AIDS dan HIV adalah dua hal yang berbeda. AIDS (Acquired
Immune Deficiency Syndrome) atau Sindrom Kehilangan Kekebalan Tubuh
merupakan sekumpulan gejala penyakit yang menyerang tubuh manusia setelah terinfeksi HIV (Djoerban, 2001). Sedangkan, HIV (Human
kekebalan tubuh manusia, yakni suatu mekanisme tertentu dari tubuh atau biasa disebut dengan respon imun, yang berfungsi menangkal ancaman infeksi dan penyakit dari luar (Sarafino & Smith, 2011). Saat respon imun menurun, tubuh menjadi mudah terserang penyakit infeksi baik dari virus, bakteri, dan mikroba lainnya.
Orang dengan status positif HIV (seropositive), sangat rentan terhadap serangan infeksi lanjutan yang disebut dengan opportunistic
infection (Muma, Lyons, Borucki, & Pollard, 1997), seperti paru-paru basah (pneumocystis carinii pneumonia) dan bahkan kanker (kaposi’s sarcoma)
(Sarafino & Smith, 2011). Pada hakikatnya, infeksi oportunistik tidaklah berbahaya. Infeksi ini merupakan infeksi yang biasa dialami oleh setiap orang dan tidak menyebabkan gangguan yang berarti jika kekebalan tubuh dalam kondisi normal. Namun jika imunitas kian menurun, infeksi tersebut dapat menjadi sekumpulan penyakit terminal (terminal illness) yang berujung pada kematian (Sarafino & Smith, 2011).
HIV ditularkan dengan cara yang sangat terbatas, yakni melalui kontak seksual atau pertukaran cairan tubuh. Dinyatakan terbatas, karena HIV dalam jumlah yang cukup untuk menginfeksi hanya dapat ditemukan dalam darah, air mani, dan cairan vagina, sedangkan melalui cairan-cairan tubuh yang lain (air mata, keringat, air liur, dan air seni) tidak pernah dilaporkan adanya kasus penularan (Djoerban, 2001). Pertukaran cairan tubuh dapat terjadi melalui seks penetratif, yakni penis masuk kedalam vagina atau anus saat melakukan aktifitas seksual, melalui ibu yang
seropositif kepada bayinya secara perinatal (Tuapattinaja, 2004), transfusi dari produk darah yang telah tercemar HIV (Muninjaya, 1999; Djoerban, 2001), dan penggunaan jarum suntik bergantian dengan orang yang telah terinfeksi (Spiritia, 2004).
Seperti virus pada umumnya, HIV membutuhkan sel inang untuk berkembang biak. Dengan menginfeksi sel inang, jumlah HIV akan bertambah. Semakin banyak jumlah virus di dalam tubuh, imunitas tubuh akan semakin memburuk. Sehingga, perkembangan penyakit menjadi AIDS semakin cepat (Djoerban, 2001; Sarafino & Smith, 2011). Sampai saat ini belum ada yang dapat memastikan kapan AIDS akan muncul. Menurut Kaplan (dalam Tuapattinaja, 2004), kemunculan AIDS bervariasi antara 1-10 tahun, dengan kisaran rata-rata waktu 7-8 tahun. Kemudian Djoerban (2001) menambahkan, dari semua orang yang seropositif, terdapat kemungkinan 50% dari penderita akan mengidap AIDS setelah 10 tahun, selanjutnya setelah 13 tahun hampir semuanya menunjukkan gejala AIDS, dan meninggal dunia.
Jadi dapat disimpulkan bahwa, HIV merupakan “agen” yang menyebabkan lemahnya kekebalan tubuh manusia, membuat tubuh menjadi rentan terhadap penyakit dan infeksi sekunder lainnya. Virus ini masuk ke dalam tubuh melalui pertukaran cairan tubuh dengan hubungan seksual, dari ibu hamil ke pada janinnya, dan penggunaan jarum suntik bersama (sharing
sekumpulan penyakit oportunistik yang menjadi indikator kemunculan AIDS dalam rentang waktu tertentu.
a) Gambaran Imunitas
Imunitas merupakan respon adaptif untuk melindungi tubuh dari invasi virus (termasuk HIV), bakteri dan mikroba lainnya yang berpotensi merusak dan menyerang sel atau pertahanan tubuh (Muma, Lyons, Borucki, & Pollard, 1997). Organ utama dalam fungsi kekebalan ini adalah lymphoid, yang selalu aktif memproduksi dan meyimpan lymphocyte (sel darah putih) sel T (helper) atau biasa dikenal dengan CD4+, yakni salah satu partikel sel darah putih yang berperan aktif dalam imunitas tubuh (Nursalam & Kurniawati, 2007).
HIV termasuk dalam kategori retrovirus, karena keunikannya dalam melakukan transkripsi informasi genetik secara terbalik dari RNA ke DNA (Muma, Lyons, Borucki, & Pollard, 1997). Apabila virus telah tertanam dalam DNA, cukup sekali saja terinfeksi HIV, seumur hidup penderita akan membawa virus tersebut (Muma, Lyons, Borucki, & Pollard, 1997; Djoerban, 2001).
Sejak terinfeksi, secara bertahap HIV menguasai dan kemudian merusak sel CD4+. Jumlah sel CD4+ semakin berkurang dalam darah, sehingga ketahanan tubuh untuk mengantisipasi serangan berbagai kuman penyakitpun ikut melemah. Selama masa inkubasi, sel CD4+ mengalami penurunan jumlah dari 1000/µl sebelum infeksi, menjadi 200-300/µl dalam waktu 2-10 tahun (Nursalam & Kurniawati, 2007).
Tahapan rusaknya sistem imun, awalnya tercermin pada keadaan klinik tanpa gejala. Gejala-gejala klinik biasanya baru disadari penginap HIV setelah beberapa waktu lamanya, karena adanya masa jeda yang disebut dengan window period (Tuapattinaja, 2004). Window period merupakan periode infeksi yang tidak menunjukkan gejala apapun, yang berlangsung sejak infeksi pertama hingga penderita dinyatakan positif HIV. Selanjutnya, disusul dengan gejala yang tidak berat, seperti pembesaran kelenjer getah bening, diare, penurunan berat badan, dan sariawan. Biasanya gejala klinik yang berat, sesuai dengan kriteria AIDS, baru muncul setelah jumlah limfosit CD4+ kurang dari 200/µl (Djoerban, 2001).
Berdasarkan penjabaran tingkat klinik diatas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa ada fase yang dilalui oleh pengidap HIV sampai dengan berkembang menjadi AIDS. Fase tersebut dapat terjadi dalam rentang waktu yang cukup lama (sekitar 2-10 tahun).
b) Pengobatan HIV/AIDS
Infeksi HIV bersifat permanen. Apabila sekali terinfeksi, virus ini akan diderita sumur hidup (Djoerban, 2001). Untuk mengatahui keberadaan HIV, saat ini ada beberapa metode pemeriksaan yang dapat dilakukan, yakni metode ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay), Western Blot, dan IFA (Immunofluorescence Antibody Assay) (DeVita, Hellman, & Rosenberg, 1988). Biasanya tes baru dapat dilakukan setelah 2 atau bahkan sampai dengan 12 minggu sejak infeksi awal.
Siapa saja dapat terkecoh dengan hasil tes yang negatif HIV (seronegatif) dan merasa aman dari ancaman. Transmisi virus dapat terus terjadi saat penderita masih dalam periode asimptomatik (Muma, Lyons, Borucki, & Pollard, 1997). Oleh karena itu perlu diwaspadai dan sebaiknya melakukan pemeriksaan ulang 3-6 bulan berikutnya. Kemudian, apabila hasil pemeriksaan positif, tindakan-tindakan yang tepat harus segera dilakukan untuk mencegah perkembangan HIV di dalam tubuh. Tindakan yang paling utama adalah melalui pengobatan dengan antiretroviral agents, atau yang biasa disebut dengan ARV (antiretroviral).
ARV yang pertama kali ditemukan adalah AZT (azidothymidine) yang berfungsi menghambat enzim reserve transcriptase (transkripsi terbalik) untuk berkembang biak. Kemudian, pada tahun 1990an, pengobatan HIV semakin berkembang dengan lahirnya proteinase inhibitor, yakni jenis ARV yang menghambat enzim protase, sehingga mengakibatkan virus HIV generasi baru akan cacat dan tidak mampu menginfeksi (Djoerban, 2001).
Enzim protase sendiri berfungsi untuk memberikan kemampuan terhadap HIV generasi berikutnya melanjutkan infeksi ke sel limfosit. Dengan adanya proteinase inhibitor ini, akhirnya dapat mengurangi jumlah infeksi yang mungkin terjadi terhadap sel limfosit lainnya secara dramatis (Tuapattinaja, 2004). Kemudian, setelah tahun 1998, muncul ARV dengan nama Sustiva yang dinyatakan lebih ampuh jika dikombinasikan dengan ARV generasi sebelumnya. Hal ini dibuktikan dengan penelitian terhadap
pasien dengan jumlah virus yang amat banyak, sekitar 100.000 kopi RNA-HIV/ml darah. (Djoerban, 2001). Hasilnya sangat menggembirakan, setelah pengobatan selama 24 minggu pada 90% kasus, jumlah virus dalam darah berkurang sampai dengan tidak terdeteksi lagi (kurang dari 400 kopi/ml).
Dari seluruh penjabaran diatas, disimpulkan bahwa antiretroviral (ARV) merupakan obat yang dapat menghambat perkembangan restrovirus di dalam tubuh. Obat ini tidak dapat menangkal transmisi HIV dan bukan suatu tindakan medis yang dapat menyembuhkan dan membunuh virus. ARV hanya dapat mencegah reproduksi virus, mempertahankan jumlah virus seminimal mungkin dalam darah, dan menjaga kestabilan sistem imun akibat invasi HIV, sehingga pengidap dapat menjalankan kehidupan dengan “normal”.
2. ODHA Perempuan
Siapa saja dapat terinfeksi HIV, baik laki-laki maupun perempuan, tergantung seberapa banyak peluang dan seberapa besar faktor resiko penularan. Dalam hal ini, perhatian utama lebih mengarah kepada perempuan, karena adanya kasus infeksi terhadap perempuan yang kesehariannya hanya berprofesi sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT).
Amelia (2015) melalui media SindoNews.com mengabarkan bahwa, HIV telah merebak menjangkiti sekitar 617 orang IRT di Kota Medan, jumlah ini tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan jumlah PSK (pekerja seks komersial) yang terinfeksi HIV saat itu. Fenomena ini mengejutkan, karena keseharian berada dirumah, peluang terinfeksi dan faktor resiko
terkait penularan HIV sangat tidak memungkinkan bagi IRT. Infeksi tersebut, menurut pengamatan Eban Totonta Kaban (dalam Amelia, 2015) berasal dari suami yang suka “jajan” alias tidak setia kepada istrinya. Kondisi ini mematahkan anggapan yang berkembang di masyarakat bahwa HIV/AIDS adalah penyakit akibat perilaku yang menyimpang. Buktinya, tidak hanya orang-orang yang berperilaku menyimpang saja, bahkan IRT dapat terdampak akibat penularan yang disinyalir berasal dari suami.
Perhatian kepada perempuan menjadi begitu dikedepankan, karena perempuan memegang peranan penting dalam upaya pencegahan dan perawatan, baik untuk mereka yang terinfeksi maupun untuk penderita AIDS (Muninjaya, 1999). Apabila ada salah seorang anggota keluarga, seperti halnya suami terinfeksi HIV/AIDS, orang yang paling bertanggung jawab untuk merawat dan manjaga adalah kaum perempuan, yakni istrinya sendiri. Dibalik itu, sorotan negatif masyarakat akan langsung menjurus kepada istri ketimbang kepada suami, terlepas siapa sebenarnya pembawa infeksi tersebut kedalam rumah-tangga (Dalimoenthe, 2011).
Selain fokus diatas, ketidakmampuan perempuan sebagai istri dalam rumah-tangga untuk menolak kewajibannya melayani suami dalam hubungan badan merupakan faktor resiko tertinggi bagi mereka (Dalimoenthe, 2011). Dalimoenthe (2011) menuturkan bahwa, jika istri sudah terjangkiti, pintu masuk semakin besar bagi HIV untuk menggerogoti rumah-tangga. Penularan semakin melebar kepada anggota keluarga lainnya, yakni anak-anak.
Penularan pada anak dapat terjadi dari kehamilan dari ibu yang seropositif kepada bayinya, baik in utero (dalam kandungan), selama persalinan, maupun setelah bayi lahir. Kemungkinan penularan dari Ibu seropositif terhadap bayi berkisar 30-40% (Muninjaya, 1999). Selain itu, Muninjaya (1999) menambahkan bahwa, ada kemungkinan ASI (Air Susu Ibu) turut menjadi media transmisi terhadap bayi, karena HIV juga dijumpai dalam ASI meskipun dalam dosis kecil.
Demikian besarnya dampak apabila perempuan telah masuk dalam lingkaran HIV/AIDS, terlebih lagi apabila sudah terkait dengan keberlangsungan hidup berumah-tangga. Ada ketakutan mengenai kehilangan suami, mencemaskan keadaan anak-anak atau bayi yang dikandungnya, bahkan akan berimbas kepada eksistensi keluarga dalam kehiduapan sosial di masyarakat (Dalimoenthe, 2011).
Dari seluruh uraian diatas dapat disimpulkan bahwa, ODHA perempuan merupakan seseorang yang dinyatakan positif terinfeksi HIV melalui diagnosa dari seperangkat tes atau pemeriksaaan darah, dengan jenis kelamin perempuan. Istilah ODHA biasa digunakan untuk menyatakan
serostatus perempuan tersebut yang positif HIV, baik pada tahap tanpa
gejala maupun yang sudah menunjukkan gejala AIDS.