun dalam beberapa kasus obesitas,

didapatkan kadar leptin dalam sirkulasi darah yang meningkat, dan tidak berespon

dengan pemberian leptin eksogen. Kondisi obesitas yang tidak respon baik

terhadap leptin endogen dan eksogen ini mengembangkan gagasan adanya kondisi

(44)

18

hampir sama dengan kondisi resistensi insulin pada diabetes tipe 2 (Münzberg et

al., 2005).

2.3.1 Resistensi Leptin – Defek Transport versus Defek Signal

Beberapa penelitan yang dilakukan masih memperdebatkan validitas dari

konsep resistensi leptin lebih sebagai kondisi fisiologis dan evolusi dari signal

pencegahan terhadap kurang nutrisi dibanding sebagai kondisi nutrisi berlebih.

Sebagai contoh yang dimaksud adalah kondisi alami leptin resisten yang bersifat

sementara pada perilaku mamalia pada musim tertentu dan kehamilan, dimana

intake makanan yang sangat meningkat menyebabkan deposit lemak dan

peningkatan kadar leptin tubuh (Münzberg et al., 2005).

Penelitian tentang mediator yang krusial dari resistensi leptin saat ini

masih belum jelas, namun pendapat yang paling dapat diterima sampai saat ini

adalah kegagalan leptin dalam sirkulasi untuk mencapai target pada otak melalui

inhibisi kaskade signal LRb. Mekanismenya saat ini masih dalam perdebatan;

beberapa pendapat menyatakan bahwa pergerakan leptin kedalam otak untuk

meregulasi keseimbangan melalui mekanisme transpor spesifik yang melewati

sawar darah otak (BBB) dan atau melalui organ circumventricular (CVO)

contohnya adalah median eminence (ME). Leptin secara langsung ditranspor

melewati BBB sistem transport saturable yang dimediasi oleh LR bentuk pendek.

Pada tikus dengan defisiensi reseptor leptin, didapatkan bahwa terjadi penurunan

transport leptin sirkuler ke dalam otak. Sejalan dengan hal tersebut diatas, pada

penelitian lainnya tikus dengan defisiensi LRb namun memiliki reseptor LRs

memperlihatkan kondisi transport yang normal dari sirkulasi ke dalam otak.

(45)

19

pada tikus dengan diet-induced-obese (DIO). Walaupun diketahui signal yang

menginduksi STAT3 adalah menurun terhadap signal leptin perifer pada tikus

dengan DIO, akan tetapi injeksi sentral leptin dapat memperbaiki aktivasi STAT3.

Hal ini semakin menguatkan bahwa sulitnya leptin perifer mencapai untuk

selanjutnya mengaktifkan hipotalamus adalah salah satu faktor penyebab

resistensi leptin. Beberapa investigasi berusaha memeriksa mekanisme penurunan

signal LRb pada sel kultur dan in vivo. Pada akhirnya didapatkan dua data yang

mempengaruhi penghambatan regulasi LRb, yaitu SOCS3 dan protein tyrosine

phospatase, PTP1B (Bjørbæk et al.,1998).

Overekspresi dari masing-masing protein pada kultur sel mempengaruhi

signal leptin. Tikus yang tidak memiliki reseptor PTP1B selain memiliki sifat

insulin sensitif, juga kurus dan bersifat hipofagia tanpa ditemukannya kelainan

neuroendokrin lainnya (Bjørbæk et al.,1998).

Gambar 2. Signal LRb (Münzberg et al., 2005)

Peranan SOCS3 dalam menghambat LRb secara in vivo terlihat dari

beberapa penelitian yang menunjukkan peningkatan kadar SOCS3 pada tikus

(46)

20

yang lebih kurus dan sinsitif terhadap leptin pada tikus yang kekurangan SOCS3

dalam system sarap pusatnya. Data menunjukkan bahwa PTP1B dan SOCS3 yang

fisiologis penting untuk mengatur signal LRb, meskipun seberapa kuat potensinya

masih belum diketahui (Van Heek, 1997; Bjørbæk et al.,1998) .

2.3.2. Telaah Anatomi Resistensi Leptin

Distribusi anatomi dari resistensi leptin baru-baru ini diselidiki pada tikus

DIO dengan memeriksa aktivasi signal leptin perifer terhadap STAT3. Baik dari

imunohistokimia maupun pemeriksaan mikroskopis inti hipotalamus, terlihat jelas

bahwa signal leptin dilemahan pada ARC, sedangkan pada hipotalamus dan ekstra

hipotalamus masih tetap sensitif terhadap leptin. Selain itu lokasi resistensi yang

spesifik itu erat hubungannya dengan peningkatan ekspresi SOCS3 pada ARC,

yang semakin menunjukkan peran ekpresi SOCS3 pada pathogenesis resistensi

leptin (Münzberg at al., 2005).

2.4. Hormon Inkretin

2.4.1 Penemuan Hormon Inkretin

Byaliss dan Starling menemukan secretin pada 1902, saat itu berkembang

teori bahwa saluran pencernaan mampu merangsang pelepasan hormon pancreas

melalui sinyal yang dilepaskan sebagai respon adanya nutrisi di saluran

pencernaan. Pada 1906, Moore mencoba menawarkan kemungkinan

menyembuhkan diabetes dengan menggunakan ekstrak duodenum. Zunz dan

Labare menyambut ide ini dengan melakukan serangkaian percobaan dengan

ekstrak usus, yang mampu membuat hewan percobaannya menjadi hipoglikemia.

Mereka memperkenalkan istilah Inkretin untuk substansi kimia yang terkandung

(47)

21

dimulai setelah ditemukannya radioummunoassay tahun 1960 oleh Yalow dan

Berson (Girard, 2008). Pada 1969, Uger dan Eisentraut memberikan nama

Entero Insular Axis” untuk menggambarkan hubungan antara saluran pencernaan

dengan pancreas (Green & Flatt, 2007). Creautzfelt memperkirakan aksis ini

melibatkan beberapa komponen diantaranya nutrisi, serat saraf, dan sinyal yang

signifikan dari usus kepada pancreas yang mampu merangsang pengeluaran

beberapa hormon seperti; insulin, glukagon dan somatostatin. Lebih jauh lagi

Creutzfelt memberikan batas pada aksis entero insular sebagai suatu proses yang

melibatkan nutrisi pada saluran cerna, khususnya karbohidrat. Dimana akan

dilepaskannya suatu sinyal pada taraf fisiologis akan menstimulasi pelepasan

insulin saat kadar gula darah mulai meningkat (Holst et al., 2009).

Mengacu pada batasan Cruetzfelt, saat itu GIP lah yang dapat disebut

inkretin. Gastric Inhibitory Polypeptide saat itu dikenal sebagai enterogastron

oleh karena mampu menghambat pelepasan asam lambung sebagai akibat

kehadiran lemak di lumen saluran pencernaan (Girard, 2008). Dupre pada 1973

mengemukakan pandangan bahwa GIP tidak hanya merupakan suatu

enterogastron tetapi juga suatu inkretin. Hal ini didasarkan pada percobaan yang

dilakukannya, dimana peningkatan aktivitas insulin lebih bermakna pada

pemberian GIP dan glukosa dibandingkan glukosa saja. Lebih jauh lagi ditemukan

bahwa GIP yang timbul sebagai hasil dari konsumsi lemak tidak akan

menimbulkan pengeluaran insulin bila tidak disertai kehadiran glukosa. Kondisi

ini sebenarnya merupakan efek protektif terhadap pelepasan insulin dimana efek

hipoglikemi tidak akan muncul. Kondisi inilah pula yang menyebabkan selain

(48)

22

asam lambung. GIP juga dikenal sebagai Glucose-dependent insulinotropic

polypeptide. Sehubungan dengan fungsinya sebagai enterogastron dan inkretin,

GIP banyak ditemukan pada daerah tengah dari villus duodenum, serta sangat

sedikit pada jejunum (Salvatore et al.,2007).

Gastric Inhibitory Polypeptide merupakan inkretin pertama yang

ditemukan. Tetapi para ahli pada tahun 1970, meyakini adanya inkretin kedua

setelah GIP. Hal ini dipertimbangkan dari adanya sekresi hormon pancreas yang

menyerupai respon inkretin pada saluran cerna saat hewan percobaan diberikan

ekstrak usus yang telah dimurnikan dari GIP. Penelitian dilakukan pada anglefish,

dimana ditemukan adanya suatu glucose related peptide (GRP) sebagai glucagon

related peptide yang dikodekan pada gen hewan ini. secara genetik GRP memiliki

homologi yang kuat dengan GIP. Glucose related peptide diyakini merupakan

inkretin berdasarkan analisa mRNA yang sesuai pada pancreas dan saluran

pencernaan Anglefish. Disamping itu ternyata ditemukan bahwa mRNA yang

dikloning dari manusia dan tikus identik dengan mRNA pancreas Anglefish.

Setelah adanya temuan ini para ahli semakin bersemangat mengidentidikasi

adanya inkretin selain GIP. Berdasarkan analisa cDNA preproglucagon pada

mamalia termasuk manusia. Ternyata ditemukan homologi pada cDNA GRP

Anglefish dan produk gen preproglucagon manusia, yang sekarang dikenal

sebagai GLP-1. Maka disimpulkanlah bahwa GLP-1 merupakan inkretin kedua

setelah GIP (Theodorakis et al., 2011).

Gastric Inhibitory Polypeptide merupakan suatu hormon yang dilepaskan

oleh sel K duodenum. Sel K terletak terbanyak pada awal duodenum. Pelepasan

(49)

23

disintesis dan dilepaskan oleh sel enteroendokrin, sel L, yang terletak pada distal

ileum dan usus besar. Sel L merupakan suatu sel dengan banyak granula sekretin

pada daerah basal lamina. Sel L merupakan sel terbanyak kedua setelah sel

enterochromafin. Sel L banyak terdapat pada distal jejunum, ileum, colon dan

terbanyak di rectum. Sel L ditemukan pada fetus manusia pada usia gestasi 8

minggu pada ileum serta 12 minggu pada colon (Theodorakis et al., 2011).

Gastric Inhibitory Polypeptide merupakan suatu peptida aktif 42 asam

amino dengan berat molekul 4984 Da. Sedangkan GLP-1 merupakan suatu

peptida non aktif 37 asam amino dengan berat molekul 3298 Da, dimana terdapat

enam asam amino pada akhir N-terminal. Bentuk aktif dari GLP-1 adalah suatu

gugus 17-36 amida. Konsentrasi kedua inkretin ini dalam plasma adalah 5-10

Pmol/L dan meningkat dalam 5-15 menit dari intake glukosa pada makanan.

GLP-1 memiliki dua bentuk molekul beredar yaitu GLP-GLP-17-37 dan GLP-GLP-17-36 amida.

Dalam sirkulasi, GIP dan GLP-1 dapat menurun dengan cepat sebagai akibat

metabolisme serta inaktivasi oleh enzim dipeptidyl peptidase IV (DPP-IV) yang

kemudian dikeluarkan lewat ginjal, meskipun demikian eksresi GLP-1 tidak

mengalami dampak yang bermakna pada penderita gangguan ginjal ringan ( GFR

≥ 60) (Jacobsen et al, 2009). Waktu paruh kedua inkretin ini sekitar 1-2 menit

untuk GLP-1 serta 5-7 menit untuk GIP (Girard, 2008).

2.5. GLP-1

Proglukagon terdiri dari dua Glucagon like peptide (GLP-1 dan GLP-2)

yang disekresi oleh sel enteroendokrin pada usus kecil dan usus besar. Glucagon

like peptide-1 merendahkan kadar glukosa darah pada diabetes mellitus tipe 2 dan

(50)

24

inhibisi pengosongan lambung, dan inhibisi sekresi glukagon. Glucagon like

peptide -1 juga mengatur sintesis glikogen pada jaringan adiposa dan otot.

Glucagon like peptide -1 diproduksi pada jaringan otak juga. Durasi kerja GLP-1

adalah singkat dikarenakan adanya enzim dipeptidil peptidase 4 (DPP-IV) yang

menguraikan GLP-1 pada ujung NH2 (Vilsbøll, 2001).

Terdapat penurunan respon GLP-1 postprandial pada orang dengan

obesitas. Dengan penurunan berat badan, respon GLP-1 membaik. Insulin

postprandial dan respon GIP memegang peranan penting pada regulasi napsu

makan jangka pendek (Drucker, 1998).

Semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa GLP-1 disebut bukan

hanya sebagai mediator yang berfungsi memperlambat motilitas usus saja, namun

juga menginduksi rasa puas setelah makan. Memberikan infus GLP-1 pada

manusia memperlihatkan efek meningkatnya rasa kenyang dan puas setelah

makan. Efek ini kemungkinan disebabkan karena memperlambat pengosongan

lambung, ditambah dengan adanya efek ke sistem saraf pusat untuk

mempengaruhi regulasi rasa lapar. Sebelumnya telah terbukti bahwa pada obesitas

terjadi penurunan respon dari GLP-1 postprandial, sejalan dengan hasil penelitian

lainnya yang menyebutkan terjadi penurunan sekresi produk proglukagon pada

subjek dengan obesitas. Efek penurunan berat badan terhadap induksi makanan

setelah diberikan GLP-1 diteliti terbatas pada subjek yang telah melakukan

prosedural pembedahan bypass jejunoileal. Hasil dari penelitian tersebut

memperlihatkan terjadi peningkatan GLP-1 pada subjek tersebut dibandingkan

pada subjek yang kurus. Prosedur bypass jejunoileal dapat mempengaruhi

pelepasan GLP-1, sehubungan dengan tereksposenya ileum terminalis dengan

(51)

25

Glucagon like peptide -1 dilepaskan oleh sel L dari usus, merupakan

insulin secretagogue yang potent. Regulasi sekresi GLP-1 telah dideskripsikan

baik secara in vivo dan in vitro pada berbagai spesies binatang, namun sangat

sedikit data dari sel manusia. Salah satu penelitian yang melihat hubungan

regulasi sekresi GLP-1 pada NCI-H716 sel usus halus manusia, menunjukkan

bahwa secara homogeny sel ini memproduksi 16,8 pmol GLP-1/mg protein

dengan pelepasan basal 4,2% setelah periode inkubasi selama 2 jam. Nutrien

seperti asam pamitat, asam oleat dan daging yang terhidrolisat menstimulasi

sekresi GLP-1 pada dosis tertentu, seperti halnya pada agonis charbacol dan

neuromediator gastrin-release peptide. Selama menstimulasi pelepasan GLP-1,

gastrin-releasing peptide, seperti ionomycin, meningkatkan jumlah calcium

intraseluler. Aktifator PKA dan PKC juga dapat meningkatkan sekresi GLP-1

pada sel NCI-H716. (Raylene, 2001)

Hipersekresi faktor insulinotropik seperti GLP-1 dan GIP telah

dipostulatkan sebagai kondisi hiperinsulinemia pada obesitas. Penelitian yang

dilakukan pada enam wanita kurus yang dipasangkan dengan enam wanita gemuk

pada usia yang sama, diperiksa respon kadar hormon inkretin, glukosa plasma,

dan serum trigliserida pada menit ke 180 setelah mendapatkan asupan karbohidrat

oral dan makan berlemak. Hasil dari penelitian ini menunjukkan penurunan

sekresi GLP-1 pada subjek gemuk setelah mendapatkan asupan karbohidrat oral

dibandingkan pada subjek penelitian kurus. Akan tetapi tidak terdapat perbedaan

kadar GLP-1 bermakna pada kedua subjek penelitian setelah mendapatkan asupan

makanan berlemak. Sementara kadar GIP tidak ada perbedaan bermakna pada

kedua subjek penelitian baik dengan asupan makanan berkabohidrat maupun

Gambar

Tabel 1. Prevalensi Sindrom Metabolik pada Populasi Tertentu di Asia (Ferrari,
Tabel 2. Klasifikasi IMT pada Dewasa Ras Eropa
Tabel 3. Klasifikasi IMT pada Orang Asia Dewasa
Tabel 4. Definisi Sindrom Metabolik Menurut ATP III
+3

Referensi

Dokumen terkait

Pengujian kadar air, berat jenis, penyusutan, kuat geser, kuat tarik sejajar arah serat,.. kuat tarik berlawanan arah serat, kuat tekan sejajar arah serat, kuat tekan

Fokus utama dalam penelitian ini adalah pembuatan dan karakterisasi OFET berbasis film tipis CuPc dengan struktur bottom-contact dan panjang channel 1 00 μm

Dalam sebuah usaha sudah sepantasnya memiliki sebuah system yang membantu pelaku usaha dalam melakukan transaksi dan mencatat semua pemasukan yang dihasilkan dari usaha

Sedangkan pabrik gula sebagai lembaga pengolahan sangat mempengaruhi motivasi petani terkait dengan transparansi dalam penentuan rendemen yang menjadi dasar tingkat bagi hasil

Dengan orientasi akademik yang baru dan dengan kecenderungan global saat ini, barangkali sudah saatnya bagi PTI di Indonesia untuk beralih dari sekedar searching

[r]

Berdasarkan analisis data oleh peneliti dan pembahasan pada bab IV, maka dapat disimpulkan bahwa, keseluruhan tingkat pengetahuan masyarakat Surabaya mengenai slogan

We are quickly losing our elder generation who lived in Tibet, and witnessed the Chinese invasion, so soon there will be no one left among us who has seen free Tibet, who can tell