• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

B. Problem-Focused Coping (PFC)

1. Pengertian Problem-Focused Coping (PFC)

Adanya tuntutan untuk memecahkan masalah dan situasi yang menekan (stressor) merupakan pemicu munculnya sekumpulan cara dari individu untuk menghadapinya. Cara-cara individu menghadapi situasi yang menekan ini disebut sebagai proses coping. Lazarus & Folkman (dalam Folkman, 1984; Gerig & Zimbardo, 2008; Hockenbury & Hockenbury, 2003; Huffman et al., 2000) mengatakan bahwa coping adalah usaha individu secara kognitif dan perilaku untuk mengatasi tuntutan-tuntutan internal maupun eksternal yang dirasa mengancam atau

melebihi kemampuan individu, sehingga situasi stres tersebut menjadi berkurang atau hilang.

Secara umum coping merupakan proses dalam menghadapi situasi yang dirasa mengancam atau tidak nyaman dengan melakukan penyelesaian masalah, mengatasi efek emosional dari masalah atau stresor tersebut, atau mencari dukungan sosial dalam mengurangi situasi yang tidak nyaman tersebut (Santrock, 2005; Atkinson et al., 1996; Carver et al., 1989). Coping juga merupakan proses yang dinamis dan terus berjalan dalam menghadapi situasi penuh stres (Hockenbury & Hockenbury, 2003). Setiap individu akan memberikan respon yang berbeda walaupun menghadapi permasalahan yang sama. Perbedaan respon atau cara tersebut menyebabkan ada individu yang berhasil mengatasi masalahnya, ada pula yang gagal. Respon atau cara individu menggunakan coping ini dibedakan menjadi dua golongan (Lazarus & Folkman dalam Hockenbury & Hockenbury, 2003; Chang, 1998; Baron & Byrne, 2006), yaitu:

a. Problem-Focused Coping yang selanjutnya ditulis PFC, merupakan strategi individu dalam mengatasi atau mengurangi stresor yang dianggap mengancam atau berbahaya bagi dirinya dan untuk memperoleh kontrol terhadap situasi.

b. Emotion-Focused Coping yang selanjutnya ditulis EFC, merupakan strategi individu dalam mengatasi dampak emosional dari situasi yang penuh stres atau mengancam sehingga memperoleh rasa nyaman dan memperkecil tekanan yang dirasakan. Bahkan ketika ancaman tersebut

masih ada, individu lebih memilih untuk merasa tidak terlalu cemas atau marah, dan berusaha untuk meningkatkan perasaan-perasaan positif. EFC digunakan saat individu merasa tidak mampu mengatasi masalah dan tujuannya untuk memberikan rasa nyaman pada individu bersangkutan.

Folkman dan Lazarus (1986) menyebutkan bahwa perbedaan antara PFC dan EFC terletak pada cara yang digunakan untuk menghadapi stres. Pemecahan masalah dalam PFC adalah dengan membuat rencana dan melakukan tindakan langsung terhadap sumber masalah sehingga mendapatkan hasil yang diinginkan. Pemecahan masalah dalam EFC dilakukan individu dengan mengarahkan perilakunya pada pengontrolan emosi yang tidak menyenangkan melalui usaha mencari sisi baik dari masalah yang dihadapi, mencari simpati dan pengertian orang lain, atau dengan cara menghindarinya untuk melupakan semua permasalahan yang dihadapi. PFC digunakan oleh individu untuk menyelesaikan masalah hingga benar-benar terbebas dari masalah yang dihadapi. Sedangkan penyelesaian masalah dengan cara EFC bersifat sementara, dalam arti masalah yang sesungguhnya belum terselesaikan karena yang dilakukan hanyalah meredakan emosi yang ditimbulkan oleh sumber stres.

Lazarus dan Folkman (dalam Hockenbury & Hockenbury, 2003; Chang, 1998; Santrock, 2005; Halonen & Santrock, 1999) menyatakan PFC adalah usaha individu dalam mengatasi stresor yang dianggap mengancam atau berbahaya bagi dirinya. Hockenbury & Hockenbury

(2003) mengatakan strategi PFC adalah usaha individu dalam mengatasi sumber stres (stresor) dengan tujuan mengubah atau mengurangi sumber stres tersebut. Menurut Baron dan Byrne (2005) PFC adalah usaha untuk mengatasi sumber stres yang dianggap sebagai ancaman itu sendiri, dan untuk memperoleh kontrol terhadap situasi.

Strategi PFC merupakan usaha untuk mengatasi masalah atau usaha dalam melakukan sesuatu untuk menangani sumber stres (Carver et al., 1989; Baron et el., 2006). Strategi ini cenderung digunakan saat individu merasa mampu melakukan sesuatu untuk mengatasi masalahnya (Carver et al., 1989; Gazzaniga & Heatherton 2003). Dalam PFC terdapat beberapa tindakan-tindakan yang bertujuan untuk mengubah situasi yang penuh stress menjadi lebih nyaman, antara lain: perencanaan (planning), melakukan tindakan secara langsung pada sumber masalah (taking direct action), mencari bantuan berupa informasi (seeking assistance), mencoba alternatif lain dalam mengatasi masalah, dan menunggu waktu yang tepat sebelum bertindak (Carver et al., 1989; Baron et al.,2006).

PFC digunakan untuk mengontrol masalah yang muncul dari konflik antara kebutuhan individu dan tuntutan lingkungan dengan menggunakan pemecahan masalah (problem solving), membuat keputusan, dan tindakan secara langsung (Folkman 1984; Gazzaniga & Heatherton 2003).

Dalam strategi PFC, individu berusaha untuk mencari sumber masalah, mengembangkan alternatif pemecahan masalah, menentukan

pemecahan masalah yang menguntungkan bagi dirinya, dan juga menyiapkan alternatif lain jika pemecahan masalah kurang berhasil dilakukan (Atkinson et al., 1996; Huffman et al., 2000; Gazzaniga & Heatherton 2003). Menurut Billings dan Moos (dalam Atkinson et al., 1996) individu yang menggunakan PFC dalam mengatasi masalahnya menunjukkan tingkat depresi yang rendah, baik saat menghadapi stress maupun sesudahnya.

2. Fungsi PFC

Menurut Folkman (1984), fungsi utama koping ada dua yaitu menyelesaikan masalah yang dihadapi hingga tuntas sehingga menghambat munculnya masalah lain (PFC) dan mengatur respon emosi terhadap situasi yang penuh stres (EFC).

Penelitian yang dilakukan oleh Folkman dan Lazarus (dalam Folkman, 1984) menunjukkan bahwa baik PFC maupun EFC digunakan individu untuk menghadapi setiap situasi yang penuh stres. Penggunaan PFC meningkat pada situasi yang dinilai dapat diubah menjadi lebih baik. Sedangkan penggunaan EFC meningkat pada situasi yang dinilai tidak memungkinkan untuk diubah. Sebuah hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa-siswa yang menilai stressor akademik sebagai situasi yang menantang dan terkontrol akan lebih menggunakan PFC dan pikiran positif (positive thinking) dibandingkan siswa-siswa yang menilai stressor akademik sebagai situasi yang mengancam (dalam Pestonjee, 1992).

Berdasarkan beberapa penelitian pengaruh koping terhadap proses penyesuaian diri, Holahan dan Moos (1987) menyatakan beberapa kelebihan PFC dibandingkan EFC, antara lain:

a. PFC memiliki hubungan dengan menurunnya tingkat depresi, sedangkan EFC berhubungan positif dengan munculnya stres psikologis.

b. Pada kalangan praktisi hukum, semakin sering mereka menggunakan EFC untuk mengatasi masalah, semakin meningkat ketegangan fisik maupun psikisnya.

c. Usaha untuk mengatasi perasaan-perasaan tidak menyenangkan dengan jalan menarik diri secara aktual justru akan meningkatkan stres dan menguatkan munculnya problem baru di masa datang.

Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa PFC pada dasarnya bertujuan untuk menyelesaikan masalah hingga tuntas dan bagaimana mengatasi situasi penuh stres dengan efektif agar dampak buruk stres terhadap kesehatan mental individu dapat dihindarkan, serta dapat menghambat munculnya masalah yang lainnya.

3. Aspek - Aspek PFC

Tiga aspek dari koping yang berorientasi pada pemecahan masalah (Aldwin & Revenson, 1987) adalah:

Individu merencanakan sesuatu dengan baik sebelum melakukan sesuatu hal. Dalam hal ini, individu bertindak dengan hati-hati dalam membuat keputusan untuk memecahkan masalah, mempertimbangkan beberapa alternatif pemecahan masalah yang mungkin dilakukan, mengevaluasi strategi-strategi yang sudah pernah dilakukan sebelumnya, dan meminta pendapat dari orang lain.

2) Instrumental action (tindakan instrumental)

Usaha-usaha secara langsung yang dilakukan untuk mengatasi masalah. individu membuat perencanaan penyelesaian masalah secara logis, melakukan penyusunan rencana, dan melakukannya sesuai dengan yang telah direncanakan.

3) Negotiation (negosiasi)

Usaha yang memusatkan perhatian pada penyelesaian masalah dengan pendekatan-pendekatan yang dilakukan pada orang lain atau sumber masalah untuk ikut menyelesaikan permasalahan.

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi PFC

a. Perbedaan individual dalam memandang situasi penuh stress (cognitive appraisal)

Perbedaan individu dalam mengatasi stres tergantung dari cara mereka memandang situasi stres tersebut sehingga mereka akan menentukan dan memilih koping yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Suatu situasi akan dipersepsi menimbulkan stres atau tidak tergantung pada

penilaian kognitif individu. Perbedaan ini muncul karena masing-masing individu memiliki kemampuan, potensi, dan berbagai pertimbangan lainnya sehingga akhirnya akan memunculkan kualitas koping tertentu yang berbeda-beda pada setiap individu (Folkman & Lazarus 1986). Individu cenderung menggunakan PFC ketika ia percaya bahwa sumber-sumber dalam dirinya mampu mengatasi masalah yang ada atau yakin bahwa situasi penuh stres dapat diubah. Sebaliknya individu yang kurang yakin bahwa ia dapat melakukan sesuatu untuk mengubah situasi stres tersebut, ia akan cenderung menghindari masalah dengan minum minuman beralkohol, mengkonsumsi obat-obatan, serta makan dan tidur secara berlebihan untuk menghindari masalah (Lazarus 1976; Gerig & Zimbardo, 2008). b. Dukungan Sosial, dukungan sosial yang positif berhubungan dengan

berkurangnya kecemasan dan depresi (Hufman et al., 2000; Hockenbury & Hockenbury, 2003).

c. Perbedaan budaya juga akan berpengaruh dalam pemilihan dan penggunaan strategi koping individu (Passer & Smith, 2007; Hockenbury & Hockenbury, 2003).

d. Jenis Kelamin; dari penelitian yang dilakukan oleh Tamres, Janicki, dan Helgeson (dalam Baron et al., 2006) menunjukkan bahwa pria dan wanita memiliki perbedaan cara dalam mengatasi stres. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa wanita menggunakan area strategi koping yang luas, baik dengan strategi problem-focused (antara

lain, perencanaan dan koping secara aktif) maupun emotion-focused (antara lain, mencari dukungan sosial, perenungan kembali, dan penilaian ulang secara positif) dibandingkan dengan pria. Para peneliti tersebut menemukan bahwa wanita lebih banyak menghadapi stresor dibanding dengan pria. Hal ini berpengaruh pada penggunaan area strategi koping yang luas, termasuk pencarian dukungan sosial dalam menghadapi stres yang dilakukan oleh wanita.

Dokumen terkait