SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi
DisusunOleh: Widuri Listiana NIM : 03 9114 033
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2009
Hidup itu perlu DIPERJUANGKAN….
Hidup bagaikan untaian benang yang tergulung,
Benang yang terurai tak akan mungkin tergulung seperti sedia kala…
TETAP SEMANGAT! HIDUP ITU KERAS!
karya ini khusus kupersembahkan untuk:
Jesus Christ
IBU & MOMO
Juga
Teman
–Temanku
ABSTRAK
HUBUNGAN ANTARA OPTIMISME DAN PROBLEM FOCUSED COPING PADA MAHASISWA
Widuri Listiana Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta 2008
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan yang positif antara optimisme dan problem focused coping pada mahasiswa. Subyek dalam penelitian ini adalah mahasiswa laki-laki dan perempuan sejumlah 150 orang, yang berusia 18 – 22 tahun; berada pada semester tiga (angkatan 2007), semester 5 (angkatan 2006), dan semester 7 (angkatan 2005). Hipotesis yang diajukan adalah ada hubungan yang positif antara optimisme dan problem focused coping pada mahasiswa. Data penelitian diungkap dengan skala optimisme yang mempunyai reliabilitas 0.924 dan skala problem focused coping yang memiliki reliabilitas 0.909. Analisis data dilakukan dengan korelasi Product Moment dari Pearson. Hasil penelitian menunjukkan korelasi sebesar 0.692 (p=0.000; p<0.01), yang berarti ada hubungan positif yang signifikan antara optimisme dan problem focused coping pada mahasiswa.
Kata kunci : optimisme, problem focused coping
ABSTRACT
THE RELATIONSHIP BETWEEN OPTIMISM AND PROBLEM FOCUSED COPING ON UNIVERSITY STUDENTS
Widuri Listiana
Sanata Dharma University
Yogyakarta
2008
Current research was conducted to investigate if there is a positive relationship between optimism and problem focused coping on college students. The subjects studied in the research were 150 students, whose age were between 18 – 22 years old. They were also in the 3rd, 5th, and 7th semester. The proposed hypothesis was there is a positive relationship between optimism and problem focused coping on the students. The research used optimism scale with the reliability of 0.924 and problem focused coping scale with the reliability of 0.909. The data analysis was conducted with the correlation of Pearson’s Product Moment. The result of the research showed the correlation of 0.692 (p=0.000; p<0.01), which means that the positive relationship exists significantly between optimism and problem focused coping on the students.
Keyword: optimism, problem focused coping
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat,
karunia, bimbingan, dan segala yang Ia berikan serta rencanakan untuk penulis
sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga menyadari bahwa skripsi
ini dapat terselesaikan karena adanya kerelaan hati, semangat, dan cinta yang tulus
dari orang-orang terdekat yang selalu membantu dan membimbing penulis baik
dalam menyelesaikan skripsi ini maupun dalam hidup penulis. Dengan segala
kerendahan hati, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:
1. Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta,
Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si. yang telah memberikan ijin dan
dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini.
2. Bapak V. Didik Suryo H., S.Psi., M.Si., selaku Dosen Pembimbing Skripsi
yang selalu sabar dalam memberikan arahan, masukan, dan dorongan untuk
penulis agar segera menyelesaikan skripsinya. Terimakasih banyak pak atas
waktu dan tenaga yang sudah disisihkan untuk saya. Tuhan memberkati Bapak
sekeluarga.
3. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si., selaku Dosen Pembimbing Akademik.
4. Bapak Y. Heri Widodo, M.Psi atas waktu, masukan dan motivasinya baik
dalam menyelesaikan skripsi.
5. YB. Cahya Widiyanto, S.Psi., M.Si., selaku Dosen Penguji.
6. Agung Santoso, S.Psi., MA. selaku Dosen Penguji.
7. Segenap dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta,
terimakasih atas bimbingannya dan seluruh bekal ilmu pengetahuan yang telah
diberikan.
8. Mba Nanik, Mas Gandung, dan Pak Gie, terimakasih atas semua bantuan dan
kesabaran dalam melayani kepentingan akademik.
9. Mas Mudji selaku laboran yang selalu direpotkan ketika praktikum.
Terimakasih atas bantuan, kepercayaan, dan dukungan yang membuat penulis
lebih maju.
x
10.Mas Doni atas bantuannya selama kuliah dan skripsi, serta kesabarannya
ketika penulis berisik di Ruang Baca.
11.Beberapa teman-teman mahasiswa Angkatan 2005, 2006, dan 2007 yang
merelakan waktunya untuk mengisi skala penelitianku.
12.Ibu Waltini Endrani, terimakasih yang teramat besar atas tenaga, waktu, kasih
sayang, kemarahan, kesedihan, kepercayaan, kebahagiaan, dukungan, dan
segalanya yang engkau berikan untukku selama duapuluh tiga tahun ini.
Bagiku, Ibu adalah Ibu yang paling HEBAT. Aku banyak belajar dari asam
garam hidupmu dalam menyikapi kehidupan ini. Tuhan Yesus selalu
memberkatimu Bu. Maaf, aku selalu merepotkan dan membuatmu sedih. Aku
selalu mencintaimu.
13.Eko Widhi Martanto, orang kedua yang terpenting dalam kehidupanku setelah
Ibuku. Terimakasih banyak atas waktu, tenaga, kemarahan, kebahagiaan,
kepercayaan, kesetiaan, dukungan, dan segalanya yang kamu berikan untukku
agar aku bisa lebih maju dan lebih baik lagi. Maafkan aku yang suka lemot,
sensitif, moody, dan sering bingung sendiri. JBU. ILU.
14.Didi’03, Nana’03, Nonie’03, Sarie’03, Otic’03, dan Poke’03, terimakasih
sudah mewarnai hidupku dengan pertemanan kita.
15.Gothe’03, makasih selalu mengingatkanku untuk segera menyelesaikan
skripsiku dan untuk dukungannya. Maaf ya kalau sering membuatmu bingung
the. Tetap Semangat! Kehidupan Keras!
16.Ajeng’03, wah, ternyata aku salah menilaimu…hehehe. Makasih untuk
dukungannya, aku cukup banyak belajar darimu dan Gothe. Kalian
menyenangkan. Ayo kapan kita pergi bertiga lagi!
17.Sutaboy, tetap semangat boy! Ayo, segera selesaikan kuliahmu!
18.Seluruh teman-teman angkatan 2003 yang tidak dapat aku sebutkan satu
persatu, terimakasih buat semuanya.
19.Teman-teman asisten P2TKP: Mas Desta, Otic, Abe, Gothe, Srie, Rondang,
Astin, Vania, Atiek, Betty, Wulan, Lia, Tinul, Weni, Mitha, Baday, Budi,
makasih banyak untuk dukungan dan kebersamaannya selama ini;
asisten-asisten yang baru aja masuk, Selamat Bekerja!; Diana’03, tetap Semangat bu!
xi
20.Teman-Teman di Aswangga, TETAP SEMANGAT! KEHIDUPAN KERAS!
21.Alit-TulAlit, wah rajin banget bimbingannya. Ayo, segera selesaikan
skripsimu. Tetap Semangat!
Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terimakasih atas
doa dan dukungannya, serta masukannya dalam proses penyelesaian skripsi ini.
Yogyakarta, April 2009
Penulis
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………. i
HALAMAN PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING…………... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI……… iii
HALAMAN MOTTO………... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN……….. v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA……….. vi
ABSTRAK ………... vii
ABSTRACT……….. viii
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI……….... ix
KATA PENGANTAR……….. x
DAFTAR ISI………. xiii
DAFTAR TABEL………. xvi
DAFTAR GRAFIK...……… xvii
DAFTAR LAMPIRAN………. xviii
BAB I PENDAHULUAN………. 1
B. Problem-Focused Coping (PFC)..…………...………... 10
1. Pengertian PFC………. 10
2. Fungsi PFC……… 14
3. Aspek-Aspek PFC……… 15
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi PFC………. 16
C. Optimisme……..……… 18
1. Pengertian Optimisme……….. 18
2. Explanatory Style (Gaya Penjelasan)……… 20
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Optimisme………... 22
4. Dampak dari Optimisme……….. 23
D. Hubungan Antara Optimisme dan Problem-Focused Coping pada Mahasiswa.……… 24
E. Hipotesis………. 29
BAB III METODE PENELITIAN………... 30
A. Jenis Penelitian………... 30
B. Identifikasi Variabel………... 30
C. Definisi Operasional……… 30
1. Optimisme……… 30
2. Problem-Focused Coping (PFC)……….. 31
D. Subyek Penelitian……… 31
E. Alat Pengumpulan Data………. 32
F. Prosedur Penelitian………. 36
G. Pertanggungjawaban Alat Ukur………. 37
1. Validitas……… 37
2. Seleksi Aitem……… 38
3. Reliabilitas……… 41
H. Analisis Data……….. 42
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……… 43
A. Deskripsi Hasil Penelitian……….. 43
1. Deskripsi Subyek Penelitian……… 43
2. Deskripsi Data Penelitian………. 44
B. Hasil Penelitian……….. 44
1. Uji Asumsi Data Penelitian………. 45
a. Uji Normalitas……… 45
b. Uji Linearitas………. 47
2. Pengujian Hipotesis Penelitian……… 47
C. Pembahasan………... 49
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...………... 52
A. Kesimpulan……… 52
xiv
B. Keterbatasan Penelitian………. 52
C. Saran ………. 53
1. Saran kepada Mahasiswa……… 53
2. Saran kepada Dosen Pengajar………. 54
3. Saran kepada Penelitian Selanjutnya……….. 55
DAFTAR PUSTAKA……….. 56
xv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Distribusi Aitem Skala Optimisme………. 35
Tabel 2. Distribusi Aitem Skala Problem-Focused Coping………. 36
Tabel 3. Bentuk Final Skala Optimisme ………. 40
Tabel 4. Bentuk Final Skala Problem-Focused Coping …..……… 41
Tabel 5. Deskripsi Subyek Penelitian……… 43
Tabel 6. Deskripsi Data Penelitian……… 44
Tabel 7. Hasil Uji Normalitas……… 45
Tabel 8. Hasil Uji Linearitas………. 47
xvi
DAFTAR GRAFIK
Halaman
Grafik 1. Sebaran Data Variabel Optimisme………. 46
Grafik 2. Sebaran Data Variabel PFC.……….. 46
Grafik 3. Arah Hubungan Variabel Penelitian……….. 48
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A: Skala Try-Out Optimisme dan Problem-Focused Coping (PFC)
Reliabilitas Skala Optimisme dan Problem-Focused Coping (PFC)
Skala Penelitian Optimisme dan Problem-Focused Coping (PFC)
Lampiran B: Deskriptif Data Optimisme dan Problem-Focused Coping (PFC)
Hasil Analisis One Sample T-test
Lampiran C: Hasil Analisis Uji Normalitas
Hasil Analisis Uji Linearitas
Hasil Analisis Korelasi Pearson Product Moment
xviii
A. Latar Belakang Masalah
Sebagai kaum muda, mahasiswa mulai menentukan arah dan
perjalanan hidupnya yang menyangkut masa depan. Mereka akan dihadapkan
pada berbagai permasalahan untuk mencapai apa yang mereka tuju. Mereka
dituntut untuk lebih bertanggung jawab dalam memutuskan sesuatu, berbeda
dengan masa remaja yang terdahulu yang bisa bertindak “semau gue”, saat ini
mereka diharapkan ketika menyelesaikan suatu masalah, tidak hanya
menggunakan emosi semata tetapi lebih dipikirkan secara matang dalam
memutuskan sesuatu.
Dalam menghadapi segala permasalahan kehidupan, mahasiswa akan
menggunakan mekanisme perilaku koping untuk melindungi dirinya dari
tekanan-tekanan psikologis yang dialami. Secara umum bentuk perilaku
koping dapat dibedakan menjadi dua tipe (Baron & Byrne, 2005), yaitu
koping yang berpusat pada emosi (emotion-focused coping) yang berarti usaha
untuk mengurangi respon-respon emosional negatif yang muncul akibat dari
suatu ancaman dan untuk meningkatkan afek-afek positif. Tipe yang kedua
adalah koping yang berpusat pada masalah (problem-focused coping), yaitu
usaha untuk mengatasi ancaman itu sendiri dan untuk memperoleh kontrol
Mahasiswa dapat menghadapi tekanan-tekanan yang muncul dari
perubahan situasi ini dengan cara yang positif, misalnya, melakukan
perencanaan kuliah, menyelesaikan kuliah sesuai dengan target waktu,
mengerjakan tugas tepat waktu, mempersiapkan dan mempelajari materi ujian
beberapa hari sebelum ujian dilaksanakan, mengikuti kegiatan-kegiatan
akademik maupun non-akademik untuk mengembangkan diri, dan berusaha
meraih prestasi akademik maupun non-akademik. Hal tersebut menunjukkan
bahwa ada juga mahasiswa yang mengatasi permasalahan yang ada dengan
berfokus pada sumber masalah.
Namun, ada juga yang kurang siap menghadapi tantangan ataupun
tuntutan yang muncul sehingga mereka cenderung lari dari masalah-masalah
yang mereka hadapi. Beberapa mahasiswa yang merasa kurang mampu
mengatasi masalahnya akan menggunakan cara yang kurang matang ketika
menghadapi suatu masalah, misalnya, mencontek, memalsukan tanda tangan,
membolos kuliah, menunda pengumpulan tugas kuliah, mengabaikan
studinya, minum minuman beralkohol, menggunakan narkoba, dan
sebagainya. Cara ini digunakan untuk menghilangkan perasaan negatif yang
muncul dari suatu peristiwa yang tidak nyaman.
Mahasiswa sebagai remaja akhir yang beranjak dewasa mulai mampu
berpikir tentang segala kemungkinan yang dapat terjadi dan dapat
dilakukannya. Ketika menemui suatu permasalahan, mereka juga sudah mulai
mampu menyusun berbagai rencana untuk menyelesaikan masalah tersebut.
maupun non-akademis yang tinggi, mereka dapat mengatasinya dan merasa
tertantang untuk lebih mandiri dan bertanggung jawab terhadap tugas-tugas
yang akan diselesaikannya.
Ketika mahasiswa mampu untuk membayangkan hal-hal yang dapat
terjadi dan dapat dilakukan untuk mewujudkan harapan mereka, maka akan
memotivasi mereka dalam mencapai harapan-harapan mereka dengan melihat
kemampuan yang dimiliki oleh diri sendiri, sehingga mereka memiliki
keyakinan pada diri mereka sendiri. Keyakinan akan diri sendiri akan
mempengaruhi diri untuk tetap bertahan dan terus berjuang dalam mengatasi
masalah hidup dan menjadikan individu sebagai orang yang optimis.
Seseorang yang memiliki optimisme tidak takut menghadapi kegagalan dan
berusaha untuk mengetahui apa yag menjadi penyebab kegagalannya.
Optimisme berarti memiliki pengharapan dan keyakinan bahwa segala
sesuatu dalam kehidupan akan berhasil atau dapat dijalani. Cara individu
memandang situasi yang sedang terjadi dapat menunjukkan apakah orang
tersebut merupakan orang optimis atau pesimis. Cara pandang yang positif
terhadap suatu peristiwa akan menimbulkan rasa mampu menghadapi
peristiwa tersebut. Sedangkan cara pandang yang negatif akan menimbulkan
rasa tidak mampu dan tidak berdaya pada individu tersebut.
Orang-orang yang optimis cenderung menafsirkan permasalahan
mereka sebagai hal yang sementara, terkendali, dan hanya khusus pada satu
situasi. Sedangkan orang pesimis adalah sebaliknya, yaitu meyakini bahwa
sudah dilakukan, dan tidak terkendali (Abramson, dalam Atkinson et al., 1996;
Bourne & Russo, 1998; Gerrig & Zimbardo, 2008). Cara pandang individu
terhadap suatu peristiwa atau masalah akan berpengaruh pada motivasi,
suasana hati dan perilaku mereka dalam menghadapi masalah tersebut.
Individu yang optimis cenderung memiliki motivasi yang tinggi dan suasana
hati yang positif dalam memandang masalah mereka, hal ini berpengaruh pada
perilaku mereka dalam mengatasi masalah yang cenderung fokus pada
penyelesaian di sumber masalah.
Menurut Scheier dan Carver (dalam Baron, 1998; Bourne & Russo,
1998), orang yang optimis dan pesimis menggunakan strategi koping yang
berbeda dalam menghadapi stres. Orang yang optimis fokus pada penyelesaian
permasalahan, seperti membuat dan menetapkan rencana dalam mengatasi
sumber stres, serta mencari dan mendapatkan dukungan sosial dalam
mengatasi stress. Sedangkan orang yang pesimis cenderung menggunakan
strategi yang berbeda, seperti merasa putus asa dalam mencapai tujuan atau
keinginannya, menyangkal bahwa ia mengalami stres dan lebih menggunakan
emosi dalam mengatasi permasalahan.
Penelitian Seligman (2005), selama dua dekade terakhir ini,
menunjukkan bahwa orang-orang yang pesimis memiliki delapan kali
kemungkinan menjadi depresi ketika mengalami peristiwa yang buruk,
sehingga berakibat pada prestasi sekolah yang buruk, pekerjaan yang tidak
bisa diselesaikan, kesehatan fisik yang lebih buruk, dan usia mereka yang
dengan orang lain. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa optimisme
berpengaruh pada bagaimana orang berprilaku dan kesehatan seseorang.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa orang yang optimis memiliki
penyesuaian diri yang baik, mengalami kecemasan dan depresi yang rendah,
memiliki pengontrolan diri, koping yang efektif, sistem imun yang tinggi,
kesehatan fisik yang baik, dan suasana hati yang baik saat menghadapi situasi
hidup penuh stress (Scheier, et al., 2002; Passer & Smith, 2007; Scheier &
Carver, dalam Myers, 2003; Segerstrom, et al., 1998; Chang, 1998).
Sebagai mahasiswa sangatlah penting untuk memiliki pandangan yang
optimis. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Brissette, Scheier, dan
Carver (2002) pada mahasiswa semester pertama, menunjukkan bahwa
mahasiswa yang optimis memiliki penyesuaian diri yang baik terhadap
peristiwa yang penuh stres. Selain itu, penelitian ini juga menunjukkan bahwa
mahasiswa yang optimis menggunakan koping aktif dan perencanaan dalam
menghadapi situasi penuh stres, serta menunjukkan rendahnya penyangkalan
dan tindakan yang merugikan ketika menghadapi kondisi yang penuh stres.
Peneliti ingin melihat apakah hal tersebut juga terjadi di Indonesia,
khususnya hubungan antara optimisme dan problem-focused coping pada
mahasiswa. Mahasiswa di Indonesia cenderung lebih santai dalam
menjalankan studinya maupun menyelesaikan tugas-tugas mereka
dibandingkan dengan mahasiswa dari Negara bagian barat. Ketika seseorang
tidak berusaha dengan sungguh-sungguh dalam mewujudkan harapannya atau
di Negara bagian barat lebih fokus dalam mewujudkan harapan-harapan
mereka sehingga mereka bisa lebih maju dibanding orang-orang di Indonesia.
Ketika seseorang yakin dalam menetapkan tujuan dan harapannya maka orang
tersebut akan memiliki motivasi yang tinggi dalam mewujudkannya, hal ini
juga diikuti oleh perilaku orang tersebut yang berusaha untuk mewujudkan
harapannya atau tujuannya.
Dari penelitian-penelitian di atas menunjukkan pentingnya optimisme
pada individu dalam menghadapi situasi yang penuh stres. Sebagai mahasiswa
yang memiliki optimisme tinggi maka ia akan mampu menyesuaikan diri
dengan baik, dengan cara penanganan masalah yang berfokus pada sumber
masalah. Sedangkan pada mahasiswa yang memiliki optimisme yang rendah
atau pesimis dalam menghadapi hidup, ia cenderung melarikan diri dari
masalah dan kurang mampu mengatasi masalah dengan baik sehingga tidak
mampu menyesuaikan diri dengan perubahan dan tuntutan yang dihadapi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas maka permasalahan penelitian dapat
dirumuskan sebagai berikut: apakah sikap optimis memiliki hubungan yang
positif dengan problem-focused coping pada mahasiswa?
C. Tujuan
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui adakah hubungan yang
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan
pengetahuan di bidang ilmu psikologi kognitif mengenai hubungan
antara optimisme dan problem-focused coping pada mahasiswa.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan wawasan kepada pembaca mengenai pentingnya peran
optimisme dalam hubungannya dengan problem-focused coping ketika
mengatasi suatu masalah, karena optimisme berpengaruh pada
LANDASAN TEORI
A. Mahasiswa
Mahasiswa merupakan individu yang melanjutkan sekolahnya ke
jenjang perguruan tinggi. Mahasiswa tergolong pada masa remaja akhir, dan
juga berada pada peralihan menuju masa dewasa. Masa remaja akhir berada
pada usia 15 tahun ke atas sampai usia 18 – 22 tahun (Santrock, 2003). Pada
usia ini, minat pada karir, prestasi, pacaran, dan eksplorasi tentang diri lebih
menonjol. Pada usia remaja akhir, mereka dituntut agar mampu mengambil
keputusan secara luas tentang karir, nilai-nilai, keluarga dan hubungan sosial,
serta tentang gaya hidup (Santrock, 2002).
Tugas-tugas perkembangan pada remaja menurut Havighurst (dalam
Sarwono, 2004) adalah:
1. Menerima kondisi fisiknya dan memanfaatkan tubuhnya secara efektif.
2. Menerima hubungan yang lebih matang dengan teman sebaya dari jenis
kelamin yang mana pun.
3. Menerima peran jenis kelamin masing-masing (laki-laki atau perempuan).
4. Berusaha melepaskan diri dari ketergantungan emosi terhadap orang tua
dan dewasa lainnya.
5. Mempersiapkan karir ekonomi.
6. Mempersiapkan perkawinan dan kehidupan berkeluarga.
8. Mencapai sistem nilai dan etika tertentu sebagai pedoman tingkah laku.
Cara berpikir pada masa remaja lebih maju, efisien, dan efektif
dibanding saat masa anak-anak. Hal ini dapat dilihat melalui lima perubahan
kognitif pada masa remaja menurut Keating (dalam Steinberg, 2002):
1. Selama masa remaja, individu lebih mampu berpikir tentang hal-hal yang mungkin terjadi.
2. Remaja menjadi lebih mampu berpikir secara abstrak.
3. Selama masa remaja, individu mulai sering memikirkan tentang proses berpikir itu sendiri.
4. Remaja mulai berpikir secara multidimensi dan tidak terbatas pada satu hal saja.
5. Remaja memandang suatu hal secara lebih relatif dan bukan sesuatu yang mutlak.
Menurut Piaget (Santrock, 2003), remaja masuk dalam tahap
operasional formal, tahap ini muncul atau dimulai pada usia 11 atau 15 tahun
sampai pada masa dewasa. Pada tahap ini remaja mampu berpikir secara:
1. Abstrak, remaja mampu membayangkan situasi rekaan, kejadian yang
semata-mata berupa kemungkinan hipotesis, dan mencoba mengolahnya
dengan pemikiran yang logis.
2. Idealis, munculnya pemikiran-pemikiran yang penuh idealisme dan
berpikir tentang kemungkinan hal-hal yang dapat terjadi.
3. Logis, remaja mulai menyusun berbagai rencana untuk memecahkan
masalah, dan secara sistematis menguji cara pemecahan yang terpikirkan.
Sebagai mahasiswa, tekanan yang mereka hadapi bertambah berat,
seperti bertambahnya tekanan untuk mencapai prestasi, unjuk kerja, dan
nilai-nilai ujian yang baik (Santrock, 2003). Bayangan mengenai hari depan yang
masih dianggap kabur, seperti mengenai pekerjaan yang belum jelas yang
akan dilakukan setelah menamatkan sekolah merupakan masalah yang
dihadapi oleh mahasiswa. Rasa takut akan kegagalan di dunia yang
berorientasi pada keberhasilan sering menjadi alasan penyebab stres dan
depresi bagi mahasiswa (Santrock, 2003). Namun, mahasiswa mampu
merencanakan masa depannya dengan memproses pengalaman-pengalaman di
masa lalunya, kemudian melihat apa yang mampu ia lakukan saat ini untuk
mewujudkan rencana masa depannya.
B. Problem-Focused Coping
1. Pengertian Problem-Focused Coping (PFC)
Adanya tuntutan untuk memecahkan masalah dan situasi yang
menekan (stressor) merupakan pemicu munculnya sekumpulan cara dari
individu untuk menghadapinya. Cara-cara individu menghadapi situasi
yang menekan ini disebut sebagai proses coping. Lazarus & Folkman
(dalam Folkman, 1984; Gerig & Zimbardo, 2008; Hockenbury &
Hockenbury, 2003; Huffman et al., 2000) mengatakan bahwa coping
adalah usaha individu secara kognitif dan perilaku untuk mengatasi
melebihi kemampuan individu, sehingga situasi stres tersebut menjadi
berkurang atau hilang.
Secara umum coping merupakan proses dalam menghadapi situasi
yang dirasa mengancam atau tidak nyaman dengan melakukan
penyelesaian masalah, mengatasi efek emosional dari masalah atau stresor
tersebut, atau mencari dukungan sosial dalam mengurangi situasi yang
tidak nyaman tersebut (Santrock, 2005; Atkinson et al., 1996; Carver et al.,
1989). Coping juga merupakan proses yang dinamis dan terus berjalan dalam menghadapi situasi penuh stres (Hockenbury & Hockenbury, 2003).
Setiap individu akan memberikan respon yang berbeda walaupun
menghadapi permasalahan yang sama. Perbedaan respon atau cara tersebut
menyebabkan ada individu yang berhasil mengatasi masalahnya, ada pula
yang gagal. Respon atau cara individu menggunakan coping ini dibedakan
menjadi dua golongan (Lazarus & Folkman dalam Hockenbury &
Hockenbury, 2003; Chang, 1998; Baron & Byrne, 2006), yaitu:
a. Problem-Focused Coping yang selanjutnya ditulis PFC, merupakan strategi individu dalam mengatasi atau mengurangi stresor yang
dianggap mengancam atau berbahaya bagi dirinya dan untuk
memperoleh kontrol terhadap situasi.
b. Emotion-Focused Coping yang selanjutnya ditulis EFC, merupakan strategi individu dalam mengatasi dampak emosional dari situasi yang
penuh stres atau mengancam sehingga memperoleh rasa nyaman dan
masih ada, individu lebih memilih untuk merasa tidak terlalu cemas
atau marah, dan berusaha untuk meningkatkan perasaan-perasaan
positif. EFC digunakan saat individu merasa tidak mampu mengatasi
masalah dan tujuannya untuk memberikan rasa nyaman pada individu
bersangkutan.
Folkman dan Lazarus (1986) menyebutkan bahwa perbedaan
antara PFC dan EFC terletak pada cara yang digunakan untuk menghadapi
stres. Pemecahan masalah dalam PFC adalah dengan membuat rencana
dan melakukan tindakan langsung terhadap sumber masalah sehingga
mendapatkan hasil yang diinginkan. Pemecahan masalah dalam EFC
dilakukan individu dengan mengarahkan perilakunya pada pengontrolan
emosi yang tidak menyenangkan melalui usaha mencari sisi baik dari
masalah yang dihadapi, mencari simpati dan pengertian orang lain, atau
dengan cara menghindarinya untuk melupakan semua permasalahan yang
dihadapi. PFC digunakan oleh individu untuk menyelesaikan masalah
hingga benar-benar terbebas dari masalah yang dihadapi. Sedangkan
penyelesaian masalah dengan cara EFC bersifat sementara, dalam arti
masalah yang sesungguhnya belum terselesaikan karena yang dilakukan
hanyalah meredakan emosi yang ditimbulkan oleh sumber stres.
Lazarus dan Folkman (dalam Hockenbury & Hockenbury, 2003;
Chang, 1998; Santrock, 2005; Halonen & Santrock, 1999) menyatakan
PFC adalah usaha individu dalam mengatasi stresor yang dianggap
(2003) mengatakan strategi PFC adalah usaha individu dalam mengatasi
sumber stres (stresor) dengan tujuan mengubah atau mengurangi sumber
stres tersebut. Menurut Baron dan Byrne (2005) PFC adalah usaha untuk
mengatasi sumber stres yang dianggap sebagai ancaman itu sendiri, dan
untuk memperoleh kontrol terhadap situasi.
Strategi PFC merupakan usaha untuk mengatasi masalah atau
usaha dalam melakukan sesuatu untuk menangani sumber stres (Carver et
al., 1989; Baron et el., 2006). Strategi ini cenderung digunakan saat
individu merasa mampu melakukan sesuatu untuk mengatasi masalahnya
(Carver et al., 1989; Gazzaniga & Heatherton 2003). Dalam PFC terdapat
beberapa tindakan-tindakan yang bertujuan untuk mengubah situasi yang
penuh stress menjadi lebih nyaman, antara lain: perencanaan (planning),
melakukan tindakan secara langsung pada sumber masalah (taking direct
action), mencari bantuan berupa informasi (seeking assistance), mencoba alternatif lain dalam mengatasi masalah, dan menunggu waktu yang tepat
sebelum bertindak (Carver et al., 1989; Baron et al.,2006).
PFC digunakan untuk mengontrol masalah yang muncul dari
konflik antara kebutuhan individu dan tuntutan lingkungan dengan
menggunakan pemecahan masalah (problem solving), membuat keputusan,
dan tindakan secara langsung (Folkman 1984; Gazzaniga & Heatherton
2003).
Dalam strategi PFC, individu berusaha untuk mencari sumber
pemecahan masalah yang menguntungkan bagi dirinya, dan juga
menyiapkan alternatif lain jika pemecahan masalah kurang berhasil
dilakukan (Atkinson et al., 1996; Huffman et al., 2000; Gazzaniga &
Heatherton 2003). Menurut Billings dan Moos (dalam Atkinson et al.,
1996) individu yang menggunakan PFC dalam mengatasi masalahnya
menunjukkan tingkat depresi yang rendah, baik saat menghadapi stress
maupun sesudahnya.
2. Fungsi PFC
Menurut Folkman (1984), fungsi utama koping ada dua yaitu
menyelesaikan masalah yang dihadapi hingga tuntas sehingga
menghambat munculnya masalah lain (PFC) dan mengatur respon emosi
terhadap situasi yang penuh stres (EFC).
Penelitian yang dilakukan oleh Folkman dan Lazarus (dalam
Folkman, 1984) menunjukkan bahwa baik PFC maupun EFC digunakan
individu untuk menghadapi setiap situasi yang penuh stres. Penggunaan
PFC meningkat pada situasi yang dinilai dapat diubah menjadi lebih baik.
Sedangkan penggunaan EFC meningkat pada situasi yang dinilai tidak
memungkinkan untuk diubah. Sebuah hasil penelitian menunjukkan bahwa
siswa-siswa yang menilai stressor akademik sebagai situasi yang
menantang dan terkontrol akan lebih menggunakan PFC dan pikiran
positif (positive thinking) dibandingkan siswa-siswa yang menilai stressor
Berdasarkan beberapa penelitian pengaruh koping terhadap proses
penyesuaian diri, Holahan dan Moos (1987) menyatakan beberapa
kelebihan PFC dibandingkan EFC, antara lain:
a. PFC memiliki hubungan dengan menurunnya tingkat depresi,
sedangkan EFC berhubungan positif dengan munculnya stres
psikologis.
b. Pada kalangan praktisi hukum, semakin sering mereka menggunakan
EFC untuk mengatasi masalah, semakin meningkat ketegangan fisik
maupun psikisnya.
c. Usaha untuk mengatasi perasaan-perasaan tidak menyenangkan
dengan jalan menarik diri secara aktual justru akan meningkatkan stres
dan menguatkan munculnya problem baru di masa datang.
Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa PFC pada dasarnya
bertujuan untuk menyelesaikan masalah hingga tuntas dan bagaimana
mengatasi situasi penuh stres dengan efektif agar dampak buruk stres
terhadap kesehatan mental individu dapat dihindarkan, serta dapat
menghambat munculnya masalah yang lainnya.
3. Aspek - Aspek PFC
Tiga aspek dari koping yang berorientasi pada pemecahan masalah
(Aldwin & Revenson, 1987) adalah:
Individu merencanakan sesuatu dengan baik sebelum melakukan
sesuatu hal. Dalam hal ini, individu bertindak dengan hati-hati dalam
membuat keputusan untuk memecahkan masalah, mempertimbangkan
beberapa alternatif pemecahan masalah yang mungkin dilakukan,
mengevaluasi strategi-strategi yang sudah pernah dilakukan
sebelumnya, dan meminta pendapat dari orang lain.
2) Instrumental action (tindakan instrumental)
Usaha-usaha secara langsung yang dilakukan untuk mengatasi
masalah. individu membuat perencanaan penyelesaian masalah secara
logis, melakukan penyusunan rencana, dan melakukannya sesuai
dengan yang telah direncanakan.
3) Negotiation (negosiasi)
Usaha yang memusatkan perhatian pada penyelesaian masalah dengan
pendekatan-pendekatan yang dilakukan pada orang lain atau sumber
masalah untuk ikut menyelesaikan permasalahan.
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi PFC
a. Perbedaan individual dalam memandang situasi penuh stress (cognitive
appraisal)
Perbedaan individu dalam mengatasi stres tergantung dari cara mereka
memandang situasi stres tersebut sehingga mereka akan menentukan
dan memilih koping yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Suatu
penilaian kognitif individu. Perbedaan ini muncul karena
masing-masing individu memiliki kemampuan, potensi, dan berbagai
pertimbangan lainnya sehingga akhirnya akan memunculkan kualitas
koping tertentu yang berbeda-beda pada setiap individu (Folkman &
Lazarus 1986). Individu cenderung menggunakan PFC ketika ia
percaya bahwa sumber-sumber dalam dirinya mampu mengatasi
masalah yang ada atau yakin bahwa situasi penuh stres dapat diubah.
Sebaliknya individu yang kurang yakin bahwa ia dapat melakukan
sesuatu untuk mengubah situasi stres tersebut, ia akan cenderung
menghindari masalah dengan minum minuman beralkohol,
mengkonsumsi obat-obatan, serta makan dan tidur secara berlebihan
untuk menghindari masalah (Lazarus 1976; Gerig & Zimbardo, 2008).
b. Dukungan Sosial, dukungan sosial yang positif berhubungan dengan
berkurangnya kecemasan dan depresi (Hufman et al., 2000;
Hockenbury & Hockenbury, 2003).
c. Perbedaan budaya juga akan berpengaruh dalam pemilihan dan
penggunaan strategi koping individu (Passer & Smith, 2007;
Hockenbury & Hockenbury, 2003).
d. Jenis Kelamin; dari penelitian yang dilakukan oleh Tamres, Janicki,
dan Helgeson (dalam Baron et al., 2006) menunjukkan bahwa pria dan
wanita memiliki perbedaan cara dalam mengatasi stres. Hasil
penelitian ini mengindikasikan bahwa wanita menggunakan area
lain, perencanaan dan koping secara aktif) maupun emotion-focused (antara lain, mencari dukungan sosial, perenungan kembali, dan
penilaian ulang secara positif) dibandingkan dengan pria. Para peneliti
tersebut menemukan bahwa wanita lebih banyak menghadapi stresor
dibanding dengan pria. Hal ini berpengaruh pada penggunaan area
strategi koping yang luas, termasuk pencarian dukungan sosial dalam
menghadapi stres yang dilakukan oleh wanita.
C. Optimisme
1. Pengertian Optimisme
Menurut Seligman (dalam Carver & Scheier, 2003), pandangan
terhadap masa depan berasal dari pandangan individu tentang penyebab
suatu peristiwa di masa lalu. Ketika pandangan individu terhadap
kegagalan di masa lalu bersifat stabil, maka pada situasi yang sama
kedepannya, ia akan yakin bahwa ia tidak akan berhasil. Kegagalan
dipandang sebagai sesuatu yang cenderung permanen dan sulit untuk
diubah. Namun, ketika pandangan individu terhadap kegagalan bersifat
sementara, maka pada situasi yang hampir sama kedepannya, ia yakin
bahwa ia akan berhasil dan penyebab dari kegagalan tersebut dapat diatasi.
Individu yang optimis akan belajar dari pengalaman ketika mengalami
situasi yang sulit.
Seligman (dalam Carver & Scheier, 2003) juga mengatakan bahwa
dalam segala aktivitas (global), maka kedepannya ia memiliki keyakinan
bahwa ia tidak akan berhasil dalam melakukan segala hal. Namun, ketika
individu melihat kegagalan secara spesifik (tidak berpengaruh pada segala
aktivitas), maka kedepannya ia yakin bahwa ia akan berhasil pada hal-hal
yang lain.
Dalam menghadapi sesuatu hal, seseorang dapat menyikapinya
secara optimis maupun pesimis. Seligman (dalam Franken, 2002; 2005),
menyatakan bahwa optimisme merupakan keyakinan bahwa peristiwa
yang buruk dipandang sebagai sesuatu yang bersifat sementara, tidak
mempengaruhi seluruh aktivitas yang ada, dan bukan secara mutlak
disebabkan oleh dirinya sendiri tetapi bisa situasi atau orang lain. Individu
yang optimis menggunakan cara pandang yang positif ketika menghadapi
suatu masalah. Sedangkan ketika mengalami peristiwa yang
menyenangkan, individu yang optimis yakin bahwa peristiwa tersebut
akan berlangsung lama, dapat terjadi dalam situasi yang berbeda-beda, dan
disebabkan oleh diri sendiri.
Optimisme merupakan keyakinan bahwa hal-hal baik akan terjadi
di masa depan walaupun mengalami situasi yang kurang menyenangkan.
Orang yang optimis terbuka pada pengalaman baru dan berusaha
mewujudkan tujuan yang ingin dicapainya, mereka memandang masalah
sebagai sesuatu hal yang dapat diselesaikan dengan baik. Sedangkan orang
yang pesimis cenderung menarik diri ketika berinteraksi dengan
2. Explanatory Style (Gaya Penjelasan)
Explanatory style merupakan cara individu dalam memandang dan menjelaskan penyebab dari suatu peristiwa (Bourne & Russo, 1998).
Dalam memandang suatu peristiwa, seseorang dapat menyikapinya secara
optimis maupun pesimis dan hal ini akan berpengaruh juga pada cara
mereka dalam menghadapi masalah (Seligman, 2005).
Teori mengenai gaya penjelasan pada dasarnya adalah
pengembangan dari teori atribusi, oleh karena itu berikut ini akan
diuraikan pula beberapa pandangan dalam atribusi yang mendasari teori
tentang gaya penjelasan. Teori atribusi menekankan pada bagaimana
seseorang mencoba menjelaskan penyebab dari suatu kejadian di
lingkungan sekitarnya (Astuti, 1999). Buck (dalam Astuti, 1999)
mengatakan bahwa atribusi merupakan proses dalam menjelaskan atau
memberi arti dari peristiwa yang terjadi di luar maupun di dalam individu.
Menurut Myers (dalam Astuti, 1999), atribusi merupakan proses
menerangkan penyebab tingkah laku manusia, baik orang lain maupun
dirinya sendiri. Dari teori atribusi inilah kemudian dikembangkan menjadi
Menurut Seligman (dalam Hockenbury & Hockenbury, 2003;
Gerrig & Zimbardo, 2008; Bourne & Russo, 1998), explanatory style
(gaya penjelasan) terdiri dari dua macam tipe :
a. Optimistic explanatory style, individu dalam memandang peristiwa buruk atau kegagalan cenderung sebagai sesuatu yang eksternal,
sementara, dan spesifik.
b. Pessimistic explanatory style, individu dalam memandang peristiwa buruk atau kegagalan cenderung sebagai sesuatu yang internal, stabil,
dan global. Individu yang pesimis meyakini bahwa apapun usaha
mereka tidak akan mengubah situasi menjadi lebih baik.
Menurut Seligman (2005), ada tiga dimensi dalam gaya penjelasan
untuk melihat optimisme seseorang, yaitu:
a. Permanent (stabil-sementara)
Penjelasan atau cara pandang tentang situasi yang baik maupun buruk
yang berkaitan dengan masalah waktu. Ketika menghadapi situasi yang
tidak menyenangkan, individu yang optimis akan memandang situasi
tersebut bersifat sementara. Pada situasi ke depan yang hampir sama,
ia yakin bahwa ia akan berhasil dan penyebab dari situasi tersebut
dapat diatasi. Sebaliknya, peristiwa yang menyenangkan dipandang
akan bertahan lama.
b. Pervasiveness (spesifik-global)
Penjelasan tentang bagaimana pengaruh peristiwa yang dialami
memandang situasi yang tidak menyenangkan sebagai sesuatu yang
spesifik atau terjadi pada kondisi tersebut saja dan tidak mempengaruhi
segala aktivitas. Pada situasi ke depan, ia yakin bahwa ia akan berhasil
pada hal-hal yang lain. Sedangkan pada situasi yang menyenangkan,
individu yang optimis akan memandangnya sebagai sesuatu yang
menyeluruh dan dapat terjadi pada segala situasi.
c. Personalisasi (internal-eksternal)
Penjelasan tentang siapa yang menjadi penyebab suatu peristiwa, baik
negatif maupun positif. Dalam menghadapi situasi yang tidak
menyenangkan, individu yang optimis akan memandang peristiwa
tersebut bukan secara mutlak disebabkan oleh dirinya. Sedangkan
ketika menghadapi situasi yang menyenangkan, individu yang optimis
akan memandang bahwa hal tersebut terjadi karena usahanya.
Namun Seligman (dalam Carver & Scheier, 2003) lebih menekankan
pada dua dimensi gaya penjelasan, yaitu permanent dan pervasiveness.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Optimisme a. Kontrol Diri
Kontrol diri diperlukan individu untuk tetap berada pada realitas atau
kenyataan sehingga individu lebih dapat menguasai dirinya dalam
menghadapi sesuatu dan memiliki optimisme yang realistis (Schneider,
2001).
Semangat akan menyebabkan individu lebih merasa yakin bahwa
segala sesuatu akan berakhir dengan baik dan lebih optimis (Peale,
1995). Individu yang memiliki semangat yang tinggi akan lebih
berhasil ketika menghadapi masalah karena mereka
bersungguh-sungguh dalam menyelesaikannya.
c. Akumulasi Pengalaman Sukses
Akumulasi pengalaman sukses dapat menimbulkan optimisme ketika
menghadapi situasi sulit di kemudian hari, sebaliknya
pengalaman-pengalaman ketidakberdayaan dapat membuat individu bersangkutan
menjadi kurang optimis dalam menghadapi suatu masalah. Salah satu
alasan individu menyerah dalam menghadapi kesulitan atau situasi
yang penuh stres karena memiliki pengalaman-pengalaman kegagalan
yang berpengaruh pada cara individu dalam menghadapi masalah
selanjutnya (dalam Franken, 2002).
d. Dukungan Sosial
Semakin banyak dukungan sosial yang diterima oleh individu ketika
menghadapi masalah atau situasi yang menantang akan berpengaruh
pada keyakinan akan kemampuannya dalam menghadapi masalah dan
individu tersebut semakin optimis dalam menghadapi kesulitannya
tersebut (Brissete et al., 2002).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa orang yang optimis
memiliki penyesuaian diri yang baik, mengalami kecemasan dan depresi
yang rendah, memiliki pengontrolan diri, koping yang efektif, sistem imun
yang tinggi, kesehatan fisik yang baik, dan suasana hati yang baik saat
menghadapi situasi hidup penuh stress (Passer & Smith, 2007; Scheier &
Carver, dalam Myers, 2003; Segerstrom, et al., 1998; Chang, 1998).
Brissette, Scheier, & Carver (2002) melakukan penelitian pada
mahasiswa tentang peran optimisme pada perkembangan relasi sosial,
koping, dan penyesuaian diri selama masa transisi. Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa optimisme yang tinggi berhubungan dengan
penggunaan active coping, planning, dan positive reinterpretation and growth (PRG) yang tinggi, dan penggunaan denial atau penyangkalan yang rendah.
D. Hubungan Antara Optimisme dan Problem-Focused Coping pada Mahasiswa
Mahasiswa termasuk dalam remaja akhir yang akan beranjak dewasa,
mereka dituntut untuk lebih dewasa dalam bersikap dan bertanggungjawab
ketika memutuskan sesuatu. Mereka dituntut agar mampu mengambil
keputusan secara luas tentang karir, nilai-nilai, keluarga dan hubungan sosial,
serta tentang gaya hidup (Santrock, 2002).
Tekanan yang mereka hadapi juga bertambah berat, seperti
ujian yang baik (Santrock, 2003). Mahasiswa selalu berusaha untuk mencapai
suatu keberhasilan atau kesuksesan agar memperoleh masa depan yang baik.
Tekanan-tekanan yang muncul dapat menimbulkan suatu situasi yang tidak
menyenangkan jika tidak diatasi dengan baik. Mahasiswa diharapkan ketika
menyelesaikan suatu masalah menggunakan pikirannya dan fokus pada
sumber masalah. Mereka tidak bisa menggunakan emosi semata untuk
menyelesaikan masalah yang mereka alami karena hal tersebut tidak akan
menyelesaikan masalah sama sekali.
Di sisi lain, menurut Piaget (dalam Santrock, 2003) mereka memiliki
kemampuan untuk berpikir abstrak, yaitu mampu membayangkan situasi
rekaan, kejadian yang semata-mata berupa kemungkinan hipotesis, dan
mencoba mengolahnya dengan pemikiran yang logis; berpikir idealis, yaitu
munculnya pemikiran-pemikiran yang penuh idealisme dan berpikir tentang
kemungkinan hal-hal yang dapat terjadi; dan berpikir logis, yaitu mulai
menyusun berbagai rencana untuk memecahkan masalah, dan secara
sistematis menguji cara pemecahan yang terpikirkan. Hal ini menunjukkan
bahwa para mahasiswa yang tergolong dalam remaja akhir memiliki
kemampuan untuk melihat hal-hal ke depan dan mampu menganalisa suatu
masalah, serta mencari pemecahan masalah yang sedang dihadapinya.
Mahasiswa yang optimismenya tinggi memiliki keyakinan bahwa
adanya kesuksesan di masa depannya dan berusaha untuk menghadapi segala
rintangan sebagai tantangannya untuk mencapai apa yang diinginkannya.
kesuksesan di masa depannya dan kurang mau untuk berusaha mengatasi
rintangan yang muncul (Carver & Scheier, 2003).
Orang yang optimis terbuka pada pengalaman baru dan berusaha
mewujudkan tujuan yang ingin dicapainya, mereka memandang masalah
sebagai sesuatu hal yang dapat diselesaikan dengan baik. Sedangkan orang
yang pesimis cenderung menarik diri ketika berinteraksi dengan lingkungan
sekitarnya (Franken, 2002; Carver & Scheier, 2003).
Menurut Seligman (2005), optimisme merupakan keyakinan bahwa
hal-hal baik akan terjadi di masa depan walaupun mengalami situasi yang
kurang menyenangkan. Cara individu memandang situasi yang sedang terjadi
dapat menunjukkan apakah orang tersebut merupakan orang optimis atau
pesimis. Cara pandang yang positif terhadap suatu peristiwa akan
menimbulkan rasa mampu menghadapi peristiwa tersebut. Sedangkan cara
pandang yang negatif akan menimbulkan rasa tidak mampu dan tidak berdaya
pada individu tersebut. Cara pandang seseorang dalam menghadapi masalah
akan berpengaruh pada motivasi, mood, dan perilaku mereka (Gerrig &
Zimbardo, 2008).
Menurut Scheier dan Carver (dalam Baron, 1998; Bourne & Russo,
1998), orang yang optimis dan pesimis menggunakan strategi koping yang
berbeda dalam menghadapi stres. Orang yang optimis fokus pada penyelesaian
permasalahan, seperti membuat dan menetapkan rencana dalam mengatasi
sumber stres, serta mencari dan mendapatkan dukungan sosial dalam
strategi yang berbeda, seperti merasa putus asa dalam mencapai tujuan atau
keinginannya, menyangkal bahwa ia mengalami stres dan lebih menggunakan
emosi dalam mengatasi permasalahan.
Hubungan antara optimisme dan problem-focused coping akan lebih
dijelaskan melalui pengembangan teori ABC milik Ellis yang dilakukan oleh
Seligman (dalam Franken, 2002). Adapun yang dimaksud dengan teori ABC
adalah:
1. Adversity (A)
Berupa suatu peristiwa atau suatu masalah, seperti ujian semester,
kegagalan dalam melakukan sesuatu, kendala-kendala dalam kuliah, dan
sebagainya.
2. Belief (B)
Belief adalah keyakinan dan interpretasi tentang suatu peristiwa (A) yang menimbulkan akibat. Dalam hal ini, optimisme berada dalam kawasan
belief ini. Mahasiswa yang memiliki optimisme (B) tinggi akan lebih mampu mengatasi masalah atau suatu peristiwa (A) dibandingkan dengan
mahasiswa yang optimismenya (B) rendah. Menurut Seligman (2005;
Bourne & Russo, 1998; Hockenbury & Hockenbury, 2003), optimisme (B)
merupakan keyakinan individu bahwa kegagalan (A) hanya bersifat
sementara, tidak berpengaruh pada seluruh aktivitas, dan bukan secara
mutlak disebabkan oleh diri sendiri. Sedangkan ketika mengalami
berkeyakinan bahwa peristiwa tersebut akan berlangsung lama, bisa terjadi
pada segala situasi, dan disebabkan oleh usaha diri sendiri.
Cara pandang seseorang yang positif (B) dalam mengatasi masalah atau
peristiwa (A) akan berpengaruh pada motivasi yang tinggi, suasana hati
yang positif, dan perilaku orang tersebut yang cenderung fokus dalam
mengatasi masalahnya (C). Hal ini menunjukkan bahwa cara pandang
seseorang terhadap suatu masalah atau peristiwa merupakan hal yang
penting dalam menentukan bagaimana seseorang berprilaku dalam
mengatasi masalahnya (Gerrig & Zimbardo, 2008).
3. Consequences (C)
Yaitu bagaimana perasaan dan perilaku yang mengikuti peristiwa (A).
Individu yang memiliki keyakinan yang positif (B) dalam menghadapi
suatu peristiwa atau masalah (A) cenderung lebih menggunakan
penyelesaian masalah secara langsung atau active coping (C), karena
memandang bahwa masalah (A) sebagai tantangan yang dapat
diselesaikan, dibandingkan dengan yang memiliki keyakinan yang negatif
(B).
Hubungan antara Optimisme dan PFC yang dijelaskan melalui teori
ABC milik Ellis yang dikembangkan oleh Seligman (dalam Franken,2002)
menunjukkan bahwa faktor belief (B) meerupakan hal yang penting dan
menentukan bagaimana seseorang berperilaku. Keyakinan (B) seseorang
dalam memandang suatu peristiwa atau masalah (A) akan berpengaruh pada
(C) (Gerrig & Zimbardo, 2008). Ketika seseorang memiliki belief optimis
yang tinggi maka kecenderungan untuk melakukan PFC akan lebih tinggi
dibandingkan dengan seseorang yang memiliki belief optimis yang rendah.
Menurut Scheier dan Carver (dalam Bourne & Russo, 1998), individu yang
memiliki keyakinan dan cara berpikir yang positif dalam memandang suatu
masalah lebih banyak menggunakan koping secara aktif ketika
menyelesaikannya.
Hal di atas menunjukkan pentingnya optimisme pada individu dalam
menghadapi situasi yang penuh stres. Sebagai mahasiswa yang memiliki
optimisme tinggi maka ia akan mampu menyesuaikan diri dengan baik,
dengan cara penanganan masalah yang berfokus pada sumber masalah.
Sedangkan pada mahasiswa yang memiliki optimisme yang rendah atau
pesimis dalam menghadapi hidup, ia cenderung melarikan diri dari masalah
dan kurang mampu mengatasi masalah dengan baik sehingga tidak mampu
menyesuaikan diri dengan perubahan dan tuntutan yang dihadapi.
E. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah “ada hubungan yang positif
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian korelasional yang bertujuan untuk
mengetahui kaitan antara variasi pada suatu variabel dengan variasi pada satu
atau lebih variabel yang lain berdasarkan koefisien korelasinya (Azwar, 1999;
Coolican, 1995; Elmes et al., 2003). Penelitian ini bertujuan untuk melihat
apakah ada hubungan positif antara optimisme dengan problem-focused coping pada mahasiswa.
B. Identifikasi Variabel
Variabel yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari 2 macam,
yaitu variabel bebas dan variabel tergantung.
1. Variabel bebas: Optimisme
2. Variabel Tergantung: Problem-Focused Coping
C. DefinisiOperasional
1. Optimisme
Optimisme merupakan keyakinan bahwa peristiwa yang buruk
dipandang sementara, tidak mempengaruhi seluruh aktivitas yang ada, dan
bukan secara mutlak disebabkan oleh dirinya sendiri. Sedangkan peristiwa
situasi yang berbeda-beda, dan disebabkan oleh diri sendiri. Variabel
tersebut akan diukur melalui skala Optimisme berdasarkan tiga gaya
penjelasan, yaitu, permanen (stabil-sementara), pervasif (spesifik-global),
dan personalisasi (internal-eksternal).
2. Problem-Focused Coping (PFC)
PFC adalah strategi dimana individu berusaha mengatasi sumber
stres dengan melakukan pemecahan masalah. Aspek yang digunakan
peneliti untuk mengukur PFC adalah cautiousness, instrumental action,
dan negotiation. Variabel tersebut akan diukur menggunakan skala
Problem-Focused Coping. Skor total yang diperoleh pada skala Problem-Focused Coping menunjukkan tinggi rendahnya PFC yang dilakukan ketika mengatasi masalah.
D. Subyek Penelitian
Subyek penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
mahasiswa dan mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta yang berusia 18 – 22 tahun, berada pada semester tiga, semester
lima, dan semester tujuh. Pada usia tersebut, mereka dituntut agar mampu
mengambil keputusan secara luas tentang karir, nilai-nilai, keluarga dan
hubungan sosial, serta tentang gaya hidup (Santrock, 2002). Tekanan untuk
berhasil di perguruan tinggi, mendapatkan pekerjaan yang baik, dan
pada cara mahasiswa dalam menghadapi segala situasi yang terjadi pada
mereka.
Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling, yaitu cara pengambilan sampel yang didasarkan pada ciri-ciri tertentu yang
dipandang mempunyai sangkut paut erat dengan ciri-ciri atau sifat populasi
yang sudah diketahui sebelumnya (Hadi, 1991).
E. Alat Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner
berskala. Pengumpulan data menggunakan dua skala, yaitu Skala Optimisme
dan skala Problem-Focused Coping. Metode penskalaan yang digunakan adalah metode summated rating dengan menggunakan format skala likert 4 kategori jawaban, yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan
Sangat Tidak Setuju (STS).
Jawaban Ragu-Ragu (R) yang berada pada kategori netral atau tengah
tidak diberikan untuk menghindari kecenderungan subyek untuk memilih
jawaban tengah (central tendency effect), terutama bagi mereka yang ragu-ragu atas kecenderungan arah jawabannya. Selain itu juga bisa diartikan
bahwa subyek belum dapat memutuskan (Hadi, 1991). Kategori jawaban
SS-S-TS-STS dimaksudkan untuk melihat kecenderungan pendapat responden ke
arah setuju atau tidak setuju. Pada setiap pernyataan, subyek diharuskan untuk
Dalam proses penyekoran, untuk aitem favorabel jawaban Sangat
Setuju (SS) mempunyai skor 4, Setuju (S) mempunyai skor 3, Tidak Setuju
(TS) mempunyai skor 2, dan Sangat Tidak Setuju (STS) mempunyai skor 1.
Sedangkan untuk aitem unfavorabel Sangat Setuju (SS) mempunyai skor 1,
Setuju (S) mempunyai skor 2, Tidak Setuju (TS) mempunyai skor 3, dan
Sangat Tidak Setuju (STS) mempunyai skor 4.
Dalam meminimalisir kemungkinan faking yang dapat dilakukan oleh subyek penelitian, peneliti melakukan langkah-langkah berikut:
1. Peneliti tidak meminta nama subyek penelitian sebagai identitas di dalam
skala penelitian.
2. Di dalam instruksi tes diberitahukan bahwa tidak ada jawaban yang
dianggap salah, semua jawaban adalah benar, dan subyek penelitian
diminta untuk menjawab setiap pertanyaan dengan sejujur-jujurnya. Selain
itu, peneliti juga menjamin kerahasiaan data tersebut.
Pada penelitian ini terdapat dua skala yang digunakan, yaitu:
1. Skala Optimisme
Skala Optimisme terdiri dari 50 aitem yang disusun berdasarkan tiga
dimensi dalam gaya penjelasan (explanatory style) yang dikemukakan oleh Seligman (2005; Bourne & Russo, 1998; Hockenbury & Hockenbury,
2003), yaitu permanen (stabil-sementara), pervasif (spesifik-global),
personalisasi (internal-eksternal). Pendasaran pada teori ini dimaksudkan
penelitian, yaitu mengungkap optimisme individu. Awalnya peneliti 50
aitem favorabel, kemudian setengah dari jumlah aitem tiap aspek diubah
Tabel 1. Distribusi Aitem Skala Optimisme
Sementara Peristiwa tidak menyenangkan
Spesifik Peristiwa tidak menyenangkan
2. Skala Problem-Focused Coping (PFC)
Skala PFC terdiri dari 54 aitem yang disusun berdasarkan aspek-aspek
PFC yang dikemukakan oleh Aldwin dan Revenson (1987), yaitu
cautiousness (kehati-hatian), instrumental action (tindakan instrumental), dan negotiation (negosiasi). Pendasaran pada teori ini dimaksudkan untuk meningkatkan ketepatan dan kesesuaian alat ukur dengan tujuan
penelitian, yaitu mengungkap penggunaan PFC pada individu ketika
mengatasi masalah. Awalnya peneliti membuat 54 aitem favorabel,
kemudian setengah dari jumlah aitem tiap aspek diubah menjadi aitem
unfavorabel. Di bawah ini disajikan tabel distribusi aitem.
Tabel 2. Distribusi Aitem Skala Problem-Focused Coping
Aitem No Aspek
Favorabel Unfavorabel
Jumlah
(Bobot)
1. Cautiousness 1,15,16,26,27, 30,36,43,52
3,4,7,19,20,31, 35,47,48
18 (33.33%)
2. Instrumental Action
3. Negotiation 5,6,11,12,22,38, 45,50,53
10,23,24,25,33, 34,40,42,49
18 (33.33%)
Total Jumlah 27 27 54 (100%)
F. Prosedur Penelitian
Prosedur atau langkah-langkah yang diambil dalam penelitian ini
1. Membuat skala PFC dan skala Optimisme dengan menyusun aitem-aitem
favorabel per aspek terlebih dahulu, kemudian setengah dari jumlah
aitem-aitem favorabel per aspek diubah menjadi aitem-aitem unfavorabel.
2. Melakukan uji coba pada sekelompok subyek yang memiliki karakteristik
sama dengan subyek penelitian. Data yang diperoleh dipergunakan untuk
seleksi aitem.
3. Menyeleksi aitem-aitem yang memiliki fungsi ukur sesuai dengan fungsi
ukur tes berdasarkan data empiris uji coba dengan menghitung koefisien
korelasi aitem total dari tiap butir aitem sehingga mendapatkan aitem yang
sahih.
4. Membuat skala PFC dan skala Optimisme dengan menggunakan
aitem-aitem yang telah diseleksi dan diuji reliabilitasnya.
5. Menentukan subyek penelitian yang sesuai kriteria, yaitu mahasiswa
laki-laki dan perempuan berusia 18 – 22 tahun. Kemudian, melakukan
penelitian dengan menggunakan skala PFC dan skala Optimisme yang
aitemnya sudah diseleksi dan diuji reliabilitasnya.
6. Menganalisis data dengan uji statistik.
7. Membuat kesimpulan penelitian.
G. Pertanggungjawaban Alat Ukur
1. Validitas
Validitas merupakan sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu
dikatakan memiliki validitas yang tinggi jika alat tersebut mampu
menjalankan fungsi ukurnya atau mampu memberikan hasil ukur yang
sesuai dengan maksud dan tujuan dilakukannya pengukuran.
Jenis validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas
isi (content validity) yang bertujuan untuk mengetahui sejauh mana isi alat ukur mencakup data yang komprehensif dan relevan dengan tujuan
penelitian. Validitas isi merupakan validitas yang dinilai melalui pengujian
terhadap isi tes dengan analisis rasional atau melalui professional judgement yang berdasarkan atas kepatutan akal (common sense). Tujuan dari pengujian validitas ini untuk melihat sejauh mana aitem-aitem dalam
tes mencakup keseluruhan kawasan isi obyek atau ciri-ciri atribut yang
hendak diukur. Dalam penelitian ini professional judgement dilakukan oleh dosen pembimbing.
2. Seleksi Aitem
Seleksi aitem ditujukan untuk mendapatkan aitem dengan kualitas
yang baik. Azwar (2005) mengatakan bahwa kualitas skala psikologi
sangat ditentukan oleh kualitas aitem-aitem di dalamnya. Data dari uji
coba digunakan untuk memilih aitem yang berkualitas baik. Dalam tahap
ini dilakukan seleksi aitem berdasarkan daya diskriminasinya. Parameter
daya beda aitem atau diskriminasi aitem yang berupa koefisien korelasi
aitem total (rix) memperlihatkan kesesuaian fungsi aitem dengan fungsi
2005). Koefisien korelasi aitem total ini dapat dijadikan sebagai dasar
dalam menyeleksi aitem. Batasan yang biasanya digunakan sebagai
kriteria dalam menyeleksi aitem berdasarkan korelasi aitem total adalah rix ≥ 0.30 sehingga aitem yang memiliki korelasi aitem total minimal 0.30
dianggap memiliki daya beda yang memuaskan dan dapat dijadikan
sebuah aitem penelitian (Coolican, 1995; Azwar, 2005). Jika dengan
batasan tersebut jumlah aitem belum mencukupi jumlah yang diinginkan,
maka dapat mempertimbangkan untuk menurunkan sedikit batas kriteria
sehingga jumlah aitem yang diinginkan dapat tercapai (Azwar, 1999).
Penghitungan daya beda aitem dilakukan dengan komputasi
melalui teknik analisis aitem pada program SPSS for Windows versi 13. Subyek uji coba berjumlah 59 orang. Masing-masing subyek diberikan 2
jenis skala, yaitu skala skala Optimisme dan PFC.
Hasil seleksi aitem untuk skala Optimisme terdapat 17 aitem gugur
dari jumlah keseluruhan aitem sebanyak 50 aitem. Jumlah aitem yang
lolos sebanyak 33 aitem, dimana 16 butir untuk aitem favorabel dan 17
butir untuk aitem unfavorabel. Nilai korelasi aitemn total berkisar antara
Tabel 3. Bentuk Final Skala Optimisme
Sementara 9(17),14(45),
27(3)
Hasil dari seleksi aitem untuk skala PFC menunjukkan sebanyak
18 aitem gugur dari jumlah keseluruhan sebanyak 54 aitem. Sedangkan
yang lolos dari seleksi aitem sebanyak 36 aitem, dimana terdapat 18 butir
untuk aitem favorabel dan unfavorabel. Korelasi item total berkisar antara
Tabel 4. Bentuk Final Skala Problem-Focused Coping
2. Instrumental Action
3. Reliabilitas
Reliabilitas mengacu pada konsistensi atau keterpercayaan hasil
ukur, yang mengandung kecermatan pengukuran (Azwar, 1999).
Pengukuran yang memiliki reliabilitas tinggi adalah pengukuran yang
dapat menghasilkan data yang reliabel. Penilaian reliabilitas alat ukur
dalam penelitian ini ditempuh dengan pendekatan konsistensi internal
melalui teknik
α
Cronbach. Pendekatan ini memiliki nilai praktis dan efisiensi tinggi karena hanya didasarkan pada pengukuran satu kali dari(Azwar, 2004). Prinsip metode pengujian tunggal adalah pengujian
konsistensi di antara komponen-komponen yang membentuk tes secara
keseluruhan (Azwar, 2004).
Berdasarkan hasil penghitungan statistik menggunakan program
SPSS for Windows versi 13, untuk skala PFC menghasilkan koefisien alpha sebesar 0.909 dan untuk skala Optimisme menghasilkan koefisien
alpha sebesar 0.924. Hasil koefisien tersebut dinyatakan reliabel karena
mendekati koefisien 1.00 sehingga dapat diandalkan untuk tujuan
pengambilan data penelitian.
H. Analisis Data
Metode analisis statistik yang digunakan untuk menganalisa data atau
menguji hipotesis dari penelitian ini adalah model korelasional. Teknik yang
digunakan adalah korelasi Product Moment dari Pearson dengan
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Hasil Penelitian 1. Deskripsi Subyek Penelitian
Subyek penelitian adalah mahasiswa laki-laki dan perempuan yang
berusia 18 – 22 tahun yang berada pada semester tiga (angkatan 2007),
semester 5 (angkatan 2006), dan semester 7 (angkatan 2005).
Tabel 5. Deskripsi Subyek Penelitian
Mahasiswa 2005 2006 2007 Jumlah
Laki-laki 9 11 9 29
Perempuan 41 39 41 121
Jumlah 50 50 50 150
Usia
(tahun)
Jumlah Rerata
(tahun)
18 5
19 43
20 47
21 43
22 12
20.0933
Peneliti menyebarkan skala penelitian sebanyak 170 skala, namun
2. Deskripsi Data Penelitian
Deskripsi data penelitian dilakukan untuk mengetahui deskripsi
umum setiap variabel penelitian dengan melakukan pembandingan antara
keadaan hipotetik (kemungkinan terjadi) dan keadaan empirik (data
penelitian). Peneliti membedakan rerata empirik dan hipotetik dengan
menggunakan one sample t test untuk menunjukkan perbedaan yang signifikan antara rerata empirik dan hipotetik.
Table 6. Deskripsi Data Penelitian Skor Hipotetik Skor Empiris
Variabel X
Pada variabel optimisme didapatkan hasil analisis one sample T
test dengan nilai p = 0.000 (p<0.01), yang berarti optimisme subyek secara umum signifikan tinggi. Sedangkan pada variabel PFC menunjukkan nilai
p = 0.000 (p<0.01), hal ini berarti secara umum subyek penelitian
melakukan PFC yang signifikan tinggi dalam mengatasi masalah.
B. Hasil Penelitian
Sebelum melakukan uji hipotesis penelitian, terlebih dahulu dilakukan
uji linearitas hubungan antar variabel penelitian sebagai prasyarat untuk
melakukan teknik analisis data.
1. Uji Asumsi Data Penelitian a. Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui apakah sebaran variabel
bebas dan variabel tergantung dalam penelitian ini berdistribusi normal
atau tidak. Uji normalitas dilakukan melalui One-Sample
Kolmogorov-Smirnov Test (uji K-S) pada program SPSS for Windows versi 13. Jika p>0.05 berarti distribusi data penelitian berdistribusi normal,
sebaliknya jika p<0.05 berarti data penelitian memiliki distribusi yang
tidak normal. Hasil uji normalitas pada variabel Optimisme
menunjukkan nilai Kolmogorov Smirnov = 0.947 dengan p = 0.331
(p>0.05). Sedangkan variabel PFC menunjukkan nilai Kolmogorov
Smirnov = 0.940 dengan p = 0.339 (p>0.05). Hal ini menunjukkan
bahwa variabel Optimisme dan PFC berdistribusi normal.
Tabel 7. Hasil Uji Normalitas
Variabel Nilai K-S Z p>0.05 Keterangan
Optimisme 0.947 0.331 Normal
Selanjutnya, sebaran variabel Optimisme dan variabel PFC dapat
dilihat pada grafik histogram di bawah ini:
Grafik 1. Sebaran Data Variabel Optimisme
Sebaran Data Variabel Optimisme
b. Uji Linearitas
Uji linearitas dilakukan untuk mengetahui apakah hubungan antara
variabel optimisme dan PFC merupakan garis lurus atau tidak.
Hubungan dinyatakan linear apabila memenuhi nilai taraf signifikansi
lebih kecil dari 0.05 (p<0.05). Pengujian ini dilakukan dengan
menggunakan test for linearity dari program SPSS for Windows versi 13. Hasil uji linearitas antara optimisme dan PFC menunjukkan nilai F = 134.955 dengan p = 0.000 (p<0.05), hal ini berarti hubungan antara
keduanya bersifat linear.
Tabel 8. Hasil Uji Linearitas
Variabel F P P Keterangan Optimisme*PFC 134.955 0.000 <0.05 Linear
2. Pengujian Hipotesis Penelitian
Analisis data dilakukan dengan menggunakan teknik korelasi
Product-Moment dari Pearson melalui program SPSS for Windows versi 13. Analisis data ini dilakukan untuk menguji hipotesis penelitian yang telah ditentukan sebelumnya, yaitu ada hubungan positif antara optimisme
dan PFC. Hasil uji hipotesis (1 ekor) menunjukan nilai r sebesar 0.692 dan
p = 0.000 (p<0.01) sehingga korelasi dinyatakan signifikan untuk taraf
signifikansi 1%. Analisis data ini membuktikan bahwa ada hubungan yang