• Tidak ada hasil yang ditemukan

(%) Ozgul dan Tukay

4.5. Perbandingan Karakteristik Mutu Biodiesel yang Dicuci dengan

Fresh Bleaching Earth (FBE) dan Reactivated Bleaching Earth (RBE)

Proses produksi biodiesel berbasis SBE masih menyisakan tanah pemucat bekas, yang masih berpotensi untuk dimanfaatkan kembali sebagai adsorben. Namun demikian perlu dilakukan reaktivasi ulang sebelum dimanfaatkan kembali. Aktivasi merupakan suatu perlakuan terhadap adsorben yang bertujuan untuk memperbesar pori yaitu dengan memecahkan ikatan hidrokarbon atau mengoksidasi molekul-molekul permukaan sehingga luas permukaan bertambah besar dan berpengaruh terhadap daya serap (Sembiring 2003).

Dalam penelitian ini metode aktivasi yang digunakan adalah dengan menggunakan asam yaitu HCl 16 %, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Herdiani (2009). Bentonit bekas perlu direaktivasi karena, bentonit bekas yang sudah digunakan sebagai penyerap telah terdeaktivasi (tertutup sisi aktivnya),

sehingga kemampuan mengadsorpsi semakin lama semakin berkurang. Hal

tersebut terjadi karena bentonit tersebut telah jenuh yang disebabkan seluruh

pori-porinya telah terisi penuh atau karena sisi aktifnya tertutupi. Untuk alasan tersebut

perlu dilakukan suatu proses regenerasi bentonit bekas yang bertujuan untuk

membersihkan permukaan bentonit, sehingga membuka ruang sisi aktif yang

tertutup impurities yang memperbesar luas permukaan pori dan volume

spesifiknya.

Proses aktivasi pada penelitian ini dilakukan secara terpisah, dimana masing-masing adsorben diaktivasi dengan cara pengasaman dan pemanasan sekaligus. Perlakuan fisik yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan proses pengeringan. Proses pengeringan adsorben dalam proses aktivasi asam sangat diperlukan, hal ini dikarenakan pH adsorben setelah ditambahkan asam sekitar 1.5-2, sehingga diperlukan pencucian adsorben menggunakan air sampai pH sekitar 3.5-4. Di lain pihak, pengeringan tersebut juga bertujuan agar air yang terikat dicelah-celah molekul dapat teruapkan, sehingga porositasnya meningkat.

Berdasarkan pengujian awal terhadap penggunaan spent bleaching earth

teraktivasi diketahui bahwa diantara kosentrasi 1%, 2% dan 3%, konsentrasi terbaik yang mampu menurunkan bilangan asam biodiesel berbasis SBE adalah

3%. Pada Gambar 22 diperlihatkan perbedaaan penampakan fresh bleaching earth

(FBE), spent bleaching earth (SBE) dan spent bleaching earth yang direaktivasi

ulang atau reactivated bleaching earth (RBE)

Gambar 22 Penampakan fresh bleaching erath (FBE), spent bleaching earth

(SBE) dan reactivated bleaching earth (RBE)

Berdasarkan model optimasi yang dikerjakan menggunakan RSM, dilakukan uji produksi biodiesel dengan menggunakan reaktor berkapasitas 10 L. Di lain pihak, biodiesel yang dihasilkan dibandingkan dalam tahapan pencucian

yaitu dengan menggunakan fresh bleaching earth dan reactivated bleaching earth

sebagai adsorben. Reactivated bleaching earth merupakan tanah pemucat bekas

sisia hasil produksi biodiesel yang telah diaktivasi ulang. Hasil perbandingan biodiesel tersebut disajikan pada Tabel 17 berikut.

Tabel 17 Perbandingan mutu biodiesel yang dimurnikan dengan fresh bleaching

earth (FBE) dan reactivated bleaching earth (RBE)

No Parameter Crude

Biodiesel FBE RBE

Standar SNI*

1. Viskositas (cSt) 5.46 4.60 4.98 2.3 – 6

2. Densitas (gr/cm3) 0.86 0.87 0.86 0.85 – 0.89

3. Bilangan Asam (mg KOH/g) 0.88 0.24 0.22 Max 0.8 4. Bilangan

Penyabunan (mg KOH/g)

245.26 280.50 268.14 -

5. Kadar air sedimen trace trace trace trace

Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa penggunaan SBE yang diaktivasi ulang (RBE) sebagai adsorben dalam pemurnian biodiesel dapat menghasilkan biodiesel dengan kualitas yang sama yakni sesuai Standar Nasional

Indonesia (SNI). Beberapa keunggulan pemurnian biodiesel dengan sistem dry

washing dibanding pemurnian dengan sistem konvensional yakni dengan air diantaranya adalah berlangsung lebih sederhana, yaitu dapat menghilangkan tahapan pemurnian dengan air, tahapan pemisahan cairan, dan pengeringan biodiesel, yang umumnya dilakukan pada proses pemurnian menggunakan air.

Di lain pihak, biodiesel yang dihasilkan dalam penelitian ini memiliki warna yang gelap. Hal tersebut dapat disebabkan karena minyak yang digunakan dalam penelitian ini adalah minyak residu dalam SBE. SBE memiliki warna yang sangat hitam, hal tersebut dikarenakan adanya kandungan pigmen warna seperti

karoten dan xantofil yang teradsorp pada bleaching earth pada proses pemurnian

di industri minyak goreng.

Biodiesel hasil terbaik pada penelitian ini akan dilakukan uji gas

chromatography untuk mengetahui asam lemak penyusunnya. Uji dengan alat GC-MS dilakukan untuk mengidentifikasi komponen metil ester yang terdapat pada biodiesel. Kualitas biodiesel ditentukan oleh kemurnian senyawa alkil ester

yang terdapat di dalamnya. Hasil pengujian gas chromatography menunjukkan

bahwa asam lemak utama penyusun biodiesel yang dihasilkan pada penelitian ini adalah asam palmitat (29.45%), asam oleat (20.68%), asam linoleat (5.185%), asam stearat (3.185%), asam miristat (0.59%) dan lain-lain (Lampiran 15). Asam lemak penyusun utama biodiesel yang dihasilkan pada penelitian ini tidak berbeda dengan asam lemak penyusun biodiesel yang dihasilkan oleh Kheang (2006). Akan tetapi konsentrasi asam lemak yang dihasilkan pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan konsentarsi asam lemak dalam biodiesel yang dihasilkan oleh Kheang (2006).

Perbedaan ini dapat disebabkan oleh kemurnian biodiesel yang dihasilkan masih rendah dibandingkan dengan biodiesel yang dihasilkan oleh Kheang (2006). Kemurnian biodiesel dapat disebabkan adanya reaksi yang berjalan kurang sempurna, sehingga mengakibatkan proses konversi metil ester yang

kurang sempurna atau dapat juga disebabkan sisa metanol yang belum teruapkan dalam proses pengeringan. Asam lemak penyusun biodiesel ini sangat berpengaruh terhadap karakteristik mutu biodiesel yang dihasilkan. Asam lemak penyusun biodiesel sangat berpengaruh terhadap karakteristik mutu yaitu viskositas, densitas dan bilangan penyabunan. Di lain pihak susunan asam lemak dan hasil analisis GC diperlihatkan pada Lampiran 8.

4.6. Perhitungan Biaya Produksi

Industri minyak goreng pada skala kecil pada umumnya memiliki

kapasitas 700 – 1.000 ton CPO per hari (BPPMD 2009), sedangkan dalam

kapasitas besar biasanya berkisar 1.000 – 2.500 ton CPO per hari (Astra Agro

2012). Penentuan biaya produksi dihitung berdasarkan atas kebutuhan biaya bahan baku yang digunakan dalam proses produksi biodiesel. Bahan baku yang digunakan adalah tanah pemucat bekas, metanol, asam sulfat, natriun hidroksida dan adsorben. Basis perhitungan didasarkan pada kapasitas pabrik minyak goreng

yaitu 1000 ton/hari. Dengan penggunaan bentonit dalam proses bleaching sebesar

1%, maka untuk mengolah 1.000 ton CPO per hari, akan dihasilkan limbah tanah pemucat bekas sebanyak 10 ton. Di lain pihak, berdasarkan kajian laboratorium pada skala 10 liter akan dihasilkan biodiesel 1.837 ton biodiesel. Pada Gambar 23 diperlihatkan diagram neraca massa pada skala 10 liter dengan rendemen sebesar 184.76 g atau sebesar 16.18%.

Biaya produksi atau biaya operasional terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap adalah biaya yang jumlahnya tidak tergantung dengan perubahan jumlah barang yang di produksi misalnya biaya pemasaran dan biaya administrasi. Biaya Variabel adalah biaya yang dapat berubah tergantung dengan jumlah produk yang diproduksi. Rincian biaya produksi biodiesel disajikan pada Lampiran 10.

Berdasarkan neraca massa diperoleh kebutuhan bahan baku dan jumlah produk yang dihasilkan. Dengan basis produksi biodiesel 500 ton/tahun akan dibutuhkan 2.698 ton tanah pemucat bekas. Perhitungan tersebut berdasarkan perhitungan neraca masa pada skala industri yang diperlihatkan pada Lampiran 9.

Untuk memproses 500 ton biodiesel diperlukan biaya produksi sebesar

Rp.3.931.515.353,- juta, sehingga biaya produksi 1 (satu) liter biodiesel

dibutuhkan biaya sekitar Rp. 6.897,- . Biodiesel yang dihasilkan dari residu minyak dalam tanah pemucat bekas ini dapat digunakan sebagai bahan bakar oleh industri minyak goreng tersebut untuk mengurangi kebutuhan bahan bakar solar dalam operasional pabrik. Di lain pihak, perhitungan kebutuhan biaya bahan baku diperlihatkan pada Lampiran 10.

Gambar 23 Neraca massa proses produksi biodiesel pada skala 10 liter.

Proses produksi biodiesel juga meghasilkan gliserol dan spent bleaching

earth sebagai hasil samping yang masih bisa dimanfaatkan. Namun demikian kondisi pasar tradisional masih belum menghendaki penggunaaan gliserol,

sehingga penurunaan yang sangat tajam pada harga gliserol (Apostolakou et al.

2009). Oleh karena itu, masih ada peluang untuk mengembangkan teknologi transformasi pemanfaatan gliserol menjadi produk lain yang bernilai ekonomi tinggi, sehingga keuntungan yang diberikan gliserol dapat mengurangi biaya total

produksi. Beberapa peluang pemanfaatan gliserol adalah dengan

memanfaatkannya menjadi bahan aditif biodiesel dan gliserol eter. TRANSESTERIFIKASI IN SITU ESTERIFIKASI IN SITU EVAPORASI Purifikasi Biodiesel 184,76 g SBE 1.000 g NaOH 40.5 g H2SO4 27.6 g Metanol 4.751 g Sisa SBE 79.6 g Metanol 4.630 g Adsorben 0.6 g Sisa Adsorben, katalis dan gliserol 26.42 g Filtrat

Di lain pihak, tanah pemucat bekas juga dianggap sebagai bahan yang masih memiliki nilai ekonomi. Sebagaimana hasil penelitian ini bahwa tanah pemucat bekas yang direaktivasi ulang dengan asam kuat dapat digunakan

kembali sebagai adsorben dalam proses pemurnian biodiesel (dry washing).

Fatmayati (2011) juga melaporkan penggunaan tanah pemucat bekas yang direaktivasi ulang dengan asam kuat dan pemanasan dapat digunakan kembali sebagai agen pemucat dalam proses pemurnian minyak goreng dengan tingkat kemurnian yang sama sebagaimana minyak goreng yang dimurnikan dengan

tanah pemucat baru (fresh bleaching earth). Dengan demikian pemanfaatan lanjut

gliserol dan tanah pemucat bekas selain mendukung prinsip produksi bersih industri minyak goreng juga akan mengurangi total biaya produksi.

V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

Kesimpulan yang dihasilkan dari hasil kajian optimasi menggunakan RSM menunjukkan bahwa kondisi optimum proses transesterifikasi dengan faktor konsentrasi katalis dan waktu berada pada kondisi optimum yaitu konsentrasi katalis sebesar 1.8% dan waktu reaksi 104.73 menit, dengan prediksi respon

sebesar 97.18% serta hasil validasi sebesar 95.63%. Penggunaan Spent Bleaching

Earth (SBE) yang diaktivasi ulang (RBE) dengan larutan HCl 16% dalam pemurnian biodiesel dapat menghasilkan biodiesel yang sesuai dengan Standar Nasional Indonesia. Pemurnian biodiesel baik menggunakan FBE dan RBE dapat menggantikan metode pemurnian konvensional menggunakan air panas dalam proses pencucian, sehingga limbah cair yang dihasilkan dapat diminimalkan.

Biodiesel yang dihasilkan dalam penelitian ini telah memenuhi beberapa

standar biodiesel SNI yaitu viskositas 4.6 cSt, densitas 0.87 gr/cm3, bilangan asam

0.24 mg KOH/g dan bilangan penyabunan 280.50 mg KOH/g. Penggunaan heksan

sebagai pelarut tambahan dalam proses ekstrasksi minyak dapat meningkatkan rendemen pada perbandingan heksan dan metanol yaitu 0.4:1, sedangkan peningkatan penggunaan heksan diatas perbandingan 0.6:1 justru akan menurunkan rendemen. Di lain pihak, dengan kapasitas produksi 500 ton biodiesel berbasis minyak residu tanah pemucat bekas, dihasilkan prakiraan biaya produksi per liter biodiesel Rp. 6.897.

5.2. Saran

Penelitian ini masih perlu untuk dilengkapi dengan kajian optimasi variabel proses produksi biodiesel yang lain, uji kelengkapan atribut mutu biodiesel dan aplikasinya. Di lain pihak, analisis terkait teknoekonomi pembuatan unit produksi biodiesel yang terintegrasi dengan industri minyak sawit masih perlu dikaji sebagai bagian dari kelengkapan kajian pemanfaatan SBE sebagai biodiesel.

REKAYASA PROSES PRODUKSI BIODIESEL MINYAK