1.6 Metode Penelitian
1.6.1 Objek Penelitian
Objek penelitian ini dapat dibedakan atas dua kategori, yaitu objek formal dan objek material. Objek formal penelitian ini adalah ide, gagasan, sejarah, dan
nilai-nilai hakiki yang terkandung dalam pidato adat pemberian gelar kepada laki-laki dalam budaya dan masyarakat Minangkabau. Objek materialnya adalah teks-teks pidato adat MG beserta konteks-teksnya. Objek material adalah data utama (primer) dalam penelitian ini yang diperoleh dengan cara membuat rekaman audio dan visual, dan juga teks hasil transkripsi. Ada empat teks yang dipakai sebagai sumber data utama dalam penelitian ini, yakni satu teks diperoleh dari rekaman audio, dua teks dari hasil transripsi yang telah dilakukan Rosa (2003) dan Devina (2006), dan satu teks lagi bersumber dari transkripsi teks pidato adat yang telah dilakukan oleh St. Mahmoed.
Empat korpus yang menjadi sumber data penelitian ini terdiri atas tiga korpus teks pidato adat Malewakan Gala Penghulu (selanjutnya disebut MGP) yang berasal dari Luhak Limopuluah Koto, Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, dan satu teks pidato adat Malewakan Gala Marapulai (selanjutnya disebut MGM) yang berasal dari daerah Pauah, Kota Padang. Pemilihan empat korpus sebagai sumber data didasarkan atas pertimbangan wilayah budaya di Minangkabau dan jenis teks pidato adat MG. Disamping itu, pertimbangan karakteristik adat dan bentuk sistem pemerintahan tradisional di Minangkabau juga menjadi dasar pemilihan atas keempat korpus tersebut. Kedua kriteria tersebut yakni, karakteristik adat dan bentuk sistem pemerintahan tradisional yang berkembang di (a) wilayah darek (zona of culture central); dan (b) wilayah rantau (zona of
culture margin). Kedua kriteria ini dipakai sebagai dasar pembedaan sifat dan
karakteristik adat dan sistem pemerintahan tradisional di Minangkabau, yakni sifat dan karakteristik yang melekat pada wilayah darek dan wilayah rantau.
Wilayah darek merupakan suatu kawasan di Minangkabau yang dipandang sebagai tempat lahirnya adat dengan segala ketentuannya, sehingga aspek adat dan budaya yang berkembang di kawasan darek terasa sangat kental. Di kawasan
darek inilah adat istiadat Minangkabau disusun dan diatur oleh nenek moyang
suku bangsa Minangkabau. Kawasan darek secara tradisional dibagi atas tiga wilayah (luhak), yakni: Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, dan Luhak Limopuluah
Koto Koto. Wilayah darek ini terletak di daerah dataran tinggi dan lembah-lembah
yang terhampar diantara tiga buah gunung, yakni Gunung Marapi, Singgalang dan Tandikek. Sebaliknya, wilayah rantau merupakan daerah perluasan dan kolonisasi wilayah darek, yang selanjutnya menjadi pintu masuk bagi perdagangan. Wilayah rantau berada di sepanjang pesisir pantai Barat Sumatera. Di daerah rantau banyak terdapat bandar-bandar dagang. Daerah rantau identik dengan perubahan, keterbukaan, memiliki tingkat responsif yang lebih tinggi terhadap nilai-nilai dan pengaruh budaya luar. Kawasan darek dipimpin oleh para penghulu, sedangkan daerah rantau menjadi hak dan wewenang raja-raja. Ketentuan tentang hak dan wewenang ini diatur melalui sebuah adagium adat Minangkabau yang berbunyi
luhak bapangulu, rantau barajo (luhak berpenghulu, rantau memiliki raja).
Adagium adat ini secara implisit bermakna bahwa sistem berpenghulu dikenal di daerah darek, sedangkan sistem beraja-raja dikenal di daerah rantau. Sistem dan tata cara mendirikan penghulu berpedoman kepada aturan mendirikan penghulu di daerah darek. Bila ternyata di kemudian hari ditemukan peristiwa mendirikan penghulu di luar kawasan darek, penyelenggaraan peristiwa mendirikan penghulu itu dan segala aturannya tidak terlepas dari ketentuan yang
terjadi di kawasan darek sebagai wilayah culture center. Atas dasar ketentuan seperti ini, maka titik pengamatan wilayah penelitian untuk pengumpulan data yang terkait dengan mendirikan penghulu (Malewakan Gala Pangulu) dibatasi hanya pada ketiga wilayah luhak ini saja, yakni yang termasuk kedalam kriteria kawasan wilayah culture center, tanpa menyertakan teks sejenis yang terdapat di kawasan daerah rantau. Kriteria yang demikian menjadi alasan mengapa hanya tiga teks pidato adat MGP di wilayah darek saja yang dipilih dalam penelitian ini.
Selanjutnya, untuk kawasan wilayah rantau yang juga mengenal tradisi MG, diputuskan sebagai titik pengamatan untuk jenis teks pidato adat yang diselenggarakan untuk marapulai (mempelai laki-laki). Teks sejenis tidak lazim ditemukan di kawasan darek, kecuali di Luhak Agam. Dengan demikian, satu teks pidato adat dipilih untuk mewakili wilayah budaya rantau, yakni teks pidato adat yang disampaikan ketika pelaksanaan tradisi MGM di daerah Pauh, kota Padang. Berdasarkan kriteria dan aturan seperti ini, maka terdapat empat buah teks pidato adat MG yang dijadikan sumber data primer dalam penelitian disertasi ini. Empat teks tersebut, sebagaimana telah disebutkan terdahulu terdiri atas tiga buah teks pidato adat MGP dan satu buah teks pidato adat MGM. Keempat teks pidato adat tersebut terdiri dari ratusan dan bahkan ribuan larik dalam satu korpus. Keempat jenis teks yang menjadi objek penelitian ini memiliki jumlah baris yang berbeda-beda. Teks A terdiri atas 473 baris, teks B terdiri atas 519 baris; teks C terdiri atas 2218 baris, dan teks D terdiri atas 727 baris.
Teks A berasal dari Luhak Limo Puluah Koto yang diperoleh melalui proses rekaman langsung di lapangan. Teks A ini terbangun atas campuran kalimat
pidato yang bersifat naratif dengan pantun-pantun. Pada teks A ditemukan sebanyak 17 buah pantun, yang terdiri atas : 12 buah pantun empat baris; 2 buah pantun 6 baris (karmina); 1 buah pantun delapan baris; 1 buah pantun 10 baris; dan 1 buah pantun lima baris. Pola persajakan (rima) yang ditemukan pada pantun-pantun tersebut adalah aa aa; aa bb; ab ba; abc abc; abcd abcd; dan juga terdapat pola rima yang tak sempurna.
Teks B berasal dari Luhak Tanah Datar yang diperoleh dari hasil transkripsi tertulis yang dilakukan oleh St. Mahmoed. Teks ini didapatkan dalam buku yang berjudul Himpunan Tambo Minangkabau dan Bukti Sejarah yang telah ditulis oleh St. Mahmoed B.A. dan A. Manan Rajo Pangulu. Buku ini tanpa tahun penerbitan. Akan tetapi setidaknya dapat diperkirakan dari waktu pembuatan bagian Kata Pengantar; yakni tertulis tanggal 1 Agustus 1978 dan ditulis di Limo Kaum; yaitu salah satu nama nagari di Minangkabau yang termasuk ke dalam kawasan Luhak Tanah Datar. Teks B adalah yang paling tua dari keempat jenis teks yang dipakai dalam penelitian ini. Pemilihan tahun terbit teks yang lama dan yang dimuat dalam sebuah buku Tambo, dipandang menarik untuk melihat adakah faktor kemiripan pola formula yang dipakai oleh juru pidato adat dari waktu ke waktu. Teks B juga dibangun atas rangkaian kalimat-kalimat pidato yang bersifat naratif dan pantun-pantun. Pada teks B terdapat 26 buah pantun empat baris. Pola persajakan yang ditemukan dalam teks B yakni ab ab sebanyak 25 buah pantun dan aa aa hanya 1 buah pantun. Pada teks B tidak ditemukan pantun yang memiliki persajakan tidak sempurna.
Teks C berasal dari Luhak Agam, yang diperoleh dari hasil transkripsi yang telah dilakukan oleh Yadri Devina pada tahun 2005 dalam penelitian skripsi S1 di Fakultas Sastra Universitas Andalas, yang berjudul ”Teks Pidato Pasambahan Batagak Panghulu: Tinjauan Semiotik”. Pada Teks C ditemukan 59 pantun yang dikombinasikan untuk melengkapi kalimat-kalimat pidato yang bersifat naratif. Pantun-pantun yang memperkaya bangunan pidato pada teks C ini terdiri atas:
- 37 buah pantun empat baris yang terdiri atas: pola persajakan ab ab (32 buah), aa aa (3 buah), ab ac (1 buah), ab cd (1 buah), ab cb (1 buah) dan
ab ac (1 buah);
- 16 buah pantun enam baris yang terdiri atas pola persajakan abc abc (12 buah), abc abd (2 buah), aba aba (1 buah); dan aab aab (1 buah);
- 2 buah pantun delapan baris dengan pola persajakan abca aacd dan abcd
acbd;
- 2 buah pantun sepuluh baris dengan pola persajakan abcde abcde; - 1 buah pantun 12 baris dengan pola persajakan abcabdabcbad; - 1 buah pantun 7 baris dengan pola persajakan abc abd e .
Teks D berasal dari daerah Pauh di kawasan pesisir kota Padang. Teks ini diperoleh dari hasil transkripsi dan transliterasi yang telah dilakukan oleh Silvia Rosa pada tahun 2003 dalam Tesis S2 di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, yang berjudul “Teks Pidato Pasambahan Batagak Gala di Minangkabau dalam Perspektif Semiotik Roland Barthes”. Teks D berbeda dengan tiga teks yang telah disebutkan terdahulu. Teks D digunakan sebagai pidato adat dalam pelaksanaan tradisi MG untuk mempelai laki-laki, sedang ketiga
teks terdahulu digunakan dalam pelaksanaan tradisi MG untuk para penghulu (pemimpin adat). Teks D mengandung 30 buah pantun yang terdiri atas:
- 26 buah pantun empat baris yang terdiri atas pola persajakan ab ab (22 buah), aa aa (1 buah), ab bc (1 buah), 2 buah pantun lima baris dengan pola persajakan cacat;
- 3 buah pantun enam baris yang terdiri atas pola persajakan abc abc (1 buah); aaa bbb (1 buah), dan aaa aaa (1 buah);
- 1 buah pantun delapan baris yang mempunyai pola persajakan kacau atau tidak sempurna, namun memiliki persamaan bunyi di awal larik.
Untuk menganalisis struktur teks dan struktur isi pidato adat dilakukan perbandingan terhadap keempat teks. Kajian perbandingan dimaksudkan untuk menemukan pola formula dan formulaik pada keempat teks tersebut. Perbandingan juga berguna untuk memperlihatkan keterpakaian pola frasa dan atau kalimat yang sama pada keempat teks ketika menyatakan landasan berfikir atau tolok ukur melaksanakan pewarisan gelar kepada laki-laki dalam masyarakat Minangkabau. Pola frasa yang dimaksudkan adalah yang dinyatakan melalui ungkapan ”ketek banamo, gadang bagala” (kecil mempunyai nama, besar diberi gelar). Tahun pengumpulan teks yang berbeda-beda dipandang menarik untuk melihat faktor persamaan dan perbedaan pola formula yang dipakai oleh juru pidato adat dari waktu ke waktu di tempat yang berbeda-beda. Apakah terdapat formula yang khas pada tiap daerah atau terjadi saling ambil dan atau saling mempengaruhi dalam hal penyampaian pidato adat yang dilakukan oleh si juru pidato.