• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara Problem Focused Coping dan Burnout pada Guru Sekolah Dasar - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Hubungan antara Problem Focused Coping dan Burnout pada Guru Sekolah Dasar - USD Repository"

Copied!
126
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA PROBLEM FOCUSED COPING DAN

BURNOUT PADA GURU SEKOLAH DASAR

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh:

Diska Amelia

149114145

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

iv

HALAMAN MOTTO

“Living in the Present”

Kerjakan apa yang bisa kamu kerjakan hari ini! Lakukan yang menjadi bagianmu

sebaik mungkin dan Tuhan akan melakukan bagian-Nya.

“Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari”

Matius 6:34

“Selalu mengandalkan Tuhan dalam segala hal. Segala perkara dapat dihadapi karna doa dan kekuatan iman yang percaya. Allah akan memenuhi segala

kekurangan dan membantu dalam menghadapi kesusahan”

(5)
(6)

vi

HUBUNGAN ANTARA PROBLEM FOCUSED COPING DAN

BURNOUT PADA GURU SEKOLAH DASAR

Diska Amelia

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara Problem Focused Coping dan Burnout pada guru sekolah dasar. Hipotesis dalam penelitian ini adalah adanya hubungan negatif antara Problem Focused Coping dan Burnout. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan jenis penelitian korelasional. Subjek dalam penelitian ini adalah guru-guru sekolah dasar dengan usia maksimal 40 tahun yang berjumlah 114 orang. Alat pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan skala Burnout dan skala Problem Focused Coping. Skala Burnout terdiri dari 40

item dengan koefisien Alpha Cronbach sebesar0,949, sedangkan skala Problem Focused Coping

memiliki 28 item dengan koefisien Alpha Cronbach sebesar 0,917. Analisis data yang digunakan adalah Spearman’s Rho Correlation karena hasil uji asumsi yang dilakukan menunjukkan data memiliki hubungan yang linear namun tidak terdistribusi normal. Berdasarkan hasil uji korelasi menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif dan signifikan antara Problem Focused Coping dan Burnout pada guru sekolah dasar (r= -0,744, p= 0,000).

(7)

vii

CORRELATION BETWEEN PROBLEM FOCUSED COPING AND BURNOUT AMONG ELEMENTARY TEACHERS

Diska Amelia

ABSTRACT

The purpose of this study was to understand the relationship between Problem Focused Coping and Burnout among elementary teachers. The hypothesis of this study was there was a negative correlation between Problem Focused Coping and Burnout. This research was a quantitative method using correlational study. Subject of this study were 114 elementary teachers with maximal aged 40 years. The tools which were used to collect the data are the Burnout scale and Problem Focused Coping scale. The Burnout scale contains 40 items with the Cronchbach Alpha coefficient 0,949, while the Problem Focused Coping scale contains 28 item with the Cronchbach Alpha coefficient 0,917. Data were analyzed with Spearmen’s Rho Correlation technique because there was a linear correlation, but the data distribution was abnormal. The result of this study was there is a negative and significant correlation between Problem Focused Coping and Burnout among elementary teachers (r= -0,744, p= 0,000).

(8)
(9)

ix

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha

Esa karena dengan limpahan berkat-Nya, penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini

dengan baik dan tepat pada waktunya. Skripsi ini merupakan salah satu syarat wajib

untuk mendapatkan gelar sarjana S-1 Psikologi, Universitas Sanata Dharma,

Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa dalam penyelesaian dan penyusunan Skripsi ini

melibatkan banyak pihak. Berkat bimbingan, nasehat serta doa yang diberikan oleh

berbagai pihak, penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini dengan baik. Oleh karena

hal itu, dengan segala kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terima kasih

kepada :

1. Ibu Dr. Titik Kristiyani, M. Psi. selaku Dekan Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma dan Dosen Pembimbing Skripsi. Terimakasih

telah memberikan ijin bagi penulis untuk melakukan uji coba dan

penelitian di sekolah-sekolah dasar yang terdapat di Klaten maupun di

Yogyakarta. Terimakasih pula atas bimbingan, nasihat, ilmu, dan

kesabarannya dalam mendampingi penulis untuk menyelesaikan skripsi

ini dengan sebaik mungkin.

2. Ibu Monica Eviandaru Madyaningrum, Ph. D. selaku Ketua Program Studi

Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

3. Ibu Dr. Tjipto Susana, M. Si. selaku Dosen Pembimbing Akademik.

Terimakasih atas nasihat dan semangat dalam menjalani perkuliahan.

4. Suster Dewi dosen yang sangat friendly dan penuh kasih. Terimakasih

suster yang telah setia mendengarkan keluh kesah penulis dan memberikan

perhatian serta nasihat yang sangat menenangkan. Banyak hal yang dapat

kupelajari darimu.

5. Seluruh Dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah

berbagi ilmu dan pengalamannya sehingga membantu penulis dalam

(10)

x

6. Seluruh kepala sekolah dan guru-guru sekolah dasar yang menjadi subjek

baik di Klaten maupun Yogyakarta yang tidak bisa saya sebutkan satu per

satu. Terimakasih atas ketulusan dan kesediaannya menjadi subjek

penelitian, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Semoga

Tuhan membalas kebaikan kalian semua.

7. Papa, Mama, dan Dillon selaku keluarga penulis. Terimakasih atas semua

doa, motivasi, dan semangat yang kalian berikan.

8. Raditya Raka, Dian, Audi, Indah, Gita, Denta, Rias, Venta selaku sahabat

penulis. Terimakasih atas segala bantuan, kebaikan, support yang kalian

berikan baik tenaga maupun doa. Terimakasih karena selalu menemani

penulis dalam mencari subjek dan menyelesaikan penelitian ini. Terima

kasih karena selalu setia mendengarkan keluh kesah penulis. Semoga

kalian selalu sukses dan GBU!

9. Lia, Laksmi, Sekar, Denta, Rias, Venta, Gita, dkk selaku teman-teman satu

bimbingan, satu perjuangan. Terimakasih atas bantuan teman-teman baik

dalam bentuk informasi atau kehadiran kalian yang meringankan beban

penulis.

10. Teman-teman sekelompok mata kuliah Psikologi Konsultasi, Cicik Karin,

Sinta, Rias, Venta, Gita, Pakde Krisna yang sama-sama meminati

psikologi perkembangan anak dengan dampingan suster Dewi. Sungguh

pengalaman yang sangat luar biasa dan sangat berkesan dapat berdinamika

bersama adik-adik di Yayasan Kanker Anak Indonesia. Kita semua tahu

dan mengalami betapa susahnya untuk mendapatkan perijinan. Akan tetapi

banyak hal yang dapat penulis sadari dan syukuri melalui dinamika

tersebut. Melalui kegiatan ini penulis mendapatkan inspirasi untuk

menentukan topik penelitian.Tetap semangat adik-adik!!

11. Teman-teman Psikologi USD 2014, terutama Psikologi Kelas E 2014.

Terimakasih telah menerima dan menemani perjalanan hidup penulis

selama kurang lebih empat tahun.

12. Teman-teman kepanitian yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

(11)

xi

penulis dapatkan. Terimakasih atas bantuan, kerja sama, kerja keras dan

ikatan pertemanan yang masih terjalin sampai saat ini. Semoga sukses dan

lancar dalam mencapai cita-cita kalian.

Akhir kata penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidaklah sempurna.

Kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca sangat diharapkan demi

penyempurnaan Skripsi ini di kemudian hari. Besar harapan penulis agar skripsi ini

(12)

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

1. Manfaat Teoretis ... 8

(13)

xiii

BAB II LANDASAN TEORI ... 10

A. Burnout ... 10

1. Pengertian Burnout ... 10

2. Aspek-aspek Burnout... 13

3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Burnout ... 14

B. Problem Focused Coping ... 18

1. Pengertian Coping ... 18

2. Pengertian Problem Focused Coping ... 19

3. Aspek-aspek Problem Focused Coping ... 20

C. Guru ... 22

1. Pengertian Guru ... 22

2. Peran Guru ... 23

D. Dinamika Hubungan antar Variabel ... 24

E. Skema Hubungan antar Variabel ... 30

F. Hipotesis Penelitian ... 31

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 32

A. Jenis Penelitian ... 32

B. Identifikasi Variabel Penelitian ... 32

1. Variabel Bebas ... 32

2. Variabel Tergantung ... 32

C. Definisi Operasional ... 32

1. Burnout ... 32

(14)

xiv

D. Subjek Penelitian ... 33

E. Metode dan Alat Pengumpulan Data ... 34

1. Penyusunan Blue-print... 35

2. Penulisan Item ... 38

3. Review dan Revisi Item ... 38

4. Validitas Isi ... 39

5. Uji Coba Pendahuluan ... 39

6. Uji Coba Alat Ukur ... 41

G. Pemeriksaan Reliabilitas Alat Ukur Penelitian ... 46

H. Metode Analisis Data ... 47

1. Uji Asumsi ... 47

2. Uji Hipotesis ... 48

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 50

A. Hasil Penelitian ... 50

1. Pelaksanaan Penelitian ... 50

2. Deskripsi Subjek Penelitian ... 51

3. Deskripsi Data Penelitian ... 51

4. Hasil Uji Asumsi ... 53

5. Hasil Uji Hipotesis ... 54

6. Analisis Tambahan ... 56

B. Pembahasan ... 57

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 62

(15)

xv

B. Keterbatasan Penelitian ... 62

C. Saran ... 63

DAFTAR PUSTAKA ... 65

LAMPIRAN ... 68

(16)

xvi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Tahapan Burnout ... 11

(17)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Blueprint dan Distribusi Item Skala Burnout Sebelum Try Out ... 35

Tabel 2. Blueprint Distribusi Item Skala Problem Focused Coping Sebelum Try Out ... 36

Tabel 3. Blueprint dan Distribusi Item Skala Burnout Setelah Try Out ... 43

Tabel 4. Blueprint dan Distribusi Item Skala Burnout Setelah Seleksi Item .... 44

Tabel 5. Blueprint Distribusi Item Skala Problem Focused Coping Setelah Try Out ... 45

Tabel 6. Blueprint Distribusi Item Skala Problem Focused Coping Setelah Seleksi Item ... 46

Tabel 7. Deskripsi Data Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin ... 51

Tabel 8. Deskripsi Data Subjek Berdasarkan Lama Bekerja ... 51

Tabel 9. Deskripsi Data Subjek Berdasarkan Status Kerja Guru ... 51

Tabel 10. Deskripsi Data Penelitian ... 52

Tabel 11. Hasil Uji Normalitas ... 53

Tabel 12. Hasil Uji Linearitas ... 54

Tabel 13. Kriteria Koefisien Korelasi ... 55

Tabel 14. Korelasi Burnout dengan Problem Focused Coping ... 55

Tabel 15. Koefisien Determinasi ... 56

(18)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Skala Burnout dan Problem Focused Coping untukUji Coba ... 69

Lampiran 2. Uji Reliabilitas dan Seleksi Item Skala Burnout Uji Coba ... 83

Lampiran 3. Uji Reliabilitas dan Seleksi Item Skala Problem Focusede Coping Uji Coba ... 87

Lampiran 4. Skala Burnout dan Problem Focused Coping untukPengambilan Data... 91

Lampiran 5. Hasil Deskripsi Statistik Data Penelitian ... 102

Lampiran 6. Hasil Uji Normalitas ... 104

Lampiran 7. Hasil Uji Linearitas ... 105

Lampiran 8. Hasil Uji Korelasi ... 106

(19)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang

Guru adalah suatu profesi dengan pekerjaan mengajar, mendidik,

membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta

didiknya dari aspek spiritual, emosional, intelektual, fisikal, dan aspek

lainnya (Undang-undang nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen).

Pasal 8 UU Guru dan Dosen menyebutkan bahwa guru wajib memiliki

kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidikan, sehat jasmani dan

rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan pendidikan nasional.

Selain berbagai tuntutan pekerjaan tersebut, guru sekolah dasar juga

dihadapkan pada beban tugas yang tidak ringan.

Guru sekolah dasar merupakan sosok yang dianggap sebagai teladan

bagi muridnya, sumber ilmu, dan pemberi layanan. Oleh karena itu, guru

sekolah dasar dituntut untuk bertindak profesional dalam menjalankan tugas,

peran, dan profesional dalam menghadapi tingkah laku para siswanya. Di

satu sisi guru sekolah dasar dituntut untuk bersikap ramah, sabar, dan

pengertian, disisi lain mereka harus bersikap tegas dan mendidik dengan

(20)

mencapai tujuan. Menjalankan peran tersebut pasti akan menimbulkan

berbagai bentuk masalah karena setiap siswa yang dididik tidak memiliki

sifat, karakter, dan respon yang sama, apalagi tahapan perkembangan

kognitif anak sekolah dasar berada pada fase operasional konkret. Pada fase

ini, anak-anak hanya dapat menerima informasi secara konkret, sehingga

kemampuan kognitif mereka tidak bekerja dengan baik ketika dihadapkan

pada gagasan yang abstrak (Berk, 2012). Hal ini memberikan tantangan

tersendiri bagi guru karena anak akan menerima segala informasi baik

tindakan maupun perkataan secara mentah.

Banyaknya tuntutan, peran dan beban tugas yang harus ditanggung

oleh guru tidak menutup kemungkinan membuat guru mengalami gangguan

kesehatan baik secara fisik maupun mental. Berdasarkan survei yang

dilakukan terhadap 86.000 karyawan melalui situs Jobplanet.com pada

Agustus 2015 hingga Januari 2017 tercatat bahwa guru berada di peringkat

14 dari 30 profesi yang mengalami stres kerja akibat beban kerja berupa

tanggung jawab dan besarnya tekanan yang harus dipikul (Dahwilani, 2017).

Beban kerja yang berdampak pada munculnya stres kerja dengan rentang

waktu yang lama, dapat membuat guru mengalami gangguan kesehatan baik

secara fisik maupun mental. Stres yang berkepanjangan dapat menimbulkan

depresi dan jika segera dapat diatasi, maka tidak akan berlangsung lama.

Akan tetapi, jika berlangsung lama dan cenderung menetap dapat membuat

seseorang mengalami burnout (Rahman, 2007). Burnout adalah penarikan

(21)

pengembangan konsep diri negatif pada pekerja, kelelahan emosional dan

fisik, merasa bersalah, tidak kompeten, cemas, sedih, mudah tersinggung,

serta harga diri menurun (Cherniss, 1987; Farber, 1991; Maslach, Schaufeli,

& Leiter, 2001).

Burnout ditandai dengan adanya kebosanan dan kelelahan dalam

menjalankan tugas atau pekerjaannya. Adanya burnout membuat semangat

dan gairah kerja para guru sekolah dasar menjadi menurun. Hilang atau

berkurangnya semangat dan gairah dalam bekerja dapat mengakibatkan

ketidakefektifan para guru sekolah dasar dalam menjalankan tugas-tugasnya

(Gibson, 1987). Menurut Maslach, Schaufeli, dan Leiter (2001), adanya

burnout memunculkan dampak negatif seperti menurunnya produktivitas

kerja guru dan berkurangnya kuantitas atau kualitas interaksi antar guru.

Hilangnya burnout membuat para pekerja mampu menjalankan tugas dan

pekerjaannya secara optimal.

Berdasarkan beberapa penelitian yang sudah dilakukan, terdapat

beberapa faktor yang memengaruhi munculnya burnout yang terbagi

menjadi faktor individu, sosial, organisasi. Faktor individu meliputi perilaku

coping, kepuasan kerja, dan kematangan emosi. Menurut Nugroho, Andrian,

dan Marselius (2012), semakin tinggi coping yang digunakan akan semakin

rendah munculnya burnout. Faktor kepuasan kerja dan perilaku koping juga

memengaruhi burnout. Hasil penelitian menunjukkan semakin efektif

perilaku koping yang digunakan maka semakin rendah burnout yang

(22)

rendah burnout yang dialami (Wardhani, 2012). Menurut Hanafi dan

Yuniasanti (2012), kematangan emosi merupakan salah satu faktor yang

memengaruhi munculnya burnout, semakin baik kematangan emosi

seseorang, maka semakin rendah burnout yang dialami.

Faktor sosial yang memengaruhi munculnya burnout adalah faktor

dukungan sosial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketidakpuasan

dengan dukungan yang diterima berpengaruh secara signifikan dengan

munculnya burnout (Fiorilli, dkk, 2015). Faktor organisasi yang

mempengaruhi munculnya burnout adalah faktor perubahan dalam

organisasi dan tuntutan pekerjaan. Menurut Aitken dan Schloss (1994),

adanya perubahan dalam organisasi merupakan faktor yang efektif dalam

mengurangi munculnya burnout.

Di antara berbagai faktor tersebut, peneliti memilih coping sebagai

variabel yang akan diuji dalam penelitian ini. Hal ini dikarenakan burnout

merupakan sindrom yang muncul karena adanya rekasi antara

person-environtment pada pekerjaan. Dimana stres yang dirasakan individu

merupakan perpaduan antara faktor-faktor dalam diri dan faktor-faktor di

dalam pekerjaan, yang menyebabkan individu tidak mampu berfungsi

sebagaimana mestinya. Coping menjadi salah satu faktor individu yang

dapat mendorong seseorang untuk mempertemukan tuntutan yang berasal

dari diri sendiri dan lingkungan, sehingga individu dapat menyesuaikan diri

dengan berbagai stres atau tekanan di lingkungan pekerjaan (Arumwardhani,

(23)

masalah, menangani emosi negatif, atau mengatasi situasi yang stressfull

dengan mengatur cara berpikir dan cara berperilaku yang bertujuan untuk

membebaskan diri atau bertahan dari masalah atau tuntutan baik nyata

maupun tidak nyata (Arumwardhani, 2011; Lazarus & Folkman, 1984;

Sarafino, 2008; Smet, 1994). Menurut Sarafino (2008), terdapat dua jenis

coping stres yaitu problem focused coping dan emotional focused coping.

Problem focused coping adalahusaha untuk mengurangi tuntutan dari situasi

yang dapat menimbulkan stres atau meningkatkan sumber daya untuk

menyesuaikan diri dengan situasi yang menyebabkan stres tersebut. Emotion

focused coping sebagai usaha untuk menurunkan emosi negatif yang

dirasakan ketika sedang menghadapi masalah atau tekanan.

Menurut Lazarus dan Folkman (1984), emotion focused coping

merupakan strategi coping yang bersifat sementara, karena yang dilakukan

individu dalam menghadapi situasi tertekan adalah dengan menghindar agar

tidak terlalu menderita akibat stres yang dialami, sementara masalah yang

dialami tidak diupayakan untuk dicari penyelesaiannya. Problem focused

coping merupakan coping yang berfokus pada usaha untuk mengontrol atau

memecahkan masalah, dengan tujuan menghilangkan sumber stressor.

Problem focused coping dilakukan dengan cara menemukan solusi yang

efektif, kemudian melakukan tindakan penyelesaian masalah sesuai solusi,

untuk mengubah situasi, keadaan, atau pokok permasalahan. (Fink, 2016;

Lazarus & Folkman, 1984; Lazarus dalam Martz & Livneh, 2007; Lazarus

(24)

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Holahan dan Moos (1987),

problem focused coping berhubungan dengan menurunnya tingkat depresi,

karena problem focused coping bertujuan untuk menyelesaikan masalah

hingga tuntas dan mengatasi masalah secara efektif. Sementara emotion

focused coping berhubungan positif dengan munculnya stres psikologis,

karena emotion focused coping dilakukan dengan cara mengelola emosi

dalam menghadapi masalah sehingga masalah tidak berkurang atau hilang

secara maksimal, dampaknya stres dapat meningkat dan menguatkan

munculnya masalah baru. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Yesamine

(2000) terkait hubungan problem focused coping dengan tingkat depresi

mahasiswa akhir, diperoleh hasil bahwa mahasiswa tingkat akhir yang

memiliki kecenderungan menggunakan problem focused coping yang tinggi,

akan mempunyai tingkat depresi yang lebih rendah, begitu juga sebaliknya.

Apabila tingkat depresi turun, maka tingkat burnout akan berkurang. Hal ini

didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan Bianci, Verkuilen, Brisson,

Schonfeld, dan Laurent (2016) terhadap guru sekolah, menunjukkan bahwa

burnout dan depresi adalah hal yang saling berhubungan.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan menggunakan MBI

(Maslach Burnout Inventory) menghasilkan bahwa burnout berhubungan

dengan kecemasan dan depresi (Maslach, Schaufeli, & Leiter, 2001).

Perbedaan yang antara burnout dan depresi terletak pada konteksnya.

Burnout adalah masalah yang secara spesifik terjadi pada konteks pekerjaan,

(25)

Burnout lebih terkait pada situasi yang khusus, yaitu pekerjaan, sedangkan

depresi lebih bersifat umum (Freudenberger, dalam Maslach, Schaufeli, &

Leiter, 2001). Namun, individu yang lebih rawan mengalami depresi

(diindikasi dengan tingginya skor neuroticism) akan lebih rentan mengalami

burnout (Maslach, Schaufeli, & Leiter, 2001).

Penelitian yang dilakukan Circenis, Deklava, dan Millere (2014)

mengatakan bahwa burnout adalah pengaruh negatif dari stres kerja.

Burnout menyebabkan para perawat menjadi kelelahan dan kurang

produktif, sehingga produktivitas kerja perawat menurun. Burnout akan

berdampak pula pada kesehatan fisik dan psikis, sehingga dapat

mengakibatkan karyawan tidak bekerja karena sakit. Burnout muncul karena

guru tidak mampu menyesuaikan diri dan menghadapi berbagai masalah

atau situasi stressfull pada lingkungan kerjanya. Oleh karena itu, guru harus

mampu memecahkan masalah dan menyesuaikan diri dengan berbagai

situasi yang menekan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Carson, dkk (1999), diketahui

bahwa burnout pada perawat kesehatan memiliki korelasi yang negatif dan

signifikan dengan strategi koping. Dari penelitian tersebut dapat diperoleh

data bahwa coping memengaruhi munculnya burnout pada seseorang yang

profesinya berhubungan secara langsung dengan resipien. Diantara dua

fungsi coping, problem focused coping merupakan coping yang lebih efektif

dalam memecahkan masalah dibandingkan dengan emotion focused coping

(26)

bukan pada permasalahan yang ada. Hal ini sesuai dengan pendapat Cary,

Philip, dan Michael (2001) bahwa problem focused coping lebih efektif

dibandingkan dengan emotion focused coping.

Pada penelitian - penelitian mengenai hubungan burnout dan problem

focused coping yang dilakukan sebelumnya, subjek yang digunakan adalah

perawat dan karyawan. Untuk itu, penelitian ini ingin melihat konteks lain,

yaitu guru sekolah dasar. Harapannya penelitian ini dapat semakin

memperluas konteks kaitan antara problem focused coping dan burnout.

B. Rumusan Masalah

Apakah ada hubungan antara problem focused coping dengan burnout

pada guru sekolah dasar.

C. Tujuan Penelitian

Menguji apakah ada hubungan antara problem focused coping dengan

burnout pada guru sekolah dasar.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pada

perkembangan ilmu pengetahuan terkhusus ilmu psikologi pendidikan

dan klinis tentang kaitan antara problem focused coping dan burnout

(27)

2. Manfaat Praktis

a. Bagi para guru sekolah dasar, penelitian ini diharapkan mampu

memberikan informasi mengenai burnout dan pentingnya

melakukan problem focused coping untuk mengurangi atau

mencegah munculnya burnout.

b. Bagi pihak sekolah, diharapkan penelitian ini mampu memberikan

informasi mengenai burnout yang dialami para guru. Sehingga

harapannya pihak sekolah dapat lebih memahami keadaan para

(28)

10

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Burnout

1. Pengertian Burnout

Stres merupakan suatu tekanan yang dialami individu dalam usaha

pencapaian target terhadap standar kebutuhan hidup manusia

(Arumwardhani, 2010). Menurut Santrock (2002), stres adalah respon

individu terhadap keadaan atau peristiwa yang mengancam dan menekan

individu serta mengurangi kemampuan-kemampuan mereka dalam

menghadapinya. Stres dapat muncul diberbagai domain kehidupan

manusia, salah satunya muncul dalam kehidupan kerja. Stres kerja

merupakan suatu keadaan yang timbul akibat interaksi antara manusia

dengan pekerjaannya (Beehr & Newman dalam Wijoyo, 2010). Menurut

Rulin (2004), stres kerja terjadi karena adanya tuntutan pekerjaan yang

tidak seimbang dengan kemampuan individu. King (2012) menyatakan

apabila stres pada individu ditempat kerja berlangsung secara terus

menerus sehingga individu mengalami kelelahan emosional dan motivasi

yang rendah untuk bekerja maka akan mempengaruhi munculnya

burnout. Individu yang mengalami stres kerja masih dapat

membayangkan atau berpikir, bahwa jika mereka dapat mengendalikan

semuanya, mereka akan merasa lebih baik. Akan tertapi, apabila

(29)

burnout berarti merasa kosong, tidak perhatian, dan tidak memiliki

motivasi terhadap pekerjaannya, serta tidak dapat melihat adanya

harapan perubahan positif dalam situasi mereka.

Burnout merupakan suatu proses transaksional, secara spesifik

terdiri dari tiga tahap. Tahap pertama melibatkan ketidakseimbangan

antara resources/sumber daya dan demand/tuntutan (stres). Tahap kedua

adalah respon emosional jangka pendek dan langsung terhadap

ketidakseimbangan tersebut, yang ditandai dengan perasaan cemas,

tension/ tegang, fatique/ kelelahan, dan exhaustion (strain). Tahap ketiga

adalah terdiri dari sejumlah perubahan dalam sikap dan perilaku, seperti

menarik diri dan kcenderungan untuk memperlakukan klien secara sinis

(Cherniss, 1987).

Gambar 1. Tahapan Burnout

Maslach, Schaufeli, dan Leiter (2001), mendefinisikan burnout

sebagai respons berkepanjangan terhadap stres emosional dan stres

interpersonal terhadap pekerjaan. Menurut Farber (1991) burnout adalah

(30)

individu tentang perbedaan yang signifikan antara usaha (input) dan

penghargaan (output). Persepsi ini dipengaruhi oleh faktor individu,

sosial, dan organisasi. Burnout sering terjadi pada orang yang

pekerjaannya berhadapan dengan klien yang bermasalah dan biasanya

ditandai dengan penarikan diri dan sikap sinis terhadap klien, kelelahan

emosional dan fisik, dan berbagai gejala psikologis, seperti mudah

tersinggung, cemas, sedih, serta menurunnya harga diri.

Menurut Cherniss (1987), burnout adalah penarikan psikologis dari

pekerjaan sebagai respons terhadap stres atau ketidakpuasan yang

berlebihan. Menurut Pines (dalam Farber 1991), burnout ditandai

dengan adanya pengembangan konsep diri yang negatif pada pekerja,

mereka merasa bersalah, tidak memadai, tidak kompeten dan sulit untuk

merasa nyaman dengan diri mereka sendiri di tempat kerja atau di

rumah.

Berdasarkan beberapa pendapat tentang burnout di atas dapat

disimpulkan bahwa burnout adalah penarikan psikologis dari pekerjaan

sebagai respons terhadap stres, ditandai dengan pengembangan konsep

diri negatif pada pekerja, kelelahan emosional dan fisik, merasa bersalah,

tidak kompeten, cemas, sedih, mudah tersinggung, harga diri menurun,

(31)

2. Aspek-aspek Burnout

Tiga aspek burnout menurut Maslach, Schaufeli, Leiter (2001), yaitu:

2.1. Kelelahan Emosional (Emotional Exhaustion)

Kelelahan emosi adalah perasaan yang terlalu berat dan

terkurasnya sumber daya emosi seseorang, ditandai dengan

hilangnya perasaan, perhatian, kepercayaan, minat dan semangat.

Sumber utama dari kelelahan ini adalah beban kerja dan konflik

pribadi di tempat kerja. Orang-orang yang merasa kehilangan

energi ini akan merasa hidupnya kosong, lelah, dan merasa

kesulitan atau tidak mampu mengatasi tuntutan pekerjaan karena

kesulitan berhadapan dengan orang lain.

2.2. Depersonalisasi (Depersonalization)

Depersonalisasi adalah kelelahan yang ditandai dengan

keengganan untuk melakukan hubungan sosial dengan orang lain.

Mereka merasa apapun pekerjaan yang dilakukan tidak bernilai

atau berharga. Sikap ini diwujudkan dengan perilaku yang acuh,

sinis, dan cenderung tidak memperhatikan kepentingan orang

lain.

2.3. Berkurangnya Penghargaan Diri Sendiri (Reduced Personal

Accomplishment)

Berkurangnya penghargaan pada diri sendiri merupakan

aspek yang ditandai dengan menurunnya self-efficacy, rendahnya

(32)

tidak memiliki kompetensi dan merasa tidak berhasil dalam

pekerjaannya. Individu yang mengalami kondisi ini cenderung

mengevaluasi prestasi yang dicapainya secara negatif. Selain itu,

aspek ini akan memunculkan perasaan tidak mampu dalam

membantu klien, sehingga menyebabkan rasa putus asa pada diri

sendiri yang mengakibatkan kegagalan pada pekerja.

3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Burnout

Faktor yang memengaruhi burnout dapat ditemukan pada individu,

organisasi, dan sosial. Faktor-faktor tersebut antara lain:

3.1. Faktor Individu

Pines (dalam Farber, 1991) mencatat bahwa guru yang

cenderung idealis dan antusias paling rentan mengalami burnout.

Burnout lebih mungkin disebabkan karena individu berusaha untuk

memenuhi target ideal dalam pekerjaan mereka. Sikap idealis dan

komitmen guru mendasarkan harga diri mereka atas pencapaian

suatu tujuan. Memiliki tujuan yang terlalu tinggi dan tidak realistis

adalah faktor yang kuat dari munculnya burnout pada professional

helpers.

Menurut Farber (1991), beberapa variabel demografi berkaitan

dengan terjadinya stres dan burnout pada guru. Berdasarkan

beberapa penelitian yang telah dilakukan, menemukan bahwa stres

(33)

perempuan (Farber, 1991). Perempuan dianggap lebih tangguh

daripada laki-laki, dalam hal kesiapan atau secara temperamen

lebih mampu menghadapi banyak tekanan dalam mengajar. Selain

itu, berdasarkan sejarah perkembangan, perempuan lebih memiliki

hubungan interpersonal yang sensitif, memiliki keterampilan dalam

menjalin relasi yang lebih baik, dan lebih mampu menggunakan

support networks dibandingkan laki-laki (Greenglass and Burke,

1988; dalam Farber 1991).

Selain jenis kelamin, usia juga mempengaruhi munculnya stres

dan burnout pada guru. Guru dengan usia 40 tahun ke bawah

paling berisiko mengalami gangguan terkait stres. Guru di usia dua

puluhan lebih cenderung dibebani dengan harapan yang tidak

realistis, guru yang berusia dua puluhan dan tiga puluhan lebih

terlibat dalam proses membangun identitas dan berkomitmen

secara stabil untuk menjadi guru yang profesional (Farber, 1991).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Hanafi dan Yuniasanti

(2012), kematangan emosi adalah faktor individu yang memiliki

hubungan negatif dan signifikan dengan burnout pada perawat.

Semakin tinggi kematangan emosi perawat maka kecenderungan

burnout menjadi semakin rendah, begitu juga sebaliknya.

Kategori lain dari faktor individu yang mempengaruhi burnout

adalah coping. Menurut Foley dan Murphy (2015) coping

(34)

perkembangan stres dan burnout. Coping dapat didefinisikan

sebagai upaya yang dibuat individu, baik dalam bentuk perilaku

maupun kognitif, untuk mengubah lingkungan mereka dan atau

mengatur emosi untuk merespon situasi stressfull (Arnold et al.,

2010, dalam Foley & Murphy, 2015). Hobfoll dan Freedy (dalam

Cary, Philip, & Michael, 2001) menyatakan bahwa coping

merupakan sumber daya yang tersedia dalam setiap diri individu.

Lazarus dan Folkman (dalam Cary, Philip, dan Michael, 2001)

secara khusus membedakan coping sebagai problem focused

coping yang secara proaktif dapat menghilangkan sumber-sumber

burnout dan escapist coping yang bertujuan untuk menghindari

sumber-sumber burnout. Problem focused coping berhubungan

negatif dengan burnout sedangkan escapist coping berhubungan

positif dengan tingkat burnout. Menurut Foley dan Murphy (2015),

active coping memiliki hubungan yang negatif dengan burnout,

sedangkan passive coping memiliki hubungan positif dengan

burnout.

3.2. Faktor Sosial

Perubahan hidup dapat membuat pekerja sangat rentan

terhadap stres kerja atau burnout. Terdapat hubungan antara

banyaknya jumlah dan jenis perubahan dalam kehidupan seseorang

dengan timbulnya penyakit dalam waktu satu tahun (Homes and

(35)

positif (seperti menikah) ataupun yang bersifat negatif (seperti

kematian atau perceraian). Kondisi tersebut dapat memicu

terjadinya stres karena individu harus menyesuaikan diri dengan

pola baru.

Penelitian yang telah dilakukan Fiorilli, Gabola, Pepe, Meylan,

Churhod-Reudi, Alabanese, dan Doubin (2015), menunjukkan

bahwa faktor ketidakpuasan akan dukungan sosial yang diterima

berhubungan secara signifikan dengan burnout pada guru.

3.3. Faktor Organisasi

Beehr (2014), adanya stresor dalam lingkungan kerja seperti

tuntutan untuk berperan profesional, kondisi kerja, desain kerja,

dan hubungan interpersonal dengan klien dapat mempengaruhi

munculnya burnout. Menurut Maslach, Schaufeli, dan Leiter

(2001), burnout dipengaruhi oleh adanya beban kerja, waktu kerja

yang berlebihan, dan banyaknya klien yang harus dilayani.

Faktor organisasi lain yang diteliti Aitken dan Schloss (1994),

mengungkapkan bahwa perubahan organisasi secara efektif dapat

mengurangi stres dan burnout. Perubahan organisasi dapat

dilakukan dengan mengatur institutional yang dirancang untuk

mengurangi role overload, role ambiguity, dan role boundary

conflict. Menurut Maslach, Schaufeli, dan Leiter (2001) adanya

role conlict dan role ambiguity dalam organisasi secara bersamaan

(36)

B. Problem Focused Coping

1. Pengertian Coping

Stres merupakan suatu kondisi dimana individu menanggapi baik

secara mental maupun fisik keadaan atau peristiwa yang dirasa

mengganggu akibat perasaan terancam. Kondisi tersebut mendorong

individu untuk memecahkan masalah dan situasi yang menekan

(stressor). Menurut Sarafino (2008), coping merupakan suatu proses

dimana individu mencoba untuk mengelola jarak yang ada diantara

tuntutan-tuntutan dengan sumber daya yang mereka gunakan dalam

menghadapi situasi stressful. Coping adalah suatu strategi pemecahan

masalah berupa proses atau usaha untuk mempertemukan tuntutan dari

dalam diri sendiri dan tuntutan dari lingkungan (Arumwardhani, 2011).

Menurut Smet (1994), coping adalah segala usaha untuk mengatasi suatu

situasi baru yang secara potensial dapat mengancam, menimbulkan

frustasi, dan tantangan.

Berdasarkan beberapa pendapat tentang coping di atas dapat

disimpulkan bahwa coping adalah strategi atau upaya yang dilakukan

untuk mengatasi masalah, menangani emosi negatif, atau mengatasi

situasi yang stressful dengan cara mengatur cara berpikir dan cara

berperilaku yang bertujuan untuk membebaskan diri atau bertahan dari

(37)

2. Pengertian Problem Focused Coping

Problem focused coping merupakan usaha untuk mengontrol atau

mengubah sumber-sumber stres dengan cara mempelajari keterampilan

baru, menghilangkan hambatan atau rintangan, dan mencari

alternatif-alternatif solusi pemecahan masalah (Snyder, Lopez, dan Pedeotti,

2011). Menurut Lazarus dan Folkman (dalam Steptoe, 2010), problem

focused coping merupakan salah satu coping yang berfokus pada

stressor itu sendiri. Problem focused coping melibatkan pengambilan

langkah-langkah untuk menghilangkan stressor, sehingga mengurangi

munculnya dampak fisik karena situasi stress.

Menurut Lazarus (dalam Martz & Livneh, 2007) problem focused

coping melibatkan strategi pemecahan masalah dari sumber stres, seperti

membuat rencana tindakan pemecahan masalah atau berfokus pada

langkah-langkah selanjutnya dalam mengatasi masalah yang ada.

Problem focused coping merupakan coping yang berfokus pada

pemecahan masalah yang dihadapi dengan mengubah situasi stress yang

ada. Strategi yang dilakukan adalah dengan menemukan akar masalah

yang ada, mencari alternatif-alternatif solusi, membandingkan berbagai

alternatif yang didapat mana yang lebih efektif digunakan, lalu memilih

solusi dari perbandingan tersebut, dan melakukan tindakan sesuai

dengan solusi yang didapat (Fink, 2016).

Berdasarkan beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan

(38)

usaha untuk mengontrol atau memecahkan masalah, dengan tujuan

menghilangkan sumber stressor yang dilakukan dengan cara menemukan

solusi yang efektif, kemudian melakukan tindakan penyelesaian masalah

sesuai solusi, untuk mengubah situasi, keadaan, atau pokok

permasalahan.

3. Aspek-aspek Problem Focused Coping

Menurut Lazarus dan Folkman (dalam Triantoro & Nofrans, 2009),

aspek-aspek yang dimiliki problem focused coping adalah:

3.1. Konfrontasi

Konfrontasi adalah cara individu menghadapi permasalahan

secara langsung. Individu akan berpegang teguh pada pendiriannya

dan mempertahankan apa yang diinginkannya untuk mengubah

situasi stres secara agresif dengan adanya keberanian mengambil

resiko. Pada aspek ini, individu cenderung memiliki prinsip-prinsip

dalam hidupnya dan tidak mudah terombang-ambing dengan

keputusan atau pendapat orang lain. Pengambilan tindakan secara

langsung merupakan active coping, dimana individu mengambil

langkah-langkah aktif untuk menghilangkan, menghindari tekanan

dan memperbaiki pengaruh dampaknya. Contoh: ketika seorang

siswa tidak memahami materi pembelajaran, maka ia akan terus

(39)

3.2. Mencari dukungan sosial

Mencari dukungan sosial merupakan usaha individu untuk

mendapatkan bantuan dari orang lain, misalnya teman maupun

keluarga. Dukungan yang dicari merupakan dukungan sosial secara

instrumental, artinya individu akan mencari dukungan dari orang

disekitar untuk mendapatkan nasihat, informasi, atau bimbingan.

Contoh: ketika seorang siswa tidak memahami materi

pembelajaran, maka ia akan mencari bantuan dari teman, guru les,

atau orangtuanya yang dianggap ahli untuk mendapatkan

pemahaman terkait materi tersebut.

3.3. Merencanakan pemecahan masalah

Individu akan membuat perencanaan yang lebih baik sebelum

melakukan sesuatu hal. Merencanakan pemecahan masalah

merupakan usaha yang dilakukan individu untuk memikirkan,

membuat, dan menyusun rencana pemecahan masalah agar

masalah terselesaikan. Aspek ini melibatkan strategi-strategi

tindakan yang dilakukan dan menentukan cara penanganan terbaik

untuk menyelesaikan masalah. Kemudian, tindakan akan

diterapkan atau dilakukan berdasarkan perencanaan yang ada.

Contoh: Siswa mendapatkan beberapa tugas dari gurunyanya,

maka ia membuat perencanaan tugas mana dahulu yang akan

(40)

C. Guru

1. Pengertian guru

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005), yang dimaksud

dengan guru adalah orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya,

profesinya) mengajar. Berdasarkan Undang-undang nomor 14 Tahun

2005 tentang guru dan dosen, guru adalah pendidik profesional yang

memiliki tugas utama untuk mendidik, mengajar, membimbing,

mengarahkan dan melatih, menilai, serta mengevaluasi peserta yang

dididik pada pendidikan formal di jenjang anak usia dini, pendidik dasar,

dan menengah.

Menurut Suparlan (2006), guru adalah orang yang bertugas untuk

mencerdaskan kehidupan bangsa dalam berbagai aspek baik spiritual dan

emosional, intelektual, fisikal, dan aspek lainnya. Secara formal dan

legal guru adalah individu yang memperoleh surat keputusan (SK), baik

dari pemerintah maupun pihak swasta untuk mengajar.

Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan

bahwa guru adalah orang yang secara legal formal memperoleh surat

keputusan (SK), yang pekerjaannya mengajar, mendidik, membimbing,

mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didiknya dari

berbagai aspek spiritual, emosional, intelektual, fisikal, dan aspek

(41)

2. Peran guru

Menurut Suparlan (2006) guru memiliki tugas dan peran yang

tidak dapat dipisahkan sebagai:

2.1. Pendidik

Guru merupakan sosok panutan bagi siswanya. Guru memiliki

nilai moral dan agama yang patut ditiru diteladani siswa. Segala

sikap dan perilaku guru baik secara langsung mapun tidak

langsung dapat ditiru, diikuti dan dijadikan teladan bagi siswa.

2.2. Pengajar

Guru dituntut untuk memiliki pengetahuan yang luas terkait

disiplin ilmu yang diampu untuk mengajar siswa. Sehingga guru

harus menguasai materi yang akan diberikan, menguasai

penggunaan strategi dan metode mengajar yang akan digunakan

untuk menyampaikan bahan ajar. Selain itu, guru juga diharuskan

untuk menentukan alat evaluasi pendidikan yang bertujuan untuk

menilai hasil belajar siswa, aspek-aspek manajemen kelas, dan

dasar-dasar kependidikan.

2.3. Pembimbing

Guru diharapkan mampu membimbing siswanya, memberikan

dorongan psikologis agar siswa dapat mengatasi faktor-faktor

internal dan eksternal yang dapat menganggu proses belajar. Guru

juga diharapkan mampu membantu dan membina siswanya dalam

(42)

2.4. Pelatih

Guru diharuskan mengajak siswa untuk menerapkan teori-teori

yang sudah didapatkan untuk dipraktekkan dan digunakan secara

langsung dalam kehidupan. Melalui praktek siswa dapat

memperoleh pengalaman belajar yang lebih banyak.

D. Dinamika Hubungan antara Problem Focused Coping dan Burnout

pada Guru Sekolah Dasar

Guru sekolah dasar merupakan pendidik profesional yang harus

berinteraksi langsung dengan para siswanya. Oleh karena itu guru memiliki

berbagai peran yang harus diperhatikan saat melakukan proses belajar

mengajar. Mendidik, mengajar, membimbing, dan melatih merupakan peran

dan tugas yang harus dilaksanakan oleh guru (Suparlan, 2006). Setiap peran

dan tugas yang dijalankan mengharuskan guru untuk bertindak profesional.

Kondisi dan tuntutan pekerjaan guru tersebut membutuhkan pelibatan emosi

yang tinggi. Karakter dan perilaku siswa yang beragam pasti akan

memunculkan berbagai pengalaman negatif dengan siswanya (Maslach,

dalam Sujipto, 2001).

Tuntutan untuk bertindak profesional dalam menjalankan perannya

sebagai guru memunculkan adanya beban tugas. Dalam proses belajar

mengajar, tidak menutup kemungkinan akan ditemukan berbagai masalah,

kendala, dan pengalaman negatif yang dapat disebabkan siswa, rekan kerja,

(43)

ketegangan emosional. Apabila dialami secara terus menerus maka akan

mengakibatkan munculnya burnout.

Selain itu, adanya perubahan dalam kehidupan yang dijalani guru akan

berdampak pada munculnya stres kerja dan burnout. Semakin banyak

jumlah dan jenis perubahan dalam kehidupan seseorang dapat

mengakibatkan munculnya penyakit (Homes and Rahe, dalam Farber 1991).

Guru yang mengalami burnout akan mengalami kelelahan emosional. Hal

ini ditandai dengan hilangnya minat dan semangat dalam bekerja. Kelelahan

emosional yang dirasakan guru bersumber dari adanya beban kerja dan

konflik pribadi di tempat kerja. Dampak dari munculnya burnout adalah

menurunnya produktivitas dan banyaknya kesalahan guru dalam

menjalankan tugas (Nitisemo, 1982). Hal tersebut akan merugikan dirinya

sendiri, karena burnout dapat membuat guru menjadi cemas dan rentan

terhadap gangguan fisik maupun psikis (Corrigan, 1995).

Kelelahan yang dialami guru sekolah dasar akan berdampak pula pada

munculnya rasa enggan untuk melakukan interaksi sosial dengan orang lain.

Guru sekolah dasar akan merasa apapun pekerjaan yang dilakukan tidak

bernilai atau tidak berharga. Adanya perasaan-perasaan tersebut

memunculkan perilaku sinis, acuh, dan tidak memperhatikan kepentingan

orang lain. Selain itu, ketika mengalami burnout guru sekolah dasar akan

merasa dirinya tidak berhasil dalam mencapai target yang ada, yang

(44)

motivasinya menurun. Dampaknya muncul perasaan tidak mampu dalam

membantu klien dan menjadi putus asa (Maslach, Schaufeli, & Leiter, 2001).

Oleh karena itu, guru harus mampu mengatasi, menghadapi, dan

beradaptasi dengan situasi dan kondisi yang memicu stres dalam

menjalankan tuntutan pekerjaannya. Coping merupakan salah satu strategi

yang dapat memengaruhi munculnya burnout pada guru (Carson, 1999).

Melalui perilaku coping, guru dapat menanggapi segala situasi dan

permasalahan yang ada untuk bertahan ataupun terhindar dari stres. Coping

yang memiliki pengaruh besar dalam menurunkan depresi adalah problem

focused coping (Holman & Moos, 1987). Problem focused coping

merupakan strategi coping yang lebih berfokus pada masalah, dan bertujuan

untuk menyelesaikan atau memecahkan masalah dengan cara yang efektif

berupa langkah-langkah untuk menghilangkan stressor, sehingga

mengurangi munculnya dampak fisik karena situasi stres yang dapat memicu

burnout (Lazarus & Folkman dalam Steptoe, 2010).

Penggunaan problem focused coping dapat membantu guru sekolah

dasar dalam mengatasi stres secara efektif. Holahan dan Moos (1987)

mengatakan bahwa problem focused coping memiliki fungsi yang relatif

efektif dalam menurunkan tingkat depresi seseorang. Depresi seseorang

dapat menurun karena individu yang menggunakan problem focused coping

akan memfokuskan dirinya untuk menyelesaikan dan memecahkan masalah

atau sumber stressor yang ada dengan solusi-solusi yang sudah

(45)

stressor maka individu dapat menjalankan fungsinya secara efektif.

Penggunaan problem focused coping dapat membantu guru sekolah dasar

dalam mengahadapi tuntutan dan beban pekerjaan yang ada. Sehingga guru

dapat menjalankan tugasnya secara efektif dan profesional.

Konfrontasi merupakan salah satu aspek dari problem focused coping

yang mendorong individu untuk berani dalam menghadapi masalah secara

langsung dan aktif. Guru yang memiliki aspek konfrontasi akan

menggunakan prinsip-prinsip dalam hidupnya untuk menemukan strategi

pemecahan masalah dan tidak akan mudah goyah dengan keputusan atau

pendapat orang lain. Dukungan sosial berupa bantuan instrumental seperti

mendapat nasihat, informasi, atau bimbingan dari orang lain merupakan

salah satu aspek dari problem focused coping. Ketika menghadapi masalah

yang memicu kondisi stres, guru dengan aspek ini akan mencari bantuan dari

orang lain seperti keluarga atau teman kerja untuk menyelesaikan masalah.

Problem focused coping juga mendorong guru untuk membuat perencanaan

dalam menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi. Perencanaan

pemecahan masalah berisi strategi, cara, atau tindakan yang akan dilakukan

untuk menangani masalah yang ada secara efektif.

Penggunaan problem focused coping membantu guru dalam

menyelesaikan berbagai masalah pekerjaan yang memicu stres yang akan

berdampak pada burnout. Ketika guru dihadapkan pada berbagai masalah

yang disebabkan karena banyaknya tuntutan dan beban pekerjaannya,

(46)

membantu guru memecahkan masalah. Begitu juga sebaliknya, guru yang

tidak dapat menyesuaikan diri dengan situasi stressful dan guru yang tidak

dapat menyelesaikan masalah yang ada akan memiliki kemungkinan yang

besar untuk mengalami burnout (Carson, 1999; Circenis, Deklava, &

Millere, 2014; Nugroho, Andrian, & Marselius, 2012).

Apabila guru dapat menanggapi masalah dan situasi penuh tekanan

dengan menggunakan problem focused coping secara efektif, maka guru

akan mampu menghadapi masalah secara langsung dan aktif dengan

berbagai strategi yang sudah dipikirkan dan direncakan untuk mendapatkan

solusi yang efektif, baik solusi yang didapatkan dari pemikiran atau prinsip

pribadi, ataupun solusi yang didapatkan dari adanya bantuan instrumental

dari orang lain. Oleh karena itu, ketika problem focused coping yang

digunakan cenderung tinggi, maka guru sekolah dasar mampu

menyelesaikan permasalahan yang ada sehingga kemungkinan munculnya

burnout akan menurun. Hal ini disebabkan karena beban, tuntutan, dan

permasalahan dalam pekerjaan langsung dihadapi dan diselesaikan, sehingga

menurunkan kemungkinan munculnya kelelahan emosional dan

depersonalisasi, serta dapat menumbuhkan penghargaan terhadap diri yang

baik. Ketika beban kerja dan konflik pribadi di tempat kerja langsung diatasi

dan diselesaikan maka kelelahan emosional akan menurun, sehingga guru

sekolah dasar tidak merasa hidupnya kosong, lelah, kesulitan untuk

mengatasi tuntutan pekerjaan, dan tidak kesulitan ketika berhadapan dengan

(47)

karena dengan terselesaikannya masalah membuat guru tidak hanya

memfokuskan dirinya pada konflik dan beban kerja yang ada, maka sikap

sinis, acuh, dan perasaan sulit untuk berhadapan dengan orang lain akan

menurun, sehingga guru tidak merasa enggan untuk melakukan hubungan

sosial. Selain itu adanya perilaku problem focused coping yang tinggi akan

membuat guru merasa mampu dalam menjalankan tugasnya karena segala

permasalahan, beban kerja, dan tuntutan pekerjaan terselesaikan.

Dampaknya penghargaan terhadap diri sendiri menjadi lebih baik, guru

memiliki motivasi untuk bekerja, dan munculnya sikap percaya diri dalam

(48)

E. Skema Hubungan antara Problem Focused Coping dan Burnout

Gambar 2. Skema Dinamika antar Variabel

PROBLEM FOCUSED

Konfrontasi Mencari

dukungan sosial

Merencanakan pemecahan masalah

Problem Focused Coping Tinggi

-Mampu menghadapai permasalah secara langsung dan aktif

-Mampu mempertahankan pendirian dalam menyelesaikan masalah

-Mampu mengubah situasi

-Mendapatkan bantuan instrumental

-Mampu memikirkan dan menemukan solusi

-Melakukan tindakan untuk menyelesaikan masalah

Burnout Rendah

-Kelelahan emosional menurun: guru menjadi lebih bersemangat dalam bekerja, tidak mudah marah, dan lebih fokus saat bekerja.

-Depersonalisasi menurun:guru lebih peka dengan lingkungan sekitarnya, tidak bersikap sinis, dan mampu menjalin interaksi sosial yang lebih baik dengan rekan kerja atau siswa

-Penghargaan terhadap diri baik: guru merasa puas dengan apa yang dikerjakan, guru merasa percaya diri dengan usaha yang dilakukan, motivasi kerja meningkat.

(49)

F. Hipotesis

Berdasarkan landasan teori di atas penulis mengajukan hipotesis

bahwa terdapat hubungan negatif antara problem focused coping dengan

burnout pada guru SD. Semakin tinggi problem focused coping yang

digunakan maka semakin rendah burnout yang akan dialami, sebaliknya

semakin rendah problem focused coping yang digunakan maka semakin

(50)

32

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. JENIS PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan adalah kuantitatif, yaitu metode

yang menggunakan data-data berupa angka untuk dianalisis dan diolah

dengan metode statistika (Azwar, 2009). Jenis penelitian ini adalah

penelitian korelasional yang bertujuan untuk menyelidiki sejauh mana

variasi pada satu variabel berkaitan dengan variasi pada satu atau lebih

variabel lain. Tujuan dari penelitian ini adalah menguji hubungan antara

problem focused coping dengan burnout pada guru sekolah dasar.

B. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN

Variabel-variabel yang ada dalam penelitian dapat diidentifikasikan

sebagai berikut:

1. Variabel bebas : problem focused coping

2. Variabel tergantung : burnout

C. DEFINISI OPERASIONAL

1. Burnout

Burnout adalah sindrom psikologis dari pekerjaan sebagai respon

terhadap stres, yang ditandai dengan kelelahan emosional,

(51)

diukur dengan menggunakan skala burnout. Skala burnout disusun oleh

peneliti berdasarkan aspek-aspek burnout menurut Maslach, Schaufeli,

dan Leiter, (2001) dengan menggunakan skala likert. Skor burnout

didapat dari jumlah skor ketiga aspek yang ada. Semakin tinggi skor

total yang didapatkan maka semakin tinggi kecenderungan seseorang

mengalami burnout.

2. Problem Focused Coping

Problem Focused Coping merupakan cara menghadapi suatu tekanan

dengan berfokus pada masalah yang ada, dengan melakukan tindakan

konfrontasi, mencari dukungan sosial, dan merencanakan pemecahan

masalah, yang diungkap menggunakan skala problem focused coping.

Skala problem focused coping disusun peneliti berdasarkan aspek-aspek

problem focused coping menurut Folkman dan Lazarus (dalam Triantoro

& Nofrans, 2009) dengan menggunakan skala likert. Skor problem

focused coping dihitung berdasarkan skor total semua aspeknya.

Semakin tinggi nilai skor maka semakin cenderung tinggi seseorang

melakukan problem focused coping.

D. SUBJEK PENELITIAN

Subjek yang digunakan pada penelitian ini adalah guru sekolah

dasar. Pemilihan subjek menggunakan cara purposive sampling. Kriteria

(52)

memiliki usia maksimal 40 tahun. Pemilihan usia dilakukan berdasarkan

teori yang dikemukakan oleh Farber (1991) bahwa guru yang berusia

dibawah 40 tahun lebih mudah mengalami burnout daripada yang guru yang

berusia lebih tua. Guru yang berusia dua puluhan dan tiga puluhan

cenderung dibebani dengan harapan yang tidak realisits dan cenderung lebih

terlibat dalam proses membangun identitas dan berkomitmen secara stabil

untuk menjadi guru profesional. Selain itu, menurut Schaeufeli dan Buunk

(dalam Cary, Philip, dan Michael, 2001) pekerja layanan yang berusia lebih

muda akan lebih rentan terhadap burnout. Dengan demikian, pemilihan

subjek tersebut diharapkan akan memberikan konstribusi maksimal bagi

masyarakat.

E. METODE DAN ALAT PENGUMPULAN DATA

Data dalam penelitian ini dikumpulkan melalui penyebaran skala

untuk diisi oleh subjek. Skala yang digunakan dibuat secara khusus oleh

peneliti berdasarkan aspek-aspek yang sudah ditentukan. Peneliti tidak

mengadaptasi MBI (Masclah Burnout Inventory) alat ukur yang sudah ada

dengan tujuan untuk menghidari adanya bias budaya. Akan tetapi, peneliti

tetap melihat MBI (Masclah Burnout Inventory) sebagai referensi dalam

membuat item dan mengambil kemudian memodifikasi beberapa item yang

sesuai dengan indikator pada blueprint. Tahapan penyusunan skala adalah

(53)

1. Penyusunan Blue Print

1.1.Skala Burnout

Skala burnout dibuat oleh peneliti berdasarkan aspek burnout

menurut Maslach, Schaufeli, dan Leiter (2001). Aspek tersebut yaitu,

kelelahan emosional (emotional exhaustion), depersonalisasi

(depersonalization), dan berkurangnya penghargaan terhadap diri

sendiri (reduced personal accomplishment). Berikut adalah blueprint

dan distribusi atau sebaran item dari skala burnout dapat dilihat pada

tabel ini:

Tabel 1

Tabel Blue-Print Skala Burnout (sebelum tryout)

Aspek Indikator Nomor Item Jumlah Bobot

(54)

1.2. Skala Problem Focused Coping

Skala problem focused coping yang disusun berdasarkan

aspek konfrontasi, mencari dukungan sosial, dan merencanakan

pemecahan masalah menurut Lazarus dan Folkman (dalam

Triantoro & Nofrans, 2009). Blueprint dan distribusi atau sebaran

item dari skala problem focused coping dapat dilihat pada tabel 2:

Tabel 2

Tabel Blue-Print Skala Problem Focused Coping (sebelum tryout)

Aspek Indikator Nomor Item Jumlah Bobot

(55)

2. Penulisan Item

Penulisan item dilakukan sesuai dengan blueprint yang sudah

dibuat dan ditetapkan pada masing-masing skala. Skala burnout terdiri

dari 60 item, dimana tiap indikatornya memiliki 6 item yang dibagi

dalam bentuk favorable dan unfavorable. Skala problem focused coping

terdiri dari 56 item dengan jumlah 8 item untuk masing-masing

indikator, yang dibagi dalam bentuk favorable dan unfavorable.

Penentuan jumlah tersebut dimaksudkan untuk mengantisipasi problem

item mortality setelah instrumen diujicobakan. Selain itu, jumlah item

yang tidak terlalu besar juga dipertimbangkan agar tidak mengganggu

waktu kerja subjek dan bertujuan untuk mengantisipasi kelelahan dan

kebosanan subjek ketika mengisi skala.

Metode pengumpulan data untuk mengukur burnout dan problem

focused coping subjek menggunakan jenis skala likert. Subjek akan

diminta untuk memberikan jawaban yang paling menggambarkan

kondisi subjek yang sebenarnya. Jawaban dari setiap pernyataan yang

ada menunjukkan kesetujuan atau ketidaksetujuan subjek. Respon

tersebut dipaparkan dalam sebuah kontinum yang terdiri atas empat

respon yang dibagi dalam dua kategori, yaitu pernyataan favorable dan

pernyataan unfavorable. Pernyataan yang bersifat favorabel merupakan

pernyataan-pernyataan yang jika dipilih akan bersifat positif atau

(56)

unfavorabel merupakan pernyataan-pernyataan yang jika dipilih akan

bersifat negatif atau tidak mendukung variabel yang akan diukur.

Jika pernyataan bersifat favorabel maka masing-masing respon

diberi skor 4 (sangat setuju), 3 (setuju), 2 (tidak setuju), dan 1 (sangat

tidak setuju). Pernyataan yang bersifat unfavorable, masing-masing

respon diberi skor 1 (sangat setuju), 2 (setuju), 3 (tidak setuju), dan 4

(sangat tidak setuju). Pada skala burnout dan problem focused coping

tidak tersedia pilihan jawaban netral. Hal ini dilakukan dengan tujuan

untuk menghindari kecenderungan subjek dalam memberikan jawaban

yang bersifat central tendency effect, yang akan berdampak pada

rendahnya tingkat validitas (Kline, dalam Supraktiknya, 2014).

3. Review dan Revisi Item

Review dan revisi item dilakukan setelah semua item selesai dibuat

sesuai dengan blueprint pada masing-masing skala. Peneliti

memeriksakan item-item tersebut pada dosen pembimbing. Semua item

yang telah dibuat akan di-review oleh dosen pembimbing dengan

memeriksa ketepatan dan kesesuaian antara isi item dengan definisi tiap

aspek yang sudah diturunkan menjadi indikator. Selain isi item,

pemeriksaan juga dilakukan untuk melihat tata bahasa, ejaan, pemilihan

dan penggunaan kata pada kalimat disetiap itemnya. Setelah dilakukan

(57)

dengan memperbaikinya sesuai dengan catatan-catatan yang diberikan

oleh dosen pembimbing.

4. Validitas Isi

Pemeriksaan validitas isi dilakukan dengan tujuan untuk melihat

relevansi atau taraf kesesuaian dan ketepatan item dengan variabel yang

diukur (Supraktiknya, 2014). Data yang digunakan untuk menguji

validitas isi diperoleh dari hasil penilaian subject matter expert (dosen

pembimbing) dan lima peer judgement yang berkompeten atau

berpengalaman dalam pembuatan alat ukur psikologis. Para penilai

diminta untuk menyatakan apakah isi suatu item relevan dengan

indikator yang ada pada setiap aspeknya, sehingga dapat mendukung

tujuan ukur tes. Penilai diminta untuk memberikan nilai 1 apabila isi

item tidak relevan dengan indikator yang ada, nilai 2 apabila isi item

kurang relevan, nilai 3 apabila isi item cukup relevan dan nilai 4

diberikan apabila isi item relevan dengan indikator yang ada.

Uji validitas didapatkan dengan menghitung nilai IVI-I (Indeks

Validitas Isi-Item) dan jumlah nilai IVI-S (Indeks Validitas Isi-Skala)

pada tiap itemnya. Nilai IVI-I (Indeks Validitas Isi-Item) didapatkan

dengan menghitung rata-rata keseluruhan penilai pada masing-masing

item. Apabila rata-rata yang didapatkan ≥ 0,8 maka item dapat dipakai,

apabila rata-ratanya 0,5 – 0,6 maka item dapat dipakai dengan perbaikan,

(58)

gugur. Setelah menghitung jumlah nilai IVI-I (Indeks Validitas Isi-Item)

maka nilai IVI-S (Indeks Validitas Isi-Skala) didapatkan dari jumlah

nilai IVI-I (Indeks Validitas Isi-Item) yang dibagi dengan banyaknya

item pada skala. Suatu alat ukur dinyatakan valid apabila skor IVI-S

(Indeks Validitas Isi-Skala) yang didapatkan ≥ 0,9. Artinya, skala yang

mencapai IVI-S minimum 0,9 dinyatakan memiliki validitas isi yang

memuaskan.

Berdasarkan uji validitas telah dilakukan, skala burnout memiliki

nilai IVI-S (Indeks Validitas Isi-Skala) sebesar 0,91 dan skala problem

focused coping memiliki nilai IVI-S (Indeks Validitas Isi-Skala) sebesar

0,98. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimbulkan bahwa skala burnout

dan skala problem focused coping merupakan skala yang valid atau

memiliki validitas isi yang baik untuk digunakan sebagai alat ukur

penelitian.

5. Uji Coba Pendahuluan

Pada tahap ini, peneliti secara informal melakukan uji coba pada 9

sampel subjek sesuai dengan karakteristik subjek penelitian. Uji coba

pendahuluan bertujuan untuk mencegah atau meminimalisir kesalahan

pengerjaan. Melalui uji coba pendahuluan peneliti dapat mengetahui

rata-rata waktu yang diperlukan untuk mengisi skala. Selain itu, uji coba

pendahuluan juga bermanfaat untuk mengetahui apakah petunjuk

Gambar

Gambar 1.  Tahapan Burnout ................................................................................
Gambar 1. Tahapan Burnout
Gambar 2. Skema Dinamika antar Variabel
tabel ini:
+7

Referensi

Dokumen terkait

Jenis penelitian ini adalah penelitian korelasional yang bertujuan untuk mengetahui signifikansi hubungan antara iklim sekolah dengan burnout pada guru. Sebanyak 30 orang

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini yaitu “ Ada hubungan yang negatif antara problem focused coping dengan stres mahasiswa tingkat akhir dalam menghadapi

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui hubungan antara kecerdasan emosional dengan problem focused coping dalam menyusun projek akhir pada mahasiswa

Hipotesis pertama ditolak, tidak ada hubungan yang signifikan antara penggunaan strategi problem focused coping dengan kepribadian ambang sementara hipotesis kedua

HUBUNGAN PROBLEM FOCUSED COPING DENGAN STRES MENGAJAR PADA GURU ANAK BERKEBUTUHAN

Dari penjabaran diatas, pada penelitian ini tingginya dukungan sosial yang diterima siswa mempengaruhi problem-focused coping dalam menghadapi masalah, ketika dukungan sosial

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara regulasi emosi dengan problem focused coping

Dari data-data tersebut dapat dikatakan bahwa terdapat hubungan positif yang sangat signifikan antara optimisme dengan problem focused coping pada mahasiswa pengambil