• Tidak ada hasil yang ditemukan

Obyek yang dibiayai Kendaraan bermotor yang dibeli, namun yang disimpan di Pegadaian BPKB

Dalam dokumen NOTULA bIMTEK eKOSYAR 2014 (Halaman 46-51)

47

T E R I M A

K A S I H

PT Pegadaian (Persero)

Kantor Pusat, Jalan Kramat Raya 162, Jakarta 10430 Tel.: (62-21) 315 5550 (Hunting), Fax : (62-21) 391 4221

TANYA JAWAB: 1, Andi Muhammad Yusuf Bakri, S.HI, Hakim PA Takalar Pertanyaan

Mengapa rahn dimasukkan dalam kelompok akad tabarru’ bukan tijarah, sedangkan dalam implementasi kegiatan gadai, substansi perolehan keuntungan (ujrah) terletak pada akad ijarah, yaitu sewa tempat penyimpanan marhun?.

Jawaban

Akad rahn memang tepatnya masuk pada pengelompokan akad tijarah. Namun, perlu diingat bahwa dalam implementasi gadai atau rahn, akad rahn tidak pernah berdiri sendiri. Akadnya selalu bersifat murakkab. Akad rahn selalu dikombinasikan dengan akad-akad lain. Misalnya dalam gadai suatu barang bergerak seperti emas. Akad pokoknya adalah qard, yaitu pinjaman tak berbunga berdasar tabarru. Adapun akad tabi’iyahnya adalah akad rahn dan selanjutnya dengan akad ijarah. Demikian halnya jika multi akad tersebut dibentuk dari formasi akad bai’ dan rahn. Intinya bahwa rahnnya itu sendiri adalah akad tabarru’.

2. DR. HJ. HARIJAH DAMIS, SH, MH, Wakil Ketua PA Makassar Pertanyaan

a). Bolehkah rahin menggadaikan marhun yang belum menjadi milik sempurnanya. Misalnya dalam gadai emas, semula adalah transaksi jual beli emas dengnan akad murabahan, sementara emasnya belum diserahkan kepada pembeli, langsung dilanjutkan dengan rahn?

48

Jawaban

Pada dasarnya marhun harus milik rahin, atau milik pihak ketiga atas izinnya. Namun, dari konteks yang dicontohkan penanya, yaitu suatu akad yang bermula dari jual beli emas secara angsur, yang langsung dilanjutkan dengan rahn, maka perlu dicatat bahwa marhun berupa emas tersebut tidak boleh dianggap belum menjadi kepemilikan sempurna sii pembeli. Konteksnya harus dipisah. Jual beli tersebut dengan sendirinya menimbulkan peralihan hak atas objek, adapun harga yang belum lunas itu adalah persoalan lain dan terpisah, yaitu mengenai kewajiban membayar pinjaman yang belum selesai. Jadi emasnya sudah harus dianggap sempurna sebagai milik pembeli dan sudah bisa dipindahtangankan, baik dengan jalan jual beli, gadai, dll.

b). Mengapa dalam konteks jual beli + gadai logam mulia yang kami contohkan di muka tidak menggunakan akad jual beli salam? Jika si pembeli belum punya modal cukup untuk membeli, sehingga harus menggadaikan kembali objek pembeliannya, maka apakah bukan jual beli salam yang lebih tepat?

Jawaban

Jual beli salam tidak tepat karena objek bai’nya sudah ada, meskipun masih di kantor pusat, belum di kantor pegadaian tempat dilaksanakannya jual beli. Perlu diingat bahwa pegadaian adalah corporate, maka keberadaan objek bai’ di kantor pusat dianggap sama dengan keberadaannya di kantor tempat implementasi riil bai’. Untuk jual beli salam, objek bai’nya belum ada.

c). Dalam salah satu klausul akad ditemukan bahwa dalam hal terjadi wanprestasi, maka akan dilakukan penjadwalan ulang utang.Akibatnya, akan terjadi pertambahan utang bagi Rahin. Bagaimana menjelaskan bahwa praktek demikian itu masih syar’idan tidak mengandung unsur riba?

Jawaban

Biaya tambahan akibat adanya penjadwalan ulang utang karena kelalaian nasabah membayar angsuran adalah ta’zir, yang bertujuan edukatif untuk mendisiplinkan nasabah.Biaya ta’zir tersebut tidak dijadikan sebagai sumber keuntungan perusahaan pegadaian, melainkan dijadikan biaya untuk kegiatan sosial, yang memang sudah diatur dalam salah satu klausul pada akad. Jadi, sama sekali bukan riba dan insya Allah tetap syar’i. Demikian halnya dengan lelang, jika ada selisih harga lelang dengan kewajiban rahin, lalu dalam 1 tahun selisih tersebut tidak diambil rahin, maka klausul dalam akadnya menyebutkan pewakilan (wakalah) kepada pihak pegadaian syariah untuk menyalurkankannya dalam kegiatan sosial.

3. DR. SULTAN, S.Ag., SH, MH, Hakim PA Sungguminasa

Pertanyaan

Bagaimana cara pegadaian menentukan besaran ujrah bagi setiap nasabah untuk menghindari terjadinya riba berupa penarikan keuntungan dari modal yang dipinjamkan? Jawaban

Besarnya ujrah ditentukan bukan melalui akad pinjaman uang kepada nasabah sebab akadnya adalah qard.Penarikan ujrah dilakukan dalam akad ijarah, yaitu sewa tempat penyimpanan marhun. Karena itu, untuk menentukan berapa besarnya ujrah, pihak

49

pegadaian tidak berpatokan pada jumlah pinjaman atau marhun bih, melainkan pada

marhun-nya. Setidaknya ada 4 cara menghitung ujrah: a) Berdasarkan volume barang

b) Berdasarkan berat barang

c) Berdasarkan karat-ase-nya, kalau marhun berupa emas.

d) Berdasarkan nilai taksir dengan penggabungan pendekatan-pendekatan di atas. 4. Drs.Muh. Iqbal, MH, Hakim PA Makassar

Pertanyaan

Bisakah Bapak menjelaskan kembali produk-produk pegadaian beserta formasi akad murakkabah pada masing-masing produk tersebut?

Jawaban

Setidaknya ada 4 produk pegadaian syariah, yaitu:

a) Gadai Syariah. Formasi murakkabahnya adalah qard, rahn, ijarah.

b) Arrum (Arrahn untuk usaha mikro). Formasinya adalah qard, rahn tasjily (jaminan fidusia).

c) Mulia (Murabahah untuk logam mulia). Formasinya, murabahah + rahn.

d) Amanah (untuk gadai benda tetap => belum berjalan, menunggu kebijakan pemerintah).

5. Cholidul Azhar, SH, M.Hum, Hakim Tinggi PTA Makassar Pertanyaan:

a) Menurut ketentuan peraturan perundang-undangan, jauh sebelum adanya gadai syariah bahwa salah satu tujuan diadakannya pegadaian (konvensional) oleh pemerintah adalah untuk menghindari riba. Barangkali itulah sebabnya dalam pegadaian konvensional keuntungan yang diambil dari nasabah bukan berupa bunga, tetapi menggunakan istilah sewa modal. Dalam hal bagaimana pihak pegadaian mengartikan riba, bukankah sewa modal itu pada hakikatnya identik dengan riba?

Jawaban:

Dalam PP No. 178 th. 1961 tentang Pendirian Perusahaan Negara Pegadaian (pasal 6) yang telah dicabut, maupun dalam PP No. 103 Tahun 2000, tentang Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian, pasal 7, disebutkan, bahwa maksud dan tujuan Perusahaan adalah :

a. turut meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama golongan menengah ke bawah melalui penyediaan dana atas dasar hukum gadai, dan jasa di bidang keuangan lainnya berdasarkan ketentuan peraturan perudang-udanganan yang berlaku;

b. menghindarkan masyarakat dari gadai gelap, praktek riba dan pinjaman tidak wajar lainnya.

Pengertian riba yang dimaksud dalam pasal tersebut tentunya adalah menurut ketentuan perdata umum, yakni bunga berbunga, dan itu tidak dilakukan di pegadaian. Dalam

50

pegadaian konvensional pegadaian mengambil keuntungan gadai berupa sewa modal yang dipinjamkan kepada nasabah,

b) Bagaimana hubungannya bank syariah dengan gadai syariah, karena di bank syariah juga ada produk gadai emas, instansi manakah sebenarnya menurut peraturan perundang- undangan yang berwenang menyelenggarakan gadai?

Jawaban:

Menurut PP no. 178 tahun 1961, semula hanya Pegadaian yang diberii kewenangan oleh Pemerintah untuk menyelengggarakan gadai (konvensional), tetapi kemudian berdasarkan PP No, 103 th. 2000 dikembangkan dengan gadai syariah. Adapun produk bank syariah ada yang berupa gadai (emas), itu adalah berdasarkan UU No. 21 tahun 2008 yang membolehkan bank syariah untuk melakukan pembiayaan dengan produk gadai (rahn). Dalam hal ini antara pegadaian dan bank syariah tidak ada hubungannya.

51

SLIDE SHOW

Bimtek Ekonomi Syariah Pengadilan Tinggi Agama Makassar

Makassar, 10 April 2-14

Anang Hery Anshory

MATERI III

IMPLEMENTASI PRODUK BANK SYARIAH

Dalam dokumen NOTULA bIMTEK eKOSYAR 2014 (Halaman 46-51)

Dokumen terkait