• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

2.4. Hormon Inkretin

2.4.1 Penemuan Hormon Inkretin

yang lebih kurus dan sinsitif terhadap leptin pada tikus yang kekurangan SOCS3 dalam system sarap pusatnya. Data menunjukkan bahwa PTP1B dan SOCS3 yang fisiologis penting untuk mengatur signal LRb, meskipun seberapa kuat potensinya masih belum diketahui (Van Heek, 1997; Bjørbæk et al.,1998) .

2.3.2. Telaah Anatomi Resistensi Leptin

Distribusi anatomi dari resistensi leptin baru-baru ini diselidiki pada tikus DIO dengan memeriksa aktivasi signal leptin perifer terhadap STAT3. Baik dari imunohistokimia maupun pemeriksaan mikroskopis inti hipotalamus, terlihat jelas bahwa signal leptin dilemahan pada ARC, sedangkan pada hipotalamus dan ekstra hipotalamus masih tetap sensitif terhadap leptin. Selain itu lokasi resistensi yang spesifik itu erat hubungannya dengan peningkatan ekspresi SOCS3 pada ARC, yang semakin menunjukkan peran ekpresi SOCS3 pada pathogenesis resistensi leptin (Münzberg at al., 2005).

2.4. Hormon Inkretin

2.4.1 Penemuan Hormon Inkretin

Byaliss dan Starling menemukan secretin pada 1902, saat itu berkembang teori bahwa saluran pencernaan mampu merangsang pelepasan hormon pancreas melalui sinyal yang dilepaskan sebagai respon adanya nutrisi di saluran pencernaan. Pada 1906, Moore mencoba menawarkan kemungkinan menyembuhkan diabetes dengan menggunakan ekstrak duodenum. Zunz dan Labare menyambut ide ini dengan melakukan serangkaian percobaan dengan ekstrak usus, yang mampu membuat hewan percobaannya menjadi hipoglikemia. Mereka memperkenalkan istilah Inkretin untuk substansi kimia yang terkandung dari ekstrak usus ini. perkembangan muktahir penelitian mengenai inkretin

21

dimulai setelah ditemukannya radioummunoassay tahun 1960 oleh Yalow dan Berson (Girard, 2008). Pada 1969, Uger dan Eisentraut memberikan nama “Entero Insular Axis” untuk menggambarkan hubungan antara saluran pencernaan dengan pancreas (Green & Flatt, 2007). Creautzfelt memperkirakan aksis ini melibatkan beberapa komponen diantaranya nutrisi, serat saraf, dan sinyal yang signifikan dari usus kepada pancreas yang mampu merangsang pengeluaran beberapa hormon seperti; insulin, glukagon dan somatostatin. Lebih jauh lagi Creutzfelt memberikan batas pada aksis entero insular sebagai suatu proses yang melibatkan nutrisi pada saluran cerna, khususnya karbohidrat. Dimana akan dilepaskannya suatu sinyal pada taraf fisiologis akan menstimulasi pelepasan insulin saat kadar gula darah mulai meningkat (Holst et al., 2009).

Mengacu pada batasan Cruetzfelt, saat itu GIP lah yang dapat disebut inkretin. Gastric Inhibitory Polypeptide saat itu dikenal sebagai enterogastron oleh karena mampu menghambat pelepasan asam lambung sebagai akibat kehadiran lemak di lumen saluran pencernaan (Girard, 2008). Dupre pada 1973 mengemukakan pandangan bahwa GIP tidak hanya merupakan suatu enterogastron tetapi juga suatu inkretin. Hal ini didasarkan pada percobaan yang dilakukannya, dimana peningkatan aktivitas insulin lebih bermakna pada pemberian GIP dan glukosa dibandingkan glukosa saja. Lebih jauh lagi ditemukan bahwa GIP yang timbul sebagai hasil dari konsumsi lemak tidak akan menimbulkan pengeluaran insulin bila tidak disertai kehadiran glukosa. Kondisi ini sebenarnya merupakan efek protektif terhadap pelepasan insulin dimana efek hipoglikemi tidak akan muncul. Kondisi inilah pula yang menyebabkan selain disebut sebagai Gastric inhibitory polypeptide oleh karena menghambat sekresi

22

asam lambung. GIP juga dikenal sebagai Glucose-dependent insulinotropic polypeptide. Sehubungan dengan fungsinya sebagai enterogastron dan inkretin, GIP banyak ditemukan pada daerah tengah dari villus duodenum, serta sangat sedikit pada jejunum (Salvatore et al.,2007).

Gastric Inhibitory Polypeptide merupakan inkretin pertama yang ditemukan. Tetapi para ahli pada tahun 1970, meyakini adanya inkretin kedua setelah GIP. Hal ini dipertimbangkan dari adanya sekresi hormon pancreas yang menyerupai respon inkretin pada saluran cerna saat hewan percobaan diberikan ekstrak usus yang telah dimurnikan dari GIP. Penelitian dilakukan pada anglefish, dimana ditemukan adanya suatu glucose related peptide (GRP) sebagai glucagon related peptide yang dikodekan pada gen hewan ini. secara genetik GRP memiliki homologi yang kuat dengan GIP. Glucose related peptide diyakini merupakan inkretin berdasarkan analisa mRNA yang sesuai pada pancreas dan saluran pencernaan Anglefish. Disamping itu ternyata ditemukan bahwa mRNA yang dikloning dari manusia dan tikus identik dengan mRNA pancreas Anglefish. Setelah adanya temuan ini para ahli semakin bersemangat mengidentidikasi adanya inkretin selain GIP. Berdasarkan analisa cDNA preproglucagon pada mamalia termasuk manusia. Ternyata ditemukan homologi pada cDNA GRP Anglefish dan produk gen preproglucagon manusia, yang sekarang dikenal sebagai GLP-1. Maka disimpulkanlah bahwa GLP-1 merupakan inkretin kedua setelah GIP (Theodorakis et al., 2011).

Gastric Inhibitory Polypeptide merupakan suatu hormon yang dilepaskan oleh sel K duodenum. Sel K terletak terbanyak pada awal duodenum. Pelepasan GIP merupakan respon dari penyerapan glukosa dan lemak. Sedangkan GLP-1

23

disintesis dan dilepaskan oleh sel enteroendokrin, sel L, yang terletak pada distal ileum dan usus besar. Sel L merupakan suatu sel dengan banyak granula sekretin pada daerah basal lamina. Sel L merupakan sel terbanyak kedua setelah sel enterochromafin. Sel L banyak terdapat pada distal jejunum, ileum, colon dan terbanyak di rectum. Sel L ditemukan pada fetus manusia pada usia gestasi 8 minggu pada ileum serta 12 minggu pada colon (Theodorakis et al., 2011).

Gastric Inhibitory Polypeptide merupakan suatu peptida aktif 42 asam amino dengan berat molekul 4984 Da. Sedangkan GLP-1 merupakan suatu peptida non aktif 37 asam amino dengan berat molekul 3298 Da, dimana terdapat enam asam amino pada akhir N-terminal. Bentuk aktif dari GLP-1 adalah suatu gugus 17-36 amida. Konsentrasi kedua inkretin ini dalam plasma adalah 5-10 Pmol/L dan meningkat dalam 5-15 menit dari intake glukosa pada makanan. GLP-1 memiliki dua bentuk molekul beredar yaitu GLP-GLP-17-37 dan GLP-GLP-17-36 amida. Dalam sirkulasi, GIP dan GLP-1 dapat menurun dengan cepat sebagai akibat metabolisme serta inaktivasi oleh enzim dipeptidyl peptidase IV (DPP-IV) yang kemudian dikeluarkan lewat ginjal, meskipun demikian eksresi GLP-1 tidak mengalami dampak yang bermakna pada penderita gangguan ginjal ringan ( GFR

≥ 60) (Jacobsen et al, 2009). Waktu paruh kedua inkretin ini sekitar 1-2 menit

untuk GLP-1 serta 5-7 menit untuk GIP (Girard, 2008).

2.5. GLP-1

Proglukagon terdiri dari dua Glucagon like peptide (GLP-1 dan GLP-2) yang disekresi oleh sel enteroendokrin pada usus kecil dan usus besar. Glucagon like peptide-1 merendahkan kadar glukosa darah pada diabetes mellitus tipe 2 dan diabetes mellitus tipe 1 melalui stimulasi sekresi insulin yang glucose-dependent,

24

inhibisi pengosongan lambung, dan inhibisi sekresi glukagon. Glucagon like peptide -1 juga mengatur sintesis glikogen pada jaringan adiposa dan otot. Glucagon like peptide -1 diproduksi pada jaringan otak juga. Durasi kerja GLP-1 adalah singkat dikarenakan adanya enzim dipeptidil peptidase 4 (DPP-IV) yang menguraikan GLP-1 pada ujung NH2 (Vilsbøll, 2001).

Terdapat penurunan respon GLP-1 postprandial pada orang dengan obesitas. Dengan penurunan berat badan, respon GLP-1 membaik. Insulin postprandial dan respon GIP memegang peranan penting pada regulasi napsu makan jangka pendek (Drucker, 1998).

Semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa GLP-1 disebut bukan hanya sebagai mediator yang berfungsi memperlambat motilitas usus saja, namun juga menginduksi rasa puas setelah makan. Memberikan infus GLP-1 pada manusia memperlihatkan efek meningkatnya rasa kenyang dan puas setelah makan. Efek ini kemungkinan disebabkan karena memperlambat pengosongan lambung, ditambah dengan adanya efek ke sistem saraf pusat untuk mempengaruhi regulasi rasa lapar. Sebelumnya telah terbukti bahwa pada obesitas terjadi penurunan respon dari GLP-1 postprandial, sejalan dengan hasil penelitian lainnya yang menyebutkan terjadi penurunan sekresi produk proglukagon pada subjek dengan obesitas. Efek penurunan berat badan terhadap induksi makanan setelah diberikan GLP-1 diteliti terbatas pada subjek yang telah melakukan prosedural pembedahan bypass jejunoileal. Hasil dari penelitian tersebut memperlihatkan terjadi peningkatan GLP-1 pada subjek tersebut dibandingkan pada subjek yang kurus. Prosedur bypass jejunoileal dapat mempengaruhi pelepasan GLP-1, sehubungan dengan tereksposenya ileum terminalis dengan komponen makanan (Verdich at al., 2001)

25

Glucagon like peptide -1 dilepaskan oleh sel L dari usus, merupakan insulin secretagogue yang potent. Regulasi sekresi GLP-1 telah dideskripsikan baik secara in vivo dan in vitro pada berbagai spesies binatang, namun sangat sedikit data dari sel manusia. Salah satu penelitian yang melihat hubungan regulasi sekresi GLP-1 pada NCI-H716 sel usus halus manusia, menunjukkan bahwa secara homogeny sel ini memproduksi 16,8 pmol GLP-1/mg protein dengan pelepasan basal 4,2% setelah periode inkubasi selama 2 jam. Nutrien seperti asam pamitat, asam oleat dan daging yang terhidrolisat menstimulasi sekresi GLP-1 pada dosis tertentu, seperti halnya pada agonis charbacol dan neuromediator gastrin-release peptide. Selama menstimulasi pelepasan GLP-1, gastrin-releasing peptide, seperti ionomycin, meningkatkan jumlah calcium intraseluler. Aktifator PKA dan PKC juga dapat meningkatkan sekresi GLP-1 pada sel NCI-H716. (Raylene, 2001)

Hipersekresi faktor insulinotropik seperti GLP-1 dan GIP telah dipostulatkan sebagai kondisi hiperinsulinemia pada obesitas. Penelitian yang dilakukan pada enam wanita kurus yang dipasangkan dengan enam wanita gemuk pada usia yang sama, diperiksa respon kadar hormon inkretin, glukosa plasma, dan serum trigliserida pada menit ke 180 setelah mendapatkan asupan karbohidrat oral dan makan berlemak. Hasil dari penelitian ini menunjukkan penurunan sekresi GLP-1 pada subjek gemuk setelah mendapatkan asupan karbohidrat oral dibandingkan pada subjek penelitian kurus. Akan tetapi tidak terdapat perbedaan kadar GLP-1 bermakna pada kedua subjek penelitian setelah mendapatkan asupan makanan berlemak. Sementara kadar GIP tidak ada perbedaan bermakna pada kedua subjek penelitian baik dengan asupan makanan berkabohidrat maupun lemak (Ranganath et al., 1996).

Dokumen terkait