• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DENGAN PROBLEM-FOCUSED COPING PADA SISWA SMU PROGRAM SEKOLAH BERTARAF INTERNSIONAL (SBI)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DENGAN PROBLEM-FOCUSED COPING PADA SISWA SMU PROGRAM SEKOLAH BERTARAF INTERNSIONAL (SBI)"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL

DENGAN PROBLEM-FOCUSED COPING PADA SISWA SMU PROGRAM SEKOLAH BERTARAF INTERNSIONAL (SBI)

Anggit Dwi Jayanti Mira Aliza Rachmawati

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara dukungan sosial dengan problem-focused coping pada siswa SMU program Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Dugaan awal yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif antara dukungan sosial dengan problem-focused coping pada siswa SMU program Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Semakin tinggi dukungan sosial yang diterima, semakin tinggi problem-focused coping. Sebaliknya semakin rendah dukungan sosial yang diterima, semakin rendah problem-focused coping.

Subjek dalam penelitian ini adalah siswa SMU Negeri 1 Kotagajah, Lampung Tengah, baik laki-laki maupun perempuan yang merupakan siswa program Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), yang duduk di bangku kelas sepuluh (kelas satu), kelas sebelas (kelas dua) dan kelas duabelas (kelas tiga), yang berusia 14 sampai 18 tahun, yang berjumlah 69 orang. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan teknik purposive sampling. Adapun skala yang digunakan adalah skala problem-focused coping yang mengacu pada aspek yang dikemukakan oleh Aldwin dan Revenson (1987) yang berjumlah 37 aitem, dan skala dukungan sosial yang mengacu pada aspek yang dikemukakan oleh Taylor (1995), yang berjumlah 35 aitem.

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan fasilitas program SPSS versi 11,5 untuk menguji apakah terdapat hubungan antara dukungan sosial dengan problem-focused coping. Korelasi product moment dari Pearson menunjukkan koefisien korelasi sebesar r = 0,293 dengan p = 0,007 (p < 0,01) yang artinya ada hubungan yang signifikan antara dukungan sosial dengan problem-focused coping. Dengan demikian hipotesis penelitian diterima.

(2)

Pengantar

Masa remaja ialah masa dimana masalah pokok remaja berpangkal pada pencarian identitas diri. Remaja mengalami krisis identitas, karena untuk dikelompokkan dalam kelompok anak-anak remaja merasa sudah besar, namun untuk dikelompokkan dalam kelompok dewasa remaja dianggap kurang besar (www.kompas.com 24/07/2005). Sebagai peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa, masa remaja merupakan masa yang penuh dengan kesulitan dan gejolak, baik bagi remaja sendiri maupun bagi orang tuanya. Seringkali karena ketidaktahuan dari orang tua mengenai keadaan masa remaja tersebut ternyata mampu menimbulkan bentrokan dan kesalahpahaman antara remaja dengan orang tua yakni dalam keluarga atau remaja dengan lingkungannya. (www.bpkpenabur.or.id 03/1998).

Semakin berkembangnya era globalisasi di masa sekarang ini, menuntut daya saing yang kuat baik dalam bidang teknologi, manajemen, maupun sumber daya manusia. Sehingga dalam upaya mewujudkan hal tersebut, pemerintah melakukan inovasi di bidang pendidikan. Salah satunya dengan mendirikan kelas Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) adalah sekolah nasional yang menyiapkan peserta didiknya berdasarkan standar nasional pendidikan Indonesia dan tarafnya Internasional sehingga lulusannya memiliki daya saing Internasional (Anonim, www.smantiboo.com). Sehingga untuk mencapai tujuan tersebut, sistem belajar mengajar dan fasilitasnya pun berbeda dengan kelas reguler pada umumnya. Kelas program SBI dilengkapi dengan fasilitas belajar yang berstandar internasional, yakni ruang kelas yang memenuhi standar internasional, pembelajaran berbasis ICT

(3)

(Information and Communication Technology), laboratorium IPA dan Bahasa, tersedia akses internet dan ruang multi media, serta komunikasi yang menggunakan sistem dua bahasa (bilingual) yakni Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris (Anonim, www.smantiboo.com).

Sistem belajar mengajar dan jadwal kegiatan belajar mengajar siswa SBI memiliki perbedaan dengan sistem belajar mengajar siswa reguler pada umumnya. Sistem komunikasi dalam kegiatan belajar mengajar (KBM) di SBI menggunakan dua bahasa (bilingual) yaitu bahasa Ingris dan Bahasa Indonesia, adanya “double teacher” (dua guru) maksudnya adalah selain ada tim guru yang merupakan guru SMU Negeri I Kotagajah, program SBI juga mendatangkan guru tamu dalam KBM. Sedangkan perbedaan jadwal kegiatan sekolah adalah siswa program SBI mendapatkan tambahan waktu belajar di sekolah, yakni dua jam lebih lama dibandingkan siswa reguler. Kegiatan belajar mengajar siswa SBI berakhir pada pukul 14.00 (sama halnya dengan siswa reguler) namun setelah jadwal pelajaran berakhir, siswa SBI akan mendapatkan mata pelajaran tambahan, khusus mata pelajaran IPA sampai pukul 16.00 pada hari Senin, Selasa, Rabu dan Sabtu, untuk hari Kamis siswa SBI diwajibkan untuk mengikuti EC (English Club) hal ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan Bahasa Inggris siswa. Sedangkan hari Jum’at adalah waktu untuk siswa mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di sekolah namun sifatnya tidak wajib. Oleh karena itu, dengan kondisi tersebut siswa dituntut untuk memiliki kesiapan dalam menerima konsekuensi yang harus mereka hadapi jika mereka menjadi siswa program SBI, misalnya dalam hal kesulitan membagi waktu, kurang waktu istirahat, banyaknya tugas mata pelajaran sekolah dan lain sebagainya.

(4)

Namun, yang terjadi tidaklah demikian, hasil wawancara yang peneliti lakukan terhadap siswa SMU Negeri 1 Kotagajah yang merupakan siswa program SBI, pada tanggal 9 September 2007 di Lampung, menunjukkan bahwa dalam kenyataannya permasalahan kesulitan dalam membagi waktu, kurang waktu untuk istirahat, tetap dialami oleh siswa program SBI. Hal tersebut terkadang membuat siswa merasa lelah dan terforsir dengan padatnya jadwal kegiatan sekolah, bahkan kasus yang terjadi adalah ada beberapa siswa yang memilih untuk pindah ke kelas program reguler karena merasa terforsir dengan padatnya jadwal kegiatan di program SBI. Selain itu penggunaan sistem komunikasi bilingual dalam kegiatan belajar mengajar khususnya dalam penggunaan Bahasa

Inggris terkadang membuat siswa mengalami kesulitan untuk menerima pelajaran dengan maksimal (apalagi jika dalam menyampaikan pelajaran dalam Bahasa Inggris kurang menarik bagi siswa), sehingga apa yang disampaikan oleh guru mata pelajaran terkadang kurang mampu dimengerti oleh para siswa dengan baik. Meskipun mereka telah mendapatkan jam tambahan khusus untuk belajar Bahasa Inggris di sekolah dan ada hari khusus yang mewajibkan semua siswa dan guru SBI menggunakan Bahasa Inggris atau yang lebih dikenal dengan istilah ”English Day” yakni pada hari Selasa dan Kamis, namun hasilnya masih kurang maksimal. Selain kegiatan belajar mengajar yang menggunakan sistem komunikasi bilingual, banyaknya tugas mata pelajaran yang harus mereka kerjakan sebagai Pekerjaan Rumah (PR) membuat mereka sering mengeluh, dan meminta kepada guru mata pelajaran untuk mengurangi tugas-tugas yang harus mereka kerjakan. Hal tersebut mereka lakukan karena mereka menganggap bahwa waktu yang mereka miliki sangat terbatas untuk dapat mengerjakan

(5)

tugas-tugas yang begitu banyak, sehingga terkadang jika PR tersebut tidak dapat mereka selesaikan di rumah, maka pada waktu pagi harinya mereka akan menyelesaikan PR tersebut bersama-sama dengan teman di sekolah, atau bahkan ada beberapa siswa yang justru mengandalkan pada pekerjaan teman (mencontek).

Berdasarkan contoh kasus di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah, remaja khususnya siswa program Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) cenderung kurang mampu menyelesaikan masalah dengan baik. Contoh kasus yang terjadi di SMU Negeri 1 Kotagajah menunjukkan bahwa kurang maksimalnya penggunaan problem-focused coping pada siswa program Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) dalam

menyelesaikan permasalahan, baik masalah yang berhubungan dengan kegiatan di sekolah maupun masalah pribadi yang sering mereka hadapi. Karena mereka lebih sering menunda-nunda untuk menyelesaikan masalahnya, kurang berhati-hati dalam mengambil keputusan masalahnya karena mereka menganggap bahwa yang terpenting adalah masalah tersebut bisa cepat selesai. Bahkan membiarkan masalah tersebut sampai pada akhirnya masalah tersebut dapat mereka lupakan, karena yang pertama kali mereka lakukan ketika ada masalah adalah berusaha menghibur diri sendiri. Perilaku yang tidak sesuai yang dilakukan remaja biasanya didorong oleh keinginan mencari jalan pintas dalam menyelesaikan sesuatu tanpa mendefinisikan secara cermat akibatnya. Untuk itu, dalam menghadapi masalahnya, remaja akan menggunakan mekanisme coping yang menunjuk pada suatu proses dimana individu mencoba untuk mengelola jarak yang ada antara tuntunan-tuntunan (baik itu tuntunan yang berasal dari

(6)

individu maupun tuntunan yang berasal dari lingkungan) dengan sumber-sumber daya yang mereka gunakan dalam menghadapi situasi stressful (Cohen, dkk., Smet, 1994).

Dukungan dari orang-orang terdekat, misalnya dari keluarga dan teman akan sangat membantu remaja dalam menghadapi masalahnya. Karena dengan adanya dukungan sosial tersebut, remaja merasa dicintai dan diperhatikan, mulia dan dihargai, dan merupakan bagian dari jaringan sosial, misalnya keluarga atau organisasi kemasyarakatan, yang dapat memberikan kebaikan, pelayanan, dan saling menjaga ketika berada dalam situasi yang penuh tekanan (Cobb, dalam Sarafino, 1994). Sehingga dalam menghadapi masalahnya remaja tidak merasa sendiri dan tidak cepat putus asa karena ada orang-orang disekelilingnya yang membantu dan memberikan dukungan.

Oleh karena itu, mengingat begitu pentingnya peran coping dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi remaja, maka peneliti ingin mengetahui apakah ada hubungan antara dukungan sosial dengan kemampuan problem-focused coping pada siswa SMU program Sekolah Bertaraf Internasional (SBI)?

Problem-Focused Coping

Menurut Aldwin dan Revenson (1987), Problem-focused coping meliputi perilaku dan kognisi yang diarahkan untuk menganalisa dan untuk memecahkan masalah. Problem-focused coping juga sangat berguna dalam mengurangi stres. Menurut Taylor (1995) problem-focused coping atau problem-solving efforts merupakan suatu tindakan yang digunakan untuk memperbaiki situasi yang

(7)

stresful yang dianggap merugikan, mengancam, atau bahkan situasi yang penuh tantangan bagi individu.

Problem-focused coping digunakan untuk mengurangi stressor, individu akan mengatasi dengan mempelajari cara-cara atau keterampilan-keterampilan yang baru. Individu akan cenderung menggunakan strategi ini, bila dirinya yakin akan dapat mengubah situasi. Problem-focused coping dan emotion-focused coping juga merupakan coping yang berupa respon tingkah laku dan pikiran

individu untuk mengatur, meminimalkan, atau menguasai tuntutan-tuntutan dari dalam dan dari luar yang dinilai memberatkan atau melebihi batas-batas kemampuannya (Folkman, dalam Zamindari, 1999).

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa problem-focused coping adalah reaksi individu dalam menghadapi masalah yaitu dengan cara berusaha mencari penyebab masalah dan berusaha menyelesaikannya dengan beberapa alternatif pemecahan masalah yang dianggap dapat mengubah situasi yang stressfull tersebut.

Aldwin dan Revenson (1987) menyebutkan aspek-aspek problem-focused coping sebagai berikut :

1. Exersiced Caution (Cautiousness), yaitu tindakan menahan diri atau berhati-hati dalam mengambil keputusan yang tepat untuk menyelesaikan masalah. Dalam hal ini individu mempertimbangkan terlebih dahulu beberapa alternatif pemecahan masalah.

2. Instrumental Action, meliputi usaha-usaha langsung individu menemukan solusi problemnya, misalnya dengan menyusun suatu rencana dan kemudian melaksanakan langkah-langkah yang telah direncanakan itu.

(8)

3. Negotiation, merupakan salah satu teknik dalam problem-focused coping yang diarahkan langsung pada orang lain yang menjadi penyebab masalah. Individu mencoba mengadakan kompromi atau mengubah pikiran orang lain demi mendapatkan hal yang positif dari situasi problematik tersebut.

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa aspek dari coping yang akan mendukung problem-focused coping adalah exercise cauiton (cautiousness), instrumental action, dan negotiation.

Problem-focused coping dipengaruhi oleh beberapa faktor, yang meliputi :

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi individu dalam mengunakan problem-focused coping antara lain adalah sebagai berikut :

1. Dukungan Sosial

Menurut Garmezi dan Rutter (dalam Primastuti, 2005) Dukungan dari orang-orang di sekitar individu, yakni saudara, orang-orangtua terutama ibu, suami atau isteri, teman, tenaga profesional, tentu saja dapat membantu individu dalam melakukan coping yang tepat, dalam usaha menghadapi dan memecahkan masalahnya. Hal itu karena dengan adanya dukungan dari sosialnya maka individu akan semakin mampu dan yakin dalam memecahkan masalahnya, begitu juga sebaliknya.

2. Jenis Kelamin

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Billing dan Moss (dalam Sarafino, 1994) terhadap 200 pasangan yang menikah, diperoleh hasil bahwa wanita (Isteri) lebih sering menggunakan emotion-focused coping dalam menghadapi masalah, sedangkan pria (Suami) lebih cenderung

(9)

menggunakan problem-focused coping ketika dihadapkan pada situasi yang penuh tekanan.

3. Status Sosial Ekonomi dan Tingkat Pendidikan

Hasil penelitian Billing dan Moss (dalam Sarafino, 1994) juga menunjukkan bahwa individu dengan status sosial ekonomi dan tingkat pendidikan yang tinggi menggunakan problem-focused coping dalam menghadapi masalahnya dibandingkan dengan individu yang memiliki status sosial ekonomi dan tingkat pendidikan yang rendah.

4. Usia

Sarafino (dalam Primastuti, 2005) mengatakan bahwa perilaku yang lebih sering digunakan orang dewasa adalah yang berpusat pada pemecahan masalah (problem-focused coping), sedangkan pada anak-anak lebih sering menggunakan perilaku coping yang berpusat pada emosi (emotion-focused coping).

5. Jenis Masalah yang dihadapi

Individu kurang menggunakan problem-focused coping ketika masalah yang dihadapinya menyangkut kematian anggota keluarganya. Beda halnya ketika masalah yang dihadapi berkaitan dengan masalah kesulitan ekonomi atau berkaitan dengan keadaan sakit, individu akan lebih cenderung menggunakan problem-focused coping (Billing dan Moss, dalam Sarafino, 1994).

Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi individu dalam menggunakan problem-focused coping

(10)

adalah dukungan sosial, jenis kelamin, status sosial ekonomi dan tingkat pendidikan, usia dan jenis masalah yang dihadapi.

Dukungan Sosial

Cohen dan Syme (1985) mendefinisikan dukungan sosial sebagai sumber yang diberikan oleh orang lain. Sedangkan menurut Gottlieb (dalam Smet, 1994) dukungan sosial terdiri dari informasi atau nasehat verbal dan/atau non-verbal, bantuan nyata, atau tindakan yang diberikan oleh keakraban sosial atau didapat karena kehadiran individu-individu tersebut dan mempunyai manfaat emosional atau efek perilaku bagi pihak penerima.

Sarafino (dalam Smet, 1994) mengusulkan definisi operasional yaitu dukungan sosial mengacu pada kesenangan yang dirasakan, penghargaan akan kepedulian, atau menerima bantuan dari orang-orang atau kelompok-kelompok lain. Berdasarkan pada Cobb (Sarafino, 1994), individu yang mendapatkan dukungan sosial percaya bahwa individu tersebut dicintai dan diperhatikan, mulia dan dihargai, dan merupakan bagian dari jaringan sosial, misalnya keluarga atau organisasi kemasyarakatan, yang dapat memberikan kebaikan, pelayanan, dan saling menjaga dalam waktu yang dibutukan dan membahayakan. Sarason (dalam Effendi dan Tjahjono, 1999), mengemukakan bahwa dukungan sosial dapat berupa pemberian informasi, pemberian bantuan tingkah laku atau materi yang didapat dari hubungan sosial yang akrab atau hanya disimpulkan dari keberadaan kelompok yang membuat individu merasa diperhatikan dan dicintai.

(11)

Dari beberapa pendapat tokoh di atas, peneliti menyimpulkan bahwa dukungan sosial adalah suatu bentuk perhatian, kasih sayang, penghargaan, dan bantuan baik nyata maupun tingkah laku yang diterima individu dari orang-orang terdekatnya (kerabat dekat, teman sebaya, guru) yang akan sangat berpengaruh bagi individu yang menerima dukungan tersebut.

Sumber-sumber dukungan sosial, menurut Ganster dkk, (dalam Rohman, dkk, 1997), yaitu :

1. Keluarga

Keluarga merupakan tempat pertumbuhan dan perkembangan seseorang, kebutuhan-kebutuhan fisik dan psikis mula-mula terpenuhi dari lingkungan keluarga. Individu sebagai anggota keluarga akan menjadikan keluarga sebagai tumpuan harapan, tempat mengeluarkan keluhan-keluhan bilamana individu sedang menghadapi permasalahan.

2. Rekan sekerja/Teman

Dalam dunia kerja, manusia membutuhkan penghargaan atas apa yang sudah mereka kerjakan. Manusia yang sehat kondisinya akan merasakan dirinya berguna, penting, dan membutuhkan penghargaan sesuai martabatnya sebagai manusia. La Rocco dan Jones (dalam Rohman, dkk, 1997) berpendapat bahwa karyawan yang bekerja membutuhkan dorongan moral dari rekan sekerja maupun atasannya.

3. Supervisor (Penyelia)

As’ad (dalam Rohman, dkk, 1997) mengemukakan bahwa seorang penyelia ialah seorang manajer yang bertanggung jawab kepada manajer yang lebih tinggi kedudukannya. Tugas utama penyelia ialan memimpin

(12)

pekerja pelaksana dalam taraf operasional. Kedudukan penyelia berada di antara pihak manajemen dengan pihak pekerja.

Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sumber-sumber dukungan sosial yang mendukung dalam penelitian ini adalah dukungan sosial yang berasal dari keluarga dan teman.

Menurut Sarafino (1994) aspek-aspek dukungan sosial meliputi : 1. Dukungan Emosional

Dukungan emosional meliputi perasaan empatik, perhatian, dan keprihatinan terhadap orang lain. Membarikan individu perasaan nyaman, tentram, dimiliki, dan merasa dicintai ketika sedang memiliki masalah atau berada dalam situasi yang stressfull.

2. Dukungan Penghargaan

Dukungan penghargaan terlihat dari ekspresi seseorang ketika memberikan penghargaan yang positif, dorongan atau persetujuan terhadap ide atau perasaan individu dan perbandingan positif antara individu yang satu dengan yang lain.

3. Dukungan Instrumental

Dukungan instrumental meliputi bantuan langsung, yaitu ketika seseorang memberikan atau meminjamkan uang atau pertolongan berupa pekerjaan ketika orang lain menghadapi situasi yang stressfull.

4. Dukungan Informasional

Dukungan informasonal meliputi pemberian nasehat, petunjuk, saran atau umpan balik tentang bagaimana seseorang mengerjakan sesuatu.

(13)

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa aspek dari dukungan sosial yang mendukung adalah dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dan dukungan informasional.

Hubungan Antara Dukungan Sosial Dengan Problem-Focused Coping

Masalah yang dihadapi remaja seringkali menimbulkan stress yang mendalam dalam kehidupan sehari-hari remaja. Masalah dengan teman, masalah dengan orang tua, masalah dengan diri sendiri, dan masalah yang berkaitan dengan pelajaran di sekolah tidak jarang membuat remaja menjadi kurang memiliki daya juang, sulit bergaul dengan lingkungan sekitarnya dan merasa dikucilkan dari pergaulan. Untuk mengurangi beban stress yang dihadapi remaja, remaja dituntut untuk dapat menyesuaikan diri dan bereaksi terhadap situasi yang stressfull, dan disini peran perilaku coping sangat dibutuhkan.

Peran problem-focused coping dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi remaja diharapkan dapat merubah situasi yang stresful akan menjadi lebih baik. Problem-focused coping biasanya ditunjukkan dengan indikator sebagai berikut, yaitu menentukan masalah, menciptakan pemecahan alternatif, menimbang-nimbang alternatif yang berkaitan dengan biaya dan manfaat, memilih salah satunya, dan mengimplementasikan alternatif yang dipilih (Atkinson, dkk, 1999). Salah satu faktor yang mempengaruhi individu menggunakan problem-focused coping adalah adanya dukungan sosial. Dengan adanya dukungan sosial yang tinggi, seseorang akan menjadi lebih yakin akan

(14)

kemampuannya dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya (Garmezi dan Rutter, dalam Primastuti, 2005). Dengan demikian, diharapkan individu yang menerima dukungan sosial yang tinggi dari orang-orang terdekatnya akan lebih cenderung menggunakan problem-focused coping dalam mengatasi masalah yang dihadapinya.

Penelitian yang dilakukan oleh Primastuti (2005) menunjukkan hasil bahwa semakin tinggi tingkat dukungan yang diterima ibu yang memiliki anak berbakat intelektual baik dari suami maupun guru di sekolah, maka tingkat problem-focused coping ibu juga akan semakin tinggi. Hal ini senada dengan teori yang telah dikemukakan oleh Lazarus (dalam Primastuti, 2005) bahwa dukungan dari orang-orang terdekat bila dilakukan secara bersama-sama akan dapat meningkatkan problem-focused coping yang dilakukan oleh ibu. Dengan adanya dukungan dari orang terdekat, ibu yang memiliki anak berbakat intelektual akan merasa beban dirinya lebih ringan dan ada seseorang yang mau menanggapi ataupun memperhatikan dirinya. Individu yang mendapatkan dukungan sosial percaya bahwa individu tersebut dicintai dan diperhatikan, mulia dan dihargai, dan merupakan bagian dari jaringan sosial, misalnya keluarga atau organisasi kemasyarakatan, yang dapat memberikan kebaikan, pelayanan, dan saling menjaga dalam waktu yang dibutukan dan membahayakan. Sehingga individu tidak merasa sendiri dan cepat putus asa dalam menghadapi permasalahan yang dihadapinya karena ada orang-orang disekelilingnya yang membantu dan memberi dukungan.

(15)

Hipotesis

Berdasarkan uraian teoritik diatas, maka hipotesis yang peneliti ajukan adalah bahwa ada hubungan positif antara dukungan sosial dengan problem-focused coping pada siswa SMU Negeri 1 Kotagajah yang mengambil program

Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Dimana semakin tinggi dukungan sosial yang diterima oleh remaja, maka akan diikuti juga dengan semakin tingginya problem focused coping pada siswa SMU program Sekolah Berstandar

Internasional (SBI).

Identifikasi Variabel Penelitian Penelitian ini menggunakan dua variabel, yaitu :

1. Variabel Tergantung : Problem-Focused Coping 2. Variabel Bebas : Dukungan Sosial

Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah siswa SMU Negeri 1 Kotagajah, Lampung Tengah, baik laki-laki maupun perempuan yang merupakan siswa program Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), yang duduk di bangku kelas sepuluh (kelas satu), kelas sebelas (kelas dua) dan kelas duabelas (kelas tiga), yang berusia 14 sampai 18 tahun. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah purposive sampling yaitu pemilihan sekelompok subjek yang didasarkan atas ciri-ciri atau sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Hadi, 2000).

(16)

Metode Pengumpulan Data 1. Dukungan Sosial

Skala dukungan sosial dalam penelitian ini disusun berdasarkan aspek-aspek dukungan sosial menurut Sarafino (1994), yang meliputi dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan informasional dan dukungan instrumental.

Skala ini terdiri dari 35 butir pernyataan yang bersifat favourable dan unfavourable. Subjek diberi alternatif untuk menjawab, keempat alternatif

tersebut yaitu : SS (Sangat Sesuai), S (Sesuai), TS (Tidak Sesuai), dan STS (Sangat Tidak Sesuai). Nilai yang diberikan pada tiam aitem bergerak dari 1 sampai 4, sedangkan penilaian untuk masing-masing aitem dalam skala adalah sebagai berikut untuk aitem yang bersifat favorabel nilai 4 (empat) diberikan untuk jawaban SS (Sangat Sesuai), nilai 3 (tiga) untuk jawaban S (Sesuai), nilai 2 (dua) untuk jawaban TS (tidak sesuai), dan nilai 1 (satu) untuk jawaban STS (Sangat Tidak Sesuai). Sedangkan untuk aitem yang bersifat unfavorabel nilai 4 (empat) untuk jawaban STS (Sangat Tidak Sesuai), nilai 3 (Tiga) untuk jawaban TS (Tidak Sesuai), nilai 2 (dua) untuk jawaban S (Sesuai), dan nilai 1 (satu) untuk jawaban SS (Sangat Sesuai).

Pernyataan yang bersifat favourable menunjukkan tingginya tingkat dukungan sosial yang diterima subjek dan pernyataan yang bersifat unfavourable menunjukkan rendahnya tingkat dukungan sosial yang diterima subjek.

2. Problem-Focused Coping

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan skala. Skala problem-focused coping yang akan digunakan untuk mengumpulkan data dalam

(17)

penelitian ini merupakan skala problem-focused coping yang penulis susun sendiri dan mengacu pada aspek-aspek atau komponen yang dikemukakan oleh Aldwin dan Revenson (1987), yang meliputi exersiced caution (Cautiousness), instrumental action, dan negotiation.

Skala ini terdiri dari 37 butir pernyataan yang bersifat favourable dan unfavourable. Subjek diberi alternatif untuk menjawab, keempat alternatif

tersebut yaitu : SS (Sangat Sesuai), S (Sesuai), TS (Tidak Sesuai), dan STS (Sangat Tidak Sesuai). Nilai yang diberikan pada tiam aitem bergerak dari 1 sampai 4, sedangkan penilaian untuk masing-masing aitem dalam skala adalah sebagai berikut untuk aitem yang bersifat favorabel nilai 4 (empat) diberikan untuk jawaban SS (Sangat Sesuai), nilai 3 (tiga) untuk jawaban S (Sesuai), nilai 2 (dua) untuk jawaban TS (tidak sesuai), dan nilai 1 (satu) untuk jawaban STS (Sangat Tidak Sesuai). Sedangkan untuk aitem yang bersifat unfavorabel nilai 4 (empat) untuk jawaban STS (Sangat Tidak Sesuai), nilai 3 (Tiga) untuk jawaban TS (Tidak Sesuai), nilai 2 (dua) untuk jawaban S (Sesuai), dan nilai 1 (satu) untuk jawaban SS (Sangat Sesuai).

Pernyataan yang bersifat favourable pada problem-focused coping menunjukkan tingginya kemampuan subjek dalam menyelesaikan masalah dengan menggunakan tipe coping tersebut dan pernyataan yang bersifat unfavourable menunjukkan rendahnya kemampuan subjek dalam menyelesaikan masalah dengan menggunakan problem-focused coping.

(18)

Metode Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik analisis korelasi product moment Pearson pengolahan data menggunakan bantuan Program SPSS for windows (Statistical Program for Social Science) Versi 11,5.

Pembahasan

Penelitian ini bertujuan untuk menguji hipotesis tentang adanya hubungan positif antara dukungan sosial dengan problem-focused coping pada siswa SMU program Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Berdasarkan hasil analisis data, diperoleh hasil yang mendukung hipotesis tersebut, yakni hasil uji korelasi kedua variabel menunjukkan koefisien korelasi sebesar rxy = 0,293 dan p

= 0,007 (p < 0,01) yang berarti bahwa nilai korelasi yang dihasilkan signifikan. Dengan demikian berarti ada hubungan positif yang signifikan antara dukungan sosial dengan problem-focused coping pada siswa SMU Negeri 1 Kotagajah yang mengambil program Sekolah Bertaraf Internasional (SBI).

Dari penjabaran diatas, pada penelitian ini tingginya dukungan sosial yang diterima siswa mempengaruhi problem-focused coping dalam menghadapi masalah, ketika dukungan sosial yang diterima tinggi maka siswa akan lebih mampu dalam menggunakan problem-focused coping untuk menghadapi masalah. Begitu pula sebaliknya ketika dukungan sosial yang diterima rendah, maka siswa cenderung kurang mampu dalam menggunakan problem-focuced coping untuk menghadapi masalahnya. Hal ini senada dengan apa yang

(19)

sosial dari orang-orang terdekatnya, maka individu tersebut akan merasa dicintai dan diperhatikan, mulia dan dihargai, dan merupakan bagian dari jaringan sosial, misalnya keluarga atau organisasi kemasyarakatan, yang dapat memberikan kebaikan, pelayanan, dan saling menjaga ketika berada dalam situasi yang penuh tekanan. Sehingga dalam menghadapi masalahnya individu tidak merasa sendiri dan tidak cepat putus asa karena ada orang-orang di sekelilingnya yang membantu dan memberikan dukungan. Selain itu, dengan adanya dukungan sosial yang tinggi, seseorang akan menjadi lebih yakin akan kemampuannya dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya (Garmezi dan Rutter, dalam Primastuti, 2005). Penelitian yang dilakukan oleh House, dkk (dalam Sarafino, 1994) juga menunjukkan hasil bahwa dukungan sosial dapat mengurangi masalah yang dialami oleh individu.

Hal ini juga senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Primastuti (2005) yang menunjukkan hasil bahwa semakin tinggi tingkat dukungan yang diterima ibu yang memiliki anak berbakat intelektual baik dari suami maupun guru di sekolah, maka tingkat problem-focused coping ibu juga akan semakin tinggi. Dari beberapa hasil penelitian diatas maka dapat diketahui bahwa tingginya dukungan sosial yang diterima individu akan berpengaruh terhadap kemampuan individu tersebut dalam menggunakan problem-focused coping dalam menghadapi masalahnya.

Penelitian ini telah membuktikan bahwa dukungan sosial merupakan salah satu faktor yang penting dalam problem-focused coping siswa SMU program Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Walaupun demikian, sumbangan efektif yang diberikan variabel dukungan sosial terhadap problem-focused coping

(20)

tergolong rendah, yaitu sebesar 8,6 % ini berarti sekitar 91,4 % problem-focused coping dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak dijelaskan dalam penelitian ini.

Selain itu ada beberapa kelemahan yang terdapat dalam penelitian ini, diantaranya adalah terbatasnya jumlah subjek yang digunakan dalam penelitian ini, selain itu kelemahan dalam skala yang digunakan untuk mengukur tingkat dukungan sosial dan problem-focused coping, yakni aitem-aitem dalam skala dukungan sosial tidak secara spesifik menyebutkan sumber dukungan sosial yang diterima siswa SBI tersebut dari siapa (teman, orangtua, kakak/adik, atau dari guru di sekolah). Sedangkan aitem-aitem dalam skala problem-focused coping yang hanya pada ranah kognitif saja dan tidak menyebutkan secara spesifik masalah yang berkaitan dengan siswa SBI. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab mengapa sumbangan efektif dukungan sosial terhadap problem-focused coping tergolong rendah.

Kesimpulan

Ada hubungan positif yang signifikan antara dukungan sosial dengan problem-focused coping pada siswa SMU Negeri 1 Kotagajah yang mengambil

program Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Sumbangan efektif dukungan sosial terhadap problem-focused coping pada siswa SMU Negeri I Kotagajah yang mengambil program Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) hanya sebesar 8,6 % sedangkan 91,6% lainnya dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang tidak dijelaskan dalam penelitian ini.

(21)

DAFTAR PUSTAKA

Aldwin, C. M. & Revenson, T. A. 1987. Does Coping Help? A Reexamination of the Relation Between Coping and Mental Health. Journal of Personality and Social Psychology. Vol 53, No 2, 337-348.

Anonim. 2005. http:www.kompas.com/Kesehatan/news/0507/24/083524.htm. Atkinson, R., dkk. Pengantar Psikologi (Edisi 11, Jilid 2). Jakarta : Interaksara. Cohen dan Syme. 1985. Social Support and Health. Orlando, Florida, San Diego,

New York : Academic Press, Inc.

Effendi, R. W., & Tjahjono, E. 1999. Hubungan Antara Perilaku Coping dan Dukungan Sosial Dengan Kecemasan Pada Ibu Hamil Anak Pertama. Anima. Vol 14, No 54, Januari – Maret.

Hadi, S. 2000. Statistik (Jilid 2). Yogyakarta : Penerbit Andi.

Mu’tadin, Z. 2002. Mengembangkan Keterampilan Sosial Pada Remaja. http://www.e-psikologi.com. 6 Agustus 2002.

Primastuti, E. 2005. Hubungan Antara Dukungan Suami dan Dukungan Guru Dengan Problem-Focused Coping Ibu dari Anak Berbakat Intelektual. Tesis (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi UGM.

Rohman, T. N., dkk. 1997. Hubungan Antara Dukungan Sosial Dengan Burnout Pada Perawat Putri Di Rumah Sakit Swasta. Psikologika. Nomor 4 Tahun II, 51-59.

Safarino, E. 1994. Health Psychology, Biopsychosocial Interaction (2nd ed). New York : John Wiley & Sons, Inc.

Smet, B. 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.

(22)

Zamindari, V. 1999. Hubungan Antara Efikasi Diri Dengan Problem-Focused Coping Menghadapi Masalah Skripsi. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi UGM.

_______. 1998. http://www.bpkpenabur.or.id 03/1998

_______. 2006. Kelas Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) SMA Negeri 3 Bogor.http://www.smantiboo.com/utama1.php?modul=pengumuman&f= pengumuman/sbi.php&jdl=SEKOLAH%20BERTARAF%20INTERNASIONAL

(23)

NASKAH PUBLIKASI

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL

DENGAN PROBLEM-FOCUSEDCOPING PADA SISWA SMU PROGRAM SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL (SBI)

Telah Disetujui Pada Tanggal

______________________

Dosen Pembimbing

Referensi

Dokumen terkait

Penggunaan metode ini dimaksudkan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek atau objek yang diteliti

Supaya dapat lebih berguna, hendaknya dapat dilakukan pene1itian berikutnya yang berhubungan dengan kebersihan laboratorium yang tidak terbatas hanya pada permukaan meja

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja

Penduduk kabupat en Wonogir i dalam pembangunan sarana pengelolaan limbah cair model t angki sept i ber upa bak penampungan memper gunakan pelapisan kayu dan t idak

Keterbatasan dalam penelitian ini yaitu penelitian ini mengukur transaksi pihak-pihak istimewa hanya menggunakan penjualan kepada pihak-pihak istimewa dan pembelian

[r]

Pembelajaran kewirausahaan di SMK telah diimplementasikan dalam berbagai bentuk media pembelajaran berbasis produksi dan bisnis antara lain: Teaching Factory, Teaching

3 Alkaloid Dengan pereaksi dragendorf tidak terbentuk endapan jingga dan dengan pereaksi mayer tidak terbentuk endapan putih. Dengan pereaksi dragendorf terbentuk endapan