• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

C. Optimisme

1. Pengertian Optimisme

Menurut Seligman (dalam Carver & Scheier, 2003), pandangan terhadap masa depan berasal dari pandangan individu tentang penyebab suatu peristiwa di masa lalu. Ketika pandangan individu terhadap kegagalan di masa lalu bersifat stabil, maka pada situasi yang sama kedepannya, ia akan yakin bahwa ia tidak akan berhasil. Kegagalan dipandang sebagai sesuatu yang cenderung permanen dan sulit untuk diubah. Namun, ketika pandangan individu terhadap kegagalan bersifat sementara, maka pada situasi yang hampir sama kedepannya, ia yakin bahwa ia akan berhasil dan penyebab dari kegagalan tersebut dapat diatasi. Individu yang optimis akan belajar dari pengalaman ketika mengalami situasi yang sulit.

Seligman (dalam Carver & Scheier, 2003) juga mengatakan bahwa ketika individu melihat kegagalan sebagai sesuatu yang berpengaruh

dalam segala aktivitas (global), maka kedepannya ia memiliki keyakinan bahwa ia tidak akan berhasil dalam melakukan segala hal. Namun, ketika individu melihat kegagalan secara spesifik (tidak berpengaruh pada segala aktivitas), maka kedepannya ia yakin bahwa ia akan berhasil pada hal-hal yang lain.

Dalam menghadapi sesuatu hal, seseorang dapat menyikapinya secara optimis maupun pesimis. Seligman (dalam Franken, 2002; 2005), menyatakan bahwa optimisme merupakan keyakinan bahwa peristiwa yang buruk dipandang sebagai sesuatu yang bersifat sementara, tidak mempengaruhi seluruh aktivitas yang ada, dan bukan secara mutlak disebabkan oleh dirinya sendiri tetapi bisa situasi atau orang lain. Individu yang optimis menggunakan cara pandang yang positif ketika menghadapi suatu masalah. Sedangkan ketika mengalami peristiwa yang menyenangkan, individu yang optimis yakin bahwa peristiwa tersebut akan berlangsung lama, dapat terjadi dalam situasi yang berbeda-beda, dan disebabkan oleh diri sendiri.

Optimisme merupakan keyakinan bahwa hal-hal baik akan terjadi di masa depan walaupun mengalami situasi yang kurang menyenangkan. Orang yang optimis terbuka pada pengalaman baru dan berusaha mewujudkan tujuan yang ingin dicapainya, mereka memandang masalah sebagai sesuatu hal yang dapat diselesaikan dengan baik. Sedangkan orang yang pesimis cenderung menarik diri ketika berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya (Franken, 2002; Carver & Scheier, 2003).

2. Explanatory Style (Gaya Penjelasan)

Explanatory style merupakan cara individu dalam memandang dan menjelaskan penyebab dari suatu peristiwa (Bourne & Russo, 1998). Dalam memandang suatu peristiwa, seseorang dapat menyikapinya secara optimis maupun pesimis dan hal ini akan berpengaruh juga pada cara mereka dalam menghadapi masalah (Seligman, 2005).

Teori mengenai gaya penjelasan pada dasarnya adalah pengembangan dari teori atribusi, oleh karena itu berikut ini akan diuraikan pula beberapa pandangan dalam atribusi yang mendasari teori tentang gaya penjelasan. Teori atribusi menekankan pada bagaimana seseorang mencoba menjelaskan penyebab dari suatu kejadian di lingkungan sekitarnya (Astuti, 1999). Buck (dalam Astuti, 1999) mengatakan bahwa atribusi merupakan proses dalam menjelaskan atau memberi arti dari peristiwa yang terjadi di luar maupun di dalam individu. Menurut Myers (dalam Astuti, 1999), atribusi merupakan proses menerangkan penyebab tingkah laku manusia, baik orang lain maupun dirinya sendiri. Dari teori atribusi inilah kemudian dikembangkan menjadi teori gaya penjelasan.

Menurut Seligman (dalam Hockenbury & Hockenbury, 2003; Gerrig & Zimbardo, 2008; Bourne & Russo, 1998), explanatory style (gaya penjelasan) terdiri dari dua macam tipe :

a. Optimistic explanatory style, individu dalam memandang peristiwa buruk atau kegagalan cenderung sebagai sesuatu yang eksternal, sementara, dan spesifik.

b. Pessimistic explanatory style, individu dalam memandang peristiwa buruk atau kegagalan cenderung sebagai sesuatu yang internal, stabil, dan global. Individu yang pesimis meyakini bahwa apapun usaha mereka tidak akan mengubah situasi menjadi lebih baik.

Menurut Seligman (2005), ada tiga dimensi dalam gaya penjelasan untuk melihat optimisme seseorang, yaitu:

a. Permanent (stabil-sementara)

Penjelasan atau cara pandang tentang situasi yang baik maupun buruk yang berkaitan dengan masalah waktu. Ketika menghadapi situasi yang tidak menyenangkan, individu yang optimis akan memandang situasi tersebut bersifat sementara. Pada situasi ke depan yang hampir sama, ia yakin bahwa ia akan berhasil dan penyebab dari situasi tersebut dapat diatasi. Sebaliknya, peristiwa yang menyenangkan dipandang akan bertahan lama.

b. Pervasiveness (spesifik-global)

Penjelasan tentang bagaimana pengaruh peristiwa yang dialami terhadap situasi yang berbeda dalam hidup. Individu yang optimis akan

memandang situasi yang tidak menyenangkan sebagai sesuatu yang spesifik atau terjadi pada kondisi tersebut saja dan tidak mempengaruhi segala aktivitas. Pada situasi ke depan, ia yakin bahwa ia akan berhasil pada hal-hal yang lain. Sedangkan pada situasi yang menyenangkan, individu yang optimis akan memandangnya sebagai sesuatu yang menyeluruh dan dapat terjadi pada segala situasi.

c. Personalisasi (internal-eksternal)

Penjelasan tentang siapa yang menjadi penyebab suatu peristiwa, baik negatif maupun positif. Dalam menghadapi situasi yang tidak menyenangkan, individu yang optimis akan memandang peristiwa tersebut bukan secara mutlak disebabkan oleh dirinya. Sedangkan ketika menghadapi situasi yang menyenangkan, individu yang optimis akan memandang bahwa hal tersebut terjadi karena usahanya.

Namun Seligman (dalam Carver & Scheier, 2003) lebih menekankan pada dua dimensi gaya penjelasan, yaitu permanent dan pervasiveness.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Optimisme a. Kontrol Diri

Kontrol diri diperlukan individu untuk tetap berada pada realitas atau kenyataan sehingga individu lebih dapat menguasai dirinya dalam menghadapi sesuatu dan memiliki optimisme yang realistis (Schneider, 2001).

Semangat akan menyebabkan individu lebih merasa yakin bahwa segala sesuatu akan berakhir dengan baik dan lebih optimis (Peale, 1995). Individu yang memiliki semangat yang tinggi akan lebih berhasil ketika menghadapi masalah karena mereka bersungguh-sungguh dalam menyelesaikannya.

c. Akumulasi Pengalaman Sukses

Akumulasi pengalaman sukses dapat menimbulkan optimisme ketika menghadapi situasi sulit di kemudian hari, sebaliknya pengalaman-pengalaman ketidakberdayaan dapat membuat individu bersangkutan menjadi kurang optimis dalam menghadapi suatu masalah. Salah satu alasan individu menyerah dalam menghadapi kesulitan atau situasi yang penuh stres karena memiliki pengalaman-pengalaman kegagalan yang berpengaruh pada cara individu dalam menghadapi masalah selanjutnya (dalam Franken, 2002).

d. Dukungan Sosial

Semakin banyak dukungan sosial yang diterima oleh individu ketika menghadapi masalah atau situasi yang menantang akan berpengaruh pada keyakinan akan kemampuannya dalam menghadapi masalah dan individu tersebut semakin optimis dalam menghadapi kesulitannya tersebut (Brissete et al., 2002).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa orang yang optimis memiliki penyesuaian diri yang baik, mengalami kecemasan dan depresi yang rendah, memiliki pengontrolan diri, koping yang efektif, sistem imun yang tinggi, kesehatan fisik yang baik, dan suasana hati yang baik saat menghadapi situasi hidup penuh stress (Passer & Smith, 2007; Scheier & Carver, dalam Myers, 2003; Segerstrom, et al., 1998; Chang, 1998).

Brissette, Scheier, & Carver (2002) melakukan penelitian pada

Dokumen terkait