• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Antara Optimisme dan Problem Focused Coping pada Mahasiswa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Hubungan Antara Optimisme dan Problem Focused Coping pada Mahasiswa"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

DisusunOleh: Widuri Listiana NIM : 03 9114 033

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2009

   

(2)
(3)
(4)

 

Hidup itu perlu DIPERJUANGKAN….

Hidup bagaikan untaian benang yang tergulung,

Benang yang terurai tak akan mungkin tergulung seperti sedia kala…

TETAP SEMANGAT! HIDUP ITU KERAS!

(5)

karya ini khusus kupersembahkan untuk:

Jesus Christ

IBU & MOMO

Juga

Teman

Temanku

(6)
(7)

ABSTRAK

HUBUNGAN ANTARA OPTIMISME DAN PROBLEM FOCUSED COPING PADA MAHASISWA

Widuri Listiana Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta 2008

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan yang positif antara optimisme dan problem focused coping pada mahasiswa. Subyek dalam penelitian ini adalah mahasiswa laki-laki dan perempuan sejumlah 150 orang, yang berusia 18 – 22 tahun; berada pada semester tiga (angkatan 2007), semester 5 (angkatan 2006), dan semester 7 (angkatan 2005). Hipotesis yang diajukan adalah ada hubungan yang positif antara optimisme dan problem focused coping pada mahasiswa. Data penelitian diungkap dengan skala optimisme yang mempunyai reliabilitas 0.924 dan skala problem focused coping yang memiliki reliabilitas 0.909. Analisis data dilakukan dengan korelasi Product Moment dari Pearson. Hasil penelitian menunjukkan korelasi sebesar 0.692 (p=0.000; p<0.01), yang berarti ada hubungan positif yang signifikan antara optimisme dan problem focused coping pada mahasiswa.

Kata kunci : optimisme, problem focused coping

(8)

 

ABSTRACT

THE RELATIONSHIP BETWEEN OPTIMISM AND PROBLEM FOCUSED COPING ON UNIVERSITY STUDENTS

Widuri Listiana

Sanata Dharma University

Yogyakarta

2008

Current research was conducted to investigate if there is a positive relationship between optimism and problem focused coping on college students. The subjects studied in the research were 150 students, whose age were between 18 – 22 years old. They were also in the 3rd, 5th, and 7th semester. The proposed hypothesis was there is a positive relationship between optimism and problem focused coping on the students. The research used optimism scale with the reliability of 0.924 and problem focused coping scale with the reliability of 0.909. The data analysis was conducted with the correlation of Pearson’s Product Moment. The result of the research showed the correlation of 0.692 (p=0.000; p<0.01), which means that the positive relationship exists significantly between optimism and problem focused coping on the students.

Keyword: optimism, problem focused coping

(9)
(10)

 

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat,

karunia, bimbingan, dan segala yang Ia berikan serta rencanakan untuk penulis

sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga menyadari bahwa skripsi

ini dapat terselesaikan karena adanya kerelaan hati, semangat, dan cinta yang tulus

dari orang-orang terdekat yang selalu membantu dan membimbing penulis baik

dalam menyelesaikan skripsi ini maupun dalam hidup penulis. Dengan segala

kerendahan hati, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta,

Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si. yang telah memberikan ijin dan

dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini.

2. Bapak V. Didik Suryo H., S.Psi., M.Si., selaku Dosen Pembimbing Skripsi

yang selalu sabar dalam memberikan arahan, masukan, dan dorongan untuk

penulis agar segera menyelesaikan skripsinya. Terimakasih banyak pak atas

waktu dan tenaga yang sudah disisihkan untuk saya. Tuhan memberkati Bapak

sekeluarga.

3. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si., selaku Dosen Pembimbing Akademik.

4. Bapak Y. Heri Widodo, M.Psi atas waktu, masukan dan motivasinya baik

dalam menyelesaikan skripsi.

5. YB. Cahya Widiyanto, S.Psi., M.Si., selaku Dosen Penguji.

6. Agung Santoso, S.Psi., MA. selaku Dosen Penguji.

7. Segenap dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta,

terimakasih atas bimbingannya dan seluruh bekal ilmu pengetahuan yang telah

diberikan.

8. Mba Nanik, Mas Gandung, dan Pak Gie, terimakasih atas semua bantuan dan

kesabaran dalam melayani kepentingan akademik.

9. Mas Mudji selaku laboran yang selalu direpotkan ketika praktikum.

Terimakasih atas bantuan, kepercayaan, dan dukungan yang membuat penulis

lebih maju.

x

(11)

10.Mas Doni atas bantuannya selama kuliah dan skripsi, serta kesabarannya

ketika penulis berisik di Ruang Baca.

11.Beberapa teman-teman mahasiswa Angkatan 2005, 2006, dan 2007 yang

merelakan waktunya untuk mengisi skala penelitianku.

12.Ibu Waltini Endrani, terimakasih yang teramat besar atas tenaga, waktu, kasih

sayang, kemarahan, kesedihan, kepercayaan, kebahagiaan, dukungan, dan

segalanya yang engkau berikan untukku selama duapuluh tiga tahun ini.

Bagiku, Ibu adalah Ibu yang paling HEBAT. Aku banyak belajar dari asam

garam hidupmu dalam menyikapi kehidupan ini. Tuhan Yesus selalu

memberkatimu Bu. Maaf, aku selalu merepotkan dan membuatmu sedih. Aku

selalu mencintaimu.

13.Eko Widhi Martanto, orang kedua yang terpenting dalam kehidupanku setelah

Ibuku. Terimakasih banyak atas waktu, tenaga, kemarahan, kebahagiaan,

kepercayaan, kesetiaan, dukungan, dan segalanya yang kamu berikan untukku

agar aku bisa lebih maju dan lebih baik lagi. Maafkan aku yang suka lemot,

sensitif, moody, dan sering bingung sendiri. JBU. ILU.

14.Didi’03, Nana’03, Nonie’03, Sarie’03, Otic’03, dan Poke’03, terimakasih

sudah mewarnai hidupku dengan pertemanan kita.

15.Gothe’03, makasih selalu mengingatkanku untuk segera menyelesaikan

skripsiku dan untuk dukungannya. Maaf ya kalau sering membuatmu bingung

the. Tetap Semangat! Kehidupan Keras!

16.Ajeng’03, wah, ternyata aku salah menilaimu…hehehe. Makasih untuk

dukungannya, aku cukup banyak belajar darimu dan Gothe. Kalian

menyenangkan. Ayo kapan kita pergi bertiga lagi!

17.Sutaboy, tetap semangat boy! Ayo, segera selesaikan kuliahmu!

18.Seluruh teman-teman angkatan 2003 yang tidak dapat aku sebutkan satu

persatu, terimakasih buat semuanya.

19.Teman-teman asisten P2TKP: Mas Desta, Otic, Abe, Gothe, Srie, Rondang,

Astin, Vania, Atiek, Betty, Wulan, Lia, Tinul, Weni, Mitha, Baday, Budi,

makasih banyak untuk dukungan dan kebersamaannya selama ini;

asisten-asisten yang baru aja masuk, Selamat Bekerja!; Diana’03, tetap Semangat bu!

xi

(12)

 

20.Teman-Teman di Aswangga, TETAP SEMANGAT! KEHIDUPAN KERAS!

21.Alit-TulAlit, wah rajin banget bimbingannya. Ayo, segera selesaikan

skripsimu. Tetap Semangat!

Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terimakasih atas

doa dan dukungannya, serta masukannya dalam proses penyelesaian skripsi ini.

Yogyakarta, April 2009

Penulis

xii

(13)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………. i

HALAMAN PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING…………... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI……… iii

HALAMAN MOTTO………... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN……….. v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA……….. vi

ABSTRAK ………... vii

ABSTRACT……….. viii

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI……….... ix

KATA PENGANTAR……….. x

DAFTAR ISI………. xiii

DAFTAR TABEL………. xvi

DAFTAR GRAFIK...……… xvii

DAFTAR LAMPIRAN………. xviii

BAB I PENDAHULUAN………. 1

B. Problem-Focused Coping (PFC)..…………...………... 10

1. Pengertian PFC………. 10

2. Fungsi PFC……… 14

3. Aspek-Aspek PFC……… 15

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi PFC………. 16

C. Optimisme……..……… 18

1. Pengertian Optimisme……….. 18

2. Explanatory Style (Gaya Penjelasan)……… 20

(14)

 

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Optimisme………... 22

4. Dampak dari Optimisme……….. 23

D. Hubungan Antara Optimisme dan Problem-Focused Coping pada Mahasiswa.……… 24

E. Hipotesis………. 29

BAB III METODE PENELITIAN………... 30

A. Jenis Penelitian………... 30

B. Identifikasi Variabel………... 30

C. Definisi Operasional……… 30

1. Optimisme……… 30

2. Problem-Focused Coping (PFC)……….. 31

D. Subyek Penelitian……… 31

E. Alat Pengumpulan Data………. 32

F. Prosedur Penelitian………. 36

G. Pertanggungjawaban Alat Ukur………. 37

1. Validitas……… 37

2. Seleksi Aitem……… 38

3. Reliabilitas……… 41

H. Analisis Data……….. 42

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……… 43

A. Deskripsi Hasil Penelitian……….. 43

1. Deskripsi Subyek Penelitian……… 43

2. Deskripsi Data Penelitian………. 44

B. Hasil Penelitian……….. 44

1. Uji Asumsi Data Penelitian………. 45

a. Uji Normalitas……… 45

b. Uji Linearitas………. 47

2. Pengujian Hipotesis Penelitian……… 47

C. Pembahasan………... 49

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...………... 52

A. Kesimpulan……… 52

xiv

(15)

B. Keterbatasan Penelitian………. 52

C. Saran ………. 53

1. Saran kepada Mahasiswa……… 53

2. Saran kepada Dosen Pengajar………. 54

3. Saran kepada Penelitian Selanjutnya……….. 55

DAFTAR PUSTAKA……….. 56

xv

(16)

 

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Distribusi Aitem Skala Optimisme………. 35

Tabel 2. Distribusi Aitem Skala Problem-Focused Coping………. 36

Tabel 3. Bentuk Final Skala Optimisme ………. 40

Tabel 4. Bentuk Final Skala Problem-Focused Coping …..……… 41

Tabel 5. Deskripsi Subyek Penelitian……… 43

Tabel 6. Deskripsi Data Penelitian……… 44

Tabel 7. Hasil Uji Normalitas……… 45

Tabel 8. Hasil Uji Linearitas………. 47

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

xvi

(17)

DAFTAR GRAFIK 

Halaman

Grafik 1. Sebaran Data Variabel Optimisme………. 46

Grafik 2. Sebaran Data Variabel PFC.……….. 46

Grafik 3. Arah Hubungan Variabel Penelitian……….. 48

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

xvii

(18)

 

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A: Skala Try-Out Optimisme dan Problem-Focused Coping (PFC)

Reliabilitas Skala Optimisme dan Problem-Focused Coping (PFC)

Skala Penelitian Optimisme dan Problem-Focused Coping (PFC)

Lampiran B: Deskriptif Data Optimisme dan Problem-Focused Coping (PFC)

Hasil Analisis One Sample T-test

Lampiran C: Hasil Analisis Uji Normalitas

Hasil Analisis Uji Linearitas

Hasil Analisis Korelasi Pearson Product Moment

 

xviii

(19)

A. Latar Belakang Masalah

Sebagai kaum muda, mahasiswa mulai menentukan arah dan

perjalanan hidupnya yang menyangkut masa depan. Mereka akan dihadapkan

pada berbagai permasalahan untuk mencapai apa yang mereka tuju. Mereka

dituntut untuk lebih bertanggung jawab dalam memutuskan sesuatu, berbeda

dengan masa remaja yang terdahulu yang bisa bertindak “semau gue”, saat ini

mereka diharapkan ketika menyelesaikan suatu masalah, tidak hanya

menggunakan emosi semata tetapi lebih dipikirkan secara matang dalam

memutuskan sesuatu.

Dalam menghadapi segala permasalahan kehidupan, mahasiswa akan

menggunakan mekanisme perilaku koping untuk melindungi dirinya dari

tekanan-tekanan psikologis yang dialami. Secara umum bentuk perilaku

koping dapat dibedakan menjadi dua tipe (Baron & Byrne, 2005), yaitu

koping yang berpusat pada emosi (emotion-focused coping) yang berarti usaha

untuk mengurangi respon-respon emosional negatif yang muncul akibat dari

suatu ancaman dan untuk meningkatkan afek-afek positif. Tipe yang kedua

adalah koping yang berpusat pada masalah (problem-focused coping), yaitu

usaha untuk mengatasi ancaman itu sendiri dan untuk memperoleh kontrol

(20)

Mahasiswa dapat menghadapi tekanan-tekanan yang muncul dari

perubahan situasi ini dengan cara yang positif, misalnya, melakukan

perencanaan kuliah, menyelesaikan kuliah sesuai dengan target waktu,

mengerjakan tugas tepat waktu, mempersiapkan dan mempelajari materi ujian

beberapa hari sebelum ujian dilaksanakan, mengikuti kegiatan-kegiatan

akademik maupun non-akademik untuk mengembangkan diri, dan berusaha

meraih prestasi akademik maupun non-akademik. Hal tersebut menunjukkan

bahwa ada juga mahasiswa yang mengatasi permasalahan yang ada dengan

berfokus pada sumber masalah.

Namun, ada juga yang kurang siap menghadapi tantangan ataupun

tuntutan yang muncul sehingga mereka cenderung lari dari masalah-masalah

yang mereka hadapi. Beberapa mahasiswa yang merasa kurang mampu

mengatasi masalahnya akan menggunakan cara yang kurang matang ketika

menghadapi suatu masalah, misalnya, mencontek, memalsukan tanda tangan,

membolos kuliah, menunda pengumpulan tugas kuliah, mengabaikan

studinya, minum minuman beralkohol, menggunakan narkoba, dan

sebagainya. Cara ini digunakan untuk menghilangkan perasaan negatif yang

muncul dari suatu peristiwa yang tidak nyaman.

Mahasiswa sebagai remaja akhir yang beranjak dewasa mulai mampu

berpikir tentang segala kemungkinan yang dapat terjadi dan dapat

dilakukannya. Ketika menemui suatu permasalahan, mereka juga sudah mulai

mampu menyusun berbagai rencana untuk menyelesaikan masalah tersebut.

(21)

maupun non-akademis yang tinggi, mereka dapat mengatasinya dan merasa

tertantang untuk lebih mandiri dan bertanggung jawab terhadap tugas-tugas

yang akan diselesaikannya.

Ketika mahasiswa mampu untuk membayangkan hal-hal yang dapat

terjadi dan dapat dilakukan untuk mewujudkan harapan mereka, maka akan

memotivasi mereka dalam mencapai harapan-harapan mereka dengan melihat

kemampuan yang dimiliki oleh diri sendiri, sehingga mereka memiliki

keyakinan pada diri mereka sendiri. Keyakinan akan diri sendiri akan

mempengaruhi diri untuk tetap bertahan dan terus berjuang dalam mengatasi

masalah hidup dan menjadikan individu sebagai orang yang optimis.

Seseorang yang memiliki optimisme tidak takut menghadapi kegagalan dan

berusaha untuk mengetahui apa yag menjadi penyebab kegagalannya.

Optimisme berarti memiliki pengharapan dan keyakinan bahwa segala

sesuatu dalam kehidupan akan berhasil atau dapat dijalani. Cara individu

memandang situasi yang sedang terjadi dapat menunjukkan apakah orang

tersebut merupakan orang optimis atau pesimis. Cara pandang yang positif

terhadap suatu peristiwa akan menimbulkan rasa mampu menghadapi

peristiwa tersebut. Sedangkan cara pandang yang negatif akan menimbulkan

rasa tidak mampu dan tidak berdaya pada individu tersebut.

Orang-orang yang optimis cenderung menafsirkan permasalahan

mereka sebagai hal yang sementara, terkendali, dan hanya khusus pada satu

situasi. Sedangkan orang pesimis adalah sebaliknya, yaitu meyakini bahwa

(22)

sudah dilakukan, dan tidak terkendali (Abramson, dalam Atkinson et al., 1996;

Bourne & Russo, 1998; Gerrig & Zimbardo, 2008). Cara pandang individu

terhadap suatu peristiwa atau masalah akan berpengaruh pada motivasi,

suasana hati dan perilaku mereka dalam menghadapi masalah tersebut.

Individu yang optimis cenderung memiliki motivasi yang tinggi dan suasana

hati yang positif dalam memandang masalah mereka, hal ini berpengaruh pada

perilaku mereka dalam mengatasi masalah yang cenderung fokus pada

penyelesaian di sumber masalah.

Menurut Scheier dan Carver (dalam Baron, 1998; Bourne & Russo,

1998), orang yang optimis dan pesimis menggunakan strategi koping yang

berbeda dalam menghadapi stres. Orang yang optimis fokus pada penyelesaian

permasalahan, seperti membuat dan menetapkan rencana dalam mengatasi

sumber stres, serta mencari dan mendapatkan dukungan sosial dalam

mengatasi stress. Sedangkan orang yang pesimis cenderung menggunakan

strategi yang berbeda, seperti merasa putus asa dalam mencapai tujuan atau

keinginannya, menyangkal bahwa ia mengalami stres dan lebih menggunakan

emosi dalam mengatasi permasalahan.

Penelitian Seligman (2005), selama dua dekade terakhir ini,

menunjukkan bahwa orang-orang yang pesimis memiliki delapan kali

kemungkinan menjadi depresi ketika mengalami peristiwa yang buruk,

sehingga berakibat pada prestasi sekolah yang buruk, pekerjaan yang tidak

bisa diselesaikan, kesehatan fisik yang lebih buruk, dan usia mereka yang

(23)

dengan orang lain. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa optimisme

berpengaruh pada bagaimana orang berprilaku dan kesehatan seseorang.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa orang yang optimis memiliki

penyesuaian diri yang baik, mengalami kecemasan dan depresi yang rendah,

memiliki pengontrolan diri, koping yang efektif, sistem imun yang tinggi,

kesehatan fisik yang baik, dan suasana hati yang baik saat menghadapi situasi

hidup penuh stress (Scheier, et al., 2002; Passer & Smith, 2007; Scheier &

Carver, dalam Myers, 2003; Segerstrom, et al., 1998; Chang, 1998).

Sebagai mahasiswa sangatlah penting untuk memiliki pandangan yang

optimis. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Brissette, Scheier, dan

Carver (2002) pada mahasiswa semester pertama, menunjukkan bahwa

mahasiswa yang optimis memiliki penyesuaian diri yang baik terhadap

peristiwa yang penuh stres. Selain itu, penelitian ini juga menunjukkan bahwa

mahasiswa yang optimis menggunakan koping aktif dan perencanaan dalam

menghadapi situasi penuh stres, serta menunjukkan rendahnya penyangkalan

dan tindakan yang merugikan ketika menghadapi kondisi yang penuh stres.

Peneliti ingin melihat apakah hal tersebut juga terjadi di Indonesia,

khususnya hubungan antara optimisme dan problem-focused coping pada

mahasiswa. Mahasiswa di Indonesia cenderung lebih santai dalam

menjalankan studinya maupun menyelesaikan tugas-tugas mereka

dibandingkan dengan mahasiswa dari Negara bagian barat. Ketika seseorang

tidak berusaha dengan sungguh-sungguh dalam mewujudkan harapannya atau

(24)

di Negara bagian barat lebih fokus dalam mewujudkan harapan-harapan

mereka sehingga mereka bisa lebih maju dibanding orang-orang di Indonesia.

Ketika seseorang yakin dalam menetapkan tujuan dan harapannya maka orang

tersebut akan memiliki motivasi yang tinggi dalam mewujudkannya, hal ini

juga diikuti oleh perilaku orang tersebut yang berusaha untuk mewujudkan

harapannya atau tujuannya.

Dari penelitian-penelitian di atas menunjukkan pentingnya optimisme

pada individu dalam menghadapi situasi yang penuh stres. Sebagai mahasiswa

yang memiliki optimisme tinggi maka ia akan mampu menyesuaikan diri

dengan baik, dengan cara penanganan masalah yang berfokus pada sumber

masalah. Sedangkan pada mahasiswa yang memiliki optimisme yang rendah

atau pesimis dalam menghadapi hidup, ia cenderung melarikan diri dari

masalah dan kurang mampu mengatasi masalah dengan baik sehingga tidak

mampu menyesuaikan diri dengan perubahan dan tuntutan yang dihadapi.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas maka permasalahan penelitian dapat

dirumuskan sebagai berikut: apakah sikap optimis memiliki hubungan yang

positif dengan problem-focused coping pada mahasiswa?

C. Tujuan

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui adakah hubungan yang

(25)

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan

pengetahuan di bidang ilmu psikologi kognitif mengenai hubungan

antara optimisme dan problem-focused coping pada mahasiswa.

2. Manfaat Praktis

a. Memberikan wawasan kepada pembaca mengenai pentingnya peran

optimisme dalam hubungannya dengan problem-focused coping ketika

mengatasi suatu masalah, karena optimisme berpengaruh pada

(26)

LANDASAN TEORI

A. Mahasiswa

Mahasiswa merupakan individu yang melanjutkan sekolahnya ke

jenjang perguruan tinggi. Mahasiswa tergolong pada masa remaja akhir, dan

juga berada pada peralihan menuju masa dewasa. Masa remaja akhir berada

pada usia 15 tahun ke atas sampai usia 18 – 22 tahun (Santrock, 2003). Pada

usia ini, minat pada karir, prestasi, pacaran, dan eksplorasi tentang diri lebih

menonjol. Pada usia remaja akhir, mereka dituntut agar mampu mengambil

keputusan secara luas tentang karir, nilai-nilai, keluarga dan hubungan sosial,

serta tentang gaya hidup (Santrock, 2002).

Tugas-tugas perkembangan pada remaja menurut Havighurst (dalam

Sarwono, 2004) adalah:

1. Menerima kondisi fisiknya dan memanfaatkan tubuhnya secara efektif.

2. Menerima hubungan yang lebih matang dengan teman sebaya dari jenis

kelamin yang mana pun.

3. Menerima peran jenis kelamin masing-masing (laki-laki atau perempuan).

4. Berusaha melepaskan diri dari ketergantungan emosi terhadap orang tua

dan dewasa lainnya.

5. Mempersiapkan karir ekonomi.

6. Mempersiapkan perkawinan dan kehidupan berkeluarga.

(27)

8. Mencapai sistem nilai dan etika tertentu sebagai pedoman tingkah laku.

Cara berpikir pada masa remaja lebih maju, efisien, dan efektif

dibanding saat masa anak-anak. Hal ini dapat dilihat melalui lima perubahan

kognitif pada masa remaja menurut Keating (dalam Steinberg, 2002):

1. Selama masa remaja, individu lebih mampu berpikir tentang hal-hal yang mungkin terjadi.

2. Remaja menjadi lebih mampu berpikir secara abstrak.

3. Selama masa remaja, individu mulai sering memikirkan tentang proses berpikir itu sendiri.

4. Remaja mulai berpikir secara multidimensi dan tidak terbatas pada satu hal saja.

5. Remaja memandang suatu hal secara lebih relatif dan bukan sesuatu yang mutlak.

Menurut Piaget (Santrock, 2003), remaja masuk dalam tahap

operasional formal, tahap ini muncul atau dimulai pada usia 11 atau 15 tahun

sampai pada masa dewasa. Pada tahap ini remaja mampu berpikir secara:

1. Abstrak, remaja mampu membayangkan situasi rekaan, kejadian yang

semata-mata berupa kemungkinan hipotesis, dan mencoba mengolahnya

dengan pemikiran yang logis.

2. Idealis, munculnya pemikiran-pemikiran yang penuh idealisme dan

berpikir tentang kemungkinan hal-hal yang dapat terjadi.

3. Logis, remaja mulai menyusun berbagai rencana untuk memecahkan

masalah, dan secara sistematis menguji cara pemecahan yang terpikirkan.

(28)

Sebagai mahasiswa, tekanan yang mereka hadapi bertambah berat,

seperti bertambahnya tekanan untuk mencapai prestasi, unjuk kerja, dan

nilai-nilai ujian yang baik (Santrock, 2003). Bayangan mengenai hari depan yang

masih dianggap kabur, seperti mengenai pekerjaan yang belum jelas yang

akan dilakukan setelah menamatkan sekolah merupakan masalah yang

dihadapi oleh mahasiswa. Rasa takut akan kegagalan di dunia yang

berorientasi pada keberhasilan sering menjadi alasan penyebab stres dan

depresi bagi mahasiswa (Santrock, 2003). Namun, mahasiswa mampu

merencanakan masa depannya dengan memproses pengalaman-pengalaman di

masa lalunya, kemudian melihat apa yang mampu ia lakukan saat ini untuk

mewujudkan rencana masa depannya.

B. Problem-Focused Coping

1. Pengertian Problem-Focused Coping (PFC)

Adanya tuntutan untuk memecahkan masalah dan situasi yang

menekan (stressor) merupakan pemicu munculnya sekumpulan cara dari

individu untuk menghadapinya. Cara-cara individu menghadapi situasi

yang menekan ini disebut sebagai proses coping. Lazarus & Folkman

(dalam Folkman, 1984; Gerig & Zimbardo, 2008; Hockenbury &

Hockenbury, 2003; Huffman et al., 2000) mengatakan bahwa coping

adalah usaha individu secara kognitif dan perilaku untuk mengatasi

(29)

melebihi kemampuan individu, sehingga situasi stres tersebut menjadi

berkurang atau hilang.

Secara umum coping merupakan proses dalam menghadapi situasi

yang dirasa mengancam atau tidak nyaman dengan melakukan

penyelesaian masalah, mengatasi efek emosional dari masalah atau stresor

tersebut, atau mencari dukungan sosial dalam mengurangi situasi yang

tidak nyaman tersebut (Santrock, 2005; Atkinson et al., 1996; Carver et al.,

1989). Coping juga merupakan proses yang dinamis dan terus berjalan dalam menghadapi situasi penuh stres (Hockenbury & Hockenbury, 2003).

Setiap individu akan memberikan respon yang berbeda walaupun

menghadapi permasalahan yang sama. Perbedaan respon atau cara tersebut

menyebabkan ada individu yang berhasil mengatasi masalahnya, ada pula

yang gagal. Respon atau cara individu menggunakan coping ini dibedakan

menjadi dua golongan (Lazarus & Folkman dalam Hockenbury &

Hockenbury, 2003; Chang, 1998; Baron & Byrne, 2006), yaitu:

a. Problem-Focused Coping yang selanjutnya ditulis PFC, merupakan strategi individu dalam mengatasi atau mengurangi stresor yang

dianggap mengancam atau berbahaya bagi dirinya dan untuk

memperoleh kontrol terhadap situasi.

b. Emotion-Focused Coping yang selanjutnya ditulis EFC, merupakan strategi individu dalam mengatasi dampak emosional dari situasi yang

penuh stres atau mengancam sehingga memperoleh rasa nyaman dan

(30)

masih ada, individu lebih memilih untuk merasa tidak terlalu cemas

atau marah, dan berusaha untuk meningkatkan perasaan-perasaan

positif. EFC digunakan saat individu merasa tidak mampu mengatasi

masalah dan tujuannya untuk memberikan rasa nyaman pada individu

bersangkutan.

Folkman dan Lazarus (1986) menyebutkan bahwa perbedaan

antara PFC dan EFC terletak pada cara yang digunakan untuk menghadapi

stres. Pemecahan masalah dalam PFC adalah dengan membuat rencana

dan melakukan tindakan langsung terhadap sumber masalah sehingga

mendapatkan hasil yang diinginkan. Pemecahan masalah dalam EFC

dilakukan individu dengan mengarahkan perilakunya pada pengontrolan

emosi yang tidak menyenangkan melalui usaha mencari sisi baik dari

masalah yang dihadapi, mencari simpati dan pengertian orang lain, atau

dengan cara menghindarinya untuk melupakan semua permasalahan yang

dihadapi. PFC digunakan oleh individu untuk menyelesaikan masalah

hingga benar-benar terbebas dari masalah yang dihadapi. Sedangkan

penyelesaian masalah dengan cara EFC bersifat sementara, dalam arti

masalah yang sesungguhnya belum terselesaikan karena yang dilakukan

hanyalah meredakan emosi yang ditimbulkan oleh sumber stres.

Lazarus dan Folkman (dalam Hockenbury & Hockenbury, 2003;

Chang, 1998; Santrock, 2005; Halonen & Santrock, 1999) menyatakan

PFC adalah usaha individu dalam mengatasi stresor yang dianggap

(31)

(2003) mengatakan strategi PFC adalah usaha individu dalam mengatasi

sumber stres (stresor) dengan tujuan mengubah atau mengurangi sumber

stres tersebut. Menurut Baron dan Byrne (2005) PFC adalah usaha untuk

mengatasi sumber stres yang dianggap sebagai ancaman itu sendiri, dan

untuk memperoleh kontrol terhadap situasi.

Strategi PFC merupakan usaha untuk mengatasi masalah atau

usaha dalam melakukan sesuatu untuk menangani sumber stres (Carver et

al., 1989; Baron et el., 2006). Strategi ini cenderung digunakan saat

individu merasa mampu melakukan sesuatu untuk mengatasi masalahnya

(Carver et al., 1989; Gazzaniga & Heatherton 2003). Dalam PFC terdapat

beberapa tindakan-tindakan yang bertujuan untuk mengubah situasi yang

penuh stress menjadi lebih nyaman, antara lain: perencanaan (planning),

melakukan tindakan secara langsung pada sumber masalah (taking direct

action), mencari bantuan berupa informasi (seeking assistance), mencoba alternatif lain dalam mengatasi masalah, dan menunggu waktu yang tepat

sebelum bertindak (Carver et al., 1989; Baron et al.,2006).

PFC digunakan untuk mengontrol masalah yang muncul dari

konflik antara kebutuhan individu dan tuntutan lingkungan dengan

menggunakan pemecahan masalah (problem solving), membuat keputusan,

dan tindakan secara langsung (Folkman 1984; Gazzaniga & Heatherton

2003).

Dalam strategi PFC, individu berusaha untuk mencari sumber

(32)

pemecahan masalah yang menguntungkan bagi dirinya, dan juga

menyiapkan alternatif lain jika pemecahan masalah kurang berhasil

dilakukan (Atkinson et al., 1996; Huffman et al., 2000; Gazzaniga &

Heatherton 2003). Menurut Billings dan Moos (dalam Atkinson et al.,

1996) individu yang menggunakan PFC dalam mengatasi masalahnya

menunjukkan tingkat depresi yang rendah, baik saat menghadapi stress

maupun sesudahnya.

2. Fungsi PFC

Menurut Folkman (1984), fungsi utama koping ada dua yaitu

menyelesaikan masalah yang dihadapi hingga tuntas sehingga

menghambat munculnya masalah lain (PFC) dan mengatur respon emosi

terhadap situasi yang penuh stres (EFC).

Penelitian yang dilakukan oleh Folkman dan Lazarus (dalam

Folkman, 1984) menunjukkan bahwa baik PFC maupun EFC digunakan

individu untuk menghadapi setiap situasi yang penuh stres. Penggunaan

PFC meningkat pada situasi yang dinilai dapat diubah menjadi lebih baik.

Sedangkan penggunaan EFC meningkat pada situasi yang dinilai tidak

memungkinkan untuk diubah. Sebuah hasil penelitian menunjukkan bahwa

siswa-siswa yang menilai stressor akademik sebagai situasi yang

menantang dan terkontrol akan lebih menggunakan PFC dan pikiran

positif (positive thinking) dibandingkan siswa-siswa yang menilai stressor

(33)

Berdasarkan beberapa penelitian pengaruh koping terhadap proses

penyesuaian diri, Holahan dan Moos (1987) menyatakan beberapa

kelebihan PFC dibandingkan EFC, antara lain:

a. PFC memiliki hubungan dengan menurunnya tingkat depresi,

sedangkan EFC berhubungan positif dengan munculnya stres

psikologis.

b. Pada kalangan praktisi hukum, semakin sering mereka menggunakan

EFC untuk mengatasi masalah, semakin meningkat ketegangan fisik

maupun psikisnya.

c. Usaha untuk mengatasi perasaan-perasaan tidak menyenangkan

dengan jalan menarik diri secara aktual justru akan meningkatkan stres

dan menguatkan munculnya problem baru di masa datang.

Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa PFC pada dasarnya

bertujuan untuk menyelesaikan masalah hingga tuntas dan bagaimana

mengatasi situasi penuh stres dengan efektif agar dampak buruk stres

terhadap kesehatan mental individu dapat dihindarkan, serta dapat

menghambat munculnya masalah yang lainnya.

3. Aspek - Aspek PFC

Tiga aspek dari koping yang berorientasi pada pemecahan masalah

(Aldwin & Revenson, 1987) adalah:

(34)

Individu merencanakan sesuatu dengan baik sebelum melakukan

sesuatu hal. Dalam hal ini, individu bertindak dengan hati-hati dalam

membuat keputusan untuk memecahkan masalah, mempertimbangkan

beberapa alternatif pemecahan masalah yang mungkin dilakukan,

mengevaluasi strategi-strategi yang sudah pernah dilakukan

sebelumnya, dan meminta pendapat dari orang lain.

2) Instrumental action (tindakan instrumental)

Usaha-usaha secara langsung yang dilakukan untuk mengatasi

masalah. individu membuat perencanaan penyelesaian masalah secara

logis, melakukan penyusunan rencana, dan melakukannya sesuai

dengan yang telah direncanakan.

3) Negotiation (negosiasi)

Usaha yang memusatkan perhatian pada penyelesaian masalah dengan

pendekatan-pendekatan yang dilakukan pada orang lain atau sumber

masalah untuk ikut menyelesaikan permasalahan.

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi PFC

a. Perbedaan individual dalam memandang situasi penuh stress (cognitive

appraisal)

Perbedaan individu dalam mengatasi stres tergantung dari cara mereka

memandang situasi stres tersebut sehingga mereka akan menentukan

dan memilih koping yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Suatu

(35)

penilaian kognitif individu. Perbedaan ini muncul karena

masing-masing individu memiliki kemampuan, potensi, dan berbagai

pertimbangan lainnya sehingga akhirnya akan memunculkan kualitas

koping tertentu yang berbeda-beda pada setiap individu (Folkman &

Lazarus 1986). Individu cenderung menggunakan PFC ketika ia

percaya bahwa sumber-sumber dalam dirinya mampu mengatasi

masalah yang ada atau yakin bahwa situasi penuh stres dapat diubah.

Sebaliknya individu yang kurang yakin bahwa ia dapat melakukan

sesuatu untuk mengubah situasi stres tersebut, ia akan cenderung

menghindari masalah dengan minum minuman beralkohol,

mengkonsumsi obat-obatan, serta makan dan tidur secara berlebihan

untuk menghindari masalah (Lazarus 1976; Gerig & Zimbardo, 2008).

b. Dukungan Sosial, dukungan sosial yang positif berhubungan dengan

berkurangnya kecemasan dan depresi (Hufman et al., 2000;

Hockenbury & Hockenbury, 2003).

c. Perbedaan budaya juga akan berpengaruh dalam pemilihan dan

penggunaan strategi koping individu (Passer & Smith, 2007;

Hockenbury & Hockenbury, 2003).

d. Jenis Kelamin; dari penelitian yang dilakukan oleh Tamres, Janicki,

dan Helgeson (dalam Baron et al., 2006) menunjukkan bahwa pria dan

wanita memiliki perbedaan cara dalam mengatasi stres. Hasil

penelitian ini mengindikasikan bahwa wanita menggunakan area

(36)

lain, perencanaan dan koping secara aktif) maupun emotion-focused (antara lain, mencari dukungan sosial, perenungan kembali, dan

penilaian ulang secara positif) dibandingkan dengan pria. Para peneliti

tersebut menemukan bahwa wanita lebih banyak menghadapi stresor

dibanding dengan pria. Hal ini berpengaruh pada penggunaan area

strategi koping yang luas, termasuk pencarian dukungan sosial dalam

menghadapi stres yang dilakukan oleh wanita.

C. Optimisme

1. Pengertian Optimisme

Menurut Seligman (dalam Carver & Scheier, 2003), pandangan

terhadap masa depan berasal dari pandangan individu tentang penyebab

suatu peristiwa di masa lalu. Ketika pandangan individu terhadap

kegagalan di masa lalu bersifat stabil, maka pada situasi yang sama

kedepannya, ia akan yakin bahwa ia tidak akan berhasil. Kegagalan

dipandang sebagai sesuatu yang cenderung permanen dan sulit untuk

diubah. Namun, ketika pandangan individu terhadap kegagalan bersifat

sementara, maka pada situasi yang hampir sama kedepannya, ia yakin

bahwa ia akan berhasil dan penyebab dari kegagalan tersebut dapat diatasi.

Individu yang optimis akan belajar dari pengalaman ketika mengalami

situasi yang sulit.

Seligman (dalam Carver & Scheier, 2003) juga mengatakan bahwa

(37)

dalam segala aktivitas (global), maka kedepannya ia memiliki keyakinan

bahwa ia tidak akan berhasil dalam melakukan segala hal. Namun, ketika

individu melihat kegagalan secara spesifik (tidak berpengaruh pada segala

aktivitas), maka kedepannya ia yakin bahwa ia akan berhasil pada hal-hal

yang lain.

Dalam menghadapi sesuatu hal, seseorang dapat menyikapinya

secara optimis maupun pesimis. Seligman (dalam Franken, 2002; 2005),

menyatakan bahwa optimisme merupakan keyakinan bahwa peristiwa

yang buruk dipandang sebagai sesuatu yang bersifat sementara, tidak

mempengaruhi seluruh aktivitas yang ada, dan bukan secara mutlak

disebabkan oleh dirinya sendiri tetapi bisa situasi atau orang lain. Individu

yang optimis menggunakan cara pandang yang positif ketika menghadapi

suatu masalah. Sedangkan ketika mengalami peristiwa yang

menyenangkan, individu yang optimis yakin bahwa peristiwa tersebut

akan berlangsung lama, dapat terjadi dalam situasi yang berbeda-beda, dan

disebabkan oleh diri sendiri.

Optimisme merupakan keyakinan bahwa hal-hal baik akan terjadi

di masa depan walaupun mengalami situasi yang kurang menyenangkan.

Orang yang optimis terbuka pada pengalaman baru dan berusaha

mewujudkan tujuan yang ingin dicapainya, mereka memandang masalah

sebagai sesuatu hal yang dapat diselesaikan dengan baik. Sedangkan orang

yang pesimis cenderung menarik diri ketika berinteraksi dengan

(38)

2. Explanatory Style (Gaya Penjelasan)

Explanatory style merupakan cara individu dalam memandang dan menjelaskan penyebab dari suatu peristiwa (Bourne & Russo, 1998).

Dalam memandang suatu peristiwa, seseorang dapat menyikapinya secara

optimis maupun pesimis dan hal ini akan berpengaruh juga pada cara

mereka dalam menghadapi masalah (Seligman, 2005).

Teori mengenai gaya penjelasan pada dasarnya adalah

pengembangan dari teori atribusi, oleh karena itu berikut ini akan

diuraikan pula beberapa pandangan dalam atribusi yang mendasari teori

tentang gaya penjelasan. Teori atribusi menekankan pada bagaimana

seseorang mencoba menjelaskan penyebab dari suatu kejadian di

lingkungan sekitarnya (Astuti, 1999). Buck (dalam Astuti, 1999)

mengatakan bahwa atribusi merupakan proses dalam menjelaskan atau

memberi arti dari peristiwa yang terjadi di luar maupun di dalam individu.

Menurut Myers (dalam Astuti, 1999), atribusi merupakan proses

menerangkan penyebab tingkah laku manusia, baik orang lain maupun

dirinya sendiri. Dari teori atribusi inilah kemudian dikembangkan menjadi

(39)

Menurut Seligman (dalam Hockenbury & Hockenbury, 2003;

Gerrig & Zimbardo, 2008; Bourne & Russo, 1998), explanatory style

(gaya penjelasan) terdiri dari dua macam tipe :

a. Optimistic explanatory style, individu dalam memandang peristiwa buruk atau kegagalan cenderung sebagai sesuatu yang eksternal,

sementara, dan spesifik.

b. Pessimistic explanatory style, individu dalam memandang peristiwa buruk atau kegagalan cenderung sebagai sesuatu yang internal, stabil,

dan global. Individu yang pesimis meyakini bahwa apapun usaha

mereka tidak akan mengubah situasi menjadi lebih baik.

Menurut Seligman (2005), ada tiga dimensi dalam gaya penjelasan

untuk melihat optimisme seseorang, yaitu:

a. Permanent (stabil-sementara)

Penjelasan atau cara pandang tentang situasi yang baik maupun buruk

yang berkaitan dengan masalah waktu. Ketika menghadapi situasi yang

tidak menyenangkan, individu yang optimis akan memandang situasi

tersebut bersifat sementara. Pada situasi ke depan yang hampir sama,

ia yakin bahwa ia akan berhasil dan penyebab dari situasi tersebut

dapat diatasi. Sebaliknya, peristiwa yang menyenangkan dipandang

akan bertahan lama.

b. Pervasiveness (spesifik-global)

Penjelasan tentang bagaimana pengaruh peristiwa yang dialami

(40)

memandang situasi yang tidak menyenangkan sebagai sesuatu yang

spesifik atau terjadi pada kondisi tersebut saja dan tidak mempengaruhi

segala aktivitas. Pada situasi ke depan, ia yakin bahwa ia akan berhasil

pada hal-hal yang lain. Sedangkan pada situasi yang menyenangkan,

individu yang optimis akan memandangnya sebagai sesuatu yang

menyeluruh dan dapat terjadi pada segala situasi.

c. Personalisasi (internal-eksternal)

Penjelasan tentang siapa yang menjadi penyebab suatu peristiwa, baik

negatif maupun positif. Dalam menghadapi situasi yang tidak

menyenangkan, individu yang optimis akan memandang peristiwa

tersebut bukan secara mutlak disebabkan oleh dirinya. Sedangkan

ketika menghadapi situasi yang menyenangkan, individu yang optimis

akan memandang bahwa hal tersebut terjadi karena usahanya.

Namun Seligman (dalam Carver & Scheier, 2003) lebih menekankan

pada dua dimensi gaya penjelasan, yaitu permanent dan pervasiveness.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Optimisme a. Kontrol Diri

Kontrol diri diperlukan individu untuk tetap berada pada realitas atau

kenyataan sehingga individu lebih dapat menguasai dirinya dalam

menghadapi sesuatu dan memiliki optimisme yang realistis (Schneider,

2001).

(41)

Semangat akan menyebabkan individu lebih merasa yakin bahwa

segala sesuatu akan berakhir dengan baik dan lebih optimis (Peale,

1995). Individu yang memiliki semangat yang tinggi akan lebih

berhasil ketika menghadapi masalah karena mereka

bersungguh-sungguh dalam menyelesaikannya.

c. Akumulasi Pengalaman Sukses

Akumulasi pengalaman sukses dapat menimbulkan optimisme ketika

menghadapi situasi sulit di kemudian hari, sebaliknya

pengalaman-pengalaman ketidakberdayaan dapat membuat individu bersangkutan

menjadi kurang optimis dalam menghadapi suatu masalah. Salah satu

alasan individu menyerah dalam menghadapi kesulitan atau situasi

yang penuh stres karena memiliki pengalaman-pengalaman kegagalan

yang berpengaruh pada cara individu dalam menghadapi masalah

selanjutnya (dalam Franken, 2002).

d. Dukungan Sosial

Semakin banyak dukungan sosial yang diterima oleh individu ketika

menghadapi masalah atau situasi yang menantang akan berpengaruh

pada keyakinan akan kemampuannya dalam menghadapi masalah dan

individu tersebut semakin optimis dalam menghadapi kesulitannya

tersebut (Brissete et al., 2002).

(42)

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa orang yang optimis

memiliki penyesuaian diri yang baik, mengalami kecemasan dan depresi

yang rendah, memiliki pengontrolan diri, koping yang efektif, sistem imun

yang tinggi, kesehatan fisik yang baik, dan suasana hati yang baik saat

menghadapi situasi hidup penuh stress (Passer & Smith, 2007; Scheier &

Carver, dalam Myers, 2003; Segerstrom, et al., 1998; Chang, 1998).

Brissette, Scheier, & Carver (2002) melakukan penelitian pada

mahasiswa tentang peran optimisme pada perkembangan relasi sosial,

koping, dan penyesuaian diri selama masa transisi. Hasil dari penelitian ini

menunjukkan bahwa optimisme yang tinggi berhubungan dengan

penggunaan active coping, planning, dan positive reinterpretation and growth (PRG) yang tinggi, dan penggunaan denial atau penyangkalan yang rendah.

D. Hubungan Antara Optimisme dan Problem-Focused Coping pada Mahasiswa

Mahasiswa termasuk dalam remaja akhir yang akan beranjak dewasa,

mereka dituntut untuk lebih dewasa dalam bersikap dan bertanggungjawab

ketika memutuskan sesuatu. Mereka dituntut agar mampu mengambil

keputusan secara luas tentang karir, nilai-nilai, keluarga dan hubungan sosial,

serta tentang gaya hidup (Santrock, 2002).

Tekanan yang mereka hadapi juga bertambah berat, seperti

(43)

ujian yang baik (Santrock, 2003). Mahasiswa selalu berusaha untuk mencapai

suatu keberhasilan atau kesuksesan agar memperoleh masa depan yang baik.

Tekanan-tekanan yang muncul dapat menimbulkan suatu situasi yang tidak

menyenangkan jika tidak diatasi dengan baik. Mahasiswa diharapkan ketika

menyelesaikan suatu masalah menggunakan pikirannya dan fokus pada

sumber masalah. Mereka tidak bisa menggunakan emosi semata untuk

menyelesaikan masalah yang mereka alami karena hal tersebut tidak akan

menyelesaikan masalah sama sekali.

Di sisi lain, menurut Piaget (dalam Santrock, 2003) mereka memiliki

kemampuan untuk berpikir abstrak, yaitu mampu membayangkan situasi

rekaan, kejadian yang semata-mata berupa kemungkinan hipotesis, dan

mencoba mengolahnya dengan pemikiran yang logis; berpikir idealis, yaitu

munculnya pemikiran-pemikiran yang penuh idealisme dan berpikir tentang

kemungkinan hal-hal yang dapat terjadi; dan berpikir logis, yaitu mulai

menyusun berbagai rencana untuk memecahkan masalah, dan secara

sistematis menguji cara pemecahan yang terpikirkan. Hal ini menunjukkan

bahwa para mahasiswa yang tergolong dalam remaja akhir memiliki

kemampuan untuk melihat hal-hal ke depan dan mampu menganalisa suatu

masalah, serta mencari pemecahan masalah yang sedang dihadapinya.

Mahasiswa yang optimismenya tinggi memiliki keyakinan bahwa

adanya kesuksesan di masa depannya dan berusaha untuk menghadapi segala

rintangan sebagai tantangannya untuk mencapai apa yang diinginkannya.

(44)

kesuksesan di masa depannya dan kurang mau untuk berusaha mengatasi

rintangan yang muncul (Carver & Scheier, 2003).

Orang yang optimis terbuka pada pengalaman baru dan berusaha

mewujudkan tujuan yang ingin dicapainya, mereka memandang masalah

sebagai sesuatu hal yang dapat diselesaikan dengan baik. Sedangkan orang

yang pesimis cenderung menarik diri ketika berinteraksi dengan lingkungan

sekitarnya (Franken, 2002; Carver & Scheier, 2003).

Menurut Seligman (2005), optimisme merupakan keyakinan bahwa

hal-hal baik akan terjadi di masa depan walaupun mengalami situasi yang

kurang menyenangkan. Cara individu memandang situasi yang sedang terjadi

dapat menunjukkan apakah orang tersebut merupakan orang optimis atau

pesimis. Cara pandang yang positif terhadap suatu peristiwa akan

menimbulkan rasa mampu menghadapi peristiwa tersebut. Sedangkan cara

pandang yang negatif akan menimbulkan rasa tidak mampu dan tidak berdaya

pada individu tersebut. Cara pandang seseorang dalam menghadapi masalah

akan berpengaruh pada motivasi, mood, dan perilaku mereka (Gerrig &

Zimbardo, 2008).

Menurut Scheier dan Carver (dalam Baron, 1998; Bourne & Russo,

1998), orang yang optimis dan pesimis menggunakan strategi koping yang

berbeda dalam menghadapi stres. Orang yang optimis fokus pada penyelesaian

permasalahan, seperti membuat dan menetapkan rencana dalam mengatasi

sumber stres, serta mencari dan mendapatkan dukungan sosial dalam

(45)

strategi yang berbeda, seperti merasa putus asa dalam mencapai tujuan atau

keinginannya, menyangkal bahwa ia mengalami stres dan lebih menggunakan

emosi dalam mengatasi permasalahan.

Hubungan antara optimisme dan problem-focused coping akan lebih

dijelaskan melalui pengembangan teori ABC milik Ellis yang dilakukan oleh

Seligman (dalam Franken, 2002). Adapun yang dimaksud dengan teori ABC

adalah:

1. Adversity (A)

Berupa suatu peristiwa atau suatu masalah, seperti ujian semester,

kegagalan dalam melakukan sesuatu, kendala-kendala dalam kuliah, dan

sebagainya.

2. Belief (B)

Belief adalah keyakinan dan interpretasi tentang suatu peristiwa (A) yang menimbulkan akibat. Dalam hal ini, optimisme berada dalam kawasan

belief ini. Mahasiswa yang memiliki optimisme (B) tinggi akan lebih mampu mengatasi masalah atau suatu peristiwa (A) dibandingkan dengan

mahasiswa yang optimismenya (B) rendah. Menurut Seligman (2005;

Bourne & Russo, 1998; Hockenbury & Hockenbury, 2003), optimisme (B)

merupakan keyakinan individu bahwa kegagalan (A) hanya bersifat

sementara, tidak berpengaruh pada seluruh aktivitas, dan bukan secara

mutlak disebabkan oleh diri sendiri. Sedangkan ketika mengalami

(46)

berkeyakinan bahwa peristiwa tersebut akan berlangsung lama, bisa terjadi

pada segala situasi, dan disebabkan oleh usaha diri sendiri.

Cara pandang seseorang yang positif (B) dalam mengatasi masalah atau

peristiwa (A) akan berpengaruh pada motivasi yang tinggi, suasana hati

yang positif, dan perilaku orang tersebut yang cenderung fokus dalam

mengatasi masalahnya (C). Hal ini menunjukkan bahwa cara pandang

seseorang terhadap suatu masalah atau peristiwa merupakan hal yang

penting dalam menentukan bagaimana seseorang berprilaku dalam

mengatasi masalahnya (Gerrig & Zimbardo, 2008).

3. Consequences (C)

Yaitu bagaimana perasaan dan perilaku yang mengikuti peristiwa (A).

Individu yang memiliki keyakinan yang positif (B) dalam menghadapi

suatu peristiwa atau masalah (A) cenderung lebih menggunakan

penyelesaian masalah secara langsung atau active coping (C), karena

memandang bahwa masalah (A) sebagai tantangan yang dapat

diselesaikan, dibandingkan dengan yang memiliki keyakinan yang negatif

(B).

Hubungan antara Optimisme dan PFC yang dijelaskan melalui teori

ABC milik Ellis yang dikembangkan oleh Seligman (dalam Franken,2002)

menunjukkan bahwa faktor belief (B) meerupakan hal yang penting dan

menentukan bagaimana seseorang berperilaku. Keyakinan (B) seseorang

dalam memandang suatu peristiwa atau masalah (A) akan berpengaruh pada

(47)

(C) (Gerrig & Zimbardo, 2008). Ketika seseorang memiliki belief optimis

yang tinggi maka kecenderungan untuk melakukan PFC akan lebih tinggi

dibandingkan dengan seseorang yang memiliki belief optimis yang rendah.

Menurut Scheier dan Carver (dalam Bourne & Russo, 1998), individu yang

memiliki keyakinan dan cara berpikir yang positif dalam memandang suatu

masalah lebih banyak menggunakan koping secara aktif ketika

menyelesaikannya.

Hal di atas menunjukkan pentingnya optimisme pada individu dalam

menghadapi situasi yang penuh stres. Sebagai mahasiswa yang memiliki

optimisme tinggi maka ia akan mampu menyesuaikan diri dengan baik,

dengan cara penanganan masalah yang berfokus pada sumber masalah.

Sedangkan pada mahasiswa yang memiliki optimisme yang rendah atau

pesimis dalam menghadapi hidup, ia cenderung melarikan diri dari masalah

dan kurang mampu mengatasi masalah dengan baik sehingga tidak mampu

menyesuaikan diri dengan perubahan dan tuntutan yang dihadapi.

E. Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah “ada hubungan yang positif

(48)
(49)

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian korelasional yang bertujuan untuk

mengetahui kaitan antara variasi pada suatu variabel dengan variasi pada satu

atau lebih variabel yang lain berdasarkan koefisien korelasinya (Azwar, 1999;

Coolican, 1995; Elmes et al., 2003). Penelitian ini bertujuan untuk melihat

apakah ada hubungan positif antara optimisme dengan problem-focused coping pada mahasiswa.

B. Identifikasi Variabel

Variabel yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari 2 macam,

yaitu variabel bebas dan variabel tergantung.

1. Variabel bebas: Optimisme

2. Variabel Tergantung: Problem-Focused Coping

C. DefinisiOperasional

1. Optimisme

Optimisme merupakan keyakinan bahwa peristiwa yang buruk

dipandang sementara, tidak mempengaruhi seluruh aktivitas yang ada, dan

bukan secara mutlak disebabkan oleh dirinya sendiri. Sedangkan peristiwa

(50)

situasi yang berbeda-beda, dan disebabkan oleh diri sendiri. Variabel

tersebut akan diukur melalui skala Optimisme berdasarkan tiga gaya

penjelasan, yaitu, permanen (stabil-sementara), pervasif (spesifik-global),

dan personalisasi (internal-eksternal).

2. Problem-Focused Coping (PFC)

PFC adalah strategi dimana individu berusaha mengatasi sumber

stres dengan melakukan pemecahan masalah. Aspek yang digunakan

peneliti untuk mengukur PFC adalah cautiousness, instrumental action,

dan negotiation. Variabel tersebut akan diukur menggunakan skala

Problem-Focused Coping. Skor total yang diperoleh pada skala Problem-Focused Coping menunjukkan tinggi rendahnya PFC yang dilakukan ketika mengatasi masalah.

D. Subyek Penelitian

Subyek penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah

mahasiswa dan mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta yang berusia 18 – 22 tahun, berada pada semester tiga, semester

lima, dan semester tujuh. Pada usia tersebut, mereka dituntut agar mampu

mengambil keputusan secara luas tentang karir, nilai-nilai, keluarga dan

hubungan sosial, serta tentang gaya hidup (Santrock, 2002). Tekanan untuk

berhasil di perguruan tinggi, mendapatkan pekerjaan yang baik, dan

(51)

pada cara mahasiswa dalam menghadapi segala situasi yang terjadi pada

mereka.

Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling, yaitu cara pengambilan sampel yang didasarkan pada ciri-ciri tertentu yang

dipandang mempunyai sangkut paut erat dengan ciri-ciri atau sifat populasi

yang sudah diketahui sebelumnya (Hadi, 1991).

E. Alat Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner

berskala. Pengumpulan data menggunakan dua skala, yaitu Skala Optimisme

dan skala Problem-Focused Coping. Metode penskalaan yang digunakan adalah metode summated rating dengan menggunakan format skala likert 4 kategori jawaban, yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan

Sangat Tidak Setuju (STS).

Jawaban Ragu-Ragu (R) yang berada pada kategori netral atau tengah

tidak diberikan untuk menghindari kecenderungan subyek untuk memilih

jawaban tengah (central tendency effect), terutama bagi mereka yang ragu-ragu atas kecenderungan arah jawabannya. Selain itu juga bisa diartikan

bahwa subyek belum dapat memutuskan (Hadi, 1991). Kategori jawaban

SS-S-TS-STS dimaksudkan untuk melihat kecenderungan pendapat responden ke

arah setuju atau tidak setuju. Pada setiap pernyataan, subyek diharuskan untuk

(52)

Dalam proses penyekoran, untuk aitem favorabel jawaban Sangat

Setuju (SS) mempunyai skor 4, Setuju (S) mempunyai skor 3, Tidak Setuju

(TS) mempunyai skor 2, dan Sangat Tidak Setuju (STS) mempunyai skor 1.

Sedangkan untuk aitem unfavorabel Sangat Setuju (SS) mempunyai skor 1,

Setuju (S) mempunyai skor 2, Tidak Setuju (TS) mempunyai skor 3, dan

Sangat Tidak Setuju (STS) mempunyai skor 4.

Dalam meminimalisir kemungkinan faking yang dapat dilakukan oleh subyek penelitian, peneliti melakukan langkah-langkah berikut:

1. Peneliti tidak meminta nama subyek penelitian sebagai identitas di dalam

skala penelitian.

2. Di dalam instruksi tes diberitahukan bahwa tidak ada jawaban yang

dianggap salah, semua jawaban adalah benar, dan subyek penelitian

diminta untuk menjawab setiap pertanyaan dengan sejujur-jujurnya. Selain

itu, peneliti juga menjamin kerahasiaan data tersebut.

Pada penelitian ini terdapat dua skala yang digunakan, yaitu:

1. Skala Optimisme

Skala Optimisme terdiri dari 50 aitem yang disusun berdasarkan tiga

dimensi dalam gaya penjelasan (explanatory style) yang dikemukakan oleh Seligman (2005; Bourne & Russo, 1998; Hockenbury & Hockenbury,

2003), yaitu permanen (stabil-sementara), pervasif (spesifik-global),

personalisasi (internal-eksternal). Pendasaran pada teori ini dimaksudkan

(53)

penelitian, yaitu mengungkap optimisme individu. Awalnya peneliti 50

aitem favorabel, kemudian setengah dari jumlah aitem tiap aspek diubah

(54)

Tabel 1. Distribusi Aitem Skala Optimisme

Sementara Peristiwa tidak menyenangkan

Spesifik Peristiwa tidak menyenangkan

(55)

2. Skala Problem-Focused Coping (PFC)

Skala PFC terdiri dari 54 aitem yang disusun berdasarkan aspek-aspek

PFC yang dikemukakan oleh Aldwin dan Revenson (1987), yaitu

cautiousness (kehati-hatian), instrumental action (tindakan instrumental), dan negotiation (negosiasi). Pendasaran pada teori ini dimaksudkan untuk meningkatkan ketepatan dan kesesuaian alat ukur dengan tujuan

penelitian, yaitu mengungkap penggunaan PFC pada individu ketika

mengatasi masalah. Awalnya peneliti membuat 54 aitem favorabel,

kemudian setengah dari jumlah aitem tiap aspek diubah menjadi aitem

unfavorabel. Di bawah ini disajikan tabel distribusi aitem.

Tabel 2. Distribusi Aitem Skala Problem-Focused Coping

Aitem No Aspek

Favorabel Unfavorabel

Jumlah

(Bobot)

1. Cautiousness 1,15,16,26,27, 30,36,43,52

3,4,7,19,20,31, 35,47,48

18 (33.33%)

2. Instrumental Action

3. Negotiation 5,6,11,12,22,38, 45,50,53

10,23,24,25,33, 34,40,42,49

18 (33.33%)

Total Jumlah 27 27 54 (100%)

F. Prosedur Penelitian

Prosedur atau langkah-langkah yang diambil dalam penelitian ini

(56)

1. Membuat skala PFC dan skala Optimisme dengan menyusun aitem-aitem

favorabel per aspek terlebih dahulu, kemudian setengah dari jumlah

aitem-aitem favorabel per aspek diubah menjadi aitem-aitem unfavorabel.

2. Melakukan uji coba pada sekelompok subyek yang memiliki karakteristik

sama dengan subyek penelitian. Data yang diperoleh dipergunakan untuk

seleksi aitem.

3. Menyeleksi aitem-aitem yang memiliki fungsi ukur sesuai dengan fungsi

ukur tes berdasarkan data empiris uji coba dengan menghitung koefisien

korelasi aitem total dari tiap butir aitem sehingga mendapatkan aitem yang

sahih.

4. Membuat skala PFC dan skala Optimisme dengan menggunakan

aitem-aitem yang telah diseleksi dan diuji reliabilitasnya.

5. Menentukan subyek penelitian yang sesuai kriteria, yaitu mahasiswa

laki-laki dan perempuan berusia 18 – 22 tahun. Kemudian, melakukan

penelitian dengan menggunakan skala PFC dan skala Optimisme yang

aitemnya sudah diseleksi dan diuji reliabilitasnya.

6. Menganalisis data dengan uji statistik.

7. Membuat kesimpulan penelitian.

G. Pertanggungjawaban Alat Ukur

1. Validitas

Validitas merupakan sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu

(57)

dikatakan memiliki validitas yang tinggi jika alat tersebut mampu

menjalankan fungsi ukurnya atau mampu memberikan hasil ukur yang

sesuai dengan maksud dan tujuan dilakukannya pengukuran.

Jenis validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas

isi (content validity) yang bertujuan untuk mengetahui sejauh mana isi alat ukur mencakup data yang komprehensif dan relevan dengan tujuan

penelitian. Validitas isi merupakan validitas yang dinilai melalui pengujian

terhadap isi tes dengan analisis rasional atau melalui professional judgement yang berdasarkan atas kepatutan akal (common sense). Tujuan dari pengujian validitas ini untuk melihat sejauh mana aitem-aitem dalam

tes mencakup keseluruhan kawasan isi obyek atau ciri-ciri atribut yang

hendak diukur. Dalam penelitian ini professional judgement dilakukan oleh dosen pembimbing.

2. Seleksi Aitem

Seleksi aitem ditujukan untuk mendapatkan aitem dengan kualitas

yang baik. Azwar (2005) mengatakan bahwa kualitas skala psikologi

sangat ditentukan oleh kualitas aitem-aitem di dalamnya. Data dari uji

coba digunakan untuk memilih aitem yang berkualitas baik. Dalam tahap

ini dilakukan seleksi aitem berdasarkan daya diskriminasinya. Parameter

daya beda aitem atau diskriminasi aitem yang berupa koefisien korelasi

aitem total (rix) memperlihatkan kesesuaian fungsi aitem dengan fungsi

(58)

2005). Koefisien korelasi aitem total ini dapat dijadikan sebagai dasar

dalam menyeleksi aitem. Batasan yang biasanya digunakan sebagai

kriteria dalam menyeleksi aitem berdasarkan korelasi aitem total adalah rix ≥ 0.30 sehingga aitem yang memiliki korelasi aitem total minimal 0.30

dianggap memiliki daya beda yang memuaskan dan dapat dijadikan

sebuah aitem penelitian (Coolican, 1995; Azwar, 2005). Jika dengan

batasan tersebut jumlah aitem belum mencukupi jumlah yang diinginkan,

maka dapat mempertimbangkan untuk menurunkan sedikit batas kriteria

sehingga jumlah aitem yang diinginkan dapat tercapai (Azwar, 1999).

Penghitungan daya beda aitem dilakukan dengan komputasi

melalui teknik analisis aitem pada program SPSS for Windows versi 13. Subyek uji coba berjumlah 59 orang. Masing-masing subyek diberikan 2

jenis skala, yaitu skala skala Optimisme dan PFC.

Hasil seleksi aitem untuk skala Optimisme terdapat 17 aitem gugur

dari jumlah keseluruhan aitem sebanyak 50 aitem. Jumlah aitem yang

lolos sebanyak 33 aitem, dimana 16 butir untuk aitem favorabel dan 17

butir untuk aitem unfavorabel. Nilai korelasi aitemn total berkisar antara

(59)

Tabel 3. Bentuk Final Skala Optimisme

Sementara 9(17),14(45),

27(3)

Hasil dari seleksi aitem untuk skala PFC menunjukkan sebanyak

18 aitem gugur dari jumlah keseluruhan sebanyak 54 aitem. Sedangkan

yang lolos dari seleksi aitem sebanyak 36 aitem, dimana terdapat 18 butir

untuk aitem favorabel dan unfavorabel. Korelasi item total berkisar antara

(60)

Tabel 4. Bentuk Final Skala Problem-Focused Coping

2. Instrumental Action

3. Reliabilitas

Reliabilitas mengacu pada konsistensi atau keterpercayaan hasil

ukur, yang mengandung kecermatan pengukuran (Azwar, 1999).

Pengukuran yang memiliki reliabilitas tinggi adalah pengukuran yang

dapat menghasilkan data yang reliabel. Penilaian reliabilitas alat ukur

dalam penelitian ini ditempuh dengan pendekatan konsistensi internal

melalui teknik

α

Cronbach. Pendekatan ini memiliki nilai praktis dan efisiensi tinggi karena hanya didasarkan pada pengukuran satu kali dari

(61)

(Azwar, 2004). Prinsip metode pengujian tunggal adalah pengujian

konsistensi di antara komponen-komponen yang membentuk tes secara

keseluruhan (Azwar, 2004).

Berdasarkan hasil penghitungan statistik menggunakan program

SPSS for Windows versi 13, untuk skala PFC menghasilkan koefisien alpha sebesar 0.909 dan untuk skala Optimisme menghasilkan koefisien

alpha sebesar 0.924. Hasil koefisien tersebut dinyatakan reliabel karena

mendekati koefisien 1.00 sehingga dapat diandalkan untuk tujuan

pengambilan data penelitian.

H. Analisis Data

Metode analisis statistik yang digunakan untuk menganalisa data atau

menguji hipotesis dari penelitian ini adalah model korelasional. Teknik yang

digunakan adalah korelasi Product Moment dari Pearson dengan

(62)

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Hasil Penelitian 1. Deskripsi Subyek Penelitian

Subyek penelitian adalah mahasiswa laki-laki dan perempuan yang

berusia 18 – 22 tahun yang berada pada semester tiga (angkatan 2007),

semester 5 (angkatan 2006), dan semester 7 (angkatan 2005).

Tabel 5. Deskripsi Subyek Penelitian

Mahasiswa 2005 2006 2007 Jumlah

Laki-laki 9 11 9 29

Perempuan 41 39 41 121

Jumlah 50 50 50 150

Usia

(tahun)

Jumlah Rerata

(tahun)

18 5

19 43

20 47

21 43

22 12

20.0933

Peneliti menyebarkan skala penelitian sebanyak 170 skala, namun

(63)

2. Deskripsi Data Penelitian

Deskripsi data penelitian dilakukan untuk mengetahui deskripsi

umum setiap variabel penelitian dengan melakukan pembandingan antara

keadaan hipotetik (kemungkinan terjadi) dan keadaan empirik (data

penelitian). Peneliti membedakan rerata empirik dan hipotetik dengan

menggunakan one sample t test untuk menunjukkan perbedaan yang signifikan antara rerata empirik dan hipotetik.

Table 6. Deskripsi Data Penelitian Skor Hipotetik Skor Empiris

Variabel X

Pada variabel optimisme didapatkan hasil analisis one sample T

test dengan nilai p = 0.000 (p<0.01), yang berarti optimisme subyek secara umum signifikan tinggi. Sedangkan pada variabel PFC menunjukkan nilai

p = 0.000 (p<0.01), hal ini berarti secara umum subyek penelitian

melakukan PFC yang signifikan tinggi dalam mengatasi masalah.

B. Hasil Penelitian

Sebelum melakukan uji hipotesis penelitian, terlebih dahulu dilakukan

(64)

uji linearitas hubungan antar variabel penelitian sebagai prasyarat untuk

melakukan teknik analisis data.

1. Uji Asumsi Data Penelitian a. Uji Normalitas

Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui apakah sebaran variabel

bebas dan variabel tergantung dalam penelitian ini berdistribusi normal

atau tidak. Uji normalitas dilakukan melalui One-Sample

Kolmogorov-Smirnov Test (uji K-S) pada program SPSS for Windows versi 13. Jika p>0.05 berarti distribusi data penelitian berdistribusi normal,

sebaliknya jika p<0.05 berarti data penelitian memiliki distribusi yang

tidak normal. Hasil uji normalitas pada variabel Optimisme

menunjukkan nilai Kolmogorov Smirnov = 0.947 dengan p = 0.331

(p>0.05). Sedangkan variabel PFC menunjukkan nilai Kolmogorov

Smirnov = 0.940 dengan p = 0.339 (p>0.05). Hal ini menunjukkan

bahwa variabel Optimisme dan PFC berdistribusi normal.

Tabel 7. Hasil Uji Normalitas

Variabel Nilai K-S Z p>0.05 Keterangan

Optimisme 0.947 0.331 Normal

(65)

Selanjutnya, sebaran variabel Optimisme dan variabel PFC dapat

dilihat pada grafik histogram di bawah ini:

Grafik 1. Sebaran Data Variabel Optimisme

Sebaran Data Variabel Optimisme

(66)

b. Uji Linearitas

Uji linearitas dilakukan untuk mengetahui apakah hubungan antara

variabel optimisme dan PFC merupakan garis lurus atau tidak.

Hubungan dinyatakan linear apabila memenuhi nilai taraf signifikansi

lebih kecil dari 0.05 (p<0.05). Pengujian ini dilakukan dengan

menggunakan test for linearity dari program SPSS for Windows versi 13. Hasil uji linearitas antara optimisme dan PFC menunjukkan nilai F = 134.955 dengan p = 0.000 (p<0.05), hal ini berarti hubungan antara

keduanya bersifat linear.

Tabel 8. Hasil Uji Linearitas

Variabel F P P Keterangan Optimisme*PFC 134.955 0.000 <0.05 Linear

2. Pengujian Hipotesis Penelitian

Analisis data dilakukan dengan menggunakan teknik korelasi

Product-Moment dari Pearson melalui program SPSS for Windows versi 13. Analisis data ini dilakukan untuk menguji hipotesis penelitian yang telah ditentukan sebelumnya, yaitu ada hubungan positif antara optimisme

dan PFC. Hasil uji hipotesis (1 ekor) menunjukan nilai r sebesar 0.692 dan

p = 0.000 (p<0.01) sehingga korelasi dinyatakan signifikan untuk taraf

signifikansi 1%. Analisis data ini membuktikan bahwa ada hubungan yang

Gambar

Tabel 1. Distribusi Aitem Skala Optimisme
Tabel 2. Distribusi Aitem Skala Problem-Focused Coping
Tabel 3. Bentuk Final Skala Optimisme
Tabel 4. Bentuk Final Skala Problem-Focused Coping
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hubungan Antara Optimisme Masa Depan Dengan Kecendrungan Problem Focused Coping Pada Mahasiswa Bangka Yang Berada Di Yogyakarta.. Skripsi (tidak

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui hubungan antara kecerdasan emosional dengan problem focused coping dalam menyusun projek akhir pada mahasiswa

Hipotesis pertama ditolak, tidak ada hubungan yang signifikan antara penggunaan strategi problem focused coping dengan kepribadian ambang sementara hipotesis kedua

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara self- efficacy dengan problem focused coping pada ibu primipara.Hipotesis yang diajukan adalah hubungan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara Problem Focused Coping dan Burnout pada guru sekolah dasar1. Hipotesis dalam penelitian ini adalah adanya

Menurut hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, menyatakan bahwa mahasiswa yang menggunakan Problem Focused Coping (PFC) sebagai strategi dalam menyelesaikan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara regulasi emosi dengan problem focused coping

Rumusan masalah dalam penelitian ini ada tiga, yaitu apakah terdapat perbedaan Emotion-Focused Coping dan Problem-Focused Coping pada wanita karir yang menonton drama