• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. tumbuh dan berkembang dalam ingatan masyarakat pendukungnya dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. tumbuh dan berkembang dalam ingatan masyarakat pendukungnya dan"

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)

1 1.1 Latar Belakang Masalah

Kesusasteraan merupakan kumpulan hasil karya seni yang menggunakan kata-kata sebagai media, baik yang dituliskan (misalnya pada kertas, kulit kayu, kulit binatang, lontar, dan lain sebagainya), maupun yang tidak dituliskan (yang tumbuh dan berkembang dalam ingatan masyarakat pendukungnya dan disampaikan secara lisan/oral). Sebagai karya seni yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, karya sastra tidak akan terlepas dari masyarakat tempat karya sastra itu hidup. Hubungan timbal balik yang terangkai antara karya sastra sebagai salah satu hasil cipta seni dengan masyarakat sebagai penikmat dan bahkan yang direfleksikan oleh karya sastra itu sendiri, membuka jalan untuk melihat dan mempelajari masyarakat melalui karya-karya sastra yang dihasilkannya, baik melalui karya sastra tertulis maupun sastra tidak tertulis.

Karya sastra tidak tertulis (lazim disebut juga sastra lisan) dapat menjadi salah satu pintu masuk untuk memahami alam pikiran masyarakat yang memproduksinya. Di balik sastra lisan yang dihasilkan, terkandung gagasan dan sejarah penting tentang masyarakat itu sendiri, tidak terkecuali karya-karya sastra lisan yang yang hidup di tengah masyarakat Minangkabau. Penelitian terhadap sastra lisan Minangkabau yang merupakan bagian dari kekayaan budaya dan

(2)

tradisi lisan dalam masyarakat Minangkabau, dapat membuka informasi tentang kebudayaan1 dan masyarakat2 Minangkabau.

Salah satu bentuk sastra lisan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Minangkabau adalah pidato adat. Pidato adat adalah pidato yang disampaikan dalam bahasa adat.3 Bahasa adat yang dimaksudkan adalah bahasa Minangkabau ragam khusus. Kekhususan bahasa pidato adat, menurut Navis (1986: 252), diperlihatkan oleh gaya bahasa yang dipakai. Gaya bahasa dan ungkapannya merupakan hasil kesusasteraan yang sama mutunya dengan kaba4 dan pantun.5 Struktur kalimat pidato biasanya panjang-panjang. Setiap kalimat memiliki banyak anak kalimat. Tiap-tiap kalimat dan anak kalimat terdiri atas empat kata. Di samping itu, dalam pidato adat dibangun kesejajaran berbagai

1

Kebudayaan dalam antropologi adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Kata kebudayaan itu sendiri berasal dari kata Sanskerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti ”budi” atau ”akal”. Dengan demikian, kebudayaan dapat diartikan: ”hal-hal yang bersangkutan dengan akal” (Koentjaraningrat, 1986: 179-181).

2

Istilah masyarakat sendiri berasal dari kata Arab syaraka yang berarti ”ikut serta, berpartisipasi”. Koentjaraningrat menyatakan bahwa masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling bergaul, saling berinteraksi, dan mempunyai ikatan khusus. Ikatan khusus yang dimaksud adalah pola tingkah laku yang khas mengenai semua faktor kehidupannya dalam batas kesatuan itu, dan pola tingkah lalu itu harus bersifat mantap dan kontinyu; dengan kata lain pola khas itu sudah menjadi adat istiadat yang khas. Ikatan khusus juga dibangun oleh rasa kesamaan identitas diantara para warga dan anggotanya. Selain itu, ikatan khusus juga dibentuk oleh adanya suatu sistem norma yang menyeluruh. Berdasarkan ketiga ciri itu, Koentjaraningrat merumuskan definisi sebagai berikut: masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama (Ibid: 143-146).

3

Pidato adat merupakan salah satu hasil kesusateraan Minangkabau terpenting di samping pantun dan kaba (Navis, 1986: 232).

4

Kaba adalah salah satu cerita rakyat Minangkabau di samping dongeng, hikayat, dan cerita lainnya. Bahasa yang dipakai dalam kaba bersifat liris, mengandung ungkapan-ungkapan yang plastis, dan terdiri dari unsur pantun yang cukup dominan (Ibid: 243-252).

5

Pantun adalah buah kesusasteraan Minangkabau terpenting. Pantun menjadi buah bibir, bunga kaba, dan hiasan pidato dalam karya sastra Minangkabau (Ibid: 232-242).

(3)

kapan yang sinonim sebagai cara untuk menegaskan masalah yang sedang dibicarakan. Ungkapan-ungkapan itu juga berfungsi sebagai bungo pidato.

Pidato adat dinamakan juga sebagai “pakaian penghulu”, karena pidato adat menjadi bagian yang penting dalam upacara-upacara adat. Ia terintegrasi ke dalam tubuh seremonial adat, dan melalaui pidato itu ditentukan sah atau tidaknya keputusan-keputusan adat. Seorang penghulu (pimpinan adat) perlu memiliki kemahiran berpidato adat. Setiap acara dan upacara dalam masyarakat Minangkabau memerlukan kemahiran pidato adat, seperti dalam acara perkawinan, kenduri dan perjamuan, upacara kematian, penobatan penghulu, serta kerapatan kaum atau kerapatan nagari di balai adat.

Pidato adat dalam acara penobatkan atau pengukuhan penghulu merupakan salah satu bentuk pidato adat yang panjang dan kompleks. Kompleksitas terlihat pada struktur kalimat yang panjang-panjang, dengan banyak anak kalimat, mengandung pantun-pantun, ungkapan-ungkapan adat yang disampaikan dengan gaya bahasa yang khas dan menggunakan bahasa berkias. Pidato adat penobatan penghulu biasanya dilakukan dalam sebuah tradisi Malewakan Gala (seterusnya

disingkat dengan MG). Tradisi Malewakan Gala adalah suatu tradisi yang

dilakukan oleh masyarakat Minangkabau untuk melewakan (meresmikan) pewarisan gelar adat yang diwariskan kepada seorang laki-laki, baik ketika ia menjadi seorang mempelai, maupun ketika seorang laki-laki dipilih menjadi pemimpin adat (penghulu) dalam masyarakat Minangkabau.

Pidato adat ini disampaikan seseorang yang dipilih sebagai juru pidato yang sekaligus berkedudukan sebagai pemuka adat. Biasanya juru pidato memangku

(4)

jabatan sebagai ninik mamak di suatu nagari. Juru pidato berperan sebagai wakil kaum (orang sesuku) dari suku yang sedang dilewakan atau diresmikan gelarnya.

Tradisi MG adalah tradisi yang dilakukan ketika seorang laki-laki diberi gelar adat oleh kerabat dari pihak garis ibu (matrilineal).6 Pemberian gelar adat kepada seorang laki terjadi pada dua kondisi: pertama, ketika seorang laki-laki memasuki masa pernikahan; kedua, ketika seorang laki-laki-laki-laki dipilih sebagai pemimpin adat (penghulu). Pada kedua kondisi ini, keberadaan laki-laki dalam pandangan budaya masyarakat Minangkabau akan diwariskan gelar adat.7 Akan tetapi, kedua kondisi tersebut tidak bermakna dapat saling berkelanjutan. Artinya, tidak selalu laki-laki yang sudah diberi gelar ketika menikah kemudian otomatis akan dipilih lagi untuk menerima gelar adat dan berfungsi sebagai pemimpin adat. Seorang pemimpin adat adalah orang yang benar-benar dipilih oleh kerabat atau kaumnya.8

6

Khusus terjadi di wilayah Pariaman terdapat tradisi pewarisan gelar bangsawan dari ayah kepada anak laki-laki. Gelar yang diwariskan di daerah Pariaman tidak sama dengan gelar adat yang lazim berlaku di daerah Minangkabau pada umumnya. Gelar di daerah Pariaman yang diwariskan menurut garis bapak ini bersifat perbedaan status sosial, mirip dengan pembedaan orang dalam kasta-kasta. Ada tiga gelar yang lazim diwariskan tersebut yaitu: sutan, bagindo, dan sidi. Laki-laki yang diwarisi gelar sutan menandakan asal usul ayahnya dari Luhak nan Tigo. Gelar bagindo yang diberikan pada seorang anak laki-laki menandakan asal usul ayahnya dari keluarga bangsawan Pagaruyung. Gelar sidi menandakan asal usul ayahnya berasal dari prajurit Aceh. Pariaman lama dikuasai Aceh sebelum dikuasai Belanda.

7

Gelar adat merupakan sako (warisan) yang tidak bersifat benda. Sako dalam pengertian adat Minangkabau adalah segala kekayaan asal yang tidak berwujud atau harta tua berupa hak atau kekayaan tanpa wujud. Gelar adat Minangkabau adalah salah satu dari kekayaan immaterial yang disebut juga dengan Pusako Kagadangan (Pusaka Kebesaran). Ada 4 macam Pusako Kebesaran, yaitu: gelar penghulu, garis keturunan ibu (matrilineal), pepatah-petitih dan hukum adat, dan tata krama atau adat sopan santun (Amir M.S., 1997: 90).

8

Tradisi ini ”hidup” di wilayah budayanya sendiri. Kalaupun ada orang Minang yang tinggal di rantau diwarisi gelar (penghulu), biasanya pelaksanaannya dilakukan di kampung halaman, yaitu Sumatera Barat. Oleh karenanya, penelitian ini mengamati atau mempelajari tradisi Malewakan Gala di daerah Minangkabau yang termasuk ke dalam wilayah Provinsi Sumatera Barat saja.

(5)

Dalam struktur kekerabatan yang bersifat matrilineal sebagai yang dianut masyarakat Minangkabau, kedudukan kaum perempuan dipandang menempati posisi yang beruntung. Keberuntungan perempuan adalah karena pewarisan harta pusaka, rumah, anak, dan sebagainya “dipegang” oleh pihak perempuan. Harta pusaka kaum menjadi milik perempuan secara turun-temurun. Akan tetapi, mengapa gelar adat sebagai salah satu bentuk dari harta pusaka kaum diwariskan kepada laki-laki? Mengapa perempuan tidak memperoleh hak yang sama dengan laki-laki di mata adat Minangkabau, terutama berkaitan dengan gelar ini?9 Pertanyaan ini menjadi titik awal keberangkatan studi ini dilakukan dan juga sekaligus menjadi tujuan akhir yang hendak diraih. Pembongkaran terhadap pertanyaan yang menjadi titik sentral studi ini dilakukan melalui ”pintu masuk” sastra, yaitu sastra lisan pidato adat yang dilaksanakan dalam tradisi MG di Minangkabau.

Tradisi MG terdiri atas beberapa tahapan. Khusus untuk MG kepada pemimpin adat, prosedurnya cukup panjang. Diawali dengan musyawarah dan mufakat kaum tentang orang yang patut dan pantas menerima pewarisan gelar

9

Pola garis keturunan matrilineal memunculkan satu nenek moyang utama dalam tiap-tiap generasi, yaitu ibu si ibu, ibu dari nenek, seterusnya ibu dari nenek lagi, dan seterusnya demikian ke atas. Dengan demikian, kekerabatan dikelompokkan berdasarkan garis ibu. Pada kelompok masyarakat yang menganut pola kekerabatan matrilineal, peranan kepala keluarga dipegang oleh saudara laki-laki ibu dan bukan oleh sang ayah. Pola menetap dalam sistem kekerabatan matrilineal ini bersifat matrilocal, yaitu setelah menikah sang suami akan menetap di desa (rumah) sang isteri. Tidak perlu disangsikan lagi bahwa dalam struktur kekerabatan seperti ini terdapat efek psikologis tertentu dalam hubungan psikososial di antara anggota-anggota keluarga. Pola menetap yang matrilocal seakan memunculkan perasaan bahwa perempuanlah yang mempunyai kedudukan dalam keluarga, mungkin akan demikian kuatnya, sehingga sang suami dianggap sebagai semacam orang luar dalam lingkungan keluarga isterinya, seperti halnya yangb terjadi pada orang Zuni (salah satu suku Indian di Amerika Serikat), yakni suami merasa menderita karenanya. Di rumah isterinya, sang suami tidak mempunyai kedudukan apapun, kecuali kedudukan yang diperolehnya karena sudah lama tinggal di sana serta rasa hormat terhadap dirinya yang ditunjukkan oleh kerabat pihak isterinya. Lebih lanjut, periksa (T.O. Ihromi, 1980: 82-86).

(6)

adat, setelah itu dilanjutkan dengan musyawarah di tingkat nagari. Hal-hal yang dimusyawarahkan adalah siapa yang akan menerima hak waris, apa gelar adat yang akan diwariskan, dan juga teknis pelaksanaan alek malewakan gala (pesta peresmian gelar) tersebut. Pelaksanaan alek malewakan gala ini biasanya harus diikuti dengan penyembelihan kerbau, sebagai syarat untuk diangkatnya seorang penghulu. Daging kerbau itu dimasak dan dimakan bersama sesudah melaksanakan alek malewakan gala, khususnya pada penobatan penghulu baru. Acara makan bersama itu digelar dalam jamuan atau makan bajamba10 di rumah gadang.

Hal ini berbeda dengan alek malewakan gala kepada seorang laki-laki yang akan melaksanakan pernikahan. Untuk kondisi ini tidak berlaku prosedur yang rumit, sebab pewarisan gelar pada kondisi ini biasanya dirangkaikan dengan upacara perkawinan. Pewarisan gelar dilakukan sehari sebelum marapulai (mempelai laki-laki) bersanding di pelaminan dengan anak daro (mempelai perempuan). Gelar diwariskan oleh kerabat kepada seorang laki-laki yang berhak mendapatkannya, setelah melalui proses musyawarah dan mufakat. Permusyawarahan dan permufakatan dilakukan di antara sesama anggota kerabat (kaum) yang terdiri dari para ninik mamak. Hasil permusyawarahan dan permufakatan diumumkan dalam acara puncak, yaitu tradisi MG. Pada acara puncak itu seluruh kerabat, masyarakat, tokoh formal dan informal diundang dalam seremonial itu.

10

Makan bajamba adalah makan bersama secara adat. Makanan dihidangkan dalam beberapa wadah dan setiap wadah dikelilingi oleh beberapa orang (sekitar 4 orang), kemudian makanan tersebut disantap secara bersama-sama.

(7)

Tradisi MG merupakan sebuah ritual adat yang hingga saat ini masih dilaksanakan oleh masyarakat Minangkabau, baik yang berdiam di kawasan

darek, maupun yang berada di kawasan pasisia.11 Tradisi itu masih dilakukan hingga kini karena diatur oleh adat istiadat Minangkabau. Adat Minangkabau mengatur pentingnya pelaksanaan tradisi tersebut melalui sebuah ungkapan adat yang berbunyi ”ketek banamo gadang bagala” (kecil memiliki nama, besar diberi gelar). Ungkapan ini dipandang menjadi alasan penting dalam tradisi MG. Ungkapan ini diulang-ulang dan selalu dituturkan dalam berbagai kesempatan adat, termasuk dalam tradisi MG. Bila pemberian gelar dilakukan kepada seorang pemimpin adat, apakah ungkapan yang berlaku sebagai dasar pijakannya masih ”ketek banamo gadang bagala” yang menjadi alasan pentingnya? Bila ternyata benar, maka ungkapan ini benar-benar menjadi patokan utama dalam tradisi tersebut. Bila ternyata tidak, perlu dilacak lebih lanjut dan dikaji keterkaitannya dengan ungkapan ”ketek banamo gadang bagala” itu.

Ungkapan “ketek banamo, gadang bagala” (kecil memiliki nama, besar diberi gelar) yang menjadi landasan pelaksanaan tradisi pemberian gelar selalu saja dituturkan dan digunakan secara sosial oleh masyarakat Minangakabau di

11

Secara tradisional, wilayah budaya Minangkabau terdiri atas kawasan luhak, dan rantau; yang juga identik dengan darek dan pasisia. Luhak adalah daerah-daerah yang termasuk ke dalam kawasan inti wilayah budaya Minangkabau (disebut juga Luhak nan Tigo), sedangkan rantau adalah daerah-daerah lain yang tidak termasuk ke dalam kawasan Luhak nan Tigo. Wilayah Luhak nan Tigo itu pun terdiri dari 3 kawasan, yaitu Luhak Tanah Data, Luhak Agam, dan Luhak Limopuluah Koto. Sebaliknya, rantau adalah daerah di luar Luhak nan Tigo yang masih termasuk ke dalam wilayah budaya Minangkabau. Wilayah luhak terletak di daerah dataran tinggi, dinamakan dengan darek, sedangkan rantau terletak di daerah dataran rendah dan juga pesisir pantai, yang oleh karenanya seringkali di sebut juga sebagai kawasan pasisia (pesisir). Luhak dan rantau atau darek dan pasisia kontroversial secara adat istiadat yang berlaku. Luhak lebih kental adat istiadatnya, sedangkan rantau sebaliknya (Mansoer, dkk, 1970)

(8)

berbagai kesempatan. Artinya, ungkapan ini telah menjadi pesan yang selalu dituturkan dan digunakan di berbagai kesempatan oleh masyarakat Minangkabau.

Terkait dengan pesan yang masih tetap bertahan, selalu dituturkan, dan digunakan secara sosial oleh masyarakat ini, tampaknya bisa dijelaskan dengan pandangan Barthes (1993: 109) tentang mitos. Bagi Barthes, segala hal dapat menjadi mitos bila ia dikatakan, dituturkan, dan digunakan secara sosial.

1.2 Rumusan Masalah

Bertolak dari latar belakang di atas, masalah yang ingin dijawab dalam disertasi ini adalah mengapa terjadinya penyimpangan aturan pewarisan harato

pusako (harta pusaka) yang seharusnya harato pusako (pusaka) hanya dijatuhkan

untuk kaum perempuan sebagai pemilik dan pemakainya. Akan tetapi, kemudian disimpangi untuk kasus pewarisan harato pusako, yaitu yang berupa gelar adat (sako) dengan menjatuhkan pewarisannya kepada laki-laki. Sako itu sendiri saat kini adalah salah satu bagian dari harato pusako dalam masyarakat Minangkabau. Pewarisan gelar sako itu diturunkan secara terus-menerus oleh masyarakat Minangkabau lewat tradisi MG. Bahkan, pemberian gelar adat kepada laki-laki oleh masyarakat Minangkabau dipahami sebagai suatu keniscayaan, alamiah, dan sudah demikian adanya sejak dahulu kala. Karena kajian ini berfokus pada aspek sastra lisan pidato adat dalam tradisi MG, untuk menjawab masalah di atas, terlebih dahulu perlu dijawab beberapa pertanyaan berikut.

1. Bagaimana struktur teks pidato adat dalam tradisi Malewakan Gala di Minangkabau?

(9)

2. Apa makna pidato adat dalam tradisi Malewakan Gala bagi masyarakat Minangkabau?

3. Apa fungsi pesan-pesan yang terkandung di balik pidato adat dalam tradisi

Malewakan Gala?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan dua tujuan, yaitu tujuan teoretis dan tujuan praktis. Tujuan teoretis penelitian ini adalah ingin mengetahui mengapa gelar sako diberikan kepada laki-laki, bukan kepada perempuan. Untuk mencapai tujuan tersebut, terlebih dahulu penelitian ini melakukan langkah-langkah berikut: (1) mengidentifikasi formula-formula khas teks pidato adat dan keterkaitannya dengan struktur formal masyarakat Minangkabau dalam konsep pewarisan gelar adat kepada laki-laki, (2) mengungkapkan makna pesan-pesan yang terkandung di balik pidato adat dalam tradisi MG, (3) menjelaskan fungsi pidato adat dalam tradisi MG bagi masyarakat Minangkabau.

Adapun tujuan praktis penelitian ini adalah (1) memperkaya bahan ajar di Jurusan Sastra Minangkabau di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas, khususnya mata kuliah sastra lisan dan semiotik, (2) memberikan informasi kepada masyarakat, khususnya masyarakat Minangkabau, mengenai kandungan yang terdapat dalam budayanya sendiri, (3) melestarikan budaya Minangkabau agar tidak punah, serta (4) membangkitkan kecintaan masyarakat terhadap budaya Minangkabau.

(10)

1.4 Tinjauan Pustaka

Kajian mengenai budaya Minangkabau telah banyak dilakukan oleh peneliti terdahulu dengan mengaplikasikan berbagai sudut pandang. Sudut pandang yang relevan dengan studi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah kajian-kajian yang berkaitan dengan sudut pandang sastra, tradisi lisan, dan bertema seputar budaya Minangkabau. Beberapa hasil penelitian terdahulu yang berhasil ditelusuri dan dibaca dapat dipilah atas dua kelompok, yakni: (1) kepustakaan yang terkait dengan kajian tentang masyarakat Minangkabau dan budayanya; dan (2) kepustakaan yang terkait dengan kerangka teoretis atau sudut pandang yang digunakan dalam penelitian ini. Kepustakaan yang terkategori ke dalam kelompok (1) sepanjang pengetahuan penulis telah banyak dilakukan. Ada beberapa kajian terdahulu yang terkait langsung dengan topik penelitian ini, yaitu kajian tentang tentang gelar adat dilakukan oleh Noverita (2005); tentang penghulu oleh Zulhelmi (2006) dan Hestia (2008); tentang perkawinan oleh Arifin (2008); tentang sastra oleh Elia (2003), Rosa (2003) dan (2005), Gayatri (2005); dan Devina (2006); serta tentang seni dan tradisi masyarakat oleh Awerman (1999), Sastra (1999), dan Toruan (2000).

Kajian Noverita (2005) adalah sebuah kajian linguistik (semantis) tentang nama gelar-gelar penghulu di Minangkabau. Kajiannya menyimpulkan bahwa terdapat variasi bentuk dan makna dalam pemilihan nama gelar penghulu. Penamaan gelar penghulu di Minangkabau tidak terlepas dari filosofi hidup orang Minangkabau yang berbunyi ”Alam Terkembang Jadi Guru”. Sementara itu, masalah yang terkait dengan peran penghulu dalam masyarakat Minangkabau

(11)

diteliti oleh Zulhelmi (2006) dari perspektif ilmu filsafat. Menurutnya, penghulu merupakan jabatan adat yang penting dalam masyarakat dan memiliki beban tanggung jawab yang berat, oleh karenanya mesti dijabat oleh seorang laki-laki. Sehubungan dengan beban dan tanggung jawab seorang penghulu di Minangkabau, Hestia (2008) menyatakan bahwa lembaga KAN (Kerapatan Adat Nagari) yang beranggotakan para penghulu berperan penting dalam membantu tugas-tugas pemerintah di level nagari, terutama dalam menyelesaikan persengketaan masyarakat nagari dalam urusan adat. Persengketaan adat di tahap nagari harus diselesaikan terlebih dahulu oleh para penghulu yang bernaung di bawah lembaga KAN sebelum persengketaan itu dinaikkan ke level pengadilan. Pada tahap ini, tampak bahwa persyaratan jenis kelamin penghulu harus laki-laki seperti disebutkan dalam kajian Zulhelmi (2006) menjadi penting. Ketiga kajian ini tampak sebatas mendeskripsikan aturan-aturan adat tentang beban dan tanggung jawab seorang penghulu yang memang sudah ada dalam tambo atau dokumen-dokumen adat, tanpa menyertainya dengan analisis kritis terhadap aturan-aturan yang termuat dalam tambo adat Minangkabau.

Hal berbeda dari ketiga kajian ini disuguhkan oleh Arifin (2008) yang melakukan kajian kritis tentang praktik perkawinan di nagari Minangkabau yang memperlihatkan peran para penghulu-penghulu adat. Arifin menilai bahwa praktik perkawinan yang terjadi pada masyarakat Minangkabau lebih menunjukkan sifat ”bersaing dan bersahabat”. Adat yang diaplikasikan dalam praktik sosial masyarakat Minangkabau sebenarnya adalah hasil kesepakatan (adat) yang telah mengalami proses redefinisi dan rekonstruksi. Dengan kata lain, “ketegangan”

(12)

antara adat (struktur) dan politik perkawinan (agensi) akhirnya menemukan hasil dalam bentuk modifikasi adat sesuai dengan ruang dan waktu dimana ia diaplikasikan. Redefinisi adat ini dilakukan melalui hal yang disebutnya sebagai “politik perkawinan” dan yang berperan dalam “politik perkawinan” itu adalah para penghulu dari masing-masing kerabat yang terlibat dalam perkawinan. Kajian Arifin menjadi cukup penting karena ia mencoba memberikan tafsir terhadap sebuah fenomena budaya (perkawinan). Hanya saja objek yang dipilihnya tidak terlalu dekat dengan objek penelitian ini, yaitu sastra lisan. Namun, setidaknya kajian Arifin dapat dijadikan perbandingan kritis dalam menafsirkan fenomena budaya masyarakat Minangkabau. Studi yang mirip dilakukan juga oleh Rosa (2003) yang mencoba menawarkan sebuah tafsir semiotik terhadap salah satu teks pidato adat yang ditujukan untuk laki-laki yang akan menikah di satu daerah perkotaan (pesisir) di Sumatera Barat; dan juga dilakukannya lagi tahun 2005 (Rosa, 2005). Kedua penelitian Rosa itu belum mampu mengkaji pemberian gelar adat di tempat yang berbeda dan juga terkait dengan pemberian gelar untuk laki-laki yang dipilih menjadi penghulu atau pemimpin adat. Aspek ini belum tersentuh baik dalam kajian Rosa (2003) maupun dalam Rosa (2005).

Berkaitan dengan perspektif sastra yang diaplikasikan terhadap tema-tema Minangkabau, khususnya yang fokus dalam hal sastra dan tradisi lisan telah dilakukan oleh beberapa orang peneliti terdahulu, diantaranya oleh Elia (2003) dan Gayatri (2005); seni dan tradisi masyarakat oleh Awerman (1999), Sastra (1999), dan Toruan (2000). Kajian Elia (2003) menyatakan bahwa Sirompak

(13)

adalah salah satu tradisi syamanisme yang kemudian berkembang menjadi seni pertunjukkan satra lisan di Minangkabau, khususnya di Nagari Taeh, Kabupaten Limopuluah Koto. Sirompak adalah semacam mantra yang digunakan untuk mengguna-guna seorang perempuan agar tergila-gila kepada seorang laki-laki yang menaruh dendam akibat cintanya ditolak. Dengan menggunakan paradigma Lord tentang formula, kajian Elia menghasilkan temuan bahwa teks Sirompak bersifat formulaik. Juru dendang menggunakan teknik memorizing, remembering, dan (re)creating dalam membuat komposisi teks-teks mantra Sirompak ketika pertunjukan dilakukan.

Masih di daerah Kabupaten Limopuluah Koto, Gayatri (2005) meneliti sastra lisan Tupai Janjang menggunakan paradigma yang sama dengan Elia (2003). Gayatri menambahkan dengan analisis fungsional. Akan tetapi, Gayatri (2005) mengaitkan analisis fungsional Tupai Janjang dengan pendapat Danandjaya tentang fungsi-fungsi folklor, sehingga Gayatri hanya sampai pada kesimpulan bahwa Tupai Janjang berfungsi sebagai sistem proyeksi keinginan masyarakat dan sebagai alat pengesahan pranata sosial dan lembaga-lembaga kebudayaan di Minangkabau. Meskipun Gayatri menyinggung tentang paradigma fungsionalisme Malinowski dalam kerangka teoretiknya, tetapi analisis yang dilakukan tidak sampai ke tahap analisis fungsional dalam paradigma Malinowski tersebut.

Devina (2006) meneliti Pidato Pasambahan Batagak Gala di Kenagarian Koto Tinggi, Kecamatan Baso, Kabupaten Agam. Hasil kajiannya menyediakan data mentah tentang pidato adat Batagak Gala, yaitu berupa transkripsi, yang

(14)

tidak tertutup kemungkinan untuk dijadikan bahan bagi penelitian lanjutan. Oleh karena itu, hasil transkripsi Devina dipilih sebagai salah satu sumber data. Akan tetapi, hasil transkripsi yang dilakukan oleh Devina, masih memerlukan perbaikan-perbaikan dalam segi transliterasi. Karena masih banyak terdapat kata-kata berbahasa daerah yang belum diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Oleh karena itu, hasil transliterasi terhadap teks Devina (yakni teks C) yang disajikan dalam disertasi ini diupayakan seminimal mungkin kata-kata, ungkapan dan atau kalimat yang tidak dterjemahkan, kecuali apabila benar-benar tidak ditemukan padanan katanya di daam kamus. Perubahan-perubahan dalam transliterasi teks tetap diperlukan dalam keputusan memilih teks hasil transkripsi Devina ini. Teks tersebut didampingkan dengan 3 (tiga) teks lain.

Kajian fungsional terhadap tradisi lisan juga tampak pada penelitian Sarwanto (2007) tentang fungsi pertunjukan wayang kulit purwa dalam upacara bersih desa di daerah Karesidenan Surakarta. Penelitian Sarwanto lebih fokus kepada faktor-faktor yang menjadi penyebab pentingnya fungsi wayang kulit purwa dilaksanakan dalam upacara bersih desa; dan penelitian tentang aspek fungsional dalam sastra pernah dilakukan oleh Wigati (2008) terhadap sastra lisan di Sentani, Papua. Penelitian Wigati lebih menekankan pada fungsi perempuan dalam pewarisan sastra lisan Helaehili dan Ehabla di Sentani, Papua.

Penelitian aspek fungsional yang berhubungan dengan seni dan tradisi masyarakat telah dilakukan oleh Awerman (1999), Sastra (1999), Toruan (2000), dan Maryetti (2007). Awerman (1999) menyatakan bahwa Dikia Rabano merupakan salah satu musik bernafaskan Islam yang sekaligus menjadi

(15)

manifestasi dari sistem pendidikan tradisional yang sejalan dengan dakwah Islam di Minangkabau dan juga proses Islamisasi di Sumatera Barat. Dikia Rabano merupakan pengembangan dari instrumen rabano yang dibawa langsung oleh para ulama dari Mekah. Instrumen rabano dipakai untuk mengiringi syair Qashidah

Burdah yang berasal dari Mekah dan juga untuk mengirigi acara Khatam

al-Quran.

Sastra (1999) mencatat bahwa kebudayaan Minangkabau tersusun berdasarkan konflik-konflik sosial yang dapat terlihat pada wilayah budaya, agama, dan struktur masyarakat. Konflik-konflik sosial ini pun akhirnya bermuara pada kepentingan bersama, yaitu membentuk budaya Minangkabau secara utuh. Konflik dipandang sebagai dinamika yang tidak harus berujung pada perubahan. Konflik-konflik sosial yang telah membudaya di Minangkabau ternyata membias pada seni pertunjukan bagurau dalam basaluang.

Toruan (2000) yang meneliti Fungsi dan Struktur Dendang Pauah menyebutkan bahwa Dendang Pauah berfungsi sebagai sarana hiburan para tamu yang datang diundang pada upacara-upacara adat, seperti batagak pangulu,

batagak gala, alek kawin, dan managakan tonggak tuo. Toruan berpandangan

bahwa dari segi struktur, Dendang Pauah memperlihatkan dua aspek struktur, yaitu struktur musikal dan struktur teks. Secara musikal, struktur Dendang Pauah terdiri dari irama pado-pado, irama pakok anam, irama pakok limo, irama

malereang, dan irama lambok malam.

Kajian Maryetti (2007) juga berupaya untuk melihat aspek struktur dalam makanan tradisional Minangkabau. Akan tetapi perspektif struktur yang dipakai

(16)

Maryetti tampak jauh berbeda dengan perspektif yang digunakan oleh Toruan dalam mengungkap struktur Dendang Pauah. Maryetti menggunakan perspektif strukturalisme Levi-Strauss dalam meneliti makanan tradisional di Minangkabau, khusus di daerah Kamang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat.

Maryetti menyatakan bahwa makanan merupakan persoalan budaya karena posisinya tidak hanya terletak pada tataran individu melainkan juga pada tataran sosial. Pada event adat, peran dan posisi makanan tidak kalah pentingnya dari upacara adat itu sendiri. Makanan dapat menjadi simbol status. Keberadaan makanan tradisional dalam sebuah upacara adat menjadi simbol beradat atau tidak beradatnya suatu kaum, meskipun telah banyak tersedia makanan-makanan yang lebih bersifat modern, makanan siap saji misalnya. Namun, posisi makanan modern tidak dapat menggantikan posisi makanan tradisional dalam sebuah peristiwa adat atau upacara adat. Keharusan hadirnya makanan-makanan tertentu dalam sebuah upacara adat menyiratkan suatu pesan.

Kajian Maryetti yang menggunakan perspektif strukturalisme Levi-Strauss menyimpulkan bahwa ada struktur tertentu yang terdapat di balik makanan khas rakyat Minangkabau. Selanjutnya, kepustakaan yang terkait dengan kerangka teoretis yang dipakai dalam penelitian, antara lain dilakukan oleh Propp (1968), Parry dan Lord (dalam Lord, 1976), Sweeney (1973), Phillips (1981), Maryetti (2007), Sarwanto (2007), dan Wigati (2008).

Kajian Propp 1968) terhadap seratus dongeng (fairy tales) rakyat Rusia, menemukan bahwa dongeng mempunyai struktur hakiki. Struktur tersebut disebutnya sebagai kerangka umum yang dimiliki oleh dongeng. Walaupun

(17)

kajiannya tidak berpretensi untuk menyimpulkan kerangka umum untuk analisis cerita rakyat sedunia, akan tetapi Propp memastikan bahwa akan selalu ada terdapat tiga hal dalam setiap dongeng atau cerita rakyat. Ketiga hal tersebut adalah (1) anasis yang mantap dan tidak berubah, yang dinamakannya sebagai fungsi. Fungsi dapat dipenuhi oleh tokoh siapa saja; (2) untuk fairy tale jumlah fungsi terbatas; (3) untuk fungsi dalam sebuah dongeng selalu sama; dan (4) dari segi struktur semua dongeng mewakili hanya satu tipe. Propp menyimpulkan bahwa terdapat maksimum 31 fungsi dalam dongeng, walaupun tidak kesemua fungsi itu selalu ada dalam setiap dongeng.

Milman Parry12 (dalam Lord, 1976) dalam bukunya The Singer of Tale melaporkan hasil stydinya terhadap karya-karya epos Homerus. Parry menyimpulkan bahwa telah terjadi pemanfaatan dan penggalian kekayaan tradisi lisan sezaman Homerus dalam penciptaan karya-karya epos Homerus. Karya-karya epos diciptakan dengan memanfaatkan persediaan formula yang memang sudah ada dalam tradisi lisan. Formula itu adalah suatu kekayaan tradisi yang sudah siap pakai, sesuai dengan persyaratan matra yang ada dalam penciptaan epos. Parry dan Lord kemudian juga membuktikan pandangannya ini pada objek lain, yaitu epos rakyat Yugoslavia yang pada waktu itu tradisi penceritaannya masih hidup. Ternyata, hipotesis Parry terbukti. Seorang penyanyi (guslar) di Yugoslavia pun memakai sejumlah formula stereotipe yang siap pakai dalam penciptaan epos rakyat Yugoslavia. Persediaan formula ini oleh Parry dan Lord disebut sebagai stock-in-trade yang menjadi modal seorang guslar.

12

Milmand Parry meninggal dunia sebelum studinya selesai dan berhasil dipublikasikan. Studi Parry dilanjutkan dan dibukukan oleh muridnya Albert B. Lord. Studi Parry dituliskan dan diterbitkan oleh Lord dalam buku yang berjudul The Singer of Tales (1960).

(18)

Sweeney (1973) melakukan penelitian tentang sastra lisan orang Melayu di Malaysia Barat, terutama di bagian timur Kelantan dan Trengganu. Sweeney melaporkan hasil penelitiannya dalam tulisan yang berjudul The Professional

Malay Story Telling. Kajian Sweeney menyimpulkan bahwa seorang dalang gaya

Melayu itu sungguh-sungguh seorang profesional yang membawakan ceritanya dengan lagu yang biasanya miliknya sendiri; setiap tukang cerita memiliki sejumlah lagu, masing-masing untuk cerita tertentu, dan selalu ada interaksi antara lagu dengan pemakaian bahasa. Seorang dalang yang baik dan berpengalaman tidak menghafalkan teks yang mantap, tetapi diciptakan kembali setiap kali dibawakan. Sweeney menyebut bahwa each rendering is a paraphrase of an

imaging (setiap pementasan adalah parafrasa naskah induk yang imajiner).

Walaupun formula dalam arti teknis Lord tidak dijumpai dalam nyanyian Melayu, namun prosede menciptakan teks menunjukkan banyak persamaan: ulangan, kesejajaran, selipan, bunyi-bunyi kosong, pemakaian pengisi lowongan banyak dimanfaatkan. Cerita Melayu pun dirakit dari stock-in-trade, persediaan unsur-unsur bahasa dan puitik yang siap pakai, tetapi perbedaan penting terletak pada kaitan langsung dengan lagu, sedangkan matra dalam arti teknik ala epos Yugoslavia tidak ditemukan.

Terkait dengan variasi sebagai ciri khas sastra lisan, Nigel Phillips (1984) telah melakukan penelitian tentang kaba lisan Minangkabau yang dilakukan dalam dua pertunjukan yang berbeda, yaitu Dendang Pauah dan Rebab Pesisir Selatan. Menurut Phillips, kaba lisan dibentuk oleh frase atau kalimat, dengan panjang 8-9 suku kata (bentuk-bentuk seperti ini dapat dinamai bahasa berirama, prosa

(19)

berirama, atau prosa liris). Pemilihan kata dalam kaba memakai pola berulang menggunakan sinonimi, paralelisme, pengulangan frasa dalam suatu kalimat kepada kalimat berikutnya, terkadang dengan struktur gramatikal yang sama; dalam arti bahwa tindakan yang sama dapat dijelaskan lebih dari sekali. Lebih lanjut dijelaskan oleh Phillips bahwa ditemukan bahasa yang dirumuskan (formulaik), yaitu banyak unsur frasa hingga seluruh kejadian, terjadi berulang-ulang, baik tanpa perubahan ataupun dengan sejumlah variasi.

Hal yang senada dibandingkan Phillips dengan hasil studinya terhadap

Sijobang di Kabupaten Limopuluah Koto. Menurut Phillips (1981), pada

pertunjukan Sijobang, sifat formulaik teks dan variabilitasnya dari satu pertunjukan ke pertunjukan lain menunjukkan komposisi lisan kalimat-kalimat seperti dalam cerita Yugoslavia yang diteliti Lord. Hal yang sama juga berlaku pada kaba Minangkabau, tulis Phillips. Pemilihan kata dalam kaba Minangkabau juga ditandai oleh pemakaian otiose epithets and length terms of address (epithets

otiose dan ungkapan-ungkapan yang panjang tentang sebuah tujuan).

Pantun digunakan dengan jumlah bervariasi untuk pembukaan dan penutupan cerita, serta juga untuk dialog dan tujuan lainnya. Kesemua ini merupakan bentuk standar dari kaba lisan Minangkabau. Namun, dalam hal bentuk, penelitian Phillips yang kemudian tentang Dendang Pauah ternyata memperlihatkan hal yang berbeda. Dendang Pauah sepenuhnya disajikan dalam bentuk pantun, bukan sebagian besar bahasa berirama dengan pantun berperan sebagai tambahan yang menghibur.

(20)

Pantun-pantun yang disampaikan dalam Dendang Pauah terdiri dari 4-6 baris, beberapa di antaranya ada yang lebih panjang bahkan sampai 20 baris. Setiap baris (88 %) terdiri dari 9 suku kata dan sisanya terdiri dari 8-10 suku kata. Pantun-pantun itu dinyanyikan oleh seorang pedendang (penyanyi) yang ditemani oleh seorang peniup saluang (alat musik tiup yang terbuat dari bambu).

Kajian Sarwanto (2007) perlu ditinjau karena perspektif fungsionalisme yang digunakannya dalam melihat upacara bersih desa. Oleh sebab itu, kajian Sarwanto menjadi penting dibahas sebagai tinjauan pustaka. Sarwanto yang menggunakan teori fungsi dari antropologi dalam mengungkap fungsi pertunjukan wayang kulit purwa dalam upacara bersih desa, menyatakan bahwa pertunjukkan wayang dalam upacara bersih desa di daerah bekas Karesidenan Surakarta telah berlangsung lama. Hal itu menunjukkan bahwa tradisi tersebut telah dienkultrasikan –proses penerusan kebudayaan dari satu generasi ke generasi berikutnya– agar tetap lestari keberadaannya. Usaha itu tidak mungkin dilakukan bila tradisi tersebut tidak memiliki makna bagi masyarakat pendukungnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pertunjukkan wayang kulit yang menyertai upacara bersih desa mempunyai makna bagi kehidupan sosial masyarakat pendukungnya. Pandangan ini diperoleh Sarwanto karena kata ”fungsi” dalam kajiannya diposisikan pada konteks penjelasan hubungan guna antara suatu hal dengan hal lain dengan tujuan tertentu. Pandangan seperti ini tidak dilakukan dalam kajian Toruan (2000), Gayatri (2005), dan Wigati (2008). Wigati (2008) menyatakan bahwa Helaehili dan Ehabla adalah puisi lisan Sentani yang semakin sulit ditemukan. Pelantunannya pun hanya dikuasai oleh generasi

(21)

tua (abhu enime) yang semakin sedikit jumlahnya. Helahehili dan Ehabla dilantunkan secara spontan oleh para pelantun, yaitu komposisinya disusun pada saat pelantunan, tanpa adanya catatan atau latar belakang hafalan. Pelantun menyiapkan tema dan plot yang akan dielaborasi di tempat pelantunan serta membekali diri dengan kata/frasa, baik yang diciptakan sendiri atau yang telah disiapkan adat (ready-made phrase) untuk membangun baris-baris lantunannya.

Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa lantunan Helaehili dan Ehabla mempunyai struktur yang berbeda dengan struktur dongeng rakyat Yugoslavia yang diteliti Lord dan Bini yang diteliti Fox (1986). Kajian Wigati menjadi penting ditinjau karena kesamaan objek penelitian dan juga perspektif dengan yang akan digunakan dalam penelitian ini. Menurut Wigati, fungsi Helaehili bagi masyarakat di pedesaan masih direspons, walaupun penyebarannya tidak lagi direspons positif oleh generasi muda, sedangkan bagi masyarakat perkotaan fungsi Helaehili sudah ditinggalkan baik oleh generari tua maupun oleh generasi muda. Satu-satunya fungsi Helaehili yang masih tetap hidup adalah fungsi sebagai hiburan (fungsi rekreatif).

Berdasarkan hasil tinjauan kepustakaan yang telah dipaparkan terdahulu terlihat bahwa hanya penelitian awal yang dilakukan Rosa (2003); Rosa (2005); dan Devina (2006) yang terkait langsung dengan sastra lisan pidato adat dalam tradisi MG di Minangkabau. Namun, ketiga kajian itu mempunyai perbedaan dengan disertasi ini. Perbedaan terletak pada perpaduan perspektif yang digunakan dalam tujuan utama, yaitu menemukan ide, gagasan, dan nilai-nilai yang terkandung di balik pelaksanaan sastra lisan pidato adat dalam tradisi MG di

(22)

Minangkabau tersebut. Penemuan ide, gagasan, dan nilai-nilai yang tersimpan di balik pelaksanaan pidato adat tersebut diurai melalui aspek struktur, makna, dan makna pidato adat itu sendiri. Perpaduan perspektif seperti ini belum dilakukan pada kedua studi Rosa terdahulu, maupun yang dilakukan oleh Devina. Kajian aspek fungsi dalam penelitian ini justru dilakukan terhadap tradisi yang masih berlangsung di tengah masyarakat Minangkabau sekarang, berbeda dengan kajian

Helaehili yang dilakukan Wigati dalam masyarakat Sentani, Papua yang sudah

sangat sulit untuk menemukan penuturan puisi lisan Helaehili ini. Disertasi ini menggunakan satu teks hasil rekaman lisan, dua teks hasil transkripsi yang telah dihasilkan dalam kajian Rosa (2003); dan Devina (2006); kemudian menambahkan satu teks yang telah dibukukan oleh St. Mahmoed (tanpa tahun).

1.5 Landasan Teori

Landasan teori digunakan sebagai pisau analisis untuk membedah permasalahan yang diajukan. Terkait dengan rumusan permasalahan yang telah diajukan, teori yang relevan digunakan adalah strukturalisme, semiologi, dan fungsionalisme. Keputusan penggunaan tiga teori tersebut karena kajian ini berhubungan dengan hal-hal yang menyangkut aspek struktur, makna, dan fungsi sastra lisan pidato adat dalam pelaksanaan tradisi MG dalam masyarakat Minangkabau.

Kajian aspek struktur dalam penelitian ini tidak dapat dilepaskan dari kajian aspek kelisanan karena bahan dasar objek penelitian ini adalah sastra lisan. Oleh karena itu, dalam kajian struktur didukung dengan penerapan konsep formula,

(23)

formula dan formulaik dalam pidato adat, sedangkan konsep performance dan transmisi diperlukan untuk menjelaskan proses penyampaian dan pewarisan pidato adat dalam masyarakat Minangkabau.

Teori semiologi diperlukan untuk menjelaskan makna dan gagasan tersembunyi di balik pidato adat yang dilakukan dalam pelaksanaan tradisi MG di Minangkabau. Teori fungsionalisme digunakan untuk menerangkan nilai guna pidato adat dan tradisi MG sebagai media penyampai pidato dalam konteks masyarakat Minangkabau. Ketiga macam teori ini, yaitu strukturalisme, semiologi, dan fungsionalisme digunakan secara menyeluruh dan saling mendukung untuk mengungkap struktur, makna, dan fungsi pidato adat di Minangkabau, yang merupakan tahapan untuk mengetahui penyebab terjadinya penyimpangan pewarisan sako pada laki-laki.

1.5.1 Struktural

Penelitian struktural di bidang studi sastra dirintis oleh kaum formalis di Rusia. Konsep dasar pemikiran struktural para kaum formalis di Rusia adalah untuk membebaskan studi sastra dari belenggu ilmu-ilmu lain, seperti psikologi, sejarah, sosiologi, dan studi kebudayaan lainnya.

Karya sastra dipandang sebagai tanda, lepas dari fungsi referensial atau mimetiknya. Karya sastra dianggap sebagai tanda yang otonom yang hubungannya dengan kenyataan bersifat tidak langsung. Sehubungan dengan itu, disarankan bahwa studi pertama yang harus dilakukan terhadap karya sastra adalah meneliti struktur karya yang begitu kompleks dan multidimensional berdasarkan pemahaman bahwa karya sastra terdiri dari struktur yang utuh dan

(24)

lengkap. Keutuhan dan kelengkapan struktur karya itu dibangun, didukung, dan dibina oleh dirinya sendiri.

Tiap unsur dalam karya memiliki koherensi intrinsik antara satu unsur dengan unsur lain, saling berkaitan, saling mendukung, saling menyusun dengan tata aturannya sendiri. Dengan demikian, analisis struktural terhadap karya sastra harus dengan memusatkan pengamatan hanya pada karya itu sendiri, mengungkapkan unsur-unsur pembangun struktur karya dan menelitinya secara cermat untuk kemudian dilihat bentuk pertalian antara unsur yang membangunnya menjadi satu struktur yang utuh dan bulat, serta menyeluruh (Teeuw, 1988: 130; Chamamah-Soeratno, 1991: 5-16).

Teori strukturalisme memandang bahwa karya sastra merupakan struktur yang terdiri atas unsur-unsur yang berjalinan erat. Unsur-unsur dalam struktur tersebut tidak memiliki makna sendiri terlepas dari yang lainnya, tetapi ditentukan oleh hubungan antara unsur tersebut dalam keseluruhannya (Hawkes, 1978:17-18).

Di dalam keseluruhan struktur, suatu unsur memiliki kegunaan sebagai pendukung terhadap makna bagian yang lain. Demikian juga sebaliknya, bagian-bagian tersebut dengan sendirinya menduduki fungsi sebagai pendukung terhadap unsur yang lain. Makna unsur-unsur tersebut baru dapat dipahami dan diberi nilai sepenuhnya jika didasarkan pada pemahaman masing-masing unsur tersebut dalam keseluruhan karya sastra (Teeuw, 1983:61; 1988:136).

Di bidang sastra, pengertian struktur tersebut pada dasarnya mencakup tiga konsep dasar seperti dikemukakan Piaget (1995:4-10; Hawkes, 1978:16; Teeuw,

(25)

1984:141; Pradopo, 1987:119) yang meliputi: (1) the idea of wholeness (gagasan keutuhan atau totalitas); (2) the idea of transformation (gagasan transfomasi); dan (3) the idea of self reglation (gagasan pengaturan diri sendiri). Gagasan keutuhan berarti bahwa struktur memiliki koherensi intrinsik, merupakan kesatuan yang bulat, dan bagian-bagian yang membentuknya tidak dapat berdiri sendiri di luar struktur tersebut. Gagasan transformasi berarti memungkinkan bahwa struktur tersebut mampu melakukan prosedur transformasi terhadap bahan-bahan secara kontinyu yang diproses melalui prosedur tersebut. Di dalam gagasan pengaturan diri sendiri, struktur dituntut untuk mengatur dirinya, dalam arti mampu mempertahankan dan mengesahkan prosedur transformasinya tanpa memerlukan bantuan dari luar.

Kajian ini lebih menekankan pada gagasan pertama, yaitu gagasan tentang keutuhan karya sastra yang terdiri dari struktur yang saling berkaitan erat dalam membangun makna sebuah karya sastra. Pada kenyataannya, terdapat banyak rumusan tentang strukturalisme, tetapi ada satu kesamaan di dalamnya, yaitu mengenai objek penelitian yang menitikberatkan pada struktur.

Di bidang antropologi, strukturalisme diusung oleh seorang antropolog Perancis, Claude Levi-Strauss. Strukturalisme ini erat terkait dengan struktural-fungsional Radcliffe-Brown. Strukturalisme Levi-Strauss maupun struktural fungsional Radcliffe-Brown dipengaruhi oleh teori-teori Durkheim.

Perbedaan pokok adalah bahwa Radcliffe-Brown mempelajari keteraturan dalam tindakan sosial yang ia lihat sebagai ekspresi struktur sosial yang dibentuk oleh jaringan-jaringan dan kelompok-kelompok, sedangkan Levi-Strauss

(26)

berpendapat bahwa struktur itu berada dalam pemikiran manusia, dan memandang interaksi sosial sebagai manifestasi keluar dari strukutr kognitif tersebut (Saifuddin, 2006:192).

Levi-Strauss sangat berhati-hati merumuskan kata struktur. Keteraturan mekanisme yang berlangsung tanpa disadari dimaknainya sebagai struktur, istilah ini juga sering menimbulkan salah paham karena secara isi, maknanya berdekatan dengan istilah organisasi. Akan tetapi, dalam penggunaan kata tersebut terdapat perbedaan penting antara kedua istilah itu.

Organisasi adalah sesuatu yang secara sadar dibuat atau dirancang oleh manusia, sedangkan struktur bukanlah sesuatu yang dibuat secara sadar oleh manusia, melainkan sesuatu yang ditemukan. Di dalam struktur dikenal adanya kekuasaan untuk merangkum sesuatu hal, suatu kekuasaan yang nampaknya tidak dapat diterangkan dengan jelas karena yang diketahui mengenai itu masih sangat kurang. Jadi, struktur lebih sedikit daripada gejala yang tampak dipermukaan. Struktur menunjuk kepada sesuatu yang diduga berada di belakang gejala yang tampak. Struktur menunjuk kepada sesuatu kebutuhan atau kekuasaan tertentu, tetapi sulit untuk diterangkan. Ia ada tetapi sulit untuk dilihat atau diterangkan secara langsung. Oleh karena itu, struktur bagi Levi-Strauss harus diselidiki terlebih dahulu melalui studi atau analisis.

Pandangan Levi-Strauss berbeda dengan pandangan Brown (dalam Baal, 1988:119-120) yang menyatakan bahwa struktur dapat diamati secara langsung; bandingkan Kaplan (1999) mengatakan bahwa konsep struktur atau struktur sosial telah digunakan demikian meluas dan mencolok dalam ilmu antropologi dan ilmu

(27)

sosial umumnya sebab itu sejak awal perlu ditunjukkan perbedaan antara kedua istilah tersebut dengan ”strukturalisme” yang dikaitkan dengan Levi-Strauss beserta pengikutnya.

Segala ilmu mempersoalkan struktur, yakni cara bagian-bagian suatu sistem tertentu saling berkait. Akan tetapi ada perbedaan besar antara jenis-jenis struktur dan masalah-masalah struktural yang menarik perhatian kebanyakan antropolog dengan hal-ikhwal struktural yang telah dikembangkan Levi-Strauss menjadi teorinya yang khas.

Struktur dalam pemahaman Strauss menurut Boudon (1971) dan Pouwer (dalam Koentjaraningrat, 1987:233) adalah beberapa konsep cara berpikir akal manusia yang dianggapnya elementer dan yang karena itu bersifat universal. Dengan struktur itu, dapat dipahami secara deduktif data mengenai interaksi manusia dalam kenyataan kehidupan masyarakat. Hal ini menyebabkan seorang peneliti yang mengikuti pola pemikiran Levi-Strauss tidak akan pergi ke lapangan atau ke perpustakaan untuk mencari struktur-struktur sosial baru, sebagaimana yang dianjurkan oleh Radcliffe-Brown, melainkan akan membawa struktur-struktur yang telah disusun oleh Levi-Strauss untuk lebih memahami data yang ditemukan.

Konsep itu tampak berbeda dari yang disebut dengan struktur sosial oleh Malinowski dan juga oleh Radcliffe-Brown serta para antropolog Inggris lainnya. Bila struktur dipahami oleh Malinowski dan Brown serta antropolog Inggris sebagai suatu perumusan dari jaringan hubungan interaksi antara manusia dalam kehidupan masyarakat yang didapatkan karena abstraki induktif dari data yang

(28)

nyata, bagi Levi-Strauss keadaannya justru sebaliknya. Levi-Strauss melalui pendekatan strukturalnya terhadap mitos sebagai salah satu fenomena budaya menganggap bahwa dia telah berhasil, tidak hanya dalam mengungkapkan makna-makna –dalam pengertian simbolis dan semiotis– tetapi juga berhasil mengungkapkan logika yang ada di balik fenomena mitos (Ahimsa-Putra, 1997:2).

Seorang peneliti budaya menurut Levi-Strauss, di samping menggeneralisasikan konsep, juga mempelajari struktur yang ada di balik ide manusia, seperti ahli bahasa yang mempelajari struktur bahasa, mencari logika di balik fenomena budaya. Hal ini berlandaskan pada asumsi bahwa kenyataan yang sebenarnya berada di balik kenyataan yang empiris karena kenyataan yang sebenarnya tidak dapat ditangkap secara inderawi. Di balik kenyataan empiris terdapat struktur yang melatarbelakanginya.

Disadari bahwa aktivitas masyarakat yang terlihat tampil sebagai kenyataan empiris, namun tanpa disadari masyarakat dalam beraktivitas dibatasi dengan aturan-aturan tertentu yang mengatur aktivitas itu. Aturan-aturan ini oleh Levi-Strauss disebut sebagai struktur yang berada pada tingkat kognitif atau merupakan model dari cara berfikir manusia yang dianggap mendasar dan universal (Strauss, 1978). Model atau analogi yang digunakan oleh Levi-Strauss berasal dari bahasa. Levi-Levi-Strauss menganut pandangan bahwa kebudayaan itu seperti bahasa, bukan seperti organisme seperti yang terkandung dalam fungsionalisme Durkheim. Perbedaan model inilah yang membuat strukturalisme Levi-Strauss tidak sama dengan fungsionalisme (Ahimsa-Putra, 2008: xxv).

(29)

Pemahaman mengenai aturan-aturan itu didasari oleh pemahaman mengenai bahasa yang dilakukan oleh linguist. Bahasa adalah kode komunikasi simbolis berupa seperangkat simbol dan seperangkat aturan (tata bahasa) untuk membentuk pesan

Saussure (1954: 65-66) dan Noth (1995: 60) mengatakan bahwa satuan dasar bahasa adalah tanda (sign) yang terdiri atas dua komponen yang tidak dapat dipisahkan, yaitu penanda dan petanda (signifiant dan signifie atau signifier dan

signified). Penanda (signifiant) adalah komponen bunyi atau akustik yang

menandakan, sedangkan petanda (signifie) adalah komponen mental atau konseptual dari yang ditandakan. Apabila penanda merupakan aspek material bahasa maka petanda adalah pengertian yang muncul dalam pikiran penutur atau pendengar pada saat penanda dituturkan.

Teori Saussure ini sebenarnya berkaitan dengan pengembangan teori linguistik secara umum. Oleh karena itu, istilah-istilah yang dipakai dalam penerapan teorinya dalam kajian terhadap sastra (semiotik), meminjam dari istilah-istilah dan model-model linguistik. Bahasa sebagai sistem tanda memiliki dua unsur yang tidak terpisahkan, yaitu signifiant (penanda) dan signifie (petanda). Misalnya, bunyi /sepeda/, yang jika dituliskan berupa rangkaian huruf (atau lambang fonem): s-e-p-e-d-a, dapat menyaran pada makna tertentu, (sepeda!) yang tampak secara nyata. Bunyi atau tulisan “sepeda” itulah yang disebut penanda, sedangkan sesuatu yang diacu itulah petanda. Menurut Saussure, keduanya dapat disebut dwitunggal yang berhubungan secara arbitrer (mana suka).

(30)

Salah satu prinsip penting dalam analisis struktural adalah melihat sesuatu dalam konteks yang lebih luas, yakni dalam konteks relasi sintagmatik dan paradigmatik. Dalam analisis struktural atas fonem, suatu fonem tidak dilihat sebagai suatu entitas yang berdiri sendiri, tetapi dilihat dalam konteks relasi. Suatu fonem sebenarnya merupakan kumpulan dari ciri pembeda, dan ciri pembeda sebuah fonem hanya dapat diketahui jika ia ditempatkan dalam sebuah konteks, atau suatu jaringan relasi, dengan fonem-fonem yang lain dalam suatu bahasa. Demikian juga halnya dengan tanda-tanda atau simbol. Maknanya tergantung pada relasi dengan fenomena lain yang setara (Ahimsa dalam Paz, 1997).

Dalam penelitian ini, pengertian struktur lebih ditekankan pada konsep struktur yang kedua, yakni struktur sebagaimana dipahami oleh Levi-Strauss, yaitu struktur yang dipandang sebagai konsep cara berpikir akal manusia yang dianggapnya elementer dan yang karena itu bersifat universal. Alasan pemilihan struktur pada konsep yang kedua karena kajian struktural dalam penelitian ini tidak dapat dilepaskan dari konteks kelisanan dan masyarakat pemilik sastra lisan pidato adat tersebut. Kajian struktural, khususnya yang terkait dengan aspek-aspek kelisanan pidato adat harus membawa serta hal-hal yang disebut Lord (1976) dengan istilah formula; atau Sweeney (1973) menyebutnya dengan schematic

composition yang diambil dari konteks budaya atau tradisi masyarakat pemilik

sastra lisan tersebut. Oleh karena itu, kajian struktural terhadap sastra lisan pidato adat tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial masyarakatnya, yaitu masyarakat Minangkabau. Ini sejalan dengan pernyataan Teeuw (1983:61) bahwa analisis

(31)

struktural yang menekankan otonomi karya sastra memiliki beberapa kelemahan pokok, yaitu melepaskan diri dari situasi sejarah dan kerangka sosial budayanya.

Pradopo (1991:41) juga menegaskan bahwa karya sastra merupakan hasil ciptaan pengarang, dimana pengarang sebagai anggota masyarakat. Dengan demikian, karya sastra tidak lahir dalam kekosongan sehingga selalu berada dalam situasi kesejarahan dan kerangka sosial budaya. Oleh sebab itu, untuk menginterpretasikan makna karya sastra tidak dapat tercapai sepenuhnya tanpa mengikutsertakan aspek kemasyarakatan. Analisis struktural dalam kajian ini tidak dapat dilepaskan dari konteks kelisanan sehingga analisis struktural terhadap pidato adat dimaksudkan sebagai kajian struktural terhadap pidato adat sebagai sastra lisan.

Akhirnya, diperlukan suatu cara untuk mengintegrasikan penilaian dalam pendekatan struktural yang menganggap teks sebagai satu koherensi, kebulatan makna, dan keseluruhan struktur ke dalam satu pendekatan historis yang sinkronik dan diakronik. Sastra sebagai sistem tanda, menempatkan karya sastra pada pusat tanpa melepaskannya dari latar belakang sosial budaya. Oleh sebab itu, gagasan dasar teori struktural dalam konsep yang pertama (dalam studi sastra) tidak diabaikan sepenuhnya dalam penelitian ini, tetapi dikembangkan lebih luas. Kecenderungan suatu teks ke arah sebuah tanda yang otonom dikurangi.

Dari sudut pandang struktural, penelitian ini memandang karya sastra sebagai suatu proses komunikasi, sebagai suatu dialog terus-menerus antara pengarang (penampil sastra lisan) dan pembaca (pendengar atau penonton). Tanda tekstual mempertahankan kemerdekaannya dengan perhatian pada proses

(32)

komunikasi. Meskipun posisinya dalam proses komunikasi adalah sentral dan merdeka, teks kehilangan karakter absolutnya, yakni konstruksi formal yang ditetapkan selamanya (Segers, 1978: 35-36).

Proses komunikasi antara pengarang (dalam hal ini penutur) dan pembaca (dalam konteks ini penonton) dapat dipahami melalui pembacaan karya sastra sebagai artefak dan objek estetik. Artefak merupakan dasar material objek estetik. Objek estetik merupakan representasi artefak dalam pikiran pembaca (penonton) atau dalam apa yang disebut kesadaran kolektif, yang dalam satu ruang kesadaran sekelompok manusia dapat disistematisasikan. Dengan demikian, karya sastra sebagai artefak memilki nilai potensial. Pembentukan objek estetik oleh pembaca (penonton) disebut konkretisasi (Ingarden dalam Segers, 1978:36-37).

Proses komunikasi pengarang (penutur) dan pembaca (pendengar) dibina dan ditentukan oleh kode. Kode yang dipilih pengarang (penutur) dan diketahui atau sebahagian diketahui pembaca memungkinkan pembaca (pendengar) untuk mengkodekan kembali tanda-tanda tekstual dan mengaitkan makna dengan materi teks (Segers, 1978:24). Karya sastra merupakan aktualisasi seperangkat konvensi. Kepentingan konvensi bagi sebuah karya sastra adalah untuk dapat dikenali oleh pembaca (pendengar). Gejala ini dimanfaatkan oleh pengarang (penutur). Pemilihan konvensi sastra tertentu merupakan pengarahan oleh pengarang kepada pembaca (pendengar). Penggunaan konvensi yang berkenaan dengan pembaca (pendengar) diharapkan dapat menangkap makna teks seperti yang dimaksud. Akan tetapi, diingat pula bahwa horizon harapan pengarang (penutur) tidak selalu sama dengan horizon harapan pembaca (pendengar). Walaupun demikian,

(33)

pemenuhan dan pemberontakan terhadap konvensi merupakan bagian dari proses komunikasi antara pengarang (penutur) dengan pembaca (pendengar) (Chamamah-Soeratno, 1991: 17). Hal terpenting adalah kode yang dibuat pengarang (penutur) dapat dipahami penikmat (pendengar) (Abdullah, 1991: 12).

Pidato adat adalah salah satu hasil kesusasteraan (lisan) Minangkabau. Ada beberapa bentuk atau ragam hasil kesusasteraan Minangkabau, jika disesuaikan dengan pembagian genre kesusasteraan pada umumnya. Pada genre puisi, dikenal bentuk pantun, talibun, pepatah dan petitih; pada genre prosa ditemukan bentuk kaba, pidato adat, tambo, cerita rakyat; dan pada genre drama ditemukan naskah randai. Pidato adat sebagai suatu genre sastra lisan Minangkabau dibangun oleh unsur-unsur yang saling berkaitan dan berjalin erat satu sama lain.

Bangunan pidato adat terdiri dari rangkaian kalimat, frasa, kata, pantun, talibun dan juga bagian-bagian yang bersifat prosais. Jalinan dari berbagai kalimat, frasa, dan kata, serta pantun, pepatah, petitih dan juga unsur-unsur yang bersifat prosais membentuk satu kesatuan yang saling berhubungan satu sama lain. Artinya, pidato adat baru dapat dipahami bila dilihat dalam kesalinghubungan antarunsur yang membangun strukur pidato adat tersebut. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Hawkes (1978:17-18) bahwa karya sastra merupakan sebuah struktur yang terdiri atas unsur-unsur yang berjalinan erat. Unsur-unsur yang membangun struktur tidak mempunyai makna sendiri bila terlepas dari unsur yang lainnya. Masing-masing unsur dapat bermakna bila dilihat dalam relasinya dengan unsur-unsur yang lain. Di dalam keseluruhan struktur, suatu unsur memiliki kegunaan sebagai pendukung terhadap makna

(34)

bagian yang lain. Demikian juga sebaliknya, bagian-bagian tersebut dengan sendirinya menduduki fungsi sebagai pendukung terhadap unsur yang lain.

Teks pidato adat yang menjadi sumber data primer dalam penelitian ini, dibangun oleh percampuran genre puisi dan prosa. Percampuran kedua genre menyebabkan sifat teks pidato adat tidak sepenuhnya naratif. Artinya, secara tekstual perwajahannya tidak berwujud naratif yang menghadirkan tokoh dan penokohan, alur, setting, dan klimaks. Akan tetapi, teks pidato adat termasuk ke dalam kategori prosa liris karena ada unsur penceritaan atau pengisahan, walaupun tanpa kehadiran tokoh. Secara perwajahan, teks pidato adat tersusun atas baris-baris yang mirip puisi panjang dan bercampur dengan pantun-pantun.

Pidato adat sebagai salah satu bagian dari kekayaan khasanah sastra Minangkabau, yang secara wujud tidak sepenuhnya naratif, termasuk kedalam kategori teks sastra lisan, karena sebagaimana dinyatakan oleh Zaimar (dalam Pudentia, 2008: 321), sastra lisan tidak mesti selalu bersifat naratif. Teks-teks yang tidak tertulis dan tidak berbentuk naratifpun dapat dipandang sebagai teks sastra lisan, contohnya teks lagu-lagu, teka-teki, humor, jampi-jampi dukun pada waktu mengobati orang sakit dan lain-lain. Dengan demikian, teks pidato adat yang menjadi objek material penelitian ini pun termasuk ke dalam teks sastra lisan.

Berdasarkan hakekatnya sebagai teks sastra lisan, maka harus dilihat aspek-aspek yang melekat pada dirinya sebagai teks sastra lisan. Beberapa aspek teks sastra lisan yang penting untuk diamati menurut Finnegan (dalam Pudentia, 2008: 321) adalah aspek komposisi, cara penyampaian, dan cara pertunjukan

(35)

teks-teks sastra lisan tersebut. Ketiga aspek ini penting diteliti dalam rangka memahami struktur teks pidato adat sebelum dilanjutkan ke tahap penafsiran makna teks pidato adat.

Hal yang juga penting dikaji berkenaan dengan struktur teks sastra lisan adalah formula. Konsep formula pertama kali dikemukakan oleh Milman Parry13 dan dikembangkan lebih lanjut oleh Albert B. Lord. (Parry dalam Lord, 1976). Pengkajian terhadap epos-epos Homerus membuatnya menyimpulkan bahwa terdapat pemanfaatan dan penggalian kekayaan tradisi lisan sezaman epos Homerus dalam penciptaan karya-karya Homerus. Kekayaan tradisi lisan itu telah menyediakan formula-formula tertentu yang dipakai dalam menciptakan epos. Formula itu adalah suatu kekayaan tradisi yang sudah siap pakai. Persediaan formula ini oleh Parry dan Lord disebut sebagai stock-in-trade seorang guslar (penyanyi), yang sekaligus menjadi modalnya. Akan tetapi, seorang guslar memiliki kemungkinan variasi yang jauh lebih besar dari pada yang terdapat dalam karya-karya Homerus.

Lord mendefinisikan formula sebagai kata atau kelompok kata yang secara teratur digunakan dalam kondisi matra yang sama untuk mengungkapkan ide tertentu yang hakiki. Ekspresi formulaik didefinisikan Lord sebagai larik atau setengah larik yang disusun sesuai dengan pola formula.

13

Studi Milmand Parry dilanjutkan dan dibukukan oleh muridnya Albert B. Lord. Parry meninggal dunia sebelum studinya selesai dan berhasil dipublikasikan. Albert B. Lord menuliskan studi Milmand Parry dalam buku yang diterbitkan Lord dengan judul The Singer of Tales (1960).

(36)

1.5.2 Semiologi

Tanda-tanda (signs) adalah basis dari seluruh komunikasi (Littlejohn, 1996: 64). Manusia dengan perantaraan tanda-tanda dapat melakukan komunikasi dengan sesamanya (Sobur, 2006: 15). Semiotika adalah ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang dipakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Eco (1979: 4-5) menyatakan bahwa tanda dapat dipergunakan untuk menyatakan kebenaran sekaligus kebohongan. Semiotika menurut Eco adalah disiplin ilmu yang mengkaji segala sesuatu yang dapat digunakan untuk mendustai, mengelabui, atau mengecoh.

Penelitian yang akan dilakukan ini juga menggunakan teori semiologi. Ada dua istilah yang dikenal, yaitu semiotik dan semiologi. Istilah yang dipakai dalam penelitian ini adalah semiologi. Alasannya, konsep-konsep dan kerangka teoretis yang dipakai dalam penelitian ini mengacu kepada pemikiran Barthes. Barthes memakai istilah semiologi dalam bukunya Mythologies (1993). Kedua istilah itu tidak dipersoalkan perbedaannya dalam usulan penelitian ini. Akan tetapi, paling tidak, perbedaan kedua istilah itu mencerminkan perumusnya dan orientasi yang berbeda. Istilah semiotik dirumuskan oleh Charles Sanders Pierce (1839-1914), seorang ahli filsafat, sedangkan yang satunya oleh Ferdinand de Saussure (1857-1913), seorang ahli linguistik. Kajian semiotik yang dikembangkan oleh Pierce sering disebut sebagai analytical semiotics, sedangkan oleh Saussure disebut

structural semiotics. Keputusan Barthes memilih istilah semiologi, serta merta

(37)

Alasan penulis menggunakan teori semiologi yang dikemukakan oleh Roland Barthes sebagai pisau analisis yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah karena teori semiologi Barthes dipandang akan mampu mengungkapkan jawaban-jawaban permasalahan yang ingin dilacak dalam penelitian ini. Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian terdahulu bahwa penelitian ini difokuskan pada pencarian ide, gagasan, sejarah, dan nilai-nilai hakiki yang menjadi faktor pendorong sebuah sastra lisan diciptakan dan diapresiasi oleh masyarakat pendukungnya, dalam hal ini berpidato adat yang disampaikan dalam tradisi MG kepada laki-laki menurut pandangan budaya masayarakat Minangkabau.

Melalui penelitian ini diharapkan akan dapat diungkapkan ide, gagasan, sejarah, dan nilai-nilai hakiki yang mendorong lahirnya sastra lisan berpidato adat yang disampaikan dalam tradisi MG menurut pandangan budaya dan masyarakat Minangkabau. Maka, perspektif teoretis yang dipakai dalam memandang objek penelitian yang diusulkan ini adalah semiologi Barthes, lebih spesifik lagi mitologi. Mitologi dalam kajian Barthes bukan dalam pengertian yang klasik.

Dikatakan oleh Barthes (1993: 111) bahwa semiologi adalah suatu ilmu mengenai bentuk-bentuk (forms) karena mempelajari signifikansi terpisah dari isinya. Mitologi dapat menjadi bahagian dari semiologi, sejauh ia mempelajari bentuk-bentuk (forms), dan bagian dari ideologi, sejauh ia merupakan penge-tahuan historis. Mitologi itu sendiri (Barthes, 1993: 112) mempelajari gagasan-gagasan dalam bentuk (form). Mitos adalah suatu sistem komunikasi, sebuah pesan, tetapi ia bukan ide, konsep, ataupun objek, melainkan sebuah bentuk (form). Mitos tidak dapat didekati dari segi substansinya karena mitos adalah

(38)

sebuah jenis tuturan (speech). Segala sesuatu dapat menjadi mitos bila diangkat oleh suatu wacana. Artinya, mitos tidak ditentukan oleh objeknya, pesannya, melainkan oleh cara pesan itu dituturkan. Dengan demikian, segala hal dapat menjadi mitos bila ia dikatakan, dituturkan, dan digunakan secara sosial (Barthles, 1993: 109).

Lebih lanjut ditegaskan oleh Barthes (1993: 109), sebagai sebuah sistem komunikasi atau sebuah pesan, mitos mustahil menjadi objek, konsep atau gagasan; mitos adalah sebuah model penandaan (mode of significations), dan sebuah bentuk. Terlebih dahulu harus ditentukan batasan historis, kondisi pemakaian, latar belakang sosial dari bentuk-bentuk tersebut. Jadi, mitos itu adalah sebuah bentuk. Menurut Barthes (1993: 110-111), segala sesuatu dapat menjadi mitos ketika ia dituturkan dan didukung oleh sebuah wacana (discourse).

Mitos tidak didefinisikan oleh objek dari pesan itu sendiri, melainkan oleh cara penyampaiannya. Segala sesuatu dapat menjadi mitos ketika ia dituturkan, kemudian dipilih oleh sejarah, dan digunakan secara sosial. Sejarah manusialah yang menentukan sesuatu bertahan sebagai mitos atau tidak. Mitos harus mempunyai dasar historis yang menopangnya. Pengertian dituturkan tidak hanya direpresentasikan secara lisan melainkan juga tulisan. Sehingga lukisan, sinema, fotografi, olah raga, laporan, pentas panggung, publikasi dapat dimasukkan dalam bahasa mitos, selain tulisan. Semuanya berfungsi sebagai penopang tuturan mitis. Perspektif Barthes tentang mitos ini menjadi salah satu ciri khas semiologinya yang membuka ranah baru semiologi, yakni penggalian lebih jauh dari penandaan untuk mencapai mitos yang bekerja dalam realitas keseharian masyarakat.

(39)

Barthes mencoba membongkar mitos-mitos masyarakat modern melalui berbagai kajian kebudayaannya, seperti sabun, fotografi, mobil citroen, fashion, musik, dan sebagainya (Kurniawan, 2001: 23). Mitos adalah suatu jenis tuturan (a type of

speech) sesuatu yang hampir mirip dengan ”representasi kolektif” di dalam

sosiologi Durkheim (Budiman, 1999: 76). Dengan perspektif semiotika, mitos dapat dikaji atau ditemukan jejaknya dengan mencari indikasi fiksional dalam teks yang secara keseluruhan disajikan sebagai nonfiksional (Sobur, 2006: 210). Kelompok indikasi nonfiksional yang terpenting adalah indikasi peristiwaan.

Objek penelitian ini dikaji bertolak dari kerangka pemikiran Barthes tentang mitos tersebut. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Kurniawan (2001: 78-80) bahwa pengungkapan atau penemuan ideologi dari suatu sistem tanda adalah tujuan utama operasi semiologi Barthes. Pengungkapan ideologi dilakukan dengan cara merekonstruksi suatu sistem signifikasi secara bertingkat.

Semiologi Barthes sangat terkait dengan strukturalisme. Ia membatasi strukturalisme sebagai sebuah cara menganalisa artefak-artefak budaya yang berasal dari metode linguistik (Culler, 1988: 78) Selanjutnya, menurut Culler (1988: 81) srukturalisme (terutama dalam studi sastra) dengan demikian adalah usaha untuk menunjukkan bagaimana makna literer bergantung pada kode-kode yang diproduksi oleh wacana-wacana yang mendahului dari sebuah budaya. Secara luas, kode-kode budaya ini telah menggiringkan suatu makna tertentu bagi manusia. Kode-kode budaya ini terlihat jelas bila kita mengkaji mitos-mitos (dalam pengertian Barthes) yang tersebar dalam kehidupan keseharian.

(40)

Tanda pada tahap pertama bersifat denotatif, sedangkan pada tahap kedua menjadi konotatif. Barthes (1993) secara tegas membedakan tanda konotatif, yaitu pemaknaan pada tataran kedua; denotatif sebagai pemaknaan pada tataran pertama. Tanda konotatif mengandung makna denotatif dan sekaligus makna tambahan. Dengan mengemukakan pemaknaan konotatif, banyak peluang untuk memperbincangkan tentang metafora dan gaya bahasa kiasan lainnya yang dapat bermakna pada tataran kedua (konotatif).

Zoest (1996) menyatakan bahwa dalam setiap teks terdapat suatu ideologi. Peranan ideologi di dalam semiosis tidak terlalu nyata, bahkan sering secara praktis tidak kelihatan, dan jauh menyelinap. Makna konotatif suatu kata berhubungan erat dengan ideologi dari orang yang berbicara dan juga orang yang diajak berbicara. Ketidaktahuan mengenai konteks dapat menghentikan komunikasi, tetapi tidak mengetahui masalah ideologi lebih berbahaya. Bahaya itu muncul dari ketidaktahuan atau ketidakpahaman terhadap kode-kode, tetapi yang lebih jauh dari kode-kode itu adalah ketidaktahuan titik-titik tolak ideologis yang menjadi dasar kode-kode. Ideologi itu sendiri menurut Barthes (1983) adalah petanda-petanda, dalam konotasi adalah fragmen-fragmen ideologi yang menjalin hubungan komunikasi yang sangat erat dengan kebudayaan, pengetahuan, dan sejarah. Melalui petanda-petanda itu dapat dikatakan bahwa dunia atau lingkungan sekitar teresapkan ke dalam sistem. Dapat pula dikatakan bahwa ideologi merupakan forma (istilah Hjemselv) dari petanda-petanda konotasi, sedangkan retorik adalah forma dari penanda-penanda konotasi yang disebutnya sebagai konotator.

(41)

1.5.3 Fungsionalisme

Kajian ini juga menggunakan teori fungsi dari antropologi untuk mengungkapkan fungsi pidato adat dalam tradisi MG bagi masyarakat Minangkabau. Pengungkapan aspek fungsi diperlukan guna mendapatkan jawaban tentang faktor atau gagasan yang terkait dengan pemikiran atau ide perlunya melaksanakan pidato adat dalam tradisi MG, dan perlunya melaksanakan tradisi

MG itu sendiri, serta perlunya masyarakat mendukung pelaksanaan tradisi

tersebut. Sehubungan dengan konsep fungsi, cukup banyak arti dan makna yang melekat pada kata fungsi ini. Bahkan, di bidang ilmu yang berbeda-beda dipasangkan makna yang berbeda-beda pula p, sesuai konteksnya masing-masing. Kata fungsi dalam penelitian ini, mengacu kepada arti kata fungsi dalam kajian antropologi.

Kata fungsi dalam antropologi mengandung makna yang cukup luas. Keluasan artinya bahkan, menyebabkan perlunya suatu perspektif yang mengkhususkan pengamatan pada masalah fungsi, yaitu fungsionalisme. Teori fungsionalisme dikembangkan pertama kali oleh Bronislaw Malinowski yang kemudian lebih dikembangkan oleh Radcliffe Brown. Malinowski dipandang sebagai tokoh aliran fungsionalisme murni yang lebih menekankan pada aspek individu, sedangkan Brown dikenal sebagai tokoh fungsionalisme struktural yang lebih menekankan pada aspek sosial.

(42)

Hakikat teori fungsionalisme menurut Malinowski14 adalah bahwa segala aktivitas kebudayaan manusia sebenarnya bermaksud untuk memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri makhluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya. Kesenian, sebagai salah satu unsur kebudayaan misalnya, terjadi karena mula-mula manusia ingin memuaskan kebutuhan nalurinya akan keindahan. Ilmu pengetahuan juga timbul karena kebutuhan manusia untuk tahu. Melalui paham fungsionalisme, peneliti dapat menerangkan banyak masalah dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan manusia.

Kaidah prinsip dalam fungsionalisme adalah bagaimana keterkaitan antara institusi-institusi atau struktur-struktur suatu masyarakat sehingga membentuk suatu sistem yang bulat, karena sebagai suatu perspektif teoretik, fungsionalisme dalam antropologi bertumpu pada analogi dengan organisme. Artinya, ia membawa kita memikirkan sistem sosial budaya sebagai semacam organisme yang bagian-bagiannya tidak hanya saling berhubungan, melainkan juga memberikan andil bagi pemeliharaan, stabilitas, dan kelestarian hidup organisme itu. Dengan demikian, dasar semua penjelasan fungsionalisme ialah asumsi (terbuka maupun tersirat) bahwa sistem budaya memiliki syarat-syarat fungsional tertentu untuk memungkinkan eksistensinya.

Bisa dikatakan bahwa sistem budaya memiliki kebutuhan yang semuanya harus dipenuhi agar sistem itu dapat bertahan hidup. Bila kebutuhan sistem fungsional itu tidak dipenuhi, maka sistem itu akan mengalami disintegrasi atau “mati” atau berubah menjadi sistem lain yang berbeda jenis (Kaplan, 1999:

14

Referensi

Dokumen terkait

&ata tahu bera#al *ari baha#a ina yaitu tao-hu teu- hu/tokwa..  Mengenal Formalin dan

Kemudian setelah dikembangkan komputer maka metode ini menjadi maju sangat pesat dan menjadi alat yang handal bagi para praktisi teknik sipil untuk menyelesaikan

ilmu bagi penulis selama di kelas.. Pimpinan, Supervisor dan rekan rekan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian di Angkringan Gadjah

HIMPUNAN MAHASISWA JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH PANITIA PELAKSANA PERINGATAN SUMDAWAN TAHUN 2016 Sekretariat: Kampus FHIS Undiksha Jalan Udayana No.11 Singaraja-Bali

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan peningkatan keterampilan guru dan hasil belajar dalam pembelajaran IPS materi perkembangan teknologi dengan

Kostrada, dan Kostratani dengan instansi teknis pertanian lingkup pemerintahan kabupaten atau kota dan unsur Penyuluh Pertanian pendamping dari BPTP dalam

Modul ini dikembangkan dengan tujuan agar mahasiswa mengerti, memahami masalah Penggunaan Obat yang Rasional ( POR ); memahami dan berkemampuan cara mengidentifikasi masalah POR;