• Tidak ada hasil yang ditemukan

Optimasi Proses Produksi Biodiesel Berbasis Minyak Residu dalam Tanah Pemucat Bekas (SBE) secara In Situ

(%) Ozgul dan Tukay

4.2. Optimasi Proses Produksi Biodiesel Berbasis Minyak Residu dalam Tanah Pemucat Bekas (SBE) secara In Situ

Penelitian utama yang dilakukan adalah optimasi proses produksi biodiesel dengan memanfaatkan sisa kandungan minyak pada tanah pemucat bekas (SBE).

Optimasi dilakukan dengan metode permukaan respon atau response surface

method (RSM). RSM merupakan kumpulan teknik matematik dan statistik yang digunakan untuk modeling dan analisis permasalahan pada respon yang dipengaruhi oleh beberapa peubah dan bertujuan untuk memperoleh optimasi respon (Montgomery 2001).

Penelitian ini secara khusus mengkaji penentuan kondisi umum proses produksi biodiesel berbasis SBE, dengan mengkaji pengaruh faktor konsentrasi katalis dan waktu dalam proses transesterifikasi terhadap rendemen biodiesel yang diperoleh. Rancangan yang digunanakan adalah rancangan komposit tersupsat (CCD). Montgomery (2011) menjelaskan kecocokan model ordo dua CCD

banyak digunakan, dimana secara umum CCD mempunyai faktorial 2k dengan

banyak data (nr), sumbu (2k), dan pusat (nc). CCD sangat efisien untuk kecocokan

model ordo dua karena didukung dua parameter dalam spesifik design adalah

jarak sumbu α yang dijalankan dari pusat disain dan jumlah titik pusat nc.

diperlihatkan pada Lampiran 1. Di lain pihak, analisis statistik dilakukan dengan

menggunakan bantuan softwareDesign Expert dan Minitab 14.

Metode permukaan respon digunakan untuk mengetahui pengaruh variasi perlakuan terhadap input, mengetahui keadaan dari perlakuan yang akan memberikan hasil secara bersamaan dengan memenuhi spesifikasi yang diinginkan serta mengetahui nilai perlakuan yang akan memberikan hasil

maksimal untuk respon tertentu. Menurut Box et al. (1979) dalam Montgomery

(2001) metode permukaan repon dapat membawa peneliti secara efisien dan cepat untuk mencapai titik optimum. Persamaan model regresi yang diperoleh dalam percobaan ini setelah mengeliminasi faktor-faktor yang tidak nyata adalah sebagai berikut:

Ymetyl ester = 17.52 + 2.28 X1+ 1.027 X2 – 3.16 X12– 1.20 X22 + 0.39 X1 X2

Nilai Y merupakan rendemen biodiesel yang diperoleh, X1 adalah

konsentrasi katalis (%) dan X2 adalah lama proses transesterifikasi (menit).

Persamaan regresi diatas menunjukkan adanya pengaruh linier dan kuadratik. Berdasarakan hasil analisis karakterisasi permukaan respon yang dilakukan

dengan menggunakan bantuan software diketahui bahwa nilai eigen dari masing –

masing faktor adalah negatif, sehingga bentuk permukaan responnya adalah maksimum. Di lain pihak, titik optimal dari model persamaan regresi adalah: waktu reaksi selama 104.73 menit, dan konsentrasi katalis sebesar 1.89%, dengan

kondisi reaksi yang berlangsung pada suhu 65oC serta kecepatan 600 rpm.

Prediksi respon yang dihasilkan berdasarkan model persamaan tersebut adalah sebesar sebesar 97.18%. Di lain pihak, berdasarkan hasil validasi di laboratorium diperoleh rendemen biodiesel sebesar 95.63%. Validasi juga dilakukan pada reaktor dengan skala 10 L yang dilangsungkan dengan kondisi proses yang sama namun dengan umpan yang lebih besar. Validasi dengan reaktor tersebut menghasilkan rendemen yang lebih tinggi yaitu sebesar 96.18%. Pada Gambar 11 dan 12 diperlihatkan respon permukaan dan kontur rendemen biodiesel yang dihasilkan dalam penelitian.

Gambar 11 Permukaan respon rendemen biodiesel

Hasil analisis ragam (ANOVA α=0.05) juga menunjukkan bahwa konsentrasi katalis dan lama reaksi adalah signifikan dan berpengaruh terhadap peningkatan rendemen biodiesel. Hasil analisis ragam juga menunjukkan model

kuadratik memiliki nilai R2 sebesar 92.4 %. Hal tersebut menunjukkan bahwa

berarti perlakuan yang diberikan berpengaruh sebesar 92.4 % terhadap respon,

sedangkan 7.6 % dipengaruhi oleh faktor lain. Terkait koefisien determinan (R2)

nilai peubah Y, Matjik dan Sumertajaya (2002) menjelaskan bahwa semakin

tinggi koefisien determinan (R2) berarti model semakin mampu menerangkan

perilaku peubah Y. Berdasarkan nilai uji lack of fit (0.0074) juga diketahui bahwa

model yang dihasilkan adalah signifikan atau dapat diterima. Pada Gambar 13 diperlihatkan pengaruh masing-masing faktor terhadap rendemen biodiesel.

Gambar 13 Pengaruh masing-masing faktor terhadap rendeman biodiesel Kenaikan konsentrasi katalis NaOH meningkatkan rendemen biodiesel yang dihasilkan. Metanol merupakan pelarut polar sehingga tidak dapat melarutkan minyak secara sempurna. Hanya 74% minyak yang dapat diekstrak

dari tanah pemucat bekas dengan metanol selama 24 jam (Lim et al. 2009). Lebih

lanjut Qian et al. (2008) menjelaskan bahwa penambahan katalis NaOH dalam

metanol selama proses transesterifikasi in situ dapat meningkatkan kelarutan

minyak. Tanpa NaOH hanya 22% minyak yang larut dalam metanol setelah diproses selama 5 jam, sedangkan adanya 0.1 mol/L NaOH dalam metanol dapat meningkatkan kelarutan minyak hingga 99.7%. Semakin banyak minyak yang larut maka akan semakin besar peluang terjadinya reaksi transesterifikasi menghasilkan biodiesel.

Shiu et al. (2010) menyebutkan bahwa peningkatan konsentrasi katalis NaOH meningkatkan rendemen biodiesel namun penambahan konsentrasi katalis yang terlalu tinggi dapat menyebabkan terjadinya proses penyabunan trigliserida sehingga menurunkan rendemen biodiesel. Konsentrasi katalis optimum yang

dilaporkan Shiu et al. (2010) adalah 2 ml NaOH 5 N atau setara dengan 4% (b/b)

terhadap bobot padatan menghasilkan rendemen biodiesel 91.3%, sedangkan dalam penelitian ini dibutuhkan konsentrasi katalis NaOH lebih sedikit yaitu 1.8% (b/b) terhadap berat padatan untuk menghasilkan rendemen biodiesel 95.63%.

Dengan bahan baku yang sama yakni minyak residu dalam SBE, rendemen biodiesel dari penelitian ini lebih tinggi dibandingkan hasil dari penelitian Kheang

et al. (2006) yakni sebesar 82% dan 90.4% (Lim et al. 2009). Hal tersebut dapat

disebabkan oleh pemilihan kondisi proses yang kurang tepat. Kheang et al.

(2006a) menggunakan proses dua tahap esterifikasi dengan katalis ferric sulfit

dilanjutkan transesterifikasi dengan katalis NaOH. Waktu reaksi untuk esterifikasi 3 (tiga) jam, sedangkan untuk proses transesterifikasi hanya 10 menit. Waktu transesterifikasi yang terlalu singkat tidak dapat menghasilkan konversi yang sempurna dari trigliserida menjadi metil ester. Hal inilah yang diduga

menyebabkan rendahnya rendemen biodiesel. Beberapa peneliti (Freedman et al.

1984; Noureddini dan Zhu 1997; Canakci & Van Gerpen 2003; Wang et al. 2007)

menyarankan proses transesterifikasi metode konvensional dilakukan selama 1(satu) jam.

Waktu reaksi didefinisikan sebagai lamanya proses yang digunakan dalam melakukan proses transesterifikasi tersebut. Ozgul-Yucel dan Turkay (2002) menjelaskan bahwa waktu reaksi yang lebih lama pada proses transesterifikasi akan memfasilitasi molekul-molekul reaktan bertumbukan lebih lama sehingga konversi trigliserida menjadi metil ester pun dapat ditingkatkan seiring dengan peningkatan waktu reaksi. Hal ini berhubungan dengan banyaknya konversi bahan baku menjadi biodiesel selama reaksi berjalan. Semakin lama waktu reaksi maka semakin lama waktu bereaksi antara bahan satu dengan bahan lainnya.

Di lain pihak, penelitian ini menggunakan sistem pemurnian kering, yakni tidak menggunakan air dalam tahap pemurniannya, sehingga mengurangi jumlah

biodiesel yang pada umumnya banyak hilang bersama air dalam proses pemurnian

konvensional. Faccini et al. (2011) memberikan penjelasan beberapa kelebihan

pemurnian biodiesel secara dry washing adalah pengurangan limbah cair, proses

produksi lebih ramah lingkungan, lebih sederhana dan efisien.

4.3. Karakterisasi Mutu Biodiesel