• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Problem Focused Coping

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Problem Focused Coping"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

14 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Problem Focused Coping 1. Pengertian Coping

Kata coping berasal dari bahasa Inggris cope yang berarti sebuah kudeta, pukulan, atau pertempuran yang mengejutkan (Lazarus & Lazarus, 2006). Konsep mengenai stres dan coping diperkenalkan oleh Lazarus pada tahun 1966 (dalam Carver dan Scheier, 1989). Lazarus & Folkman (1984) mendefinisikan coping sebagai upaya yang dilakukan oleh seseorang ketika dihadapkan pada tuntutan internal maupun eksternal untuk mengelola tuntutan tertentu yang dinilai berat dan melebihi sumber daya (kekuatan) seseorang. Coping dideskripsikan sebagai proses transaksional dimana orang menangani permasalahan-permasalahan di kehidupan mereka sehari-hari (Aldwin, dalam Zimmer-Gembeck dan Skinner, 2008). Menurut Taylor (2009) coping adalah suatu pemikiran dan perilaku yang digunakan untuk mengatur perintah internal dan eksternal dari situasi yang dinilai sebagai hal yang penuh tekanan. Sarafino (2011) menjelaskan bahwa coping adalah suatu proses dimana orang mencoba untuk mengelola perbedaan yang dirasakan antara tuntutan dan sumber daya yang dinilai dalam situasi yang penuh tekanan.

Selanjutnya Sarafino mengatakan bahwa proses coping bukanlah peristiwa tunggal karena di dalam coping ada transaksi berkelanjutan dengan lingkungan, dimana proses tersebut dilihat sebagai rangkaian dinamis dari

(2)

commit to user

penilaian berulang-ulang yang dapat disesuaikan dengan perubahan antara orang dengan lingkungannya. Senada dengan hal tersebut, Folkman & Moskovitz (dalam Taylor, 2009) mengatakan bahwa coping adalah serangkaian transaksi antara orang yang memiliki seperangkat sumber daya, nilai-nilai, dan komitmen, serta suatu lingkungan tertentu dengan sumber dayanya sendiri, tuntutan, dan kendala-kendala. Cohen (dalam Smet, 1994) mendefinisikan coping sebagai suatu proses dimana individu mencoba untuk mengelola jarak yang ada antara tuntutan-tuntutan baik yang berasal dari individu maupun tuntutan yang berasal dari lingkungan dengan sumber-sumber daya yang mereka gunakan dalam menghadapi situasi stres.

Kesimpulan yang bisa ditarik dari berbagai pengertian di atas, coping merupakan suatu upaya kognitif dan perilaku yang dinamik dan transaksional untuk mengelola perbedaan antara tuntutan dan sumber daya yang dinilai berat baik intenal maupun eksternal yang berfungsi untuk menghilangkan atau mengurangi tuntutan kendala, dan ancaman dalam situasi yang penuh tekanan atau menegangkan.

2. Pengertian Problem Focused Coping

Tipe-tipe strategi seseorang dalam melakukan coping terhadap masalahnya tergantung dari tuntutan lingkungan (Aldwin, 2007). Secara umum, strategi coping dibagi menjadi 2 bentuk utama yaitu problem focused coping (yang berorientasi pada permsalahan) dan emotion focused coping

(3)

commit to user

(yang berorientasi pada emosi) (Folkman dkk, 1986; Lazarus & Lazarus, 2006; Lazarus et al dalam Sarafino, 2011).

Problem focused coping merupakan salah satu bentuk utama dari strategi coping. Menurut Lazarus & Folkman (1984) problem focused coping adalah usaha individu untuk mmengatasi permasalahan dengan mengubah stressor atau penyebab masalahnya. Selanjutnya menurut Lazarus & Folkman problem focused coping sering diarahkan dalam hal mendefinisikan masalah, menghasilkan solusi alternatif, menimbang alternatif-alternatif dalam hal biaya dan keuntungannya, kemudian memilih dari alternatif tersebut, dan bertindak. Taylor (2009) mengemukakan bahwa problem focused coping merupakan usaha untuk melakukan sesuatu yang konstruktif tentang situasi yang penuh tekanan yang membahayakan, mengancam, atau menantang suatu individu. Sarafino (2011) menjelaskan problem focused coping sebagai cara untuk mengurangi tuntutan di dalam sebuah situasi stres atau memperbanyak cara untuk mengatasi permasalahan tersebut. Carver, Scheier & Weintraub (1989) mengatakan problem focused coping ditujukan kepada penyelesaian masalah atau melakukan sesuatu untuk mengubah sumber stres. Ogden (2004) mengatakan bahwa problem focused coping adalah cara untuk mengambil tindakan baik dengan mengurangi tuntutan stressor atau sumber stres atau dengan meningkatkan sumber-sumber yang tersedia untuk menanganinya. Di dalam problem focused coping, perhatian seseorang berpusat kepada apa yang dapat dilakukan untuk mengubah situasi untuk melenyapkan atau mengurangi stres (Lazarus & Lazarus, 2006).

(4)

commit to user

Lazarus and Folkman (dalam Sarafino, 2011) mengatakan bahwa orang cenderung menggunakan pendekatan yang berfokus masalah (problem focused approaches) ketika mereka percaya bahwa tuntutan di dalam suatu situasi dapat diubah. Aldwin (2007) juga mengatakan bahwa orang menggunakan strategi pendekatan terhadap masalah apabila mereka mempunyai sumber coping yang cukup memadai dan dimana mereka lebih nyaman untuk berhadapan dengan masalah, dan orang yang menggunakan strategi menghindar saat mereka berada di situasi yang kurang menyenangkan. Zakowski, Hall, Klein, & Baum (dalam Taylor, 2009) mengatakan bahwa apabila di dalam situasi dimana terdapat sesuatu yang konstruktif dapat dilakukan maka seseorang akan memilih menggunakan problem focused coping, sebaliknya untuk situasi yang mau tak mau harus diterima maka individu lebih memilih emotion focused coping.

Berdasarkan beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa problem focused coping adalah suatu cara atau metode yang dilakukan dalam mengatasi tuntutan di dalam situasi yang penuh dengan tekanan dengan cara melakukan sesuatu untuk mengubah sumber stres tersebut.

3. Dimensi-Dimensi Problem Focused Coping

Folkman & Lazarus, 1988 (dalam Sarafino, 1998) menyebutkan aspek-aspek dari problem focused coping sebagai berikut:

(5)

commit to user

yaitu menganalisis situasi untuk mendapatkan solusi atas permasalahan, kemudian secara terencana mengambil tindakan langsung untuk menyelesaikan masalah.

b. Confrontive coping (konfrontif koping)

yaitu pengambilan tindakan tegas, sering melibatkan kemarahan atau pengambilan resiko untuk mengubah situasi.

c. Seeking social support (mencari dukungan sosial)

Yaitu mencoba untuk memperoleh dukungan informasi atau dukungan emosional dari orang lain.

Menurut Aldwin and Revenson (1987) aspek yang menunjukkan strategi yang berorientasi pada problem focused coping yaitu:

a. Instrumental action (tindakan secara langsung)

Individu melakukan usaha dan merencanakan langkah-langkah yang mengarah pada penyelesaian masalah secara langsung serta menyusun rencana untuk bertindak dan melaksanakannya.

b. Cautiousness (kehati-hatian)

hal ini berarti individu berpikir, meninjau, dan mempertimbangkan beberapa alternatif pemecahan masalah, berhati-hati dalam merumuskan masalah, meminta pendapat orang lain dan mengevaluasi strategi yang pernah diterapkan sebelumnya.

c. Negotiation

Individu melakukan beberapa usaha untuk membicarakan serta mencari penyelesaian dengan orang lain yang terlibat di dalamnya dengan harapan

(6)

commit to user

masalah dapat terselesaikan. Usaha yang dapat dilakukan untuk mengubah pikiran dan pendapat seseorang, melakukan perundingan atau kompromi untuk mendapatkan sesuatu yang positif dari situasi.

Carver, Scheier, and Weintraub (1989) membagi dimensi problem focused coping menjadi:

a) Active coping

Active coping adalah suatu proses pengambilan langkah aktif untuk mencoba memindahkan atau menghilangkan sumber stres atau untuk mengurangi akibatnya. Hal ini termasuk memulai aksi secara langsung, meningkatkan usaha, dan mencoba untuk melaksanakan usaha coping secara bertahap. b) Planning

Planning merupakan suatu usaha untuk menghilangkan sumber stres dengan cara memikirkan bagaimana cara mengatasi sumber stres tersebut.

c) Suppression of competing activities

Suppression of competing activities yaitu usaha individu untuk membatasi ruang gerak atau aktivitas dirinya yang tidak berhubungan dengan masalah untuk berkonsentrasi penuh pada tantangan maupun ancaman yang sedang dialaminya.

d) Restraint coping

Restraint coping adalah latihan mengontrol atau mengendalikan tindakan langsung sampai ada kesempatan yang tepat untuk bertindak.

(7)

commit to user e) Seeking social support for instrumental reasons

merupakan usaha individu untuk mencari informasi, nasehat, atau pendapat orang lain mengenai apa yang harus dilakukan.

Dari penjelasan yang dikemukakan oleh para ahli mengenai dimensi-dimensi problem focused coping di atas, maka penelitian ini akan menggunakan dimensi problem focused coping dari Folkman dan Lazarus, yaitu planful problem solving, confrontive coping, dan seeking social support.

4. Faktor yang Mempengaruhi Problem Focused Coping

Strategi coping dipengaruhi oleh penilaian kognitif pada setiap individu untuk mengatasi stres dari eksternal maupun internal. Lazarus & Folkman (1984) mengidentifikasi faktor-faktor utama yang mempengaruhi strategi coping.

Menurut Lazarus & Folkman (1984), faktor-faktor yang mempengaruhi strategi coping yaitu:

a. Kesehatan dan Energi

Kesehatan dan energi mempengaruhi berbagai macam bentuk strategi coping pada individu. Seseorang yang berada dalam keadaan rapuh, sakit, kelelahan, atau lemah, tidak mampu melakukan coping dengan baik. Namun banyak penelitian, misalnya penelitian Bulman & Wortman, Dimsdale, Hamburg & Adams, Hamburg et al., Visotsky et al., (dalam Lazarus & Folkman (1984) mengusulkan bahwa orang dapat melakukan coping dengan

(8)

commit to user

baik meskipun dalam kondisi kesehatan yang buruk dan energi yang terkuras.

b. Keyakinan yang Positif

Penilaian diri secara positif juga dapat dianggap sebagai sumber psikologis yang mempengaruhi strategi coping individu. Setiap individu memiliki keyakinan tertentu yang menjadi upaya dan harapan dalam melakukan coping saat kondisi apapun. Peale (dalam Lazarus & Folkman, 1984) mengatakan bahwa fungsi kekuatan berpikir positif dan memiliki kemampuan menjadikan individu memiliki pengalaman yang terbaik. namun, belum terlihat secara jelas apakah ada harga untuk mempunyai pemikiran yang positif, dan apakah orang yang tidak menggunakannya dapat terpengaruh untuk melakukannya.

c. Kemampuan Pemecahan Masalah

Kemampuan pemecahan masalah pada individu meliputi kemampuan mencari informasi, menganalisis situasi yang bertujuan menidentifikasi masalah yang menghasilkan alternatif yang akan digunakan pada individu, mempertimbangkan alternatif dengan baik agar dapat mengantisipasi kemungkinan yang terburuk, memilih dan menerapkan sesuai dengan tujuan pada masing-masing individu.

d. Keterampilan Sosial

Keterampilan sosial merupakan faktor yang penting dalam strategi coping karena pada dasarnya manusia merupakan mahluk sosial, sehingga keterampilan sosial dibutuhkan individu untuk bersosialisasi dengan

(9)

commit to user

manusia lain. Keterampilan sosial dimaksudkan sebagai cara untuk menyelesaikan masalah dengan orang lain dan memungkinkan individu untuk menjalin hubungan yang baik dan kerjasama dengan individu lain, serta secara umum memberikan control perilaku kepada individu atas interaksi sosialnya dengan individu lain. Keterampilan sosial diperlukan sebagai faktor yang mempengaruhi strategi coping terlihat di dalam banyak bidang, termasuk program terapiutik yang membantu seseorang untuk menangani masalah kehidupan sehari-harinya dengan lebih baik dan mengorganisir program latihan untuk meningkatkan keterampilan berkomunikasi.

e. Dukungan Sosial

Setiap individu mempunyai teman yang dekat secara emosional, pengetahuan, dan dukungan perhatian yang merupakan faktor yang mempengaruhi strategi coping pada individu dalam mengatasi stres, terapi perilaku, dan epidemologi sosial.

f. Sumber Material

Sumber material yang dimaksud disini adalah keuangan, barang-barang, dan pelayanan yang dapat dibeli dengan uang. Keadaan keuangan yang baik dapat menjadi sumber strategi coping pada individu. Secara umum masalah keuangan dapat memicu stres individu yang mengakibatkan meningkatnya pilihan dalam strategi coping untuk bertindak. Salah satu manfaat material bagi individu yaitu dapat memudahkan individu dalam kepentingan hukum,

(10)

commit to user

medis, keuangan, dan lain-lain. Hal ini menyebabkan individu yang memiliki materi dapat mengurangi resiko stres.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Billings and Moos (dalam Sarafino, 2011) terhadap 200 pasangan yang telah menikah tentang bagaimana tangapan mereka menghadapi situasi yang negatif, ada beberapa faktor yang mempengaruhi problem focused coping, yaitu:

a. Jenis kelamin

Jenis kelamin mempengaruhi bagaimana individu melakukan coping. Hasil penelitian Billings and Moss menunjukkan bahwa baik suami dan istri lebih terbiasa menggunakan problem focused coping daripada emotion focused coping dalam menghadapi situasi yang penuh tekanan.

b. Tingkat pendidikan dan status ekonomi

Pendapatan orang yang berbeda-beda dapat mempengaruhi bagaimana orang menyikapi suatu masalah, begitu juga dengan tingkat pendidikan. Individu dengan pendidikan dan status ekonomi yang tinggi lebih sering menggunakan problem focused coping daripada individu yang memiliki status ekonomi dan tingkat pendidikan yang lebih rendah.

c. Jenis masalah

Jenis permasalahan yang dihadapi oleh seseorang dapat menentukan cara orang tersebut dalam menghadapi masalahnya. Apabila situasi yang dihadapi melibatkan kematian anggota keluarga atau orang yang dicintai, individu lebih memilih menggunakan emotion focused coping. Lain halnya

(11)

commit to user

dengan permasalahan yang masih bisa diatasi seperti kesulitan ekonomi atau penyakit, individu lebih memilih melakukan problem focused coping.

Ogden (2004) mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi problem focused coping, yaitu:

a. Tipe masalah

Masalah dalam pekerjaan lebih sering melibatkan problem focused coping sementara masalah kesehatan dan hubungan dengan orang lain lebih melibatkan emotion focused coping.

b. Usia

Anak-anak lebih memilih menggunakan problem focused coping dimana emotion focused coping lebih sering digunakan oleh remaja. Folkman et al (dalam Ogden, 2004) mengatakan bahwa orang dewasa tengah lebih menggunakan problem focused coping sedangkan orang tua lebih menggunakan emotion focused coping.

c. Jenis kelamin

Sudah menjadi rahasia umum bahwa wanita lebih sering menggunakan emotion focused coping dan pria lebih mengarah kepada penyelesaian berfokus pada masalahnya.

d. Kemampuan mengontrol

Orang-orang lebih memilih untuk menggunakan problem focused coping jika mereka percaya bahwa masalah tersebut dapat berubah. Sebaliknya, mereka menggunakan emotion focused coping jika masalah yang mereka hadapi melebihi dari kemampuan mereka untuk mengendalikannya.

(12)

commit to user e. Ketersediaan sumber

Coping dipengaruhi oleh sumber eksternal seperti waktu, pendidikan, anak-anak, keluarga, dan pendidikan. Sumber yang sedikit mungkin membuat orang merasa bahwa stressor kurang terkontrol oleh mereka sehingga mengakibatkan keengganan untuk menggunakan problem focused coping.

Berdasarkan pemaparan para ahli di atas, dapat dilihat bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi problem focused coping pada individu, antara lain: kesehatan dan energi, keyakinan yang positif, kemampuan pemecahan masalah, dukungan sosial, keterampilan sosial, sumber material, jenis kelamin, tingkat pendidikan atau status ekonomi, jenis masalah, usia, dan kemampuan mengontrol.

B. Kecerdasan Adversitas 1. Pengertian Kecerdasan Adversitas

Konsep tentang kecerdasan adversitas atau adversity quotient (AQ) didapat berdasarkan hasil studi empiric yang dilakukan oleh banyak ilmuwan serta lebih dari lima ratus kajian di seluruh dunia dengan memanfaatkan tiga disiplin ilmu pengetahuan, yaitu psikologi kognitif, psikoneuroimunologi, dan neurofisiologi (Stoltz, 2005). Menurut Sumardi (2007) kecerdasan adversitas dapat juga disebut dengan kecerdasan keuletan, tahan banting, atau ketangguhan. Stoltz (2005) mendefinisikan kecerdasan adversitas sebagai kecerdasan seseorang dalam menghadapi rintangan atau hambatan. Selanjutnya

(13)

commit to user

menurut Stoltz (2005) kecerdasan adversitas mempunyai tiga bentuk. Pertama, kecerdasan adversitas adalah suatu kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan. Kecerdasan adversitas berlandaskan pada riset yang berbobot dan penting yang menawarkan kembali apa yang diperlukan untuk mencapai kesuksesan. Kedua, kecerdasan adversitas adalah ukuran untuk mengetahui respon seseorang terhadap kesulitan. Pola-pola bawah sadar ini sebenarnya sudah dimiliki, hanya saja saat inilah pertama kalinya pola-pola tersebut diukur, dipahami, dan diubah. Ketiga, kecerdasan adversitas adalah serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respon seseorang terhadap kesulitan sehingga dapat digunakan untuk memperbaiki efektivitas pribadi dan professional seseorang secara keseluruhan. Gabungan ketiga unsur tersebut, yaitu pengetahuan baru, tolak ukur, dan peralatan yang praktis, merupakan sebuah paket yang lengkap untuk memahami dan memperbaiki komponen dasar dalam meraih sukses.

Stoltz (dalam Phoolka and Kaur, 2012) mengatakan bahwa kecerdasan adversitas menentukan apakah seseorang dapat bertindak melebihi harapan atay akan menyerah dengan cepat. Kecerdasan adversitas dapat memprediksikan ketekunan dan daya tahan seseorang dan dapat digunakan untuk meningkatkan efektivitas dari suatu tim, hubungan, keluarga, komunitas, budaya, masyarakat, dan organisasi.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan adversitas adalah kemampuan dan ketangguhan seseorang dalam merespon, menghadapi

(14)

commit to user

rintangan, kesulitan, hambatan, dan mengubahnya menjadi peluang untuk mencapai tujuan demi meraih kesuksesan.

2. Dimensi-Dimensi Kecerdasan Adversitas

Stoltz (2005) mengatakan bahwa kecerdasan adversitas terdiri dari empat dimensi yang sering disingkat menjadi CO2RE, yaitu:

a. Control (kendali)

Control atau kendali menentukan seberapa besar kendali seseorang terhadap kesulitan. Kendali adalah kemampuan seseorang dalam mengendalikan dan mengelola sebuah peristiwa yang menimbulkan kesulitan di masa mendatang. Kendali ini sebenarnya hampir tidak mungkin diukur akan tetapi bisa diukur berdasarkan apa yang dirasakan. Control ini diawali dengan pemahaman tentang individu dapat melakukan sesuatu atau apapun. Control dalam hal ini menunjukkan bahwa seseorang yang mempunyai kecerdasan adversitas tinggi dapat merasakan kendali yang lebih besar atas kejadian-kejadian dalam hidupnya dibandingkan dengan orang yang mempunyai kecerdasan adversitas lebih rendah.

b. Origin and Ownership (asal usul dan pengakuan)

Penjelasan mengenai Origin and Ownership ini adalah kemampuan seseorang untuk menganalisis asal dari kesulitan yang dihadapinya dan sejauh mana orang itu mengakui akibat-akibat dari kesulitan yang dihadapinya. Orang yang mempunyai kecerdasan adversitas rendah cenderung menempatkan rasa bersalah yang tidak semestinya atas

(15)

peristiwa-commit to user

peristiwa buruk yang terjadi dan menyalahkan dirinya sendiri sebagai penyebab kesulitan tersebut.

Stoltz (2005) berpendapat bahwa rasa bersalah mempunyai dua fungsi penting. Pertama, rasa bersalah membantu seseorang untuk belajar, merenung, dan menyesuaikan tingkah laku. Kedua, rasa bersalah yang mengarah kepada penyesalan sehingga dapat memaksa seseorang untuk meneliti hati nurani dan mempertimbangkan apakah ada hal-hal yang dilakukan telah melukai hati orang lain. Rasa menyesal ini bisa menjadi motivator yang kuat untuk membantu menyembuhkan kerusakan yang dapat muncul dalam suatu hubungan. Sebaliknya, rasa bersalah dapat bersifat merusak mental dan melemahkan semangat apabila berlebihan atau digunakan dalam kondisi yang tidak tepat.

c. Reach (jangkauan)

Jangkauan dalam hal ini berarti sejauh mana kesulitan akan merambah kehidupan seseorang dan bagaimana suatu masalah mengganggu aktivitas lain yang tidak berhubungan dengan masalah yang sedang dihadapi. Orang yang mempunyai kecerdasan adversitas yang rendah dapat membuat kesulitan tersebut merasuk ke segi-segi lain dari kehidupan seseorang. Sebaliknya, berkaitan dengan reach, Rock & Page (2009) menjelaskan tentang bagaimana orang yang mempunyai kecerdasan adversitas tinggi apabila mendapatkan masalah atau penderitaan tidak menjalar dan mempengaruhi kehidupannya.

(16)

commit to user d. Endurance (daya tahan)

Endurance atau daya tahan yaitu sampai seberapa tinggi tingkat ketepatan dan kecepatan individu dalam memecahkan masalah sehingga dapat dilihat seberapa lama kesulitan akan berlangsung dan berapa lama penyebab kesulitan tersebut berlangsung. Seseorang yang mempunyai daya tahan rendah pada kesulitan yang dihadapi akan membuat masalah atau kesulitan itu berlangsung lama. Sebaliknya, orang yang memiliki tingkat daya tahan tinggi akan membuat orang tersebut mampu menghadapi kesulitan hidup dengan efektif dan dalam waktu singkat.

3. Tingkatan Kecerdasan Adversitas

Scoltz (2005) menganalogikan tingkatan kecerdasan adversitas dengan seseorang yang sedang mendaki gunung es yang tinggi dengan puncak gunungnya sebagai tujuan hidup manusia menuju kesuksesan yang akan mengalami banyak kesulitan yang akan dihadapi. Tingkatan-tingkatan tersebut adalah:

a. Quitters (orang yang berhenti)

Quitters adalah istilah bagi orang-orang yang menghindari kewajiban, mundur, berhenti. Orang yang berhenti ini dideskripsikan sebagai orang yang tidak berani mencoba untuk mendaki gunung es karena merasa kehidupannya yang sekarang aman dan tidak ingin mencoba tantangan lain. Hal ini sama dengan orang yang sedang mengalami kesulitan yang menolak mendapat tantangan baru dan meninggalkan banyak hal yang ditawarkan

(17)

commit to user

oleh kehidupan. Habsari (2005) mengatakan bahwa orang yang masuk dalam kategori ini adalah orang yang memiliki kecerdasan adversitas paling lemah ketika sedang menghadapi kesulitan sehingga membuat orang tersebut menjadi pemurung, pemarah, frustasi, sinis, menyalahkan orang lain, dan iri dengan kesuksesan orang lain.

b. Campers (orang yang memutuskan untuk berkemah)

Seseorang yang masuk dalam kategori ini merupakan orang yang mudah puas dengan hasil yang diperolehnya sehingga memilih untuk istirahat dan mengindar dari masalah yang muncul. Hal ini mirip dengan quitters namun setidaknya kaum campers sudah mau mencoba. Orang yang masuk kategori ini sudah berusaha untuk mencoba, namun saat melihat sulitnya medan yang harus dihadapi mereka memutuskan untuk berhenti melanjutkan usahanya.

Individu yang termasuk dalam kategori ini memiliki kecerdasaan adversitas yang sedang. Individu tersebut giat berusaha menghadapi rintangan hanya saat permulaan saja, ketika telah merasa bosan dan lelah mereka akan istirahat dalam waktu yang cukup lama sehingga posisinya semakin jauh dari kesuksesan.

c. Climbers (pendaki sejati)

Kelompok pendaki ini termasuk orang yang mempunyai visi ke depan untuk maju sampai mencapai puncak kesuksesan yang diinginkannya. Climbers adalah pemikir yang selalu memikirkan kemungkinan-kemungkinan, dan tidak pernah membiarkan umur, jenis kelamin, ras, cacat

(18)

commit to user

fisik atau mental, atau hambatan lainnya menghalangi niatnya. Orang yang termasuk dalam kategori ini cenderung mempunyai kecerdasan adversitas yang tinggi. Orang itu mengerti bahwa kehidupan yang sekarang adalah tempat ujian untuk mencapai kesuksesan kelak. Climbers tahu bahwa banyak imbalan datang dalam bentuk manfaat jangka panjang dan akan membawanya pada kemajuan di kemudian hari.

C. Dukungan Sosial 1. Pengertian Dukungan Sosial

Dukungan sosial berarti rasa nyaman, perhatian, penghargaan, atau tersedianya bantuan dari orang lain atau kelompok (Uchino, dalam Sarafino, 2011). Taylor, Peplau, & Sears (2006) mengemukakan bahwa dukungan sosial merupakan pemberian informasi dari orang lain bahwa dirinya dipedulikan dan dihargai. Dukungan sosial biasanya menggambarkan mengenai peranan atau pengaruh yang dapat ditimbulkan oleh orang lain seperti anggota keluarga, teman, saudara, atau rekan kerja. Taylor (2009) menjelaskan bahwa dukungan sosial adalah informasi dari orang lain bahwa seseorang dicintai dan dirawat, terhormat dan dihargai, dan bagian dari jaringan komunikasi serta kewajiban timbal balik. Chaplin (2002) mendefinisikan dukungan sosial sebagai suatu penyediaan seseorang untuk memenuhi kebutuhan orang lain berupa dorongan, semangat, dan nasihat kepada orang lain. Sarason, Levine, Basham, & Sarason (1983) mengatakan bahwa dukungan sosial adalah keberadaan atau kesediaan

(19)

commit to user

dari orang-orang yang dapat diandalkan, orang-orang yang memberitahu kita bahwa mereka peduli, menghargai dan menyayangi kita.

Menurut Gottlieb (dalam Smet, 1994) dukungan sosial terdiri dari informasi atau nasehat verbal dan atau nasehat non verbal, bantuan nyata, atau tindakan yang diberikan oleh keakraban sosial atau didapat karena kehadiran mereka dan mempunyai manfaat emosional atau efek perilaku bagi pihak penerima. Hal ini membantu individu untuk menghadapi situasi yang menimbulkan ketegangan. Orang yang memperoleh dukungan dapat merasa lega secara emosional karena diperhatikan, mendapat saran atau kesan yang menyenangkan agar mereka dapat mencari jalan keluar bagi dirinya. Dukungan sosial merupakan bentuk emosional dan sumber daya yang disediakan oleh orang lain untuk mengatasi stres (Baron dan Byrne, 2005).

Dukungan sosial dapat diartikan sebagai suatu kenyamanan, perhatian, penghargaan ataupun bantuan yang diterima indivudu dari orang lain maupun kelompok yang berupa penghiburan, perhatian, penerimaan, atau bantuan dari orang lain (Sarafino, 1998).Senada dengan hal tersebut, Wiggins (dalam Smet, 1994) menjabarkan dukungan sosial sebagai pertolongan, bantuan yang diterima oleh individu dari interaksinya dengan lingkungan sekitar. Dengan adanya dukungan sosial maka individu akan lebih sehat fisik dan psikisnya daripada individu yang tidak menerima dukungan sosial.

Menurut Taylor (2009) dukungan sosial dapat berupa barang, jasa, informasi, dan nasehat sehingga individu penerima akan merasa disayang, dihargai, dan tentram. Dukungan sosial dapat berfungsi antara lain untuk

(20)

commit to user

memenuhi kebutuhan bimbingan, memberikan perasaan ada teman yang dapat diandalkan, dapat mengekspresikan rasa perhatian dan cinta, meyakinkan keberhargaan diri, kesempatan untuk memberikan perhatian kepada orang lain, kasih sayang dan integrasi sosial (Weiss dalam Cutrona, Cole, Coangelo, Assouline, & Russell, 1994).

Berdasarkan penjelasan dari para ahli di atas, bisa disimpulkan bahwa dukungan sosial adalah suatu hubungan yang dapat dipenuhi dengan memberikan perhatian, penghargaan, rasa nyaman, dan dorongan dalam bentuk bantuan instrumental, emosional, informasi, dukungan verbal dan atau nonverbal atau pertolongan lainnya sehingga dapat menimbulkan perasaan positif pada individu yang menerimanya.

2. Aspek-Aspek Dukungan Sosial

Sarafino (1998) mengatakan ada lima aspek dukungan sosial, yaitu: a) Dukungan emosional

Dukungan emosional ini meliputi ekspresi empati, kepedulian, perhatian kepada orang yang menerima. Dukungan emosional menyediakan orang-orang dengan perasaan nyaman, jaminan, rasa memiliki, dan dicintai saat individu sedang mengalami stres.

b) Dukungan penghargaan

Dukungan penghargaan terjadi melalui ungkapan penghargaan yang positif untuk orang yang menerima, dorongan maju atau persetujuan terhadap ide atau perasaan seseorang, dan perbandingan positif antara satu

(21)

commit to user

individu dengan individu yang lain. Dukungan jenis ini diperlukan untuk membangun penilaian terhadap diri, kemampuan, dan perasaan dihargai. c) Dukungan instrumental

Dukungan ini mencakup dukungan langsung seperti saat orang memberikan atau meminjamkan uang atau pertolongan berupa pekerjaan ketika orang lain menghadapi situasi yang penuh tekanan atau stres.

d) Dukungan informasi

Dukungan informasi termasuk dengan memberikan nasehat, arahan, saran, petunjuk, atau umpan balik atas apa yang sedang dilakukan oleh individu atau yang sedang terjadi pada individu tersebut sehingga dapat membatasi masalahnya dan mencari jalan keluar untuk memecahkan masalahnya.

e) Dukungan jaringan sosial

Dukungan ini merupakan perasaan keanggotaan dalam suatu kelompok yang saling berbagi kesenangan dan aktivitas sosial.

Menurut Taylor (2009) aspek-aspek dukungan sosial adalah sebagai berikut:

a. Bantuan yang nyata (tangible assistance)

Bantuan nyata melibatkan penyediaan dukungan material seperti jasa, bantuan keuangan, atau barang.

b. Dukungan informasi (informational support)

Keluarga dan teman-teman dapat menyediakan dukungan informasi tentang kejadian yang penuh tekanan yang dialami mereka dulu. Informasi ini dapat

(22)

commit to user

membantu individu untuk mengerti suatu kejadian stres dengan lebih baik dan dapat menentukan strategi coping yang akan digunakan.

c. Dukungan emosional (emotional support)

Dukungan ini dapat dilakukan dengan meyakinkan orang yang menerima dukungan bahwa dia layak untuk diperhatikan. Kehangatan dan pengasuhan yang diberikan oleh orang lain dapat memungkinkan seseorang yang sedang berada dalam kondisi stres dapat menghadapinya dengan kepastian yang lebih besar.

Dari bentuk-bentuk dukungan sosial yang disampaikan oleh beberapa ahli di atas, maka untuk pengukuran dukungan sosial dalam penelitian ini digunakan aspek dukungan sosial dari Sarafino (1998) yaitu dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dukungan informasi, dan dukungan jaringan sosial.

D. Hubungan antara Kecerdasan Adversitas dan Dukungan Sosial dengan

Problem Focused Coping

1. Hubungan antara Kecerdasan Adversitas dan Dukungan Sosial dengan

Problem Focused Coping

Seperti yang telah dibicarakan di bab sebelumnya, guru sekolah dasar (SD) merupakan guru yang mengajar dan mendidik murid di dalam semua mata mata pelajaran (kecuali agama dan penjaskes) di dalam kelas tertentu. Guru mempunyai peran yang penting di dalam proses pembelajaran untuk menjadikan pembelajaran tersebut menjadi efektif dan siswa dapat

(23)

commit to user

mengembangkan kemampuannya secara optimal. Selain itu guru SD juga berperan dalam mengorganisasi kelas sebagai bagian dari proses pembelajaran dan siswa sebagai subyek yang sedang belajar. Tugas guru SD bukan hanya untuk mengajar siswa, namun guru SD juga harus menjadi pengganti orang tua di sekolah karena pada saat anak memasuki masa sekolah dasar, sering anak lebih patuh kepada gurunya daripada orang tuanya. Oleh karena itu guru harus bisa menempatkan dirinya sebagai sosok yang pantas dihormati dan ditiru. Guru juga diharapkan untuk memenuhi berbagai peran lain di dalam tugas mereka sehari-hari, seperti penilai (assessor), perencana, pengembang kurikulum, penyedia informasi, panutan, fasilitator, dan pengembang sumber daya (Sprenger, 2011).

Stres kerja dapat dialami oleh siapa saja, termasuk guru SD. Apabila guru SD merasakan beban kerja yang berat, tekanan dari atasan, masalah-masalah dari siswanya, tekanan ekonomi karena pendapatannya tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup, dan masalah-masalah lainnya, seorang guru dapat mengalami stres kerja. Seperti yang dinyatakan oleh De Nobile dan McCormick (2007) bahwa mengajar merupakan pekerjaan yang sangat penuh tekanan dan semakin meningkat di dalam dekade terakhir. Stres pada guru didefinisikan oleh Kyriacou (dalam Sprenger, 2011) sebagai kondisi emosional negatif yang dialami seperti rasa tegang, frustasi, ketakutan, kecemasan, kemarahan, dan depresi sebagai hasil dari aspek-aspek pekerjaan sebagai guru. Penelitian Arismunandar dan Ardhana (1998) menemukan bahwa ada beberapa hal yang menjadi sumber stres pekerjaan guru yang

(24)

commit to user

paling dominan, yaitu potongan gaji, kenaikan pangkat / jabatan yang tertunda, siswa perorangan yang berkelakuan buruk terus menerus, konflik dengan personil lain, lingkungan sekolah yang terlalu bising, kurangnya motivasi, perhatian, dan respon siswa terhadap pelajaran.

Sebuah penelitian oleh ESRI (Darmody & Smyth, dalam Kenney, 2013) menemukan bahwa 45% guru sekolah dasar di Irlandia mengalami stres di dalam pekerjaan mereka dan baik stres kerja maupun kepuasan kerja dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti jenis kelamin, usia, masa kerja, besarnya kelas, fasilitas sekolah, dan sumber daya yang memadai. Seringkali ketika mengalami stres, guru kurang mampu berpikir rasional dan sering pula membuat generalisasi pada hal-hal lain yang sebenarnya bukan merupakan inti dari permasalahan yang sesungguhnya. Edler & Hetherington (dalam Garmezy & Rutter, 1988) mengatakan bahwa situasi yang penuh tekanan atau situasi yang menekan terus menerus akan mengakibatkan kemampuan coping yang berpusat pada masalah menjadi kurang baik dan negatif. Pemahaman tentang strategi coping yang tepat, misalnya strategi coping yang berfokus pada pemecahan masalah (problem focused coping) diperlukan untuk mencegah stres kerja yang dialami guru sekolah dasar tidak menjadi berlarut-larut.

Problem focused coping menurut Lazarus & Folkman (1984) sering diarahkan dalam hal mendefinisikan masalah, menghasilkan solusi alternatif, menimbang alternatif-alternatif dalam hal biaya dan keuntungannya, kemudian memilih dari alternatif tersebut, dan bertindak. Problem focused

(25)

commit to user

coping berorientasi mencari pokok permasalahan dan berusaha memecahkannya. Seorang guru yang mampu melakukan problem focused coping dalam menghadapi masalahnya akan lebih cenderung dapat bertindak sesuai dengan kenyataan karena reaksi yang dimunculkan biasanya lebih mengutamakan proses pengambilan langkah aktif untuk menghilangkan atau mengurangi sumber stres.

Menyelesaikan permasalahan dengan menghilangkan atau mengurangi sumber stres, diperlukan ketangguhan tersendiri untuk melakukannya agar dapat menampilkan perilaku yang adaptif dalam mengatasi situasi yang menimbulkan stres tersebut. Ketangguhan dalam menyelesaikan masalah ini disebut dengan kecerdasan adversitas atau adversity quotient.

Orang dengan kecerdasan adversitas yang tinggi biasanya memandang kesulitan dalam hidup secara optimis. Menurut Stoltz (2005) orang dengan kecerdasan adversitas yang tinggi (climbers) adalah orang yang optimis dan pantang menyerah dalam mencapai tujuan hidup walaupun ada rintangan yang menghalanginya. Individu yang optimis cenderung lebih sering mengatasi tekanan yang dialaminya dengan problem focused coping dan terorientasi pada tindakan serta menekankan penilaian positif terhadap peristiwa-peristiwa yang menimbulkan stres (Carver & Scheier, 1985). Adanya ketangguhan dalam menyelesaikan masalah seseorang akan berusaha untuk mencari akar masalah (problem) dan menyelesaikannya agar sumber stres menjadi hilang atau setidaknya berkurang.

(26)

commit to user

Upaya menghilangkan atau mengurangi stres kerja guru sekolah dasar melalui problem focused coping tidak hanya memerlukan sikap kecerdasan adversitas yang tinggi namun juga dengan adanya dukungan sosial dari orang-orang sekitar. Uchino (dalam Sarafino, 2011) mengatakan bahwa dukungan sosial berarti rasa nyaman, perhatian, penghargaan, atau tersedianya bantuan dari orang lain atau kelompok. Sumber dukungan sosial yang diharapkan dapat memberikan dukungan yang tepat bagi guru adalah rekan kerja, atasan, dan keluarga. Bagi guru, dukungan sosial diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam mengatasi stres yang dialaminya sehingga secara langsung atau tidak langsung dapat meringankan keadaan fisik maupun psikisnya. Dengan kata lain, adanya dukungan sosial dari orang-orang di sekitarnya akan meningkatkan kemampuan guru sekolah dasar untuk melakukan problem focused coping.

Dukungan sosial yang diberikan kepada guru sekolah dasar dapat bermanfaat dengan lebih efektif untuk meningkatkan kemampuan dalam melakukan problem focused coping apabila seiring dengan tingginya kecerdasan adversitas yang dimiliki oleh guru tersebut. Hal tersebut dikarenakan dukungan sosial dapat membantu para guru sekolah dasar untuk semakin tangguh dan berdaya juang tinggi atau kecerdasan adversitas yang tinggi saat mengalami stres kerja. Aspek-aspek yang ada di dalam kecerdasan adversitas membutuhkan dukungan sosial dari orang lain untuk menerapkannya sehingga guru dapat melakukan problem focused coping dengan baik. Semakin tinggi kecerdasan adversitas yang dimiliki oleh guru

(27)

commit to user

sekolah dasar dan semakin tinggi dukungan sosial yang diberikan kepada guru, maka kemampuan guru untuk melakukan problem focused coping akan semakin tinggi pula. Begitupun sebaliknya, semakin rendah kecerdasan adversitas dan dukungan sosial yang diberikan kepada guru sekolah dasar, maka akan semakin rendah pula kemampuan guru tersebut untuk melakukan problem focused coping.

2. Hubungan antara Kecerdasan Adversitas dengan Problem Focused Coping Berbagai tuntutan dan tanggung jawab yang dimiliki oleh guru sekolah dasar. Apalagi jika banyak kesulitan dan hambatan muncul dalam memenuhi tanggung jawab tersebut maka akan menimbulkan suatu tekanan kerja sehingga akan menempatkan guru sekolah dasar sebagai sosok yang rentan terkena stres. Penyebab stres bagi guru sekolah dasar bisa datang dari berbagai macam sumber, seperti murid-murid yang susah diatur, tekanan dari rekan kerja dan atasan, tekanan dari orang tua siswa, tuntutan untuk selalu bertindak tanpa cela agar menjadi panutan orang di sekitarnya, tuntutan ekonomi yang tidak seimbang dengan gaji yang didapatkan, dan penyebab stres lainnya. Jika guru sekolah dasar tersebut tidak berusaha untuk mengatasi masalah dan tekanan yang dialaminya, maka individu tersebut bisa berada dalam kondisi yang lemah. Sebaliknya, apabila individu tersebut berhasil mengatasi masalah dan tekanan dengan efektif, maka individu tersebut akan berhasil melakukan problem focused coping dengan baik.

(28)

commit to user

Usaha untuk melakukan problem focused coping dengan efektif dapat dilakukan jika guru sekolah dasar mempunyai kemampuan untuk memahami dan mengelola masalah yang dimilikinya. Oleh karena itu kecerdasan adversitas diperlukan oleh guru sekolah dasar.

Stoltz (2005) mengemukakan bahwa kecerdasan adversitas merupakan kemampuan seseorang dalam menghadapi rintangan dan hambatan sekaligus mengubah hal tersebut menjadi peluang untuk meraih kesuksesan dan tujuan. Keteguhan semacam ini sangat berperan dbagi seseorang dalam melakukan problem focused coping. Semakin tinggi kecerdasan adversitas yang dimiliki maka akan semakin baik pula kemampuan individu tersebut dalam melakukan problem focused coping.

Seorang guru sekolah dasar yang mempunyai kecerdasan adversitas yang tinggi (kaum climbers) akan optimis dan pantang menyerah untuk mencapai tujuan hidup walau rintangan menghalangi (Stoltz, 2005). Senada dengan hal itu, Carver dan Scheier (1985) mengatakan bahwa individu yang optimis lebih sering mengatasi stres dengan problem focused coping dan terorientasi pada tindakan. Penelitian sebelumnya yang mendukung hipotesis penelitian ini yaitu penelitian yang dilakukan oleh Pranandari (2008) yang menyatakan bahwa ada perbedaan adversity quotient yang signifikan ditinjau dari strategi coping dimana individu dengan problem focused coping memiliki adversity quotient yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang menggunakan emotion focused coping dalam menghadapi situasi yang penuh

(29)

commit to user

tekanan. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa kecerdasan adversitas berhubungan secara positif dengan problem focused coping.

3. Hubungan antara Dukungan Sosial dengan Problem Focused Coping Guru di sekolah dasar merupakan pekerjaan yang lebih rawan akan stres dibandingkan profesi guru yang lain. Hal tersebut dikarenakan beban kerja guru sekolah dasar yang lebih berat, sebab guru sekolah dasar harus mengajar seluruh mata pelajaran di SD (kecuali agama dan penjaskes). Selain itu guru SD juga harus menjadi wali kelas, pengembang kurikulum, pembuat soal ujian semua mata pelajaran, memberikan laporan pertanggungjawaban setiap akhir semester kepada kepala sekolah, membuat catatan kemajuan hasil belajar siswa, memeriksa daftar hadir sebelum pelajaran dimulai, mengisi daftar nilai siswa pada buku niali, dan masih banyak lagi. Semua beban kerja yang ditanggung oleh guru sekolah dasar tersebut dapat menimbulkan perasaan tertekan apabila tidak ditangani dengan baik. Salah satu penanganan stres yang sering dipakai yaitu dengan coping.

Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, bahwa coping mempunyai dua jenis utama, yaitu problem focused coping dan emotional focused coping. Strategi coping yang berfokus pada masalah disebut problem focused coping. Problem focused coping dilakukan oleh guru sekolah dasar dengan mencari sumber atau akar permasalahan atau tekanan, kemudian menangani secara aktif bertindak untuk menghilangkan atau mengurangi tekanan tersebut.

(30)

commit to user

Untuk dapat melakukan problem focused coping dengan baik, diperlukan juga dukungan sosial dari orang-orang di sekitarnya. Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Smet (1994) bahwa jika individu merasa didukung oleh lingkungannya, segala sesuatu dapat menjadi lebih mudah pada saat mengalami kejadian-kejadian yang membuat individu menjadi tertekan. Sarafino (2011) berpendapat bahwa dukungan sosial bisa diperoleh dari keluarga, teman, suami atau istri, rekan kerja, dan organisasi kemasyarakatan. Aldwin (2007) mengatakan bahwa dengan menyediakan dukungan sosial, baik dalam bentuk dukungan instrumental, saran, nasehat, atau dukungan emosional, dapat membantu orang lain yang ingin melakukan coping dengan masalahnya. Begitu pula dengan guru sekolah dasar, dukungan dari keluarga, rekan kerja, atasan, dan masyarakat sangat dibutuhkan agar mampu menghadapi tekanan.

Penelitian sebelumnya yang mendukung hipotesis penelitian ini dapat dilihat dari penelitian yang dilakukan oleh Purba, Yulianto, dan Widyanti (2007) tentang pengaruh dukungan sosial terhadap burnout pada guru. Penelitian tersebut menyatakan bahwa dukungan sosial berpengaruh negatif terhadap burnout pada guru. Semakin tinggi dukungan sosial yang diterima guru, maka semakin kecil level burnout yang dialami. Hal ini menunjukkan bahwa dukungan sosial berjalan selaras dengan coping stres (usaha untuk mengatasi stres) pada guru. Hal tersebut bisa dibuktikan dari penelitian Kesuma (2002) tentang hubungan antara dukungan sosial dengan problem focused coping pada guru yang menghasilkan adanya hubungan positif yang sangat signifikan antara dukungan sosial dengan problem focused coping pada

(31)

commit to user

guru. Hal ini berarti guru yang memiliki dukungan sosial yang tinggi akan semakin meningkat kemampuannya dalam mengatasi stres, demikian pula sebaliknya.

Berdasarkan uraian di atas, bisa dilihat bahwa dukungan sosial memiliki peran penting dalam melakukan problem focused coping pada guru sekolah dasar.

E. Kerangka Pemikiran

Kecerdasan Adversitas

Dukungan Sosial

Problem Focused Coping pada guru SD

2

3 1

Keterangan : Anak Panah 1 : Hipotesis 1 Anak Panah 2 : Hipotesis 2 Anak Panah 3 : Hipotesis 3

Gambar 1

Kerangka Pemikiran Hubungan Kecerdasan Adversitas dan Dukungan Sosial dengan Problem Focused Coping pada Guru SD

(32)

commit to user F. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini, adalah:

1. Terdapat hubungan yang positif antara kecerdasan adversitas dan dukungan sosial dengan problem focused coping pada guru SD.

2. Terdapat hubungan yang positif antara kecerdasan adversitas dengan problem focused coping pada guru SD.

3. Terdapat hubungan yang positif antara dukungan sosial dengan problem focused coping pada guru SD.

Referensi

Dokumen terkait

Hipotesis pertama ditolak, tidak ada hubungan yang signifikan antara penggunaan strategi problem focused coping dengan kepribadian ambang sementara hipotesis kedua

Berdasarkan pemahaman ini maka peneliti menyatakan bahwa salah satu penyebab tidak signifikannya korelasi antara problem focused coping (PFC) dengan kepribadian ambang

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara self- efficacy dengan problem focused coping pada ibu primipara.Hipotesis yang diajukan adalah hubungan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan yang positif antara optimisme dan problem focused coping pada mahasiswa.. Hipotesis yang diajukan adalah ada hubungan

Problem Focused Coping merupakan salah satu bentuk koping yang lebih berorientasi pada pemecahan masalah (problem solving), Strategi ini telah dipandang sebagai

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara Problem Focused Coping dan Burnout pada guru sekolah dasar1. Hipotesis dalam penelitian ini adalah adanya

Pada penelitiannya diketahui bahwa mahasiswa yang mengalami stres akibat kesulitan dalam penyusunan skripsi sebanyak 84,3% melakukan problem focused coping dengan

Hubungan antara optimisme dengan kemampuan problem focused coping pada mahasiswa yang bekerja part time.Skripsi: Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang.. Metode penelitian