HUBUNGAN ANTARA PROBLEM FOCUSED COPING DAN
BURNOUT PADA GURU SEKOLAH DASAR
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun oleh:
Diska Amelia
149114145
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
HALAMAN MOTTO
“Living in the Present”
Kerjakan apa yang bisa kamu kerjakan hari ini! Lakukan yang menjadi bagianmu
sebaik mungkin dan Tuhan akan melakukan bagian-Nya.
“Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari”
Matius 6:34
“Selalu mengandalkan Tuhan dalam segala hal. Segala perkara dapat dihadapi karna doa dan kekuatan iman yang percaya. Allah akan memenuhi segala
kekurangan dan membantu dalam menghadapi kesusahan”
vi
HUBUNGAN ANTARA PROBLEM FOCUSED COPING DAN
BURNOUT PADA GURU SEKOLAH DASAR
Diska Amelia
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara Problem Focused Coping dan Burnout pada guru sekolah dasar. Hipotesis dalam penelitian ini adalah adanya hubungan negatif antara Problem Focused Coping dan Burnout. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan jenis penelitian korelasional. Subjek dalam penelitian ini adalah guru-guru sekolah dasar dengan usia maksimal 40 tahun yang berjumlah 114 orang. Alat pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan skala Burnout dan skala Problem Focused Coping. Skala Burnout terdiri dari 40
item dengan koefisien Alpha Cronbach sebesar0,949, sedangkan skala Problem Focused Coping
memiliki 28 item dengan koefisien Alpha Cronbach sebesar 0,917. Analisis data yang digunakan adalah Spearman’s Rho Correlation karena hasil uji asumsi yang dilakukan menunjukkan data memiliki hubungan yang linear namun tidak terdistribusi normal. Berdasarkan hasil uji korelasi menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif dan signifikan antara Problem Focused Coping dan Burnout pada guru sekolah dasar (r= -0,744, p= 0,000).
vii
CORRELATION BETWEEN PROBLEM FOCUSED COPING AND BURNOUT AMONG ELEMENTARY TEACHERS
Diska Amelia
ABSTRACT
The purpose of this study was to understand the relationship between Problem Focused Coping and Burnout among elementary teachers. The hypothesis of this study was there was a negative correlation between Problem Focused Coping and Burnout. This research was a quantitative method using correlational study. Subject of this study were 114 elementary teachers with maximal aged 40 years. The tools which were used to collect the data are the Burnout scale and Problem Focused Coping scale. The Burnout scale contains 40 items with the Cronchbach Alpha coefficient 0,949, while the Problem Focused Coping scale contains 28 item with the Cronchbach Alpha coefficient 0,917. Data were analyzed with Spearmen’s Rho Correlation technique because there was a linear correlation, but the data distribution was abnormal. The result of this study was there is a negative and significant correlation between Problem Focused Coping and Burnout among elementary teachers (r= -0,744, p= 0,000).
ix
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha
Esa karena dengan limpahan berkat-Nya, penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini
dengan baik dan tepat pada waktunya. Skripsi ini merupakan salah satu syarat wajib
untuk mendapatkan gelar sarjana S-1 Psikologi, Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta.
Penulis menyadari bahwa dalam penyelesaian dan penyusunan Skripsi ini
melibatkan banyak pihak. Berkat bimbingan, nasehat serta doa yang diberikan oleh
berbagai pihak, penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini dengan baik. Oleh karena
hal itu, dengan segala kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terima kasih
kepada :
1. Ibu Dr. Titik Kristiyani, M. Psi. selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma dan Dosen Pembimbing Skripsi. Terimakasih
telah memberikan ijin bagi penulis untuk melakukan uji coba dan
penelitian di sekolah-sekolah dasar yang terdapat di Klaten maupun di
Yogyakarta. Terimakasih pula atas bimbingan, nasihat, ilmu, dan
kesabarannya dalam mendampingi penulis untuk menyelesaikan skripsi
ini dengan sebaik mungkin.
2. Ibu Monica Eviandaru Madyaningrum, Ph. D. selaku Ketua Program Studi
Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.
3. Ibu Dr. Tjipto Susana, M. Si. selaku Dosen Pembimbing Akademik.
Terimakasih atas nasihat dan semangat dalam menjalani perkuliahan.
4. Suster Dewi dosen yang sangat friendly dan penuh kasih. Terimakasih
suster yang telah setia mendengarkan keluh kesah penulis dan memberikan
perhatian serta nasihat yang sangat menenangkan. Banyak hal yang dapat
kupelajari darimu.
5. Seluruh Dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah
berbagi ilmu dan pengalamannya sehingga membantu penulis dalam
x
6. Seluruh kepala sekolah dan guru-guru sekolah dasar yang menjadi subjek
baik di Klaten maupun Yogyakarta yang tidak bisa saya sebutkan satu per
satu. Terimakasih atas ketulusan dan kesediaannya menjadi subjek
penelitian, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Semoga
Tuhan membalas kebaikan kalian semua.
7. Papa, Mama, dan Dillon selaku keluarga penulis. Terimakasih atas semua
doa, motivasi, dan semangat yang kalian berikan.
8. Raditya Raka, Dian, Audi, Indah, Gita, Denta, Rias, Venta selaku sahabat
penulis. Terimakasih atas segala bantuan, kebaikan, support yang kalian
berikan baik tenaga maupun doa. Terimakasih karena selalu menemani
penulis dalam mencari subjek dan menyelesaikan penelitian ini. Terima
kasih karena selalu setia mendengarkan keluh kesah penulis. Semoga
kalian selalu sukses dan GBU!
9. Lia, Laksmi, Sekar, Denta, Rias, Venta, Gita, dkk selaku teman-teman satu
bimbingan, satu perjuangan. Terimakasih atas bantuan teman-teman baik
dalam bentuk informasi atau kehadiran kalian yang meringankan beban
penulis.
10. Teman-teman sekelompok mata kuliah Psikologi Konsultasi, Cicik Karin,
Sinta, Rias, Venta, Gita, Pakde Krisna yang sama-sama meminati
psikologi perkembangan anak dengan dampingan suster Dewi. Sungguh
pengalaman yang sangat luar biasa dan sangat berkesan dapat berdinamika
bersama adik-adik di Yayasan Kanker Anak Indonesia. Kita semua tahu
dan mengalami betapa susahnya untuk mendapatkan perijinan. Akan tetapi
banyak hal yang dapat penulis sadari dan syukuri melalui dinamika
tersebut. Melalui kegiatan ini penulis mendapatkan inspirasi untuk
menentukan topik penelitian.Tetap semangat adik-adik!!
11. Teman-teman Psikologi USD 2014, terutama Psikologi Kelas E 2014.
Terimakasih telah menerima dan menemani perjalanan hidup penulis
selama kurang lebih empat tahun.
12. Teman-teman kepanitian yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
xi
penulis dapatkan. Terimakasih atas bantuan, kerja sama, kerja keras dan
ikatan pertemanan yang masih terjalin sampai saat ini. Semoga sukses dan
lancar dalam mencapai cita-cita kalian.
Akhir kata penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidaklah sempurna.
Kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca sangat diharapkan demi
penyempurnaan Skripsi ini di kemudian hari. Besar harapan penulis agar skripsi ini
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v
ABSTRAK ... vi
ABSTRACT ... vii
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR TABEL ... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ... xvii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 8
C. Tujuan Penelitian ... 8
D. Manfaat Penelitian ... 8
1. Manfaat Teoretis ... 8
xiii
BAB II LANDASAN TEORI ... 10
A. Burnout ... 10
1. Pengertian Burnout ... 10
2. Aspek-aspek Burnout... 13
3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Burnout ... 14
B. Problem Focused Coping ... 18
1. Pengertian Coping ... 18
2. Pengertian Problem Focused Coping ... 19
3. Aspek-aspek Problem Focused Coping ... 20
C. Guru ... 22
1. Pengertian Guru ... 22
2. Peran Guru ... 23
D. Dinamika Hubungan antar Variabel ... 24
E. Skema Hubungan antar Variabel ... 30
F. Hipotesis Penelitian ... 31
BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 32
A. Jenis Penelitian ... 32
B. Identifikasi Variabel Penelitian ... 32
1. Variabel Bebas ... 32
2. Variabel Tergantung ... 32
C. Definisi Operasional ... 32
1. Burnout ... 32
xiv
D. Subjek Penelitian ... 33
E. Metode dan Alat Pengumpulan Data ... 34
1. Penyusunan Blue-print... 35
2. Penulisan Item ... 38
3. Review dan Revisi Item ... 38
4. Validitas Isi ... 39
5. Uji Coba Pendahuluan ... 39
6. Uji Coba Alat Ukur ... 41
G. Pemeriksaan Reliabilitas Alat Ukur Penelitian ... 46
H. Metode Analisis Data ... 47
1. Uji Asumsi ... 47
2. Uji Hipotesis ... 48
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 50
A. Hasil Penelitian ... 50
1. Pelaksanaan Penelitian ... 50
2. Deskripsi Subjek Penelitian ... 51
3. Deskripsi Data Penelitian ... 51
4. Hasil Uji Asumsi ... 53
5. Hasil Uji Hipotesis ... 54
6. Analisis Tambahan ... 56
B. Pembahasan ... 57
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 62
xv
B. Keterbatasan Penelitian ... 62
C. Saran ... 63
DAFTAR PUSTAKA ... 65
LAMPIRAN ... 68
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Tahapan Burnout ... 11
xvii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Blueprint dan Distribusi Item Skala Burnout Sebelum Try Out ... 35
Tabel 2. Blueprint Distribusi Item Skala Problem Focused Coping Sebelum Try Out ... 36
Tabel 3. Blueprint dan Distribusi Item Skala Burnout Setelah Try Out ... 43
Tabel 4. Blueprint dan Distribusi Item Skala Burnout Setelah Seleksi Item .... 44
Tabel 5. Blueprint Distribusi Item Skala Problem Focused Coping Setelah Try Out ... 45
Tabel 6. Blueprint Distribusi Item Skala Problem Focused Coping Setelah Seleksi Item ... 46
Tabel 7. Deskripsi Data Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin ... 51
Tabel 8. Deskripsi Data Subjek Berdasarkan Lama Bekerja ... 51
Tabel 9. Deskripsi Data Subjek Berdasarkan Status Kerja Guru ... 51
Tabel 10. Deskripsi Data Penelitian ... 52
Tabel 11. Hasil Uji Normalitas ... 53
Tabel 12. Hasil Uji Linearitas ... 54
Tabel 13. Kriteria Koefisien Korelasi ... 55
Tabel 14. Korelasi Burnout dengan Problem Focused Coping ... 55
Tabel 15. Koefisien Determinasi ... 56
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Skala Burnout dan Problem Focused Coping untukUji Coba ... 69
Lampiran 2. Uji Reliabilitas dan Seleksi Item Skala Burnout Uji Coba ... 83
Lampiran 3. Uji Reliabilitas dan Seleksi Item Skala Problem Focusede Coping Uji Coba ... 87
Lampiran 4. Skala Burnout dan Problem Focused Coping untukPengambilan Data... 91
Lampiran 5. Hasil Deskripsi Statistik Data Penelitian ... 102
Lampiran 6. Hasil Uji Normalitas ... 104
Lampiran 7. Hasil Uji Linearitas ... 105
Lampiran 8. Hasil Uji Korelasi ... 106
1
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Guru adalah suatu profesi dengan pekerjaan mengajar, mendidik,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta
didiknya dari aspek spiritual, emosional, intelektual, fisikal, dan aspek
lainnya (Undang-undang nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen).
Pasal 8 UU Guru dan Dosen menyebutkan bahwa guru wajib memiliki
kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidikan, sehat jasmani dan
rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan pendidikan nasional.
Selain berbagai tuntutan pekerjaan tersebut, guru sekolah dasar juga
dihadapkan pada beban tugas yang tidak ringan.
Guru sekolah dasar merupakan sosok yang dianggap sebagai teladan
bagi muridnya, sumber ilmu, dan pemberi layanan. Oleh karena itu, guru
sekolah dasar dituntut untuk bertindak profesional dalam menjalankan tugas,
peran, dan profesional dalam menghadapi tingkah laku para siswanya. Di
satu sisi guru sekolah dasar dituntut untuk bersikap ramah, sabar, dan
pengertian, disisi lain mereka harus bersikap tegas dan mendidik dengan
mencapai tujuan. Menjalankan peran tersebut pasti akan menimbulkan
berbagai bentuk masalah karena setiap siswa yang dididik tidak memiliki
sifat, karakter, dan respon yang sama, apalagi tahapan perkembangan
kognitif anak sekolah dasar berada pada fase operasional konkret. Pada fase
ini, anak-anak hanya dapat menerima informasi secara konkret, sehingga
kemampuan kognitif mereka tidak bekerja dengan baik ketika dihadapkan
pada gagasan yang abstrak (Berk, 2012). Hal ini memberikan tantangan
tersendiri bagi guru karena anak akan menerima segala informasi baik
tindakan maupun perkataan secara mentah.
Banyaknya tuntutan, peran dan beban tugas yang harus ditanggung
oleh guru tidak menutup kemungkinan membuat guru mengalami gangguan
kesehatan baik secara fisik maupun mental. Berdasarkan survei yang
dilakukan terhadap 86.000 karyawan melalui situs Jobplanet.com pada
Agustus 2015 hingga Januari 2017 tercatat bahwa guru berada di peringkat
14 dari 30 profesi yang mengalami stres kerja akibat beban kerja berupa
tanggung jawab dan besarnya tekanan yang harus dipikul (Dahwilani, 2017).
Beban kerja yang berdampak pada munculnya stres kerja dengan rentang
waktu yang lama, dapat membuat guru mengalami gangguan kesehatan baik
secara fisik maupun mental. Stres yang berkepanjangan dapat menimbulkan
depresi dan jika segera dapat diatasi, maka tidak akan berlangsung lama.
Akan tetapi, jika berlangsung lama dan cenderung menetap dapat membuat
seseorang mengalami burnout (Rahman, 2007). Burnout adalah penarikan
pengembangan konsep diri negatif pada pekerja, kelelahan emosional dan
fisik, merasa bersalah, tidak kompeten, cemas, sedih, mudah tersinggung,
serta harga diri menurun (Cherniss, 1987; Farber, 1991; Maslach, Schaufeli,
& Leiter, 2001).
Burnout ditandai dengan adanya kebosanan dan kelelahan dalam
menjalankan tugas atau pekerjaannya. Adanya burnout membuat semangat
dan gairah kerja para guru sekolah dasar menjadi menurun. Hilang atau
berkurangnya semangat dan gairah dalam bekerja dapat mengakibatkan
ketidakefektifan para guru sekolah dasar dalam menjalankan tugas-tugasnya
(Gibson, 1987). Menurut Maslach, Schaufeli, dan Leiter (2001), adanya
burnout memunculkan dampak negatif seperti menurunnya produktivitas
kerja guru dan berkurangnya kuantitas atau kualitas interaksi antar guru.
Hilangnya burnout membuat para pekerja mampu menjalankan tugas dan
pekerjaannya secara optimal.
Berdasarkan beberapa penelitian yang sudah dilakukan, terdapat
beberapa faktor yang memengaruhi munculnya burnout yang terbagi
menjadi faktor individu, sosial, organisasi. Faktor individu meliputi perilaku
coping, kepuasan kerja, dan kematangan emosi. Menurut Nugroho, Andrian,
dan Marselius (2012), semakin tinggi coping yang digunakan akan semakin
rendah munculnya burnout. Faktor kepuasan kerja dan perilaku koping juga
memengaruhi burnout. Hasil penelitian menunjukkan semakin efektif
perilaku koping yang digunakan maka semakin rendah burnout yang
rendah burnout yang dialami (Wardhani, 2012). Menurut Hanafi dan
Yuniasanti (2012), kematangan emosi merupakan salah satu faktor yang
memengaruhi munculnya burnout, semakin baik kematangan emosi
seseorang, maka semakin rendah burnout yang dialami.
Faktor sosial yang memengaruhi munculnya burnout adalah faktor
dukungan sosial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketidakpuasan
dengan dukungan yang diterima berpengaruh secara signifikan dengan
munculnya burnout (Fiorilli, dkk, 2015). Faktor organisasi yang
mempengaruhi munculnya burnout adalah faktor perubahan dalam
organisasi dan tuntutan pekerjaan. Menurut Aitken dan Schloss (1994),
adanya perubahan dalam organisasi merupakan faktor yang efektif dalam
mengurangi munculnya burnout.
Di antara berbagai faktor tersebut, peneliti memilih coping sebagai
variabel yang akan diuji dalam penelitian ini. Hal ini dikarenakan burnout
merupakan sindrom yang muncul karena adanya rekasi antara
person-environtment pada pekerjaan. Dimana stres yang dirasakan individu
merupakan perpaduan antara faktor-faktor dalam diri dan faktor-faktor di
dalam pekerjaan, yang menyebabkan individu tidak mampu berfungsi
sebagaimana mestinya. Coping menjadi salah satu faktor individu yang
dapat mendorong seseorang untuk mempertemukan tuntutan yang berasal
dari diri sendiri dan lingkungan, sehingga individu dapat menyesuaikan diri
dengan berbagai stres atau tekanan di lingkungan pekerjaan (Arumwardhani,
masalah, menangani emosi negatif, atau mengatasi situasi yang stressfull
dengan mengatur cara berpikir dan cara berperilaku yang bertujuan untuk
membebaskan diri atau bertahan dari masalah atau tuntutan baik nyata
maupun tidak nyata (Arumwardhani, 2011; Lazarus & Folkman, 1984;
Sarafino, 2008; Smet, 1994). Menurut Sarafino (2008), terdapat dua jenis
coping stres yaitu problem focused coping dan emotional focused coping.
Problem focused coping adalahusaha untuk mengurangi tuntutan dari situasi
yang dapat menimbulkan stres atau meningkatkan sumber daya untuk
menyesuaikan diri dengan situasi yang menyebabkan stres tersebut. Emotion
focused coping sebagai usaha untuk menurunkan emosi negatif yang
dirasakan ketika sedang menghadapi masalah atau tekanan.
Menurut Lazarus dan Folkman (1984), emotion focused coping
merupakan strategi coping yang bersifat sementara, karena yang dilakukan
individu dalam menghadapi situasi tertekan adalah dengan menghindar agar
tidak terlalu menderita akibat stres yang dialami, sementara masalah yang
dialami tidak diupayakan untuk dicari penyelesaiannya. Problem focused
coping merupakan coping yang berfokus pada usaha untuk mengontrol atau
memecahkan masalah, dengan tujuan menghilangkan sumber stressor.
Problem focused coping dilakukan dengan cara menemukan solusi yang
efektif, kemudian melakukan tindakan penyelesaian masalah sesuai solusi,
untuk mengubah situasi, keadaan, atau pokok permasalahan. (Fink, 2016;
Lazarus & Folkman, 1984; Lazarus dalam Martz & Livneh, 2007; Lazarus
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Holahan dan Moos (1987),
problem focused coping berhubungan dengan menurunnya tingkat depresi,
karena problem focused coping bertujuan untuk menyelesaikan masalah
hingga tuntas dan mengatasi masalah secara efektif. Sementara emotion
focused coping berhubungan positif dengan munculnya stres psikologis,
karena emotion focused coping dilakukan dengan cara mengelola emosi
dalam menghadapi masalah sehingga masalah tidak berkurang atau hilang
secara maksimal, dampaknya stres dapat meningkat dan menguatkan
munculnya masalah baru. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Yesamine
(2000) terkait hubungan problem focused coping dengan tingkat depresi
mahasiswa akhir, diperoleh hasil bahwa mahasiswa tingkat akhir yang
memiliki kecenderungan menggunakan problem focused coping yang tinggi,
akan mempunyai tingkat depresi yang lebih rendah, begitu juga sebaliknya.
Apabila tingkat depresi turun, maka tingkat burnout akan berkurang. Hal ini
didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan Bianci, Verkuilen, Brisson,
Schonfeld, dan Laurent (2016) terhadap guru sekolah, menunjukkan bahwa
burnout dan depresi adalah hal yang saling berhubungan.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan menggunakan MBI
(Maslach Burnout Inventory) menghasilkan bahwa burnout berhubungan
dengan kecemasan dan depresi (Maslach, Schaufeli, & Leiter, 2001).
Perbedaan yang antara burnout dan depresi terletak pada konteksnya.
Burnout adalah masalah yang secara spesifik terjadi pada konteks pekerjaan,
Burnout lebih terkait pada situasi yang khusus, yaitu pekerjaan, sedangkan
depresi lebih bersifat umum (Freudenberger, dalam Maslach, Schaufeli, &
Leiter, 2001). Namun, individu yang lebih rawan mengalami depresi
(diindikasi dengan tingginya skor neuroticism) akan lebih rentan mengalami
burnout (Maslach, Schaufeli, & Leiter, 2001).
Penelitian yang dilakukan Circenis, Deklava, dan Millere (2014)
mengatakan bahwa burnout adalah pengaruh negatif dari stres kerja.
Burnout menyebabkan para perawat menjadi kelelahan dan kurang
produktif, sehingga produktivitas kerja perawat menurun. Burnout akan
berdampak pula pada kesehatan fisik dan psikis, sehingga dapat
mengakibatkan karyawan tidak bekerja karena sakit. Burnout muncul karena
guru tidak mampu menyesuaikan diri dan menghadapi berbagai masalah
atau situasi stressfull pada lingkungan kerjanya. Oleh karena itu, guru harus
mampu memecahkan masalah dan menyesuaikan diri dengan berbagai
situasi yang menekan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Carson, dkk (1999), diketahui
bahwa burnout pada perawat kesehatan memiliki korelasi yang negatif dan
signifikan dengan strategi koping. Dari penelitian tersebut dapat diperoleh
data bahwa coping memengaruhi munculnya burnout pada seseorang yang
profesinya berhubungan secara langsung dengan resipien. Diantara dua
fungsi coping, problem focused coping merupakan coping yang lebih efektif
dalam memecahkan masalah dibandingkan dengan emotion focused coping
bukan pada permasalahan yang ada. Hal ini sesuai dengan pendapat Cary,
Philip, dan Michael (2001) bahwa problem focused coping lebih efektif
dibandingkan dengan emotion focused coping.
Pada penelitian - penelitian mengenai hubungan burnout dan problem
focused coping yang dilakukan sebelumnya, subjek yang digunakan adalah
perawat dan karyawan. Untuk itu, penelitian ini ingin melihat konteks lain,
yaitu guru sekolah dasar. Harapannya penelitian ini dapat semakin
memperluas konteks kaitan antara problem focused coping dan burnout.
B. Rumusan Masalah
Apakah ada hubungan antara problem focused coping dengan burnout
pada guru sekolah dasar.
C. Tujuan Penelitian
Menguji apakah ada hubungan antara problem focused coping dengan
burnout pada guru sekolah dasar.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pada
perkembangan ilmu pengetahuan terkhusus ilmu psikologi pendidikan
dan klinis tentang kaitan antara problem focused coping dan burnout
2. Manfaat Praktis
a. Bagi para guru sekolah dasar, penelitian ini diharapkan mampu
memberikan informasi mengenai burnout dan pentingnya
melakukan problem focused coping untuk mengurangi atau
mencegah munculnya burnout.
b. Bagi pihak sekolah, diharapkan penelitian ini mampu memberikan
informasi mengenai burnout yang dialami para guru. Sehingga
harapannya pihak sekolah dapat lebih memahami keadaan para
10
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Burnout
1. Pengertian Burnout
Stres merupakan suatu tekanan yang dialami individu dalam usaha
pencapaian target terhadap standar kebutuhan hidup manusia
(Arumwardhani, 2010). Menurut Santrock (2002), stres adalah respon
individu terhadap keadaan atau peristiwa yang mengancam dan menekan
individu serta mengurangi kemampuan-kemampuan mereka dalam
menghadapinya. Stres dapat muncul diberbagai domain kehidupan
manusia, salah satunya muncul dalam kehidupan kerja. Stres kerja
merupakan suatu keadaan yang timbul akibat interaksi antara manusia
dengan pekerjaannya (Beehr & Newman dalam Wijoyo, 2010). Menurut
Rulin (2004), stres kerja terjadi karena adanya tuntutan pekerjaan yang
tidak seimbang dengan kemampuan individu. King (2012) menyatakan
apabila stres pada individu ditempat kerja berlangsung secara terus
menerus sehingga individu mengalami kelelahan emosional dan motivasi
yang rendah untuk bekerja maka akan mempengaruhi munculnya
burnout. Individu yang mengalami stres kerja masih dapat
membayangkan atau berpikir, bahwa jika mereka dapat mengendalikan
semuanya, mereka akan merasa lebih baik. Akan tertapi, apabila
burnout berarti merasa kosong, tidak perhatian, dan tidak memiliki
motivasi terhadap pekerjaannya, serta tidak dapat melihat adanya
harapan perubahan positif dalam situasi mereka.
Burnout merupakan suatu proses transaksional, secara spesifik
terdiri dari tiga tahap. Tahap pertama melibatkan ketidakseimbangan
antara resources/sumber daya dan demand/tuntutan (stres). Tahap kedua
adalah respon emosional jangka pendek dan langsung terhadap
ketidakseimbangan tersebut, yang ditandai dengan perasaan cemas,
tension/ tegang, fatique/ kelelahan, dan exhaustion (strain). Tahap ketiga
adalah terdiri dari sejumlah perubahan dalam sikap dan perilaku, seperti
menarik diri dan kcenderungan untuk memperlakukan klien secara sinis
(Cherniss, 1987).
Gambar 1. Tahapan Burnout
Maslach, Schaufeli, dan Leiter (2001), mendefinisikan burnout
sebagai respons berkepanjangan terhadap stres emosional dan stres
interpersonal terhadap pekerjaan. Menurut Farber (1991) burnout adalah
individu tentang perbedaan yang signifikan antara usaha (input) dan
penghargaan (output). Persepsi ini dipengaruhi oleh faktor individu,
sosial, dan organisasi. Burnout sering terjadi pada orang yang
pekerjaannya berhadapan dengan klien yang bermasalah dan biasanya
ditandai dengan penarikan diri dan sikap sinis terhadap klien, kelelahan
emosional dan fisik, dan berbagai gejala psikologis, seperti mudah
tersinggung, cemas, sedih, serta menurunnya harga diri.
Menurut Cherniss (1987), burnout adalah penarikan psikologis dari
pekerjaan sebagai respons terhadap stres atau ketidakpuasan yang
berlebihan. Menurut Pines (dalam Farber 1991), burnout ditandai
dengan adanya pengembangan konsep diri yang negatif pada pekerja,
mereka merasa bersalah, tidak memadai, tidak kompeten dan sulit untuk
merasa nyaman dengan diri mereka sendiri di tempat kerja atau di
rumah.
Berdasarkan beberapa pendapat tentang burnout di atas dapat
disimpulkan bahwa burnout adalah penarikan psikologis dari pekerjaan
sebagai respons terhadap stres, ditandai dengan pengembangan konsep
diri negatif pada pekerja, kelelahan emosional dan fisik, merasa bersalah,
tidak kompeten, cemas, sedih, mudah tersinggung, harga diri menurun,
2. Aspek-aspek Burnout
Tiga aspek burnout menurut Maslach, Schaufeli, Leiter (2001), yaitu:
2.1. Kelelahan Emosional (Emotional Exhaustion)
Kelelahan emosi adalah perasaan yang terlalu berat dan
terkurasnya sumber daya emosi seseorang, ditandai dengan
hilangnya perasaan, perhatian, kepercayaan, minat dan semangat.
Sumber utama dari kelelahan ini adalah beban kerja dan konflik
pribadi di tempat kerja. Orang-orang yang merasa kehilangan
energi ini akan merasa hidupnya kosong, lelah, dan merasa
kesulitan atau tidak mampu mengatasi tuntutan pekerjaan karena
kesulitan berhadapan dengan orang lain.
2.2. Depersonalisasi (Depersonalization)
Depersonalisasi adalah kelelahan yang ditandai dengan
keengganan untuk melakukan hubungan sosial dengan orang lain.
Mereka merasa apapun pekerjaan yang dilakukan tidak bernilai
atau berharga. Sikap ini diwujudkan dengan perilaku yang acuh,
sinis, dan cenderung tidak memperhatikan kepentingan orang
lain.
2.3. Berkurangnya Penghargaan Diri Sendiri (Reduced Personal
Accomplishment)
Berkurangnya penghargaan pada diri sendiri merupakan
aspek yang ditandai dengan menurunnya self-efficacy, rendahnya
tidak memiliki kompetensi dan merasa tidak berhasil dalam
pekerjaannya. Individu yang mengalami kondisi ini cenderung
mengevaluasi prestasi yang dicapainya secara negatif. Selain itu,
aspek ini akan memunculkan perasaan tidak mampu dalam
membantu klien, sehingga menyebabkan rasa putus asa pada diri
sendiri yang mengakibatkan kegagalan pada pekerja.
3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Burnout
Faktor yang memengaruhi burnout dapat ditemukan pada individu,
organisasi, dan sosial. Faktor-faktor tersebut antara lain:
3.1. Faktor Individu
Pines (dalam Farber, 1991) mencatat bahwa guru yang
cenderung idealis dan antusias paling rentan mengalami burnout.
Burnout lebih mungkin disebabkan karena individu berusaha untuk
memenuhi target ideal dalam pekerjaan mereka. Sikap idealis dan
komitmen guru mendasarkan harga diri mereka atas pencapaian
suatu tujuan. Memiliki tujuan yang terlalu tinggi dan tidak realistis
adalah faktor yang kuat dari munculnya burnout pada professional
helpers.
Menurut Farber (1991), beberapa variabel demografi berkaitan
dengan terjadinya stres dan burnout pada guru. Berdasarkan
beberapa penelitian yang telah dilakukan, menemukan bahwa stres
perempuan (Farber, 1991). Perempuan dianggap lebih tangguh
daripada laki-laki, dalam hal kesiapan atau secara temperamen
lebih mampu menghadapi banyak tekanan dalam mengajar. Selain
itu, berdasarkan sejarah perkembangan, perempuan lebih memiliki
hubungan interpersonal yang sensitif, memiliki keterampilan dalam
menjalin relasi yang lebih baik, dan lebih mampu menggunakan
support networks dibandingkan laki-laki (Greenglass and Burke,
1988; dalam Farber 1991).
Selain jenis kelamin, usia juga mempengaruhi munculnya stres
dan burnout pada guru. Guru dengan usia 40 tahun ke bawah
paling berisiko mengalami gangguan terkait stres. Guru di usia dua
puluhan lebih cenderung dibebani dengan harapan yang tidak
realistis, guru yang berusia dua puluhan dan tiga puluhan lebih
terlibat dalam proses membangun identitas dan berkomitmen
secara stabil untuk menjadi guru yang profesional (Farber, 1991).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Hanafi dan Yuniasanti
(2012), kematangan emosi adalah faktor individu yang memiliki
hubungan negatif dan signifikan dengan burnout pada perawat.
Semakin tinggi kematangan emosi perawat maka kecenderungan
burnout menjadi semakin rendah, begitu juga sebaliknya.
Kategori lain dari faktor individu yang mempengaruhi burnout
adalah coping. Menurut Foley dan Murphy (2015) coping
perkembangan stres dan burnout. Coping dapat didefinisikan
sebagai upaya yang dibuat individu, baik dalam bentuk perilaku
maupun kognitif, untuk mengubah lingkungan mereka dan atau
mengatur emosi untuk merespon situasi stressfull (Arnold et al.,
2010, dalam Foley & Murphy, 2015). Hobfoll dan Freedy (dalam
Cary, Philip, & Michael, 2001) menyatakan bahwa coping
merupakan sumber daya yang tersedia dalam setiap diri individu.
Lazarus dan Folkman (dalam Cary, Philip, dan Michael, 2001)
secara khusus membedakan coping sebagai problem focused
coping yang secara proaktif dapat menghilangkan sumber-sumber
burnout dan escapist coping yang bertujuan untuk menghindari
sumber-sumber burnout. Problem focused coping berhubungan
negatif dengan burnout sedangkan escapist coping berhubungan
positif dengan tingkat burnout. Menurut Foley dan Murphy (2015),
active coping memiliki hubungan yang negatif dengan burnout,
sedangkan passive coping memiliki hubungan positif dengan
burnout.
3.2. Faktor Sosial
Perubahan hidup dapat membuat pekerja sangat rentan
terhadap stres kerja atau burnout. Terdapat hubungan antara
banyaknya jumlah dan jenis perubahan dalam kehidupan seseorang
dengan timbulnya penyakit dalam waktu satu tahun (Homes and
positif (seperti menikah) ataupun yang bersifat negatif (seperti
kematian atau perceraian). Kondisi tersebut dapat memicu
terjadinya stres karena individu harus menyesuaikan diri dengan
pola baru.
Penelitian yang telah dilakukan Fiorilli, Gabola, Pepe, Meylan,
Churhod-Reudi, Alabanese, dan Doubin (2015), menunjukkan
bahwa faktor ketidakpuasan akan dukungan sosial yang diterima
berhubungan secara signifikan dengan burnout pada guru.
3.3. Faktor Organisasi
Beehr (2014), adanya stresor dalam lingkungan kerja seperti
tuntutan untuk berperan profesional, kondisi kerja, desain kerja,
dan hubungan interpersonal dengan klien dapat mempengaruhi
munculnya burnout. Menurut Maslach, Schaufeli, dan Leiter
(2001), burnout dipengaruhi oleh adanya beban kerja, waktu kerja
yang berlebihan, dan banyaknya klien yang harus dilayani.
Faktor organisasi lain yang diteliti Aitken dan Schloss (1994),
mengungkapkan bahwa perubahan organisasi secara efektif dapat
mengurangi stres dan burnout. Perubahan organisasi dapat
dilakukan dengan mengatur institutional yang dirancang untuk
mengurangi role overload, role ambiguity, dan role boundary
conflict. Menurut Maslach, Schaufeli, dan Leiter (2001) adanya
role conlict dan role ambiguity dalam organisasi secara bersamaan
B. Problem Focused Coping
1. Pengertian Coping
Stres merupakan suatu kondisi dimana individu menanggapi baik
secara mental maupun fisik keadaan atau peristiwa yang dirasa
mengganggu akibat perasaan terancam. Kondisi tersebut mendorong
individu untuk memecahkan masalah dan situasi yang menekan
(stressor). Menurut Sarafino (2008), coping merupakan suatu proses
dimana individu mencoba untuk mengelola jarak yang ada diantara
tuntutan-tuntutan dengan sumber daya yang mereka gunakan dalam
menghadapi situasi stressful. Coping adalah suatu strategi pemecahan
masalah berupa proses atau usaha untuk mempertemukan tuntutan dari
dalam diri sendiri dan tuntutan dari lingkungan (Arumwardhani, 2011).
Menurut Smet (1994), coping adalah segala usaha untuk mengatasi suatu
situasi baru yang secara potensial dapat mengancam, menimbulkan
frustasi, dan tantangan.
Berdasarkan beberapa pendapat tentang coping di atas dapat
disimpulkan bahwa coping adalah strategi atau upaya yang dilakukan
untuk mengatasi masalah, menangani emosi negatif, atau mengatasi
situasi yang stressful dengan cara mengatur cara berpikir dan cara
berperilaku yang bertujuan untuk membebaskan diri atau bertahan dari
2. Pengertian Problem Focused Coping
Problem focused coping merupakan usaha untuk mengontrol atau
mengubah sumber-sumber stres dengan cara mempelajari keterampilan
baru, menghilangkan hambatan atau rintangan, dan mencari
alternatif-alternatif solusi pemecahan masalah (Snyder, Lopez, dan Pedeotti,
2011). Menurut Lazarus dan Folkman (dalam Steptoe, 2010), problem
focused coping merupakan salah satu coping yang berfokus pada
stressor itu sendiri. Problem focused coping melibatkan pengambilan
langkah-langkah untuk menghilangkan stressor, sehingga mengurangi
munculnya dampak fisik karena situasi stress.
Menurut Lazarus (dalam Martz & Livneh, 2007) problem focused
coping melibatkan strategi pemecahan masalah dari sumber stres, seperti
membuat rencana tindakan pemecahan masalah atau berfokus pada
langkah-langkah selanjutnya dalam mengatasi masalah yang ada.
Problem focused coping merupakan coping yang berfokus pada
pemecahan masalah yang dihadapi dengan mengubah situasi stress yang
ada. Strategi yang dilakukan adalah dengan menemukan akar masalah
yang ada, mencari alternatif-alternatif solusi, membandingkan berbagai
alternatif yang didapat mana yang lebih efektif digunakan, lalu memilih
solusi dari perbandingan tersebut, dan melakukan tindakan sesuai
dengan solusi yang didapat (Fink, 2016).
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan
usaha untuk mengontrol atau memecahkan masalah, dengan tujuan
menghilangkan sumber stressor yang dilakukan dengan cara menemukan
solusi yang efektif, kemudian melakukan tindakan penyelesaian masalah
sesuai solusi, untuk mengubah situasi, keadaan, atau pokok
permasalahan.
3. Aspek-aspek Problem Focused Coping
Menurut Lazarus dan Folkman (dalam Triantoro & Nofrans, 2009),
aspek-aspek yang dimiliki problem focused coping adalah:
3.1. Konfrontasi
Konfrontasi adalah cara individu menghadapi permasalahan
secara langsung. Individu akan berpegang teguh pada pendiriannya
dan mempertahankan apa yang diinginkannya untuk mengubah
situasi stres secara agresif dengan adanya keberanian mengambil
resiko. Pada aspek ini, individu cenderung memiliki prinsip-prinsip
dalam hidupnya dan tidak mudah terombang-ambing dengan
keputusan atau pendapat orang lain. Pengambilan tindakan secara
langsung merupakan active coping, dimana individu mengambil
langkah-langkah aktif untuk menghilangkan, menghindari tekanan
dan memperbaiki pengaruh dampaknya. Contoh: ketika seorang
siswa tidak memahami materi pembelajaran, maka ia akan terus
3.2. Mencari dukungan sosial
Mencari dukungan sosial merupakan usaha individu untuk
mendapatkan bantuan dari orang lain, misalnya teman maupun
keluarga. Dukungan yang dicari merupakan dukungan sosial secara
instrumental, artinya individu akan mencari dukungan dari orang
disekitar untuk mendapatkan nasihat, informasi, atau bimbingan.
Contoh: ketika seorang siswa tidak memahami materi
pembelajaran, maka ia akan mencari bantuan dari teman, guru les,
atau orangtuanya yang dianggap ahli untuk mendapatkan
pemahaman terkait materi tersebut.
3.3. Merencanakan pemecahan masalah
Individu akan membuat perencanaan yang lebih baik sebelum
melakukan sesuatu hal. Merencanakan pemecahan masalah
merupakan usaha yang dilakukan individu untuk memikirkan,
membuat, dan menyusun rencana pemecahan masalah agar
masalah terselesaikan. Aspek ini melibatkan strategi-strategi
tindakan yang dilakukan dan menentukan cara penanganan terbaik
untuk menyelesaikan masalah. Kemudian, tindakan akan
diterapkan atau dilakukan berdasarkan perencanaan yang ada.
Contoh: Siswa mendapatkan beberapa tugas dari gurunyanya,
maka ia membuat perencanaan tugas mana dahulu yang akan
C. Guru
1. Pengertian guru
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005), yang dimaksud
dengan guru adalah orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya,
profesinya) mengajar. Berdasarkan Undang-undang nomor 14 Tahun
2005 tentang guru dan dosen, guru adalah pendidik profesional yang
memiliki tugas utama untuk mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan dan melatih, menilai, serta mengevaluasi peserta yang
dididik pada pendidikan formal di jenjang anak usia dini, pendidik dasar,
dan menengah.
Menurut Suparlan (2006), guru adalah orang yang bertugas untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa dalam berbagai aspek baik spiritual dan
emosional, intelektual, fisikal, dan aspek lainnya. Secara formal dan
legal guru adalah individu yang memperoleh surat keputusan (SK), baik
dari pemerintah maupun pihak swasta untuk mengajar.
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan
bahwa guru adalah orang yang secara legal formal memperoleh surat
keputusan (SK), yang pekerjaannya mengajar, mendidik, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didiknya dari
berbagai aspek spiritual, emosional, intelektual, fisikal, dan aspek
2. Peran guru
Menurut Suparlan (2006) guru memiliki tugas dan peran yang
tidak dapat dipisahkan sebagai:
2.1. Pendidik
Guru merupakan sosok panutan bagi siswanya. Guru memiliki
nilai moral dan agama yang patut ditiru diteladani siswa. Segala
sikap dan perilaku guru baik secara langsung mapun tidak
langsung dapat ditiru, diikuti dan dijadikan teladan bagi siswa.
2.2. Pengajar
Guru dituntut untuk memiliki pengetahuan yang luas terkait
disiplin ilmu yang diampu untuk mengajar siswa. Sehingga guru
harus menguasai materi yang akan diberikan, menguasai
penggunaan strategi dan metode mengajar yang akan digunakan
untuk menyampaikan bahan ajar. Selain itu, guru juga diharuskan
untuk menentukan alat evaluasi pendidikan yang bertujuan untuk
menilai hasil belajar siswa, aspek-aspek manajemen kelas, dan
dasar-dasar kependidikan.
2.3. Pembimbing
Guru diharapkan mampu membimbing siswanya, memberikan
dorongan psikologis agar siswa dapat mengatasi faktor-faktor
internal dan eksternal yang dapat menganggu proses belajar. Guru
juga diharapkan mampu membantu dan membina siswanya dalam
2.4. Pelatih
Guru diharuskan mengajak siswa untuk menerapkan teori-teori
yang sudah didapatkan untuk dipraktekkan dan digunakan secara
langsung dalam kehidupan. Melalui praktek siswa dapat
memperoleh pengalaman belajar yang lebih banyak.
D. Dinamika Hubungan antara Problem Focused Coping dan Burnout
pada Guru Sekolah Dasar
Guru sekolah dasar merupakan pendidik profesional yang harus
berinteraksi langsung dengan para siswanya. Oleh karena itu guru memiliki
berbagai peran yang harus diperhatikan saat melakukan proses belajar
mengajar. Mendidik, mengajar, membimbing, dan melatih merupakan peran
dan tugas yang harus dilaksanakan oleh guru (Suparlan, 2006). Setiap peran
dan tugas yang dijalankan mengharuskan guru untuk bertindak profesional.
Kondisi dan tuntutan pekerjaan guru tersebut membutuhkan pelibatan emosi
yang tinggi. Karakter dan perilaku siswa yang beragam pasti akan
memunculkan berbagai pengalaman negatif dengan siswanya (Maslach,
dalam Sujipto, 2001).
Tuntutan untuk bertindak profesional dalam menjalankan perannya
sebagai guru memunculkan adanya beban tugas. Dalam proses belajar
mengajar, tidak menutup kemungkinan akan ditemukan berbagai masalah,
kendala, dan pengalaman negatif yang dapat disebabkan siswa, rekan kerja,
ketegangan emosional. Apabila dialami secara terus menerus maka akan
mengakibatkan munculnya burnout.
Selain itu, adanya perubahan dalam kehidupan yang dijalani guru akan
berdampak pada munculnya stres kerja dan burnout. Semakin banyak
jumlah dan jenis perubahan dalam kehidupan seseorang dapat
mengakibatkan munculnya penyakit (Homes and Rahe, dalam Farber 1991).
Guru yang mengalami burnout akan mengalami kelelahan emosional. Hal
ini ditandai dengan hilangnya minat dan semangat dalam bekerja. Kelelahan
emosional yang dirasakan guru bersumber dari adanya beban kerja dan
konflik pribadi di tempat kerja. Dampak dari munculnya burnout adalah
menurunnya produktivitas dan banyaknya kesalahan guru dalam
menjalankan tugas (Nitisemo, 1982). Hal tersebut akan merugikan dirinya
sendiri, karena burnout dapat membuat guru menjadi cemas dan rentan
terhadap gangguan fisik maupun psikis (Corrigan, 1995).
Kelelahan yang dialami guru sekolah dasar akan berdampak pula pada
munculnya rasa enggan untuk melakukan interaksi sosial dengan orang lain.
Guru sekolah dasar akan merasa apapun pekerjaan yang dilakukan tidak
bernilai atau tidak berharga. Adanya perasaan-perasaan tersebut
memunculkan perilaku sinis, acuh, dan tidak memperhatikan kepentingan
orang lain. Selain itu, ketika mengalami burnout guru sekolah dasar akan
merasa dirinya tidak berhasil dalam mencapai target yang ada, yang
motivasinya menurun. Dampaknya muncul perasaan tidak mampu dalam
membantu klien dan menjadi putus asa (Maslach, Schaufeli, & Leiter, 2001).
Oleh karena itu, guru harus mampu mengatasi, menghadapi, dan
beradaptasi dengan situasi dan kondisi yang memicu stres dalam
menjalankan tuntutan pekerjaannya. Coping merupakan salah satu strategi
yang dapat memengaruhi munculnya burnout pada guru (Carson, 1999).
Melalui perilaku coping, guru dapat menanggapi segala situasi dan
permasalahan yang ada untuk bertahan ataupun terhindar dari stres. Coping
yang memiliki pengaruh besar dalam menurunkan depresi adalah problem
focused coping (Holman & Moos, 1987). Problem focused coping
merupakan strategi coping yang lebih berfokus pada masalah, dan bertujuan
untuk menyelesaikan atau memecahkan masalah dengan cara yang efektif
berupa langkah-langkah untuk menghilangkan stressor, sehingga
mengurangi munculnya dampak fisik karena situasi stres yang dapat memicu
burnout (Lazarus & Folkman dalam Steptoe, 2010).
Penggunaan problem focused coping dapat membantu guru sekolah
dasar dalam mengatasi stres secara efektif. Holahan dan Moos (1987)
mengatakan bahwa problem focused coping memiliki fungsi yang relatif
efektif dalam menurunkan tingkat depresi seseorang. Depresi seseorang
dapat menurun karena individu yang menggunakan problem focused coping
akan memfokuskan dirinya untuk menyelesaikan dan memecahkan masalah
atau sumber stressor yang ada dengan solusi-solusi yang sudah
stressor maka individu dapat menjalankan fungsinya secara efektif.
Penggunaan problem focused coping dapat membantu guru sekolah dasar
dalam mengahadapi tuntutan dan beban pekerjaan yang ada. Sehingga guru
dapat menjalankan tugasnya secara efektif dan profesional.
Konfrontasi merupakan salah satu aspek dari problem focused coping
yang mendorong individu untuk berani dalam menghadapi masalah secara
langsung dan aktif. Guru yang memiliki aspek konfrontasi akan
menggunakan prinsip-prinsip dalam hidupnya untuk menemukan strategi
pemecahan masalah dan tidak akan mudah goyah dengan keputusan atau
pendapat orang lain. Dukungan sosial berupa bantuan instrumental seperti
mendapat nasihat, informasi, atau bimbingan dari orang lain merupakan
salah satu aspek dari problem focused coping. Ketika menghadapi masalah
yang memicu kondisi stres, guru dengan aspek ini akan mencari bantuan dari
orang lain seperti keluarga atau teman kerja untuk menyelesaikan masalah.
Problem focused coping juga mendorong guru untuk membuat perencanaan
dalam menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi. Perencanaan
pemecahan masalah berisi strategi, cara, atau tindakan yang akan dilakukan
untuk menangani masalah yang ada secara efektif.
Penggunaan problem focused coping membantu guru dalam
menyelesaikan berbagai masalah pekerjaan yang memicu stres yang akan
berdampak pada burnout. Ketika guru dihadapkan pada berbagai masalah
yang disebabkan karena banyaknya tuntutan dan beban pekerjaannya,
membantu guru memecahkan masalah. Begitu juga sebaliknya, guru yang
tidak dapat menyesuaikan diri dengan situasi stressful dan guru yang tidak
dapat menyelesaikan masalah yang ada akan memiliki kemungkinan yang
besar untuk mengalami burnout (Carson, 1999; Circenis, Deklava, &
Millere, 2014; Nugroho, Andrian, & Marselius, 2012).
Apabila guru dapat menanggapi masalah dan situasi penuh tekanan
dengan menggunakan problem focused coping secara efektif, maka guru
akan mampu menghadapi masalah secara langsung dan aktif dengan
berbagai strategi yang sudah dipikirkan dan direncakan untuk mendapatkan
solusi yang efektif, baik solusi yang didapatkan dari pemikiran atau prinsip
pribadi, ataupun solusi yang didapatkan dari adanya bantuan instrumental
dari orang lain. Oleh karena itu, ketika problem focused coping yang
digunakan cenderung tinggi, maka guru sekolah dasar mampu
menyelesaikan permasalahan yang ada sehingga kemungkinan munculnya
burnout akan menurun. Hal ini disebabkan karena beban, tuntutan, dan
permasalahan dalam pekerjaan langsung dihadapi dan diselesaikan, sehingga
menurunkan kemungkinan munculnya kelelahan emosional dan
depersonalisasi, serta dapat menumbuhkan penghargaan terhadap diri yang
baik. Ketika beban kerja dan konflik pribadi di tempat kerja langsung diatasi
dan diselesaikan maka kelelahan emosional akan menurun, sehingga guru
sekolah dasar tidak merasa hidupnya kosong, lelah, kesulitan untuk
mengatasi tuntutan pekerjaan, dan tidak kesulitan ketika berhadapan dengan
karena dengan terselesaikannya masalah membuat guru tidak hanya
memfokuskan dirinya pada konflik dan beban kerja yang ada, maka sikap
sinis, acuh, dan perasaan sulit untuk berhadapan dengan orang lain akan
menurun, sehingga guru tidak merasa enggan untuk melakukan hubungan
sosial. Selain itu adanya perilaku problem focused coping yang tinggi akan
membuat guru merasa mampu dalam menjalankan tugasnya karena segala
permasalahan, beban kerja, dan tuntutan pekerjaan terselesaikan.
Dampaknya penghargaan terhadap diri sendiri menjadi lebih baik, guru
memiliki motivasi untuk bekerja, dan munculnya sikap percaya diri dalam
E. Skema Hubungan antara Problem Focused Coping dan Burnout
Gambar 2. Skema Dinamika antar Variabel
PROBLEM FOCUSED
Konfrontasi Mencari
dukungan sosial
Merencanakan pemecahan masalah
Problem Focused Coping Tinggi
-Mampu menghadapai permasalah secara langsung dan aktif
-Mampu mempertahankan pendirian dalam menyelesaikan masalah
-Mampu mengubah situasi
-Mendapatkan bantuan instrumental
-Mampu memikirkan dan menemukan solusi
-Melakukan tindakan untuk menyelesaikan masalah
Burnout Rendah
-Kelelahan emosional menurun: guru menjadi lebih bersemangat dalam bekerja, tidak mudah marah, dan lebih fokus saat bekerja.
-Depersonalisasi menurun:guru lebih peka dengan lingkungan sekitarnya, tidak bersikap sinis, dan mampu menjalin interaksi sosial yang lebih baik dengan rekan kerja atau siswa
-Penghargaan terhadap diri baik: guru merasa puas dengan apa yang dikerjakan, guru merasa percaya diri dengan usaha yang dilakukan, motivasi kerja meningkat.
F. Hipotesis
Berdasarkan landasan teori di atas penulis mengajukan hipotesis
bahwa terdapat hubungan negatif antara problem focused coping dengan
burnout pada guru SD. Semakin tinggi problem focused coping yang
digunakan maka semakin rendah burnout yang akan dialami, sebaliknya
semakin rendah problem focused coping yang digunakan maka semakin
32
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. JENIS PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah kuantitatif, yaitu metode
yang menggunakan data-data berupa angka untuk dianalisis dan diolah
dengan metode statistika (Azwar, 2009). Jenis penelitian ini adalah
penelitian korelasional yang bertujuan untuk menyelidiki sejauh mana
variasi pada satu variabel berkaitan dengan variasi pada satu atau lebih
variabel lain. Tujuan dari penelitian ini adalah menguji hubungan antara
problem focused coping dengan burnout pada guru sekolah dasar.
B. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN
Variabel-variabel yang ada dalam penelitian dapat diidentifikasikan
sebagai berikut:
1. Variabel bebas : problem focused coping
2. Variabel tergantung : burnout
C. DEFINISI OPERASIONAL
1. Burnout
Burnout adalah sindrom psikologis dari pekerjaan sebagai respon
terhadap stres, yang ditandai dengan kelelahan emosional,
diukur dengan menggunakan skala burnout. Skala burnout disusun oleh
peneliti berdasarkan aspek-aspek burnout menurut Maslach, Schaufeli,
dan Leiter, (2001) dengan menggunakan skala likert. Skor burnout
didapat dari jumlah skor ketiga aspek yang ada. Semakin tinggi skor
total yang didapatkan maka semakin tinggi kecenderungan seseorang
mengalami burnout.
2. Problem Focused Coping
Problem Focused Coping merupakan cara menghadapi suatu tekanan
dengan berfokus pada masalah yang ada, dengan melakukan tindakan
konfrontasi, mencari dukungan sosial, dan merencanakan pemecahan
masalah, yang diungkap menggunakan skala problem focused coping.
Skala problem focused coping disusun peneliti berdasarkan aspek-aspek
problem focused coping menurut Folkman dan Lazarus (dalam Triantoro
& Nofrans, 2009) dengan menggunakan skala likert. Skor problem
focused coping dihitung berdasarkan skor total semua aspeknya.
Semakin tinggi nilai skor maka semakin cenderung tinggi seseorang
melakukan problem focused coping.
D. SUBJEK PENELITIAN
Subjek yang digunakan pada penelitian ini adalah guru sekolah
dasar. Pemilihan subjek menggunakan cara purposive sampling. Kriteria
memiliki usia maksimal 40 tahun. Pemilihan usia dilakukan berdasarkan
teori yang dikemukakan oleh Farber (1991) bahwa guru yang berusia
dibawah 40 tahun lebih mudah mengalami burnout daripada yang guru yang
berusia lebih tua. Guru yang berusia dua puluhan dan tiga puluhan
cenderung dibebani dengan harapan yang tidak realisits dan cenderung lebih
terlibat dalam proses membangun identitas dan berkomitmen secara stabil
untuk menjadi guru profesional. Selain itu, menurut Schaeufeli dan Buunk
(dalam Cary, Philip, dan Michael, 2001) pekerja layanan yang berusia lebih
muda akan lebih rentan terhadap burnout. Dengan demikian, pemilihan
subjek tersebut diharapkan akan memberikan konstribusi maksimal bagi
masyarakat.
E. METODE DAN ALAT PENGUMPULAN DATA
Data dalam penelitian ini dikumpulkan melalui penyebaran skala
untuk diisi oleh subjek. Skala yang digunakan dibuat secara khusus oleh
peneliti berdasarkan aspek-aspek yang sudah ditentukan. Peneliti tidak
mengadaptasi MBI (Masclah Burnout Inventory) alat ukur yang sudah ada
dengan tujuan untuk menghidari adanya bias budaya. Akan tetapi, peneliti
tetap melihat MBI (Masclah Burnout Inventory) sebagai referensi dalam
membuat item dan mengambil kemudian memodifikasi beberapa item yang
sesuai dengan indikator pada blueprint. Tahapan penyusunan skala adalah
1. Penyusunan Blue Print
1.1.Skala Burnout
Skala burnout dibuat oleh peneliti berdasarkan aspek burnout
menurut Maslach, Schaufeli, dan Leiter (2001). Aspek tersebut yaitu,
kelelahan emosional (emotional exhaustion), depersonalisasi
(depersonalization), dan berkurangnya penghargaan terhadap diri
sendiri (reduced personal accomplishment). Berikut adalah blueprint
dan distribusi atau sebaran item dari skala burnout dapat dilihat pada
tabel ini:
Tabel 1
Tabel Blue-Print Skala Burnout (sebelum tryout)
Aspek Indikator Nomor Item Jumlah Bobot
1.2. Skala Problem Focused Coping
Skala problem focused coping yang disusun berdasarkan
aspek konfrontasi, mencari dukungan sosial, dan merencanakan
pemecahan masalah menurut Lazarus dan Folkman (dalam
Triantoro & Nofrans, 2009). Blueprint dan distribusi atau sebaran
item dari skala problem focused coping dapat dilihat pada tabel 2:
Tabel 2
Tabel Blue-Print Skala Problem Focused Coping (sebelum tryout)
Aspek Indikator Nomor Item Jumlah Bobot
2. Penulisan Item
Penulisan item dilakukan sesuai dengan blueprint yang sudah
dibuat dan ditetapkan pada masing-masing skala. Skala burnout terdiri
dari 60 item, dimana tiap indikatornya memiliki 6 item yang dibagi
dalam bentuk favorable dan unfavorable. Skala problem focused coping
terdiri dari 56 item dengan jumlah 8 item untuk masing-masing
indikator, yang dibagi dalam bentuk favorable dan unfavorable.
Penentuan jumlah tersebut dimaksudkan untuk mengantisipasi problem
item mortality setelah instrumen diujicobakan. Selain itu, jumlah item
yang tidak terlalu besar juga dipertimbangkan agar tidak mengganggu
waktu kerja subjek dan bertujuan untuk mengantisipasi kelelahan dan
kebosanan subjek ketika mengisi skala.
Metode pengumpulan data untuk mengukur burnout dan problem
focused coping subjek menggunakan jenis skala likert. Subjek akan
diminta untuk memberikan jawaban yang paling menggambarkan
kondisi subjek yang sebenarnya. Jawaban dari setiap pernyataan yang
ada menunjukkan kesetujuan atau ketidaksetujuan subjek. Respon
tersebut dipaparkan dalam sebuah kontinum yang terdiri atas empat
respon yang dibagi dalam dua kategori, yaitu pernyataan favorable dan
pernyataan unfavorable. Pernyataan yang bersifat favorabel merupakan
pernyataan-pernyataan yang jika dipilih akan bersifat positif atau
unfavorabel merupakan pernyataan-pernyataan yang jika dipilih akan
bersifat negatif atau tidak mendukung variabel yang akan diukur.
Jika pernyataan bersifat favorabel maka masing-masing respon
diberi skor 4 (sangat setuju), 3 (setuju), 2 (tidak setuju), dan 1 (sangat
tidak setuju). Pernyataan yang bersifat unfavorable, masing-masing
respon diberi skor 1 (sangat setuju), 2 (setuju), 3 (tidak setuju), dan 4
(sangat tidak setuju). Pada skala burnout dan problem focused coping
tidak tersedia pilihan jawaban netral. Hal ini dilakukan dengan tujuan
untuk menghindari kecenderungan subjek dalam memberikan jawaban
yang bersifat central tendency effect, yang akan berdampak pada
rendahnya tingkat validitas (Kline, dalam Supraktiknya, 2014).
3. Review dan Revisi Item
Review dan revisi item dilakukan setelah semua item selesai dibuat
sesuai dengan blueprint pada masing-masing skala. Peneliti
memeriksakan item-item tersebut pada dosen pembimbing. Semua item
yang telah dibuat akan di-review oleh dosen pembimbing dengan
memeriksa ketepatan dan kesesuaian antara isi item dengan definisi tiap
aspek yang sudah diturunkan menjadi indikator. Selain isi item,
pemeriksaan juga dilakukan untuk melihat tata bahasa, ejaan, pemilihan
dan penggunaan kata pada kalimat disetiap itemnya. Setelah dilakukan
dengan memperbaikinya sesuai dengan catatan-catatan yang diberikan
oleh dosen pembimbing.
4. Validitas Isi
Pemeriksaan validitas isi dilakukan dengan tujuan untuk melihat
relevansi atau taraf kesesuaian dan ketepatan item dengan variabel yang
diukur (Supraktiknya, 2014). Data yang digunakan untuk menguji
validitas isi diperoleh dari hasil penilaian subject matter expert (dosen
pembimbing) dan lima peer judgement yang berkompeten atau
berpengalaman dalam pembuatan alat ukur psikologis. Para penilai
diminta untuk menyatakan apakah isi suatu item relevan dengan
indikator yang ada pada setiap aspeknya, sehingga dapat mendukung
tujuan ukur tes. Penilai diminta untuk memberikan nilai 1 apabila isi
item tidak relevan dengan indikator yang ada, nilai 2 apabila isi item
kurang relevan, nilai 3 apabila isi item cukup relevan dan nilai 4
diberikan apabila isi item relevan dengan indikator yang ada.
Uji validitas didapatkan dengan menghitung nilai IVI-I (Indeks
Validitas Isi-Item) dan jumlah nilai IVI-S (Indeks Validitas Isi-Skala)
pada tiap itemnya. Nilai IVI-I (Indeks Validitas Isi-Item) didapatkan
dengan menghitung rata-rata keseluruhan penilai pada masing-masing
item. Apabila rata-rata yang didapatkan ≥ 0,8 maka item dapat dipakai,
apabila rata-ratanya 0,5 – 0,6 maka item dapat dipakai dengan perbaikan,
gugur. Setelah menghitung jumlah nilai IVI-I (Indeks Validitas Isi-Item)
maka nilai IVI-S (Indeks Validitas Isi-Skala) didapatkan dari jumlah
nilai IVI-I (Indeks Validitas Isi-Item) yang dibagi dengan banyaknya
item pada skala. Suatu alat ukur dinyatakan valid apabila skor IVI-S
(Indeks Validitas Isi-Skala) yang didapatkan ≥ 0,9. Artinya, skala yang
mencapai IVI-S minimum 0,9 dinyatakan memiliki validitas isi yang
memuaskan.
Berdasarkan uji validitas telah dilakukan, skala burnout memiliki
nilai IVI-S (Indeks Validitas Isi-Skala) sebesar 0,91 dan skala problem
focused coping memiliki nilai IVI-S (Indeks Validitas Isi-Skala) sebesar
0,98. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimbulkan bahwa skala burnout
dan skala problem focused coping merupakan skala yang valid atau
memiliki validitas isi yang baik untuk digunakan sebagai alat ukur
penelitian.
5. Uji Coba Pendahuluan
Pada tahap ini, peneliti secara informal melakukan uji coba pada 9
sampel subjek sesuai dengan karakteristik subjek penelitian. Uji coba
pendahuluan bertujuan untuk mencegah atau meminimalisir kesalahan
pengerjaan. Melalui uji coba pendahuluan peneliti dapat mengetahui
rata-rata waktu yang diperlukan untuk mengisi skala. Selain itu, uji coba
pendahuluan juga bermanfaat untuk mengetahui apakah petunjuk