• Tidak ada hasil yang ditemukan

Percobaan I. Isolasi dan Identifikasi Kapang Entomopatogen Lagenidium

Percobaan 4. Kuning Telur dan Minyak Jagung sebagai Alternatif

B. Membandingkan 3 Media Biakan Cair Dalam Memproduks

13. Oospora pada Media Kuning Telur Plus

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Jumlah Larva Aedes aegypti yang Mati dan Hidup pada Setiap

Konsentrasi Zoospora ... 39 2. Hasil Percobaan Penghitungan LD5 0 dan LD9 5 Zoospora ... 40 3. Hasil Percobaan Penghitungan LD5 0 dan LD9 5 Oospora Terhadap Larva Nyamuk Aedes aegypti ... 41 4. Rataan Berat Kering Koloni Kapang L. giganteum pada 3 Media

Dalam Ukuran Gram ... 50 5. Rataan Jumlah Oospora dari 3 Macam Media Biakan Cair ... 53 6. Harga Perkiraan 3 Macam Media Biakan per Liter ... 70

Lampiran

1. Penghitungan statistik untuk membandingkan 3 media dalam menghasilkan berat kering koloni Lagenidium giganteum

2. Penghitungan statistik untuk membandingkan 3 media dalam menghasilkan oospora Lagenidium giganteum

3. Jumlah kematian larva Ae. Aegypti pada berbagai konsentrasi oospora 4. Jumlah rata – rata kematian larva Ae. Aegypti pada berbagai konsentrasi

oospora

5. Jumlah kematian larva mulai hari kelima sampai hari kedua belas terhadap paparan oospora

PENDAHULUAN Latar Belakang

Di Indonesia penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit yang ditakutkan oleh masyarakat. Penyakit ini sudah ada sejak tahun 1968. Penyakit ini disebabkan oleh virus dan ditularkan oleh nyamuk. Penyakit ini menyebar ke seluruh negeri dan tidak mengenal status pola hidup baik di pedesaan maupun di perkotaan. Hingga sekarang DBD merupakan salah satu masalah kesehatan di Indonesia yang makin lama makin bertambah penderitanya dan terus meningkat serta meluas daerah penyebarannya serta menimbulkan kejadian Luar Biasa (KLB). Angka kesakitan pada tahun 1990 adalah 12.7 per 100.000 penduduk, pada tahun 1994 angka kejadian menurun menjadi 9.72 per 100.000 dan pada tahun 1995, 1996 kejadiannya meningkat kembali menjadi 18.5 dan 23.22 per 100.000 penduduk. Peningkatan kejadian ini kemungkinan besar karena semakin luasnya wilayah terjangkit. Dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa terjadi peningkatan yang luar biasa kasus demam berdarah (Muchlastriningsih dkk, 2001).

Penyebaran penyakit ini sangat terkait dengan habitat dari nyamuk ve ktor yang kebanyakan berada di daerah tropis sampai subtropis. Beberapa penelitian di Taiwan, Filipina, Indonesia dan Pasifik memperlihatkan bahwa selain nyamuk Ae. aegypti (Ae aegypti) dan Ae. albopictus, virus juga ditularkan oleh Ae. polynesiensis dan Ae. scutellaris. Pandemi DBD mulai timbul di Asia pada masa perang dunia kedua. Perang menghancurkan ekologi dan me ngubah demografi, sehingga mengakibatkan meningkatnya transmisi dengue dari nyamuk Aedes ke manusia. Akibat proses urbanisasi besar-besaran di Asia Tenggara, jutaan orang

pindah ke kota untuk mencari makan, perumahan dan pekerjaan. Tidak hanya urbanisasi, orang-orang juga mulai sering melakukan migrasi sehingga transmisi dengue semakin meluas . Epidemi pertama DBD di Asia Tenggara terjadi di Manila, Filipina pada tahun 1954, diikuti oleh epidemi kedua pada tahun 1956. Epidemi ketiga terjadi di Bangkok pada tahun 1958 dan aktifitas epidemi terja di setiap 3 sampai 5 tahun. Tahun 1995 DBD telah menjadi penyebab utama kematian pada anak-anak di berbagai Negara Asia (Gubler 1997).

Di Indonesia pertama kali DBD masuk di Surabaya pada tahun 1968, jumlah penderita 58 orang dengan angka kematian 40% . Setelah itu jumlah kasus meningkat dan pada tahun 1999 untuk wilayah DKI menunjukkan dari 3751 kasus DBD meninggal 42 orang (1.12%), Jawa Barat dari 1835 orang penderita 47 orang (2.56%) meninggal. Secara nasional dari 18.939 orang penderita ditemukan 356 orang (1.88%) meninggal. Pada tahun 1998 angka penderita mencapai 15.425 dengan 134 orang mengalami kematian dan pada tahun 2004 kejadian terulang kembali dengan jumlah penderita 59.321 dengan jumlah kematian 669 (1,13%) antara bulan januari sampai Mei. Menurut Tampubolon (1992), jumlah penderita DBD meningkat pada bulan-bulan musim hujan dan akan menurun pada musim kemarau. Penyebaran nyamuk vektor di daerah perkotaan adalah berhubungan dengan lingkungan hidup dan kondisi perumahan, dengan distribusi paling tinggi di perumahan kumuh dan Ae. albopictus banyak ditemukan di daerah terbuka yang ada tumbuh-tumbuhan (Chan et al. 1972).

Semua nyamuk mengalami metamorfosis sempurna dari mulai telur, larva, pupa hingga menjadi nyamuk dewasa. Dalam hidupnya larva dan pupa memerlukan air untuk kehidupannya sedangkan pada bentuk telur untuk beberapa

spesies seperti Ae. aegypti dapat bertahan dalam waktu lama tanpa air tetapi harus dalam keadaan yang lembab. Dalam tindakan pengendalian vektor penyakit ini sudah banyak dilakukan dan cara yang dianggap terbaik adalah dengan cara memutus rantai penularan yaitu dengan penggunaan insektisida yang berbahan kimia. Cara ini merupakan salah satu cara yang target sebenarnya adalah membunuh nyamuk dewasa dan siklus kehidupan masih terjadi karena baik telur ataupun larva masih mampu bertahan.

Sampai sekarang cara pengobatan untuk DBD belum ditemukan dan pengobatan yang sudah dilakukan hanya bersifat simptomatis , sedangkan cara vaksinasi untuk tindakan pencegahan, pada saat sekarang ini baru mulai dikembangkan dan hasilnya belum jelas. Cara pencegahan yang tepat guna adalah dengan cara menekan perkembangan dari vektor. Cara yang dianjurkan oleh DepKes dikenal dengan istilah 3 M yaitu menguras atau menabur larvasida , menutup penampungan air dan mengubur barang-barang bekas. Cara yang sudah umum dilakukan adalah dengan insektisida yang aplikasinya menggunakan sistem aerosol dengan teknik Ultra Low Volume, Fogging maupun Mist Blower dengan berbahan dasar kimia salah satunya adalah malathion. Cara lain yang biasa digunakan di rumah tangga adalah dengan cara penggunaan obat nyamuk bakar, tissue, oles dan elektronik. Cara pengendalian ini hanya akan berpengaruh pada nyamuk dewasa dan banyak mengandung kelemahan dan resiko yang menyangkut implementasi dan aplikasinya, sedangkan larva nyamuk sebagai calon nyamuk dewasa tidak terbasmi. Mengingat makin maraknya orang menggunakan insektisida yang sangat berbahaya, terkait dengan pencemaran lingkungan,

pengaruh terhadap residu dan faktor resikonya terhadap makhluk hidup maka dic oba dikembangkan bahan pengendali yang bersifat biologis.

Pengendalian hayati merupakan suatu teknik pengendalian populasi hama pengganggu tumbuhan, hewan ataupun vektor penyakit dengan memanfaatkan musuh alami yang ada di alam baik berupa parasit, predator ataupun organisme patogen. Teknik pengendalian ini hanya berfungsi untuk menekan perkembangan hama, mempunyai toksisitas yang sangat rendah terhadap manusia dan bersifat spesifik. Penggunaan teknik pengendalian hayati sudah lama dikenal sebelum manusia menggunakan teknik pengendalian dengan menggunakan pestisida berbahan kimia dan pada tiga dasawarsa terakhir ini sudah banyak ditinggalkan akibat semakin maraknya macam pestisida yang beredar. Dengan menggunakan musuh alami ini diharapkan tidak hanya menghilangkan salah satu mata rantai tetapi akan mampu menekan perkembangan dari siklus kehidupannya.

Insektisida merupakan zat yang digunakan untuk memberantas serangga yang dianggap merugikan kehidupan manusia. Dari tahun ke tahun formulasi insektisida mengalami perkembangan. Umumnya insektisida menggunakan bahan kimia sintetik. Penggunaan bahan kimia sebagai insektisida memberikan banyak keuntungan tetapi juga sangat membahayakan kehidupan manusia dan lingkungan. Penggunaan insektisida kimia secara sembarangan dapat mencemari lingkungan. Bahan kimia tersebut sangat sukar untuk diuraikan sehingga disinyalir dapat merusak lingkungan, selain itu banyak penelitian yang menyebutkan bahwa insektisida kimia dapat mengakibatkan gangguan kesehatan manusia misal ter jadinya kanker ataupun keracunan.

Studi pemanfaatan kapang entomopatogen sebagai salah satu agen pengendali hayati pada beberapa jenis vektor penyakit sudah banyak dilakukan. Kapang Lagenidium giganteum (L. giganteum) merupakan salah satu parasit fakultatif dari larva nyamuk dan pada tahun-tahun terakhir ini banyak peneliti mencoba untuk menjadikannya sebagai agen pengendali hayati. Ada tiga syarat utama yang dapat digunakan untuk mengembangkan agen hayati ini yaitu pertama mampu menurunkan populasi, kedua tidak berbahaya atau mengganggu manusia dan biota lainnya serta ketiga adalah mampu di produksi dengan mudah dan murah.

Dalam penelitian ini akan dicoba dilakukan isolasi dan identifikasi kapang L. giganteum yang berasal dari larva nyamuk yang ada di persawahan di lingkar Kampus IPB Darmaga Bogor, mencari media alternatif yang murah dan mudah, mempelajari mekanisme infeksinya serta melakukan uji efikasi.

TUJUAN PENELITIAN

1. Menemukan kapang entomopatogen L. giganteum asal persawahan di sekitar Bogor

2. Memisahkan siklus reproduksi dan mempelajari mekanisme infeksi dari kapang L. giganteum

3. Menemukan konsentrasi zoospora dan oospora yang mampu menekan populasi vektor penyebab DBD

4. Mendapatkan media yang murah dan mudah untuk produksi zoospora dan oospora.

MANFAAT PENELITIAN

Dari hasil penelitian ini diharapkan ditemukan agen pengendali hayati kapang entomopatogen L. giganteum yang nantinya mampu diproduksi secara besar-besaran sebagai alternatif pilihan pengendalian vektor penyakit DBD .

TINJ AUAN PUSTAKA 1. Penyakit DBD

DBD merupakan masalah kesehatan yang sangat penting di Indonesia sejak ditemukan kasus di Surabaya dan Jakarta pada tahun 1968 dengan 58 kasus penderita yang dirawat dan 24 orang meninggal. Menurut Pusdatin tahun 2004, terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) dengue di Indonesia antara Januari-Februari 2004 dengan penderita 17.707 dan menewaskan 322 orang (Anonim 2004). Pada tahun 1987 merupakan catatan kasus tertinggi yaitu dilaporkan 22.765 penderita dengan angka kematian 4,6% yaitu 1039 meninggal (Sutaryo dkk, 1996).

DBD merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue yang termasuk salah satu dari 66 anggota arthropode-borne virus dari familia Flaviviridae. Familia ini mempunyai 29 anggota yang menyebabkan penyakit pada manusia dan 2 virus penyebab terpenting adalah virus Dengue , dan Yellow Fever yang ditemukan pada tahun 1927. Baru kemudian virus penyebab lain pada dekade berikut yaitu Japanese encephalitis, St Louis encephalitis, tick borne encephalitis dan pada hewan ditemukan louping i11 khususnya pada domba (Rice 1990; Westaway dan Blok 1997). Menurut klasifikasi serologi dengan menggunakan pola reaksi silang dan hospes alaminya maka virus Dengue diketahui mempunyai 4 tipe yakni tipe 1, 2, 3, dan 4 termasuk sub grup ke 6 dan

di Indonesia ke empat tipe tersebut muncul sebagai penyebab DBD dan khusus tipe 3 menyebabkan penderita mengalami shock berat (Sutaryo dkk, 1996).

Virus Dengue mampu berkembang biak dalam tubuh manusia, monyet, simpanse, kelinci, mencit, marmot, tikus dan juga hamster serta serangga khususnya nyamuk. Primata merupakan hospes alami virus, viremia yang timbul biasanya lebih rendah dan lebih pendek masanya. Pada manusia viremia berkisar 2-12 hari, sementara pada primata 1-2 hari dan titer virus dala m darah manusia dapat mencapai lebih dari seratus kali dibandingkan pada darah binatang primata. Manifestasi infeksi virus Dengue sangat beragam mulai dari tanpa gejala, demam ringan, demam Dengue dan DBD. Dalam kenyataan manifestasi ringan dalam bentuk tanpa gejala dan demam ringan merupakan mayoritas (Sjahrurachman 1993).

Gejala klinis DBD berupa demam tinggi, fenomena perdarahan dan hepatomegali, pada anak-anak sering terjadi kelemahan, lesu secara tiba - tiba, dan rasa nyeri pada perut. Kadang diikuti kegagalan sirkulasi, tachycardia, diaphoresis seluruh alat gerak, dingin dan diikuti muka yang pucat. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya gejala yang khas yaitu trombositopenia dan hemokonsentrasi. Kegagalan sirkulasi terjadi pada saat suhu tubuh mulai mengalami penurunan, demam berlangsung selama 2-7 hari dan kemudian menjadi normal. Menurut WHO diagnosa DBD ditegakkan jika ditemukan 2 kriteria klinik dan adanya trombositopenia (kurang dari 100.000 per ml) dan hemokonsentrasi atau peningkatan nilai hematokrit minimal 20%. Kriteria kliniknya meliputi : demam mendadak tinggi dan terjadi 2-7 hari, fenomena

perdarahan, hepatomegali dan adanya renjatan (Sjahrurachman 1993 ; Halstead 1997).

2. Vektor Penyebab Penyakit

Vektor penyakit dengue perta ma kali dilaporkan di Beirut oleh Graham tahun 1903 pada seekor nyamuk dari genus Aedes. Di Australia oleh Bancroft pada tahun 1906 vektor tersebut diidentifikasi sebagai nyamuk Ae. aegypti. Nyamuk Ae. aegypti merupakan salah satu nyamuk dari genus Aedes yang ada di seluruh dunia yang berjumlah 600 spesies dan merupakan s pesies yang dianggap paling berbahaya . Sepuluh tahun kemudian, pada tahun 1916 di Filipina ditemukan oleh tim tentara Amerika, vektor lain untuk virus Dengue yaitu nyamuk Ae. albopictu s. Selain kedua spesies nyamuk tersebut virus Dengue juga ditularkan oleh Ae. polynesiensis dan Ae. scutellaris. Dalam siklus transmisinya Ae. aegypti disebut sebagai urban dengue sedangkan Ae. albopictus dan Ae. niveus merupakan jungle Dengue/forest Dengue (Rodhain dan Rosen 1997).

Dalam perkembangan hidupnya nyamuk Ae. aegypti merupakan arthropoda yang mengalami metamorfosis sempurna (holometabola). Siklus hidup dimulai dari telur yang menetas menjadi jentik atau larva, kepompong (pupa), pupa kemudian akan mengalami eklosi dan menjadi nyamuk dewasa. Telur dari nyamuk betina pada umumnya diletakkan secara individual pada dinding yang basah atau di permukaan air jernih yang tidak mengalir seperti kaleng, drum bekas, batok kelapa, ban bekas, vas bunga dan sebagainya. Telur ini mampu bertahan berminggu-minggu bahkan sampai berbulan-bulan (Rhodain dan Rosen 1997) . Untuk menetaskan telurnya nyamuk Aedes rata-rata memerlukan waktu satu sampai tiga hari pada suhu kamar (Cheng 1974). Apabila kelembaban terlalu

rendah maka telur akan menetas dalam waktu empat hari. Penetasan membutuhkan waktu 7 hari dalam suhu 160C dan pada suhu -20C sampai 420C telur Ae. aegypti dapat bertahan sampai berbulan-bulan. Larva nyamuk Ae. aegypti mempunyai empat instar yaitu instar 1, 2, 3 dan instar ke-4 yang berlangsung 9-12 hari. Larva memperoleh makanan dengan cara menyapu makanan menggunakan sikat mulut dan makanan larva berupa mikroorganisme dan bahan-bahan organik (Borror et al. 1992) . Larva menggantung pada permukaan air dan membentuk sudut lebih dari 450 dan sensitif terhadap pergerakan air (Kettle 1984) . Larva mempunyai sifon yang tidak langsing dan hanya memiliki satu pasang rambut (hairtuft) serta pekten yang tumbuh tidak sempurna (Soedarto 1989). Larva terdiri dari kepala, toraks dan abdomen yang bersegmen, serta tidak mempunyai rambut palmate. Waktu yang dibutuhkan larva untuk menjadi pupa adalah 9 sampai 12 hari (Levine 1990). Dalam stadium ini pupa tidak makan dan pupa akan berkembang menjadi nyamuk dewasa ya ng mempunyai masa hidup dua minggu sampai satu bulan. Stadium dewasa mempunyai ciri khas yaitu belang putih hitam keperakan terutama didaerah toraks, kaki dan warna keperakan pada sisi skutelum (Yap dan Chong 1995). Nyamuk dewasa baru menghisap darah setelah satu kali kawin dan biasanya nyamuk Ae. aegypti menggigit mangsanya pada siang dan sore hari khususnya di tempat yang agak gelap .

Delapan sampai sebelas hari setelah menghisap darah penderita DBD, virus akan masuk di dalam lambung vektor. Di dalam tubuh vektor, virus berkembang biak dan setelah periode tertentu virus akan ditemukan di dalam kelenjar ludah dan siap untuk disebarkan. Nyamuk menjadi infektif selama

hidupnya dan secara eksperimental telah dibuktikan bahwa nyamuk Ae. albopictus dapat menularkan secara transovarial pada nyamuk keturunannya (Manson-Bahr dan Bell (1987) dalam Sutaryo dkk, 1996). Menurut Umiyati dkk (1994) dalam Sutaryo tahun 1996 bahwa Ae. aegypti mendominasi pada daerah suburban, sedangkan untuk daerah pedesaan didominasi ole h nyamuk Ae. albopictus baik di dalam maupun di luar rumah. Selama musim kemarau maupun selama musim hujan. Ae. albopictus hidup dan berkembang biak didaerah semak-semak, di kebun dan di hutan. Telur nyamuk ini sangat tahan terhadap kekeringan selama beberapa bulan. Lubang pohon, semak tanaman, potongan bambu serta tempurung kelapa merupakan habitatnya. Pada musim hujan telur akan cepat menetas dan berkembang biak (Rodhain dan Rosen 1997).

3. Pengendalian Vektor

Sampai sekarang ini belum ditemukan adanya obat atau vaksin untuk menanggulangi demam dengue ataupun DBD. Para ahli berlomba untuk mengembangkan vaksin atau mengembangkan anti virus melalui penemuan- penemuan yang bisa digunakan sebagai bahan penanggulangan. Strategi penanggulangan penyakit dilakukan dengan cara pemutusan rantai penularan penyakit baik dengan cara menekan jumlah penderita dan menekan perkembangbiakan vektor. Penyebaran virus Dengue dipengaruhi oleh keberadaan nyamuk vektor, maka salah satu pencegahannya adalah dengan melakukan pengontrolan terhadap ve ktor. Menurut Utama dalam Kompas 2004, pengontr olan vektor dapat dilakukan dengan pembunuhan nyamuk menggunakan insektisida, membuat suatu perangkap telur/ ovitrap, penggunaan nyamuk transgenik dan pemberantasan sarang nyamuk. Depkes telah sejak lama menganjurkan sistem

pemberantasan vektor dengan menggunakan cara 3 M yaitu menguras atau menabur larvasida , menutup penampungan air dan mengubur barang – barang bekas.

Cara-cara pengendalian di atas hanya akan berpengaruh pada kebanyakan nyamuk dewasa dan banyak mengandung kelemahan serta resiko yang menyangkut implementasi dan aplikasinya, sedangkan larva nyamuk sebagai calon nyamuk dewasa tidak terbasmi. Mengingat besarnya bahaya yang dapat ditimbulkan oleh insektisida kimia, maka para ahli melakukan berbagai penelitian untuk mencari bahan insektisida yang ramah lingkungan dan aman bagi manusia. Sebagai salah satu alternatif insektisida yang dapat digunakan adalah menggunakan agen biologis dengan memanfaatkan mikroba sebagai biokontrol. Insektisida mikrobial digunakan karena toksisitasnya rendah terhadap manusia dan hewan yang bukan merupakan target dan agen mikrobial yang digunakan sekarang ini antara lain berasal dari organisme hidup berupa bakteri, virus, kapang, nematoda dan protozoa. Selain mikroorganismenya sendiri juga toksin yang dihasilkan (Wienzierl et al. 2000).

Di Eropa dan Inggris untuk membasmi keberadaan Musca domestica yang merupakan suatu hama yang menyerang ternak telah dikembangkan adanya metode alternatif dalam pence gahannya yaitu dengan menggunakan kapang entomopatogenik sebagai agen kontrol biologis. Kapang yang digunakan sebagai kontrol biologis terhadap hama serangga tersebut adalah Beuveria bassiana, Metarhizium anisopliae dan vertillicium lecanii. Ketiga jenis kapang ini mampu menginfeksi populasi serangga (Barson et al. 1994). Menurut Munif (1990) telah ditemukan di daerah persawahan di Indonesia kapang Beauveria, Lagenidium,

Entomophthora dan Coelomomyces yang berasal dari larva nyamuk Anopheles yang dikenal sebagai agen pengendali hayati.

4. Kapang Entomopatogen

Kapang entomopatogen adalah kapang yang hidup pada serangga dan dapat hidup pada organisme yang sudah mati. Kapang ini menurut Alexopoulus dan Mims (1996) sering disebut sebagai kapang patogen serangga yang bersifat saprofit obligat. Sekarang ini telah banyak dikembangkan kapang sebagai agen pengendali hayati baik yang digunakan untuk pengendalian hama penyakit tanaman ataupun untuk pengendalian vektor penyakit diantaranya Gliocladium, Trichoderma, Beauveria, Metarhizium dll (Butt et al. 2001). Kapang L. giganteum mulai dikembangkan sebagai ka ndidat agen pengendali hayati pada tahun delapanpuluhan.

Kapang L. giganteum merupakan kapang yang habitatnya di air (watermold) dan bersifat saprofit dalam keadaan perkembangan vegetatif pada tanaman busuk maupun serangga yang sudah mati, serta bersifat parasit pada larva nyamuk (Lord dan Robert 1986) . Termasuk klas Oomycetes dan Kingdom Chromista yang termasuk didalamnya Diatom dan Alga coklat (Sleigh 1989 dalam Schotle 2004). L. giganteum pertama kali ditemukan oleh Couch pada tahun 1935 dari sampel asal Copepoda dan larva nyamuk Culex dan Anopheles di North Carolina, USA dan penyebarannya secara geografi sangat luas meliputi Amerika Utara, Eropa, Afrika, Asia dan Antartika (Federici 1981). Kapang ini menyebabkan terjadinya angka kematian yang tinggi pada populasi larva nyamuk khususnya jenis Culex di California dan Carolina Utara (Merriem dan Axtell 1982; Jaronski dan Axtell 1983), Mansonia di Florida (Cuda et al. 1997) dan

spesies Anopheles (Kerwin dan Washino 1987). Mempunyai miselium coenocitic, septa membagi hifa menjadi beberapa segmen yang kadang menyempit pada bagian septanya. Segmen kadang terpisah antara satu dengan lainnya dan disebut sub thalus (Dwidjoseputro 1978; Willoughby (1969) dalam Misman 1990). Hifa utamanya bersegmen, menyempit pada septanya, kadang segmen yang satu terpisah dari yang lain dan bercabang. Pada larva nyamuk, Copepoda atau Daphnia, hifa bersegmen terdapat pada tubuh inang dan hifa halus akan muncul dipermukaan sehingga tampak seperti serabut-serabut pendek, tebal hifa 6-40µ dengan panjang segmen 50-300µ. Dinding hifa mengandung selulosa yang memberikan reaksi ungu klorida dari zeng. Protoplasma berwarna putih pucat dan mengkilat dan sub thalus berbentuk persegi panjang atau silindris (Willoughby (1969) dalam Misman 1990).

Klasifikasi kapang L. giganteum menurut Alexopoulus dan Mims (1996) adalah sebagai berikut

Kingdom : Chromista Phylum : Oomycota Klas : Oomycetes Ordo : Lagenidiales Familia : Lagenidiaceae Genus : Lagenidium Spesies : L. giganteum

Tahap infektif dari kapang ini adalah tahap spora. Spora L. giganteum bersifat motil dan memiliki kemampuan untuk secara sekaligus merusak inangnya. Spora dapat ditemukan menempel pada batang padi, kumbang air atau

larva capung. Apabila spora belum menemukan inang yang cocok, spora akan berenang kembali dan mencari inang yang baru (Kerwin et al. 1994).

L. giganteum tersebar di daerah tropis dan subtropis. Kapang ini tidak menimbulkan iritasi atau gangguan pada manusia, hewan, ikan dan organisme yang bukan sasaran (Kerwin et al. 1988 ; Lor d dan Ande rson 1994). Meskipun L. giganteum bukan parasit obligat dan dapat tumbuh secara vegetatif di luar tubuh inang (seperti tumbuhan yang membusuk atau bangkai serangga), di tempat yang bukan merupakan habitatnya kapang ini dapat tumbuh dengan cepat dan mudah di isolasi dari larva nyamuk. Isolasi kapang ini pernah dilakukan di Amerika Serikat bagian selatan. Umumnya kapang ini ditemukan di air, atau tempat-tempat yang mendukung perkembangan populasi nyamuk. Kapang ini akan menjadi dorman pada suhu dibawah 160C atau pada suhu diatas 320C. Tingkat salinitas akan berpengaruh pada sporulasi.

Perkembangan L. giganteum dapat berlangsung secara seksual dan aseksual. Perkembangan secara seksual dimulai dengan berubahnya thalus lengkap menjadi organ seksual tunggal atau thalus tersebut menjadi beberapa sel, setiap sel dapat menjadi organ reproduktif. Sebuah sel berkembang menjadi oogonium yang membulat dan sel yang lain berkembang menjadi antheridia dan bentuk selnya sama dengan oogonia. Antheridium ini menghasilkan sebuah tabung fertilisasi yang dapat masuk kedalam dinding oogonia, kemudian protoplasma antheridium berpindah kedalam oogonia melalui tabung fertilisasi dan bergabung membentuk zigot. Zigot yang terbentuk dilapisi dinding yang tampak jelas dan zigot ini disebut oospora yang tahan terhadap kekeringan, cuaca dingin. Oospora akan berkumpul didasar substrat dan mampu bertahan hidup lama

(Couch dan Rommey 1973) . Pada kondisi yang menguntungkan oospora akan mengalami germinasi dan tumbuh menjadi kapang saprofit atau memproduksi spora infektif (zoospora) (McCoy et al. 1988).

Perkembangbiakan secara aseksual menggunakan zoospora yang akan

Dokumen terkait