• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ong, Transisi Sampul dan Penerbitan Yogyakarta

BAB II PERBUKUAN KITA: DARI PENERBITAN KE PENERBITAN …

D. Ong, Transisi Sampul dan Penerbitan Yogyakarta

Industri penerbitan buku di Yogyakarta di masa Orde Baru pada mulanya

hanya merupakan bisnis biasa yang terkadang tanpa mempertimbangkan sisi

estetika buku secara keseluruhan.53 Ong Hari Wahyu memberikan contoh penerbit

tua seperti Kedaulatan Rakyat yang menerbitkan secara asal buku cerita silat: Api

Di Bukit Menoreh yang dicetak tanpa pertimbangan estetika tersebut. Biasanya buku hanya diterbitkan dengan pertimbangan asal laku di pasar.

Menurut Hairus Salim, salah seorang pelaku di dunia perbukuan, yakni di

dalam LKIS, pernah menjelaskan, bahwa saat periode 1980an akhir sampai

1990an awal, penerbit besar yang eksis di Yogyakarta hanyalah Kanisius. Baru

kemudian penerbit seperti Salahudin Press dan Sari Ilmu Press, itu pun kemudian

kolaps. Sementara ketika menjelang medio 1990an hingga 2000an awal,

buku-buku yang di luar penerbit Yogyakarta, banyak diwarnai oleh terbitan Misan dari

53

38

Bandung, lalu dari Jakarta ada Erlangga, Rajawali, Grafiti, Sinar Harapan dan

tentunya Gramedia. Salim mengemukakan bahwa:

“Dulu penerbit menjual pakai jasa distributor ke toko buku. Tidak ada yang namanya penjualan langsung. Baru kalau ada pameran buku tahunan yang diselenggarakan IKP, atau badan-badan lainnya, itu penerbit baru bisa menjual langsung. Makanya waktu itu hanya orang yang berinvestor besar yang berani bikin penerbit, gak bisa kecil-kecilan. Nggak bisa kalau pas-pasan ke penerbit, misalkan dengan uang 100 juta, langsung nyungsep itu, karena nanti akan ada hukum distribusi dan hukum pemasaran, sehingga nggak mudah menentukan pasar. Jadi secara umum cuma orang yang punya modal besar yang bisa masuk ke penerbit dan menjadi penerbit.”54

Pada masa itu, para penerbit buku tidak mempertimbangkan baik itu dari

segi estetika sampul atau buku secara keseluruhan, sehingga buku-buku yang

diterbitkan kurang memberikan rangsangan pada pembacanya. Tren mulai

bergeser ketika anak-anak muda di antaranya Ong Hari Wahyu dan Buldan mulai

memasuki dunia penerbitan, terutama bagaimana Ong Hari Wahyu dan

kawan-kawan melakukan sebuah proses kreatif yang lebih inovatif terhadap perwajahan

sampul dan buku secara umum. Di antaranya membuat tafsir sampul dan konten

yang dimulai dengan penerapan hukum-hukum seni rupa dan grafis dan membuat

lay out isi secara lebih rapi dan enak dibaca. Gerakan baru ini bisa dikatakan diinisiasi oleh Buldanul Khuri, yang mendirikan Penerbit Bentang pada tahun

1992 setelah Penerbit Shalahuddin Press bubar55. Di penerbit Bentang ini Buldan

mengajak Ong Hari Wahyu mengisi posisi sebagai desainer sampul. Menurut

Buldanul Khuri, di Yogyakarta, bahkan di Indonesia, Ong Hari Wahyu adalah

desainer sampul paling bagus dan memberi warna baru. Untuk keperluan penerbit

Bentang saja, Ong selalu membuat cover dengan kualitas bagus, kendati biasanya

agak lamban. Buldanul Khuri juga menambahkan, bahwa dalam soal typografi,

54 Wawancara dengan Hairus Salim, 2 Mei 2019. 55

39

Ong tidak pernah membuat yang jelek untuk buku-buku yang digarapnya.

Kemahiran dalam typografi ini menurutnya didapat salah satunya dari Ari Wijaya dari penerbit Shalahudin Press. “Entah Si Ong menyadari atau tidak kepekaan

terhadap huruf itu, Ari Wijaya yang menambahkan” terangnya.56

Namun, meskipun telah melakukan semacam upaya yang cukup progresif

terhadap kreativitas produksi buku dibanding penerbit-penerbit lama, terutama

dalam menciptakan wajah sampul buku, Ong Hari Wahyu sendiri masih belum

mampu melakukan eksplorasi yang cukup bebas. Ada dua alasan yang cukup

menonjol mengapa itu bisa terjadi. Pertama, akses informasi yang masih terbatas

membuat para kreator kekurangan bahan referensi. Kedua, adanya penerapan

pengawasan melekat rezim Orde Baru, di mana setiap penerbit harus mendapatkan

izin terlebih dahulu dari pihak Kejaksaan untuk menerbitkan naskah mereka. Dua

alasan tersebut membuat para kreator/penerbit buku, terutama Ong Hari Wahyu

menjadi terhambat kebebasannya dalam berekpresi.

Perkembangan selanjutnya secara sosio-historis dalam konteks apa yang

mempengaruhi perwajahan sampul buku di Yogyakarta adalah spirit atau

semangat berkebudayaan anak-anak muda di masa Ong Hari Wahyu. Semangat

kebudayaaan ini yang tidak ditemukan dalam konteks penerbitan buku di daerah

mana saja di Indonesia. Pada lazimnya, para penerbit buku berangkat dengan

semangat bisnis atau orientasinya pada keuntungan semata. Di Yogyakarta,

penerbit-penerbit muda justru melakukan sebaliknya. Mereka tidak mengabdi

pada keuntungan semata, atau bekerja demi mendapatkan untung. Semangat ini

juga berpengaruh terhadap ongkos produksi yang menjadi sangat murah

56

40

dibandingkan daerah-daerah lain di Indonesia. Bahkan Penerbit Bentang yang

didirikan Buldan lebih dikenal sebagai penerbit gerakan yang biasanya nirlaba.

Aktivitas mereka didasari oleh semangat memberikan akses pendidikan

pada masyarakat melalui buku yang diterbitkan, pada satu sisi, dan semangat

melengkapi identitas Yogyakarta sebagai kota pelajar dengan menghadirkan buku

murah dan bermutu sebagai cindera mata. Hal itu terbukti dengan ramainya

orang-orang memborong buku ketika berada di Yogyakarta. Kesadaran inilah yang

semakin memperkokoh ikatan kolektif atau kegotong-royongan di antara

anak-anak muda Yogyakarta, terutama dalam konteks penerbitan. Ketiga faktor

semangat itu pulalah yang kemudian mempengaruhi kreativitas dalam membuat

sampul buku dan jenis buku terbit yang berbeda dengan penerbit-penerbit di

Indonesia. Ketika para penerbit mayor seperti Gramedia mempertimbangkan

sebuah naskah membutuhkan waktu tiga bulan, penerbit-penerbit Yogyakarta

tidak membutuhkan waktu lama memutuskan apa yang akan diterbitkan. Tidak

heran jika kemudian banyak buku-buku seri wacana filsafat dan kritis diterbitkan

di Yogyakarta di masa itu. Maksudnya buku-buku Yogyakarta memang

memberikan banyak informasi tentang dunia literasi, namun lemah dalam konteks

penerjemahan karena terlalu cepat memutuskan produksi.

Jika di masa Orde Baru atau di akhir masa Orde Baru penerbit Yogyakarta

lebih berorientasi pada semangat membangun wacana kritis tanpa

mempertimbangkan keuntungan. Maka di masa Reformasi terutama medio 2005

penerbit-penerbit di Yogyakarta lebih banyak dimasuki semangat bisnis yang

41

penerbitan marak dengan buku-buku fiksi, terutama fiksi remaja dan novel pop

roman, demi mengejar oplah pembelian yang tinggi.

Pergeseran orientasi dari penerbitan bacaan yang bersifat kritis, dalam hal

ini biasanya mengandung muatan kritik sosial maupun politik, untuk kemudian

beralih pada penerbitan tema-tema popular demi mengejar oplah pembelian, alias

mengejar keuntungan bisnis, tentunya juga mempengaruhi perwajahan sampul

buku. Dalam hal ini, mulai muncul upaya perwajahan buku yang menarik secara

visual, sehingga menggugah konsumen. Pergeseran itu, sebagaimana diakui Ong

Hari Wahyu, demikian tampak menjadi fenomena yang menentukan arus

perbukuan di Yogyakarta.

Meskipun demikian, Ong Hari Wahyu masih berkarya melalui tafsir dan

intuisi seorang seniman seni rupa tanpa mengabaikan aturan main seni grafis yang

berlaku. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Buldan ketika ia

mempertimbangkan desain sampul buku-buku yang diterbitkan Bentang Pustaka,

yakni dengan memilih karakter setiap pelukisnya. Tak heran jika menurut Buldan,

bahwa dalam proses pembuatan sampulnya, Ong terbilang sama sekali tidak

meniru atau mengambil inspirasi dari gaya sampul lain yang muncul di masa itu.

Adapun nuansa pasca kolonialitas dalam karya-karya Ong Hari Wahyu pun bisa

dikatakan lahir dari latar belakang yang membentuk semangat zamannya dan

mempengaruhi karya-karyanya. Di masa Orde Baru yang penuh tekanan politik,

melahirkan sikap kritis sebagai bentuk perlawanan. Dari semangat zaman tersebut

memberikan dampak terhadap kesinambungan dalam cara berproses kreasi hingga

saat ini. Sampul buku sebagai karya desain, selain mengandung unsur estetik dan

42

nilai-nilai budaya yang membentuknya. Desain ada dan tercipta selalu dalam

ruang budaya.57 Ruang-ruang budaya dalam hal ini tentu terus memberi

kesempatan celah seturut kehendak zaman selama sikap kritis ada dan

berlangsung sesuai konteks yang hadir.

Sampul buku sebagai media komunikasi visual memiliki beragam aspek

bahasa visual, antara lain tipografi (cara mengorganisir huruf), tata letak, ilustrasi,

jenis kertas, dan finishing cetak. Sebagai sebuah karya desain, aspek-aspek

tersebut membentuk citra sampul buku seperti yang direncanakan. Peran ilustrasi

dalam sampul umumnya sebagai daya tarik. Akan tetapi, ditinjau dari

perkembangan gaya, ilustrasi dapat menjadi penanda gaya desain dalam kurun

waktu tertentu (ikon zaman).58 Gaya desain di sini dapat dilihat dari tren ilustrasi

tertentu yang mendominasi pada zaman tertentu.

Kendati demikian, pada masa orde baru secara umum pengerjaan sampul

di semua penerbitan masih belum berani mengolah secara kreatif, apalagi

menampilkan simbol-simbol yang sensitif bagi rezim orde baru yang hegemonik,

seperti lars sepatu militer dan lain sebagainya. Dalam hal ini, nilai fungsional

buku, tetap merupakan pertimbangan utama, ketimbang nilai artistik. Sehingga tak

jarang buku tentang Kartini misalnya, pasti akan selalu menampilkan foto wajah

kartini dengan pakaian jawanya, sehingga fungsional yang dimaksud lebih kepada

pembentuk identitas seperlunya semata, alih-alih melindungi buku.59 Bahkan

sebagai ide promosi pun, sampul buku masih bukan dianggap sebagai potensi.

Bahkan buku yang dicetak untuk kepentingan buku ajar, baik di sekolah maupun

57

Koskow, Merupa Buku (Yogyakarta: LKIS, 2009), hlm. 31.

58 Koskow, Ibid, hlm.32.

59 St. Sunardi, “Sampul di Atas Sampul Memeriksa Poster Buku Baru di Yogyakarta”, dlm, St. Sunardi, Vodka dan Birahi Seorang Nabi: Esai-Esai Seni dan Estetika (Yogyakarta: Jalasutra, 2017), hlm. 292.

43

kampus, kerap tampak tidak mementingkan desain sampulnya harus seperti apa.

Mengingat sudah memiliki pasar khusus, apalagi menyangkut dosen-dosen yang

menjadi penulis bukunya.

Hal-hal semacam ini di kemudian hari mengalami perubahan, khususnya

di jelang akhir otoritas Orde Baru, seiring dengan gelombang gerakan mengkritisi

rezim, hingga puncaknya pada reformasi. Dalam masa “menyongsong reformasi”

inilah, beberapa buku-buku kritis lahir dari berbagai penerbit, mulai dari yang tak

bersampul, fotokopian, hingga secara sederhana dicetak oleh penerbit-penerbit

kecil, atau yang kala itu dikenal sebagai penerbit gang (berlokasi di kawasan

kos-kosan mahasiswa, atau di kampung-kampung).60 Dari sini mulai lahir pula

keberanian untuk mengolah ekspresi-ekspresi, termasuk di dalam sampul. Faktor

politik senjakala rezim Orde Baru, bersambut gayung dengan gairah ekspresi dan

kebebasan seni yang bersaling-silang dengan arus informasi. Kendati demikian,

hanya beberapa penerbit yang cukup penting untuk didudukkan di dalam medan

pertarungan pasar perbukuan yang mengkombinasikan atau mensintesiskan, di

satu sisi nilai fungsional buku sebagai pembungkus dan pelindung buku, maupun

sekedar sebagai identitas pelengkap, dan di sisi lain nilai artistik yang

mengedepankan desainer-desainer sampul hingga layout buku, yang juga

melibatkan seniman-seniman. Bentang Budaya dan Mata Bangsa yang didirikan

Buldanul Khusri, yang merupakan dua penerbitan yang muncul di zaman itu,

dengan keberanian sintesis tersebut, bahkan sengaja menghadirkan buku-buku

dengan bobot isi atau kualitas gagasan yang mewarnai wacana tertentu, khususnya

44

di bidang sastra, sosial, seni dan budaya. Tak heran Buldanul Khuri pernah berkata, bahwa “Buku harus memberi perubahan sosial.”61

Maka terbitan Bentang Budaya dan Mata Bangsa pada dekade 1990an

hingga 2000an, seakan melanjutkan tongkat estafet dari masa Pustaka Jaya,

dengan sentuhan semangat yang beriringan dengan senjakala rezim, maupun

menyongsong era pasca-otoritas dengan perlahan dibukanya angin kebebasan

berekspresi. Dari situ, setidaknya perjumpaan antara penerbit dan perupa, yang

sebenarnya di Indonesia sudah terjalin cukup lama, kian diperkuat. Tentunya

dalam hal ini terkait perihal penggarapan sebuah sampul buku. Dalam proses

keberlanjutan kerjasama perupa atau seniman lukis dengan dunia penerbitan buku,

di masa 1990-an sampai 2000-an inilah, Ong Hari Wahyu terbilang menjadi

perantara. Ong Hari Wahyu di satu sisi adalah seorang seniman sekaligus

desainer, namun ia juga turut merancang aplikasi penggunaan karya-karya rupa

dari seniman-seniman.

Dalam hal ini, Bentang Budaya dan Mata Bangsa yang digawangi

Buldanul Khuri, sengaja menggunakan karya-karya seniman rupa, untuk

kemudian disortir dan dirancang ke dalam sampul oleh Ong Hari Wahyu. Posisi

Ong Hari Wahyu, baik sebagai perancang sampul yang mengolah dari karya

lukisnya atau mengolah dari bahan milik seniman lain menghasilkan karya yang

dinilai sangat berkualitas. Hal ini tidak lepas dari keutuhannya dalam menggarap

61Dorothea Rosa Herliany, sempat menuliskan biografi pendek tentang Buldanul Khuri, iasengaja melampirkan komentar Buldan berkaitan dengan visi penerbitannya, yakni: “Buku itu harus memperkaya otak dan jiwa, Buku seni dan sastra itu bagian dari memperkaya jiwa kita, sedangkan buku-buku non-fiksi bisa memperkaya otak kita. Selain dua ini, itu tidak bisa disebut buku. Hanya sekedar leaflet atau brosur. Sekali baca, dibuang ke tong sampah.” Dan juga: Buku adalah karya seni rupa dan karya intelektual. Karena itu, isunya harus bagus, kovernya harus bagus. Kalau isinya sudah bagus, kovernya tak bagus, waduh, buku kok jelek. Sebagai karya seni rupa, buku harus tampil menarik. Itu artinya menghargai pembaca yang membeli buku, Kita sajikan menu masakan yang rasanya enak, kira-kira begitu.” Periksa Dorothea Rosa Herliany, Buldan dengan

45

prosesnya dari awal hingga akhir. Dengan demikian karya Ong Hari Wahyu di

dalam visual perbukuan menentukan sebuah corak seni rupa sampul buku di

Yogyakarta, bahkan Indonesia.

Sampai di sini, bisa kita simpulkan bahwa semangat atau spirit adalah

penentu utama di dalam proses kreatif para penerbit di dalam menghasilkan desain

sampul buku yang diterbitkan. Semangat atau spirit ini juga mewakili zaman di

mana kemudian mempengaruhi setiap penerbit atau pelakunya. Semangat zaman

ini pula yang mempengaruhi dan membentuk karya-karya Ong Hari Wahyu, baik

di masa Orde Baru hingga Refomasi. Dalam rentang waktu itulah, Indonesia

mengalami fase yang banyak dipenuhi semangat kritik atas rezim, alias semangat

perlawanan. Dalam semangat perlawanan tersebutlah, corak pembuatan sampul

turut terinfluensi. Adapun latar belakang konteks jaman itulah yang membuat

karya-karya sampul Ong Hari Wahyu sejalan dengan kontek pascakolonialitas,

yakni adanya sentuhan efek antara resistensi dan keterikatan dengan realitas orde

baru, di sisi lain, sebagai pemahaman kenyataan melalui pendekatan

pascakolonial, konsepsi ambivalensi ala Bhabha, cukup berguna di dalam

46

Dokumen terkait