• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN FORGIVENESS ODHA PEREMPUAN YANG TERINFEKSI DARI SUAMI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "GAMBARAN FORGIVENESS ODHA PEREMPUAN YANG TERINFEKSI DARI SUAMI"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN FORGIVENESS ODHA PEREMPUAN

YANG TERINFEKSI DARI SUAMI

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh:

DWIKA SEPTIAN IHSAN

091301013

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI

GAMBARAN FORGIVENESS ODHA PEREMPUAN YANG TERINFEKSI DARI SUAMI

Dipersiapkan dan disusun oleh: DWIKA SEPTIAN IHSAN

091301013

Telah diperjuangkan di depan Dosen Penguji Pada tanggal 10 Februari 2017

Mengesahkan,

Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

Zulkarnain, Ph.D, Psikolog NIP. 197312142000121001

Tim Penguji Departemen Psikologi Klinis

1. Rahma Fauzia S, M.Psi, Psikolog, Penguji I/ Dosen Pembimbing NIP. 197905152010122002

__________________

2. Meutia Nauly, M.Si, Psikolog Penguji II NIP. 196711272000032001

__________________ 3. Hasnida, Ph.D, Psikolog Penguji III

NIP. 196908212000032001

(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang berjudul:

Gambaran Forgiveness ODHA Perempuan yang Terinfeksi dari Suami

Adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh kesarjanaan di perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini, saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, 9 Februari 2017

Dwika Septian Ihsan 091301013

(4)

Gambaran Forgiveness ODHA Perempuan yang Terinfeksi dari Suami Dwika Septian Ihsan dan Rahma Fauziah

ABSTRAK

Forgiveness merupakan suatu sikap prososial, yang dilandasi oleh perubahan tiga

dimensi motivasi dalam diri (McCullough, 2001), yakni menurunnya avoidance dan revenge motivation, serta meningkatnya benevolence motivation. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, yang bertujuan untuk menggambarkan forgiveness ODHA perempuan terhadap suami. Penelitian ini melibatkan tiga puluh satu Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) perempuan yang terinfeksi dari suaminya sendiri. Pengambilan data dilakukan dengan metode self-report, yakni subjek diminta mengisi skala forgiveness yang diadaptasi dari skala TRIM-18

(Transgression-Related Interpersonal Motivations Inventory) (McCullough, 2013). Hasil penelitian

menggambarkan bahwa rata-rata ODHA perempuan forgive terhadap suami.

Forgiveness ODHA perempuan terhadap suami, lebih dilandasi oleh rendahnya avoidance motivation (Af), sedangkan revenge (Rf) dan benevolence (Bf) motivation

turut mempengaruhi dalam derajat yang hampir sama.

(5)

Description of Forgiveness about Female PLWHA Infected by Husband Dwika Septian Ihsan and Rahma Fauziah

ABSTRACT

Forgiveness is a prosocial, based on a three dimensional change of motivation (McCullough, 2001), i.e. decreasing avoidance and revenge motivation, as well as increased benevolence motivation. This study is a descriptive research, which aims to describe the forgiveness of female PLWHA into husbands. The study involved thirty one female with HIV/AIDS (PLWHA) that infected by their own husbands. The data were collected by self-report method, the subjects were asked to fill the forgiveness scale that adapted from TRIM-18 (Transgression-Related Interpersonal Motivations Inventory) scale (McCullough, 2013). The results of study describe that the average female PLWHA are forgive toward the husband. Forgiveness female PLWHA toward husbands is based on low avoidance motivation (Af), while revenge (Rf) and benevolence (Bf) motivation is also influence in almost equal degree.

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur yang senantiasa terucap, beriring sujud sembah kehadirat Allah SWT. Hanya karena keberkatan dan rahmat-Nya lah penulis masih dapat merasakan nikmat yang maha luas, sehinggga berkesempatan menyelesaikan skripsi yang berjudul “Gambaran Forgiveness ODHA Perempuan yang Terinfeksi dari Suami” tepat pada waktunya. Salawat dan salam teruntuk pada Kekasih-Nya, Baginda Rasulullah Muhammad ﷺ, beserta keluarga dan para sahabat. Atas perjuangan-perjuangan luar biasa, menebar lentera ilahi penuh cinta di hamparan bumi, telah membawa perubahan besar, bagai oase pada hiruk-pikuk peradaban umat sepanjang masa.

Selama penulisan skripsi ini, banyak proses yang terlalui mulai dari persiapan, pelaksanaan, sampai dengan pengolahan data penelitian. Penulis memperoleh banyak dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak yang turut berkontribusi, membantu, dan mengisi perjalanan penulis, hingga akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan. Banyak cerita yang terhimpun darinya, sehingga menjadi suatu kesyukuran dan kebahagiaan tersendiri bagi penulis, untuk dapat mengucapkan salam hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada; 1. Bapak Zulkarnain, Ph.D, Psikolog selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas

Sumatera Utara. Kemudian Bapak Eka Danta Jaya Ginting, MA, Psikolog selaku Wakil Dekan 1, Bapak Ferry Novliadi, M.Si selaku Wakil Dekan 2, dan Ibu Rika Eliana, M.Psi, Psikolog selaku Wakil Dekan 3 Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

(7)

2. Kak Rahma Fauzia S, M.Psi, Psikolog selaku dosen pembimbing. Terima kasih atas bimbingan, kesabaran, dan ketegasan kakak selama ini. Semoga pengorbanan kakak dalam mempertaruhkan jabatan dan nama baik untuk membantu penulis dalam menyelesaikan studi di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, dibalas Allah dengan kebaikan yang banyak.

Insha Allah, ucapakan kakak akan “sarjana instan” akan senantiasa penulis

ingat sebagai sebuah statement yang memotivasi.

3. Kak Arliza Juairiani Lubis, M.Si, Psikolog selaku Ketua Departemen Psikologi Klinis Universitas Sumatera Utara. Banyak kekecewaan yang mungkin terukir, seiring kesabaran yang tak pernah habis terhadap penulis, terima kasih atas kepercayaannya dan support, serta semangat yang tak henti-hentinya dari kakak, sehingga penulis dapat selalu percaya diri untuk dapat melanjutkan skripsi ini sampai selesai. Semoga kakak senantiasa dirahmati Allah, aamiin. 4. Kak Juliana I. Saragih, M.Psi, Psikolog selaku pembimbing akademik, terima

kasih atas kesabaran yang tak habis-habisnya terhadap kenakalan penulis, sering hilang dan jarang mengomunikasikan perkembangan akademik. Semoga kakak senantiasa menjadi dosen “idola” bagi mahasiswa Psikologi USU. 5. Ibu Josetta M. R. Tuapattinaja, M.Si, Psikolog. Penulis haturkan maaf yang

sebesar-besarnya atas komitmen yang sering dilanggar, kesempatan-kesempatan yang terabaikan, dan perjuangan yang sempat terhenti. Dan terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada Ibu atas kesabarannya selama ini.

(8)

6. Ibu Meutia Nauly, M.Si, Psikolog dan Ibu Hasnida, Ph.D, Psikolog, selaku dosen penguji. Terima kasih atas waktu dan kesempatannya menjadi dewan penguji pada sidang skripsi penulis.

7. Kepada seluruh dosen lainnya di Fakultas Psikologi USU, khususnya teruntuk Ibunda Filia Dina Anggaraeni, M.Pd yang selalu perhatian dan memberikan semangat terhadap penulis agar menyelesaikan tugas skripsi dengan baik. 8. Kepada seluruh staf akademik, Pak Aswan, Bg Ronal, Kak Defi, dan Kak Ari

yang senantiasa baik hati membantu penulis. Semoga Allah membalas semuanya dengan kebaikan.

9. Seseorang yang paling dikagumi dalam hidup, Papa. (lebih 10 tahun kerinduan

ini tak pernah lekang dalam hati, semoga papa senantiasa dirahmati Allah).

Skripsi ini dedikasikan untuk Papa tercinta, terima kasih atas pendidikan akan kehidupan yang sering engkau ajarkan, benar bahwa “hidup adalah manfaat” seperti yang selalu engkau tanamkan. Maafkan penulis yang masih belum bisa mewujudkan seluruh harapanmu Papa.

10. Kedua orangtua, Ayah dan Mama. Dua orang yang selalu menyeruak pertama kali dalam hati kala setiap penghormatan dan ungkapan terima kasih ingin penulis haturkan, walau akhirnya dalam tulis, mereka berada pada urutan yang ke-sekian, terima kasih atas kasih sayangnya selama ini buat Ayah dan Mama. Mohon maaf yang sangat banyak penulis haturkan, sampai saat ini ujung dari harapan akan “anak yang berbakti” masih jauh dari capaian, senantiasa penulis merayu harap akan doa dan restu kepada mereka. (semoga Allah menyayangi

(9)

Kemudian kepada kakak ku tersayang Emilia Mestika, S.KG., semoga kelak jadi dokter yang rendah hati dan bermanfaat untuk masyarakat. Untuk adek ku yang cantik, Sri Bunga Mayori, si kecil yang manja (rindu ini kadang tak

terbendung saat Abang ingat dirimu. Tetaplah jadi anak kecil seperti itu, agar Abang tidak sungkan menggendongmu..)

11. Etek Vera, Pak Izal yang selalu bertanya kapan wisuda, Mutia yang kadang

nyindir, “capek lah wisuda, beko dulu lo adek wisuda dari abang ko, hehe”,

dan Intan, si pendiam yang kadang cuma bisa senyum jika di goda. Wan Devis dan Tante Dewi, Etek Dina dan Om Ul, serta seluruh keluarga besar yang tak dapat penulis sebutkan satu persatu (semoga Allah senantiasa merahmati

kelaurga kami).

12. Sahabat sekaligus rekan bisnis Ronal Dwi Putra. Terima kasih atas fasilitasnya selama ini. Semoga suatu saat bisnis kita dapat semakin besar, aamiin ya Rabb. 13. Sahabat-sahabat ku tercinta, Ridwan Kifmanto, Aulia Al-Ihsan, dan Riri May Putra. Semoga perjalanan kalian mengarungi dunia dan menjemput syurga selalu dalam naungan Allah.

14. Keluarga seiman dan seaqidah, Imam, Budi, Dafi, Muin, Mail, dan Ust. Ahmad Faisal, semoga ukhuwah kita selalu terjaga dan senantiasa istiqomah mengejar Cinta-Nya.

15. Pengurus MedanPlus, Kak Asih dan Pendamping ODHA Bang Tata dan Kak Deni yang telah menerima penulis dengan sangat ramah ramah,. Terima kasih atas kesediaannya memberikan arahan dan bantuan dalam menjaring subjek

(10)

penelitian, sehingga banyak menyita waktu dan tenaganya. Semoga dibalas kebaikan yang berpilat ganda oleh Allah.

16. Teman seperjuangan skripsi, Ariansyah yang telah wisuda lebih dulu. Semoga sukses selalu diluaran sana.

17. Teman-teman yang juga mengambil skripsi di Departemen Psikologi Klinis, yang menjadi sumber pembelajaran dan motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya.

18. Penyemangat hati, pengusung asa, LDK (dalam semangat yang mulai

memudar dia datang melengkapi kerinduan hati akan “harap” tentang masa depan, seperti saat hujan melengkapi bumi yang kemarau). Semoga

kelengkapan syarat dapat terpenuhi, agar tak ada lagi cemas diantara kami.

Penulis sepenuhnya menyadari masih banyak kekurangan dalam penelitian ini. Oleh karena itu, penulis meminta maaf yang sebesar-besarnya dan sekaligus mengharapkan masukan dan saran yang membangun guna menyempurnakan penelitian ini. Akhir kata, penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Terimakasih.

Medan, 9 Februari 2017 Penulis

(11)

DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ... i DAFTAR ISI ... vi DAFTAR TABEL ... ix DAFTAR LAMPIRAN ... x BAB I1 PENDAHULUAN ... 1 A. LATAR BELAKANG ... 1 B. RUMUSAN MASALAH ... 8 C. TUJUAN PENELITIAN ... 9 D. MANFAAT PENELITIAN ... 9 1. Manfaat Teoritis ... 9 2. Manfaat Praktis ... 9 E. SISTEMATIKA PENULISAN ... 10 BAB II LANDASAN TEORI ... 11 A. FORGIVENESS ... 11

1. Forgiveness dan Interpersonal Transgression ... 11

2. Dimensi Forgiveness ... 14

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Forgiveness ... 17

B. PERNIKAHAN ... 20

1. Pernikahan dan Intimate Relationship ... 20

2. Motif Pernikahan ... 21

3. Tipe Pernikahan ... 22

4. Manfaat Pernikahan ... 24

C. ORANG DENGAN HIV/AIDS (ODHA) ... 25

1. HIV/AIDS ... 25

2. ODHA Perempuan ... 31

D. GAMBARAN FORGIVENESS ODHA PEREMPUAN ... 33

(12)

BAB III

METODE PENELITIAN ... 37

A. IDENTIFIKASI VARIABEL ... 37

B. DEFENISI OPERASIONAL FORGIVENESS ... 37

C. SUBJEK PENELITIAN ... 38

1. Populasi Dan Sampel ... 38

2. Metode Pengambilan Sampel ... 38

D. METODE PENGUMPULAN DATA ... 39

1. Formulir Biodata ... 39

2. Skala ... 39

E. VALIDITAS DAN REALIBILITAS ... 41

1. Validitas Alat Ukur ... 41

2. Uji Daya Beda Item ... 41

3. Reliabilitas Alat Ukur ... 42

F. HASIL UJI COBA ALAT UKUR ... 42

G. PROSEDUR PELAKSANAAN ... 43

1. Persiapan Penelitian ... 43

2. Pengambilan Data ... 44

3. Pengolahan Data Penelitian ... 45

H. METODE ANALISIS DATA ... 45

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 46

A. GAMBARAN UMUM SUBJEK ... 46

1. Gambaran Berdasarkan Usia ... 46

2. Gambaran Berdasarkan Pendidikan ... 46

3. Gambaran Berdasarkan Stadium HIV ... 47

B. HASIL UTAMA PENELITIAN ... 48

1. Gambaran Forgiveness ... 48

2. Ketegorisasi Forgiveness ... 49

C. HASIL TAMBAHAN PENELITIAN ... 49

1. Deskripsi Forgiveness Berdasarkan Usia ... 49

(13)

3. Deskripsi Forgiveness Berdasarkan Stadium HIV ... 51

D. PEMBAHASAN ... 51

BAB V KESIMPULAN, KETERBATAN PENELITIAN, DAN SARAN ... 54

A. KESIMPULAN ... 54 B. KETERBATASAN PENELITIAN ... 55 C. SARAN ... 55 1. Saran Metodologis ... 55 2. Saran Praktis ... 56 DAFTAR PUSTAKA ... 58

(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 3. 1. Blueprint skala sikap (forgiveness) ... 40

Tabel 4. 1. Sebaran subjek berdasarkan tingkat usia ... 46

Tabel 4. 2. Sebaran subjek berdasarkan tingkat pendidikan ... 47

Tabel 4. 3. Sebaran subjek berdasarkan stadium HIV ... 47

Tabel 4. 5. Hasil utama penelitian ... 48

Tabel 4. 6. Gambaran forgiveness perdimensi ... 48

Tabel 4. 7. Kategorisasi penormaan skor forgiveness... 49

Tabel 4. 8. Kategori forgiveness ... 49

Tabel 4. 9. Gambaran forgiveness berdasarkan tingkat usia ... 50

Tabel 4. 10. Gambaran forgiveness berdasarkan pendidikan ... 50

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A Reliabilitas dan Uji Daya Beda Aitem Lampiran B Data dan Hasil Penelitian

(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

AIDS merupakan salah satu penyakit kronis dengan tingkat kematian yang tinggi di dunia. Sejak awal kemunculannya pada tahun 1980 sampai dengan tahun 2009, terdapat 2,7 juta infeksi baru dan 2 juta kematian setiap tahunnya (Sarafino & Smith, 2011). AIDS (Acquired Immune

Deficiency Syndrome) adalah sekumpulan gejala atau syndrome yang

muncul akibat infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus). Virus ini menyerang CD4+ yang berperan dalam fungsi kekebalan tubuh (Nursalam & Kurniawati, 2007). Sehingga, saat kekebalan melemah, tubuh menjadi mudah terserang berbagai infeksi oportunis (opportunistic infection), seperti paru-paru basah (pneumocystis carinii pneumonia) dan bahkan kanker

(kaposi’s sarcoma) (Sarafino & Smith, 2011).

Di Indonesia, berdasarkan data dari Ditjen PP dan PL Kemenkes RI sampai dengan Desember 2015, menyebutkan bahwa penyebaran HIV mencapai angka 191.073 kasus dan AIDS 77.112 kasus, dengan jumlah kumulatif AIDS tertinggi terdapat pada hubungan heteroseksual sebanyak 51.467 kasus (Spiritia.or.id, 2015). Data tersebut menjelaskan bahwa transmisi HIV didominasi oleh hubungan seksual beda jenis.

Transmisi juga terjadi pada pasangan pernikahan. Amelia (2015) menyebutkan bahwa di Kota Medan, Sumatera Utara, kasus infeksi sudah

(17)

(IRT) terjangkit HIV. Angka tersebut lebih dari tiga kali lipat jumlah PSK (Pekerja Seks Komersial) saat itu, yakni sekitar 179 orang yang turut mengidap HIV. Menurut pengamatan Eban Totonta Kaban (dalam Amelia, 2015), kebanyakan virus pada IRT berasal dari suami yang sering “jajan”, alias tidak setia kepada istrinya. Kondisi ini begitu memprihatinkan, ternyata penularan HIV juga beresiko mengancam pasangan yang telah menikah.

Dalam pernikahan kepercayaan dan cinta diikat dalam hubungan yang disahkan Undang-undang. Berdasarkan Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan merupakan ikatan lahir dan bathin antara laki-laki dan perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa (Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, 1974). Jika HIV telah menyerang rumah tangga, amanah perkawinan yang tertuang dalam UU. Perkawinan tersebut nyaris mustahil untuk diwujudkan.

Penularan HIV dalam keluarga kebanyakan bersumber dari suami (McCullough, Pargament, & Thoresen, 2000). Selain menggunakan jasa PSK, suami yang melakukan perselingkuhan dan suka berganti-ganti pasangan seksual juga berpeluang terinfeksi HIV (Papalia, Olds, & Feldman, 2011; Dalimoenthe, 2011).

Keluarga tidak luput dari pandangan miring masyarakat (Dalimoenthe, 2011), akan ada diskriminasi dan stigma negatif terhadap keluarga yang terjangkit HIV/AIDS. Menurut Pittman (dalam Handayani,

(18)

Suminar, Hendriani, Alfian, & Hartini, 2008), walaupun suami telah melakukan kesalahan dengan berselingkuh, masyarakat malah beranggapan perselingkuhan tersebut terjadi atas kesalahan istri. Hal senanda juga diungkapkan oleh Dalimoenthe (2011) bahwa, masyarakat pertama kali akan menyalahkan istri, dianggap tidak mampu menjaga diri, suami dan keluarga, istri dianggap sebagai orang yang tidak baik perilakunya, sehingga suami lebih memilih memenuhi kebutuhan biologis dengan perempuan lain. Tidak hanya masalah penilaian yang diskriminatif yang diterima oleh istri. Saat mereka menyandang status ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS), mereka memikul beban ganda, selain menjaga kesehatannya, dia juga harus menjaga suami yang sakit, merawat anak yang juga mungkin tertular, dan bahkan menggantikan suami mencari nafkah (Dalimoenthe, 2011). Perlakuan tidak manusiawi pun sangat mungkin terjadi, seperti diberhentikan dari pekerjaan, dikucilkan dan bahkan diusir dari tempat tinggalnya, karena bagi sebagian masyarakat masih ada stigma bahwa HIV/AIDS merupakan aib dan penyakit kutukan tuhan (Nursalam & Kurniawati, 2007). Selain stigma dan diskriminasi, fungsi keibuan ODHA perempuan juga terganggu, seperti mengandung, melahirkan dan mengasuh anak hingga membesarkannya (Dalimoenthe, 2011).

ODHA perempuan tidak lah berbeda dengan IRT pada umumnya terkait tanggung jawab didalam rumah tangga. Mereka harus mengemban amanah menyelenggarakan dan mengatur keperluan keluarga dengan baik, menjaga seluruh anggota keluarga dan disamping juga mengurus suami

(19)

(Duvall & Miller, 1985). Tentunya tanggung jawab ini meminta kesimbangan hak terhadap suami. Suami memiliki kewajiban memberi nafkah, menjadi pemimpin, membawa bahtera keluarga kepada jalan kebaikan, dan melindungi seluruh keluarga. Duvan & Miller (1985) menyatakan bahwa, pernikahan akan memuat ketetapan peran antara pasangan yang menikah. Namun akibat dampak HIV, harapan ODHA menjadi pupus. Suami yang seyogyanya menjadi nahkoda dalam hidup, malah menjerumuskannya kepada penyakit yang tidak bisa disembuhkan (Dalimoenthe, 2011).

Keadaan diatas membuat ODHA perempuan mengalami tekanan psikologis, seperti perasaan kecewa, menyesal dan merasa salah dalam memilihi pasangan hidup (Dalimoenthe, 2011). Kondisi ini menurut Sarafino & Smith (2011) bersumber dari perasaan negatif seperti kecemasan, depresi, marah, ataupun rasa tidak berdaya. Perasaan negatif ini muncul akibat adanya transgresi yang dilakukan suami (McCullough, Pargament, & Thoresen, 2000). Dalam konteks rumah tangga, transgresi dapat diartikan sebagai perilaku yang melanggar kepercayaan pasangan (McCullough, Pargament, & Thoresen, 2000).

Saat transgresi terjadi dalam hubungan interpersonal, menurut Worthington & Wade, (1999) korban dari perbuatan yang tidak adil dapat memberikan respon kemarahan, ketakutan, dan kebencian, serta dapat menyimpan dendam terhadap pelaku kesalahan. Saat transgresi terjadi, korban (dalam hal ini ODHA perempuan) akan merasa kehilangan

(20)

kepercayaan terhadap suami (transgressor) (Worthington & Wade, 1999), selain itu kedekatan fisik dan emosional dapat ikut serta hilang begitu saja.

Transgressor menurut Worthington & Wade (1999) merupakan pihak yang

melakukan transgresi.

Apabila keadaan dibiarkan, transgresi akan menjadi masalah berkepanjangan (Widhikora & Rusli, 2013). Keadaan ini tidak hanya memperburuk kesehatan ODHA, tapi juga memperburuk keharmonisan rumah tangga, pekerjaan, keberfungsian diri secara sosial maupun psikologis, dan kesejahteraan spiritual (Temoshok & Chandra, 2000).

Masalah ini perlu diseleseikan, agar tidak berlarut-larut dan berdampak buruk terhadap segala aspek kehidupan. Oleh karena itu, kedua belah pihak (suami dan istri) perlu membangun komunikasi dan melakukan penyesuaian untuk melanjutkan hubungan yang lebih baik (Handayani, Suminar, Hendriani, Alfian, & Hartini, 2008). Penyesuaian diri, pola komunikasi dan sikap saling menghargai merupakan faktor yang mempengaruhi kepuasaan pernikahan (Kumala & Trihandayani, 2015). Dengan membicarakan dan berdikusi, pasangan ODHA akan mendapatkan solusi mengenai masalah yang mereka hadapi, ditambah dengan sikap saling menghargai, memungkinkan kedua pihak dapat saling memahami dan memaafkan.

Memaafkan bukan berarti melupakan segala kesalahan

transgressor, tapi lebih kepada kemurahan hati untuk memaafkan sekaligus

(21)

yang dirasakan (Enright & North, 1998). Forgiveness harus dibedakan dari

pardoning (merupakan istilah hukum sebagai pengampunan atas

pelanggaran), condoning (mengandung unsur pembenaran atas pelanggaran), excusing (pelanggar dianggap memiliki alasan yang bisa diterima dalam perbuatannya), forgetting (melupakan kesalahan, tidak lagi dalam kesadaran, atau ingatan tentang pelanggaran melemah), dan denying (menyiratkan keengganan atau ketidakmampuan menanggung akibat dari pelanggaran). Forgiveness juga berbeda dengan reconciliation, yakni istilah yang menyiratkan pemulihan sebuah hubungan (McCullough, Pargament, & Thoresen, 2000; McCullough & Witvliet, 2002).

Pertama kali dikonfrontasikan pada kondisi positif HIV, setiap orang akan menolak untuk menerima kenyataan ini (Sarafino & Smith, 2011), demikian juga halnya dengan ODHA perempuan, sehingga mereka tidak mudah untuk memaafkan (unforgiveness) kesalahan suami.

Enright dan kawan-kawan (dalam Riasnugrahani & Wijayanti, 2011) mengungkapkan bahwa, ketika individu menolak mengampuni, mereka akan mengalami penderitaan ganda, yakni penderitaan atas kesalahan yang dilakukan oleh transgressor terhadap dirinya dan penderitaan karena menyimpan dendam beserta pikiran-pikiran negatif yang terjadi secara bersamaan. Riasnugrahani & Wijayanti, (2011) menyatakan bahwa, apabila ODHA perempuan terus-menerus unforgiveness, maka semakin lama kesehatannya akan terpengaruh secara negatif, dan sebaliknya, jika ODHA perempuan dapat mengambil sikap forgiveness, kesehatannya akan

(22)

terpengaruh secara positif. Kumala & Trihandayani (2015), juga menyatakan bahwa, forgiveness dan sabar bersama-sama mempengaruhi kepuasan pernikahan secara positif. Jadi dapat dikatakan bahwa, forgiveness merupakan pilihan yang tepat bagi ODHA perempuan yang telah menikah. Menurut Enright & North (1998), mengambil keputusan untuk

forgiveness tidak lah mudah, dibutuhkan kemampuan melewati berbagai

emosi negatif yang dirasakan dan menggantinya dengan emosi yang lebih positif, seperti halnya empati dan perasaan cinta. Dalam usaha ini tidak jarang individu akan selalu kembali dibayang-bayangi dengan peristiwa yang menyakitkan, penderitaan yang masih dirasakan, dan terkadang dendam yang belum sepenuhnya dapat dihapuskan begitu saja (Zelhas, Vinaya & Yustisia, 2016). Selain empati ada beberapa faktor lainnya yang juga ikut mempengaruhi forgiveness, seperti pemaknaan terhadap peristiwa, dan tingkat keparahan penyakit yang diderita (Worthington & Wade, 1999). Banyak manfaat yang akan dipetik ODHA ketika menerapkan sikap

forgiveness. McCullough, Worthington, & Rachel (dalam Zelhas, Vinaya &

Yustisia, 2016) mengungkapkan bahwa, forgiveness merupakan salah satu cara untuk mencegah munculnya masalah. Zelhas, Vinaya & Yustia (2016) menambahkan, walaupun solusi atas akibat dari kesalahan transgressor belum didapatkan, tapi ada indikasi penurunan motivasi untuk membalas dendam, merenggangkan hubungan, dan meningkatkan motivasi untuk berdamai dan berbuat baik. Dengan adanya motivasi-motivasi tersebut

(23)

ODHA perempuan akan lebih mampu memulihkan kembali hubungan dengan suaminya.

Saat ODHA berusaha membangun relasi dan memperbaiki hubungan, konsep diri (self-concept) dapat menjadi lebih positif dari sebelumnya (Sarikusuma, Hasanah, & Herani, 2012). Selain dapat memperbaiki hubungan interpersonal, forgiveness juga dapat meningkatkan kesejahteraan (well-being) (Riasnugrahani & Wijayanti, 2011; Zelhas, Vinaya & Yustisia, 2016) sehingga dapat meningkatkan kualitas kesehatan ODHA.

Dengan demikian ODHA perempuan yang menikah, sangat perlu mengembangkan perilaku forgiveness dalam menjalani kehidupannya. Seperti dipaparkan diatas, selain menunjang kesejahteraan dan kualitas kesehatan, forgiveness turut memberikan dampak positif pada kepuasaan pernikahan, sehingga harapan pernikahan ODHA yang sebelumnya sempat sirna, semakin mungkin untuk diwujdukan kembali. Tentu perlu adanya kerja sama dari suami dan pihak keluarga dari keduanya, agar tercipta keharmonisan rumah tangga yang memiliki arah dan tujuan. Dengan begitu, diharapkan kehidupan pernikahan dapat kembali berjalan dengan baik.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas, maka didapatlah pertanyaan penelitian, yakni “Bagaimana gambaran forgiveness ODHA perempuan yang terinfeksi dari suami?”

(24)

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian adalah untuk menggambarkan forgiveness ODHA perempuan yang terinfeksi HIV dari suaminya.

D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan yang bermanfaat bagi perkembangan ilmu psikologi, khususnya di bidang klinis, terutama yang berkaitan dengan forgiveness. b. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi masukan bagi

peneliti lain, yang tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai

forgiveness.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi orang yang memiliki kepedulian terhadap ODHA, khsusnya ODHA perempuan, diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai gambaran forgiveness pada ODHA perempuan, sebagai referensi dalam memberikan penanganan psikologis.

b. Bagi ODHA, khususnya perempuan yang terinfeksi dari suami, diharapkan dapat menyadari pentingnya forgiveness dalam menghadapi kondisi serostatusnya, sehingga dapat memandang dirinya dengan lebih baik dan positif.

(25)

E. SISTEMATIKA PENULISAN

BAB I merupakan Pendahuluan; berisi latarbelakang dari masalah yang

akan diteliti, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II adalah Landasan Teori; berisi teori-teori yang digunakan sebagai

landasan dalam menjelaskan permasalahan penelitian, terdiri dari teori mengenai forgiveness, pernikahan, dan HIV/AIDS dan ODHA Perempuan

BAB III adalah Metode Penelitian; berisi metode yang digunakan dalam

mendekati gejala atau masalah yang hendak diteliti, mencakup pendekatan penelitian, metode pengambilan sampel, karakteristik sampel, metode pengumpulan data penelitian, dan prosedur penelitian.

BAB IV adalah Hasil dan Pembahasan; berisi pemaparan hasil penelitian

dan pembahasan, serta analisa terhadap hasil pengolahan data.

BAB V adalah Kesimpulan, Keterbatasan Penelitian, dan Saran; berisi

kesimpulan dari hasil yang diperoleh, menjelaskan keterbatasan-keterbatasan yang ditemui selama melakukan penelitian, dan pemberian saran-saran sehubungan dengan hasil penelitian dan rencana penelitian lanjutan.

(26)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. FORGIVENESS

1. Forgiveness dan Interpersonal Transgression

Forgiveness merupakan konstruk multidimensional, sehingga tidak

ada konsep tunggal yang menjelaskan konstruk ini dengan sempurna. Namun, konsep-konsep tersebut saling menunjang dan melengkapi. (McCullough, Pargament, & Thoresen, 2000).

Snyder dan Thompson (dalam Lopez & Snyder, 2003) mendefinisikan forgiveness sebagai bentuk penerimaan transgression yang berhubungan dengan attachement (kelekatan) dengan transgressor,

transgression, dan sisa-sisa dari transgression yang berubah dari negatif

menjadi netral atau positif. Enright dan kawan-kawan (dalam McCullough, Pargament, & Thoresen, 2000; Lopez & Snyder, 2003) menyatakan bahwa,

forgiveness merupakan suatu kerelaan melepas hak untuk membenci,

memberikan penilaian negatif, dan tidak peduli terhadap seseorang yang bertindak tidak adil dan menyakiti, diwaktu yang bersamaan mengembangkan kasih sayang, kemurahan hati, dan bahkan cinta. McCullough mengatakan bahwa forgiveness merupakan suatu keadaan intraindividual (intrapersonal), yang tercermin pada perubahan prososial terhadap transgressor terkait dengan konteks interpersonal yang spesifik (McCullough, Pargament, & Thoresen, 2000).

(27)

Transgression (transgresi) merupakan tindakan yang salah atau

secara moral menyinggung dan menimbulkan luka atau rasa sakit baik fisik maupun psikologis (McCullough, 2001; McCullough, Pargament, & Thoresen, 2000; Worthington & Wade, 1999) dan transgressor merupakan orang yang melakukan transgresi (McCullough, Pargament, & Thoresen, 2000; Lopez & Snyder, 2003).

Menurut McCullough (dalam McCullough, 2001), untuk membahas

forgiveness perlu ditinjau transgresi yang terjadi berdasarkan konteks

hubungan interpersonal. Transgresi dalam hubungan interpersonal juga biasa disebut dengan interpersonal transgression (transgresi interpersonal) (McCullough & Witvliet, 2002; McCullough, Pargament, & Thoresen, 2000). McCullough & Witvliet (2002) mengungkapkan bahwa, saat seseorang menghadapi transgresi, mereka akan menghindari (avoidance) atau membalas (revenge) transgressor dengan tindakan yang memungkinkan transgressor merasakan rasa sakit dan luka yang sama dengan apa yang dirasakannya. Namun, tindakan membalas transgressor kadang berujung pada tindakan yang lebih desktruktif dan sangat membahayakan (McCullough & Witvliet, 2002).

Transgresi berbeda dengan agresi. Pada agresi tindakan destruktif merupakan suatu yang disengaja, bermaksud merusak atau menyakiti orang lain dan bertujuan menunjukkan kekuatan, mempengaruhi orang lain, mendapatkan pengakuan sosial atau sekedar menyalurkan perasaan negatif (Kenrick, Neuberg, & Cialdini, 2010). Sedangkan, pada transgresi unsur

(28)

destruktif malah muncul akibat dari perasaan tersinggung atau luka atas tindakan transgressor. Walaupun keduanya bersifat destruktif (Worthington & Wade, 1999; Kenrick, Neuberg, & Cialdini, 2010), transgresi tidak memiliki tujuan menekan atau menguasai orang lain seperti halnya agresi. Worthington & Wade (1999) mengungkapkan bahwa, transgresi dapat menjadi destruktif apabila transgresi cukup parah, terjadi berulang kali, dipenuhi dengan emosi negatif, dan tidak disertai rasa bersalah atau permintaan maaf dari transgresor.

Menurut McCullough (dalam Snyder & Lopez, 2002), forgiveness, merupakan salah satu mekanisme untuk menyelesaikan dampak dari

interpersonal transgression. McCullough dan kawan-kawan (dalam Lopez

& Snyder, 2003), mengungkapkan, perubahan prososial ditentukan oleh motivasi interpersonal seseorang, sehingga forgiveness merupakan suatu pilihan internal (intrapersonal process) baik sengaja maupun tidak. Saat seseorang memilih untuk forgive, dia menjadi kurang termotivasi untuk membahayakan transgressor (atau hubungannya dengan transgressor) dan bersamaan lebih termotivasi untuk bertindak dalam cara yang lebih menguntungkan transgressor (McCullough, 2001).

Jadi forgiveness merupakan satu set perubahan-perubahan prososial dalam hubungan interpersonal yang muncul karena adanya motivasi

interpersonal dalam diri individu, yakni dimana individu menjadi semakin

(29)

baik dan keinginan untuk berdamai, dan diwaktu yang bersamaan mengembangkan kasih sayang dan kemurahan hati.

2. Dimensi Forgiveness

Forgiveness sejatinya merupakan refleksi dari perubahan intrapersonal terkait konteks hubungan (relationship) yang spesifik. Forgiveness tidak sama halnya dengan resolusi konflik, melainkan sebagai

bentuk perubahan-perubahan motivasi dalam diri yang dipengaruhi oleh karakteristik hubungan interpersonal (McCullough & Witvliet, 2002). Semakin dekat hubungan interpersonal, maka semakin memungkinkan munculnya forgiveness dalam hubungan tersebut (McCullough & Witvliet, 2002). Ketika seseorang forgive, mereka akan memunculkan respon (baik tentang pikiran dan perasaan, apa yang ingin mereka lakukan, atau bagaimana mereka berperilaku) terhadap orang orang yang menyakitinya.

Selanjutnya, McCullough (dalam Snyder & Lopez, 2002) mengungkapkan forgiveness sebagai perubahan tiga dimensi motivasi terhadap transgressor, yaitu dari negatif ke arah yang lebih positif, yang ditandai dengan rendahnya dorongan untuk menghindari (avoidance

motivations); rendahnya dorongan untuk menyakiti atau membalas dendam (revenge motivations); dan meningkatnya dorongan untuk berperilaku

positif (benevolence motivations) terhadap transgressor. Lebih jelasnya, aspek-aspek tersebut dijabarkan sebagai berikut:

(30)

a) Avoidance Motivation.

Merupakan motivasi untuk menjauhi transgressor ditandai dengan individu yang memiliki kecenderungan perilaku menarik diri (withdrawal) dari hubungan terhadap transgressor (Worthington, 2005). Semakin tinggi motivasi seseorang untuk menjauh dan senantiasa menjaga jarak maka diartikan semakin sulit mereka dapat memaafkan orang yang telah menyakitinya, dan sebaliknya semakin menurun motivasi untuk menghindari pelaku, membuang keinginan untuk menjaga kerenggangan (jarak) dengan orang yang telah menyakitinya maka semakin mungkin mereka memaafkan (forgiveness).

b) Revenge Motivation.

Revenge Motivation merupakan kecenderungan seseorang untuk

melakukan pembalasan (balas dendam) atau mengharapkan hukuman yang setimpal terhadap transgressor. Secara sederhana, motivasi ini dapat diartikan sebagai kecenderungan perilaku untuk melakukan sesuatu yang menyakitkan seseorang yang pernah menyakitinya. Motivasi untuk melakukan pembalasan biasanya sesuai dengan derajat transgresi yang dirasakan terhadap transgressor. Namun, aksi pembalasan kadang tidak

equivalent (seimbang), bahkan balas dendam banyak berujung pada

penghakiman yang begitu berat, oleh karenanya tak jarang siklus saling balas dendam akan senantiasa berkelanjutan (McCullough & Witvliet, 2002).

(31)

Semakin menurun motivasi untuk membalas dendam terhadap

transgressor, membuang keinginan untuk membalas dendam terhadap

orang yang telah menyakiti maka seseorang akan semakin cenderung dapat memaafkan (forgiveness). Namun sebaliknya, apabila meningkat keinginan membalas dendam dan berharap transgressor mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya, kemungkinan untuk dapat forgive menjadi lebih sulit (Worthington & Wade, 1999).

c) Benevolence Motivation.

Benevolence motivations ditandai dengan dorongan untuk berbuat

baik terhadap transgressor (McCullough, 2001). Adanya sikap rela menerima masalah agar hubungan dengan transgressor menjadi lebih baik. Apabila seseorang semakin termotivasi oleh niat baik dan keinginan untuk berdamai dengan transgressor, meskipun pelanggarannya termasuk tindakan berbahaya, maka peluang forgive menjadi lebih memungkinkan, dan sebaliknya. Oleh karena itu individu yang memaafkan, memiliki

benevolence motivations yang tinggi, namun di sisi lain memiliki avoidance

dan revenge motivations yang rendah (McCullough, Pargament, & Thoresen, 2000; Lopez & Snyder, 2003).

Berdasarkan dimensi diatas, dapat disimpulkan bahwa forgiveness merupakan konstruk motivasional, yang mengindikasikan seseorang memiliki potensi untuk kurang avoidance dan revenge dan lebih

(32)

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Forgiveness

Saat transgresi terjadi, keadaan intrapersonal (proses internal) dan

interpersonal memainkan peranan penting terhadap peluang terjadinya forgiveness (McCullough, Pargament, & Thoresen, 2000). Ada banyak

faktor yang mempengaruhi kecenderungan seseorang untuk memilih

forgive atau tidak (unforgive).

Wardhati dan Faturochman (2001), mengemukakan bahwa ada beberapa faktor forgiveness, diantaranya adalah empati, atribusi terhadap transgresi dan transgressor, tingkat kelukaan, karakteristik kepribadian dan kualitas hubungan. Hal yang sama juga diungkapkan oleh McCullough (2001) bahwa kepribadian seperti aggreableness (Big Five Personality) dapat mempengaruhi forgiveness. Selain itu, stabilitas emosi, agama dan spiritualitas juga mempengaruhi forgiveness. Kemudian dalam studi lanjutan, McCullough (200) menambahkan bahwa empathy, attributions dan appraisals, dan rumination turut mempengaruhi forgiveness. Dari penjelasan tersebut, berikut faktor-faktor yang mempengaruhi forgiveness:

a) Agreeableness (Big Five Personality)

Agreeableness adalah salah satu dimensi kepribadian dari Big Five Personality, dimensi ini merupakan gabungan dari trait altruism

(kebajikan), empathy (empati), care (kepedulian), dan generosity (kemurahan hati) (McCullough, 2001). Dimensi ini memiliki korelasi yang positif terhadap forgiveness. McCullough (2001) menjelaskan bahwa,

(33)

seseorang yang agreeableness memiliki kecenderungan yang tinggi untuk

forgiving (memaafkan) dan rendah untuk vengeful (dendam). b) Emotional Stability (Stabilitas Emosi)

Stabilitas emosi merupakan dimensi kepribadian yang ditandai dengan rendahnya kerentanan pengalaman emosi yang negatif, tidak moody (emosi mudah berubah-ubah), dan tidak mudah sensitif (MuCullough, 2001). McCullough (2001) menjelaskan bahwa, stabilitas emosi merupakan disposisi munculnya forgiveness.

c) Religiousness dan Spirituality

Faktor agama dan spiritual menurut McCullough dan kawan-kawan (2000), memainkan peranan penting dalam kecenderungan seseorang untuk memaafkan. Berdasarkan berbagai penelitian mengungkapkan bahwa, orang yang lebih religius atau dalam hal spiritual cenderung memiliki kecenderungan yang tinggi untuk forgive terhadap orang lain (McCullough, 2001). Hal ini dibenarkan oleh McCulluogh, namun McCullough (2001) lebih menyebut faktor ini sebagai indikasi adanya forgiveness. Menurutnya, religiusitas dan spiritualitas memungkin orang lebih termotivasi untuk memaafkan (berdasarkan nilai-nilai agama) (McCullough, Pargament, & Thoresen, 2000), tapi hal ini hanya bermain dalam tatanan belief atau sebuah harapan untuk dapat memaafkan (McCullough, 2001).

d) Empathy for the Transgressor

Empati adalah kemampuan seseorang untuk ikut merasakan perasaan atau pengalaman orang lain (vicarious experience) dalam konteks

(34)

yang spesifik, ditandai dengan kasih sayang, kelembutan, dan simpati (McCullough, 2001). Menurut Wardhati & Faturochman, (2001) kemampuan ini erat kaitannya dengan pengambilalihan peran, yakni ketika berempati seseorang dapat memahami perasaan transgressor yang merasa bersalah dan tertekan akibat transgresi yang dilakukannya.

Empati juga menjelaskan variabel sosial psikologis yang mempengaruhi forgiveness yaitu permintaan maaf (apologies) dari pihak yang menyakiti (McCullough, 2001). Ketika pelaku meminta maaf kepada pihak yang disakiti maka hal itu bisa membuat korban lebih berempati dan kemudian termotivasi untuk memaafkannya (McCullough, 2001; Wardhati & Faturochman, 2001).

e) Generous Attributions (Atribusi) dan Appraisals (Penilaian)

Penilaian akan mempengaruhi setiap perilaku individu. Setiap perilaku itu ada penyebabnya dan penilaian dapat mengubah perilaku individu (termasuk forgiveness) di masa mendatang (Wardhati & Faturochman, 2001). Orang yang forgive terhadap transgresi cenderung menilai transgressor dengan penilaian yang lebih menyenangkan hal ini menurut McCullough disebabkan oleh kausalitas antara attributions dan

appraisals (McCullough, 2001). Orang yang pemaaf (forgiving people),

biasanya mengatribusikan transgresi yang terjadi bukanlah merupakan tanggungjawab transgressor atau mungkin tidak bermaksud menyakiti (McCullough, 2001). Atribusi tersebut memunculkan perubahan penilaian terhadap peristiwa yang menyakitkan ini memberikan reaksi emosi yang

(35)

positif, sehingga akan memunculkan forgiveness terhadap transgressor (Wardhati & Faturochman, 2001).

f) Rumination (Perenungan) terhadap Transgression

Rumination merupakan perenungan kembali terhadap transgresi

yang terjadi. Perenungan ini akan mengulang kembali kejadian (transgresi) dimasa lalu yang mengganggu pikiran dan afeksi, sehingga akan menghambat seseorang untuk forgive (McCullough, 2001). Menurut McCullough (2001) semakin sering seseorang mengingat-ingat transgresi, semakin cenderung seseorang termotivasi untuk menghindari (avoidance) atau melakukan pembalasan (revenge) terhadap transgressor.

B. PERNIKAHAN

1. Pernikahan dan Intimate Relationship

Setiap manusia, suatu saat akan menghadapi sebuah pernikahan. Menurut Papalia dan kawan-kawan (2011), pernikahan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia. Mayorittas masyarakat beranggapan, pernikahan merupakan cara terbaik dalam menjamin keteraturan membesarkan anak dan membentuk keluarga (Papalia, Olds, & Feldman, 2011).

Santrock (1995) mendefinisikan pernikahan sebagai penyatuan dua individu dari dua keluarga yang berbeda untuk membentuk satu sistem keluarga yang baru. Kemudian Olson dan DeFrain (dalam Handayani, Suminar, Hendriani, Alfian, & Hartini, 2008) menyatakan pernikahan

(36)

sebagai komitmen emosional dan legalitas antara dua orang untuk berbagi kedekatan fisik, kedekatan emosional, tugas dan sumber ekonomi.

Duvall dan Miller (1985) dengan jelas menjabarkan bahwa, pernikahan merupakan suatu hubungan yang sah sebagai unit sosial antara laki-laki dan perempuan yang didalamnya terdapat relasi seksual, keabsahan memiliki anak, dan penetapan pembagian tugas dan peran diantara keduanya. Sebagai unit sosial, pernikahan mendapatkan pengakuan masyarakat dan diatur oleh undang-undang atau agama. Sebagai relasi seksual, pernikahan di dalamnya memuat pemenuhan hasrat dan biologis. Pernikahan juga dianggap sebagai cara yang sah memiliki anak dan bertanggung jawab sepenuhnya dalam peran orang tua terhadap anak. Terakhir, pernikahan memuat penetapan tugas dan peran dalam membangun keluarga yang berbeda antara suami dan istri.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa, pernikahan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia yang menyatukan laki-laki dan perempuan dari keluarga yang berbeda membentuk unit sosial baru, memuat hak dan kewajiban sebagai suami istri, dan disahkan oleh undang-undang dan agama.

2. Motif Pernikahan

Pada mulanya, keputusan pernikahan merupakan masalah bersama antara dua keluarga dari masing-masing pasangan yang akan dinikahkan. Kemudian, ada pergeseran dimana keputusan ini juga merupakan merupakan hak perseorangan atau individual. Handayani dan kawan-kawan

(37)

(2008) memberikan beberapa alasan menikah menjadi dua bagian, yakni alasan positif dan negatif. Alasan-alasan tersebut, sebagai berikut:

a. Alasan Positif

1) Persahabatan; ingin menjalani kehidupan bersama.

2) Cinta (intimacy); saling mencintai merupakan alasan yang cukup bagi pasangan memutuskan untuk menikah.

3) Pasangan yang suportif; alasan saling mendukung pasangan. 4) Pasangan seksual; melegitimasi hubungan seksual.

5) Sharing pengasuhan anak; memiliki anak dan mengasuh merupakan alasan yang popular.

b. Alasan Negatif

1) Hamil diluar nikah; menikah karena terlanjut hamil.

2) Protes terhadap orang tua atas keluarga yang kurang harmonis. 3) Ingin mandiri; menikah untuk belajar mandiri.

4) Untuk mengatasi kekecewaan atas hubungan sebelumnya.

5) Tekanan keluarga dan sosial; dibeberapa budaya, alasan menikah dapat terjadi hanya karena faktor usia yang mengharuskan seseorang menikah.

6) Kebutuhan keuangan; dengan menikah berharap terpenuhinya kebutuhan keuangan.

3. Tipe Pernikahan

Pernikahan secara umum terdiri dari seorang laki-laki dan seorang perempuan (monogamous). Namun, di beberapa budaya tertentu, ada

(38)

pernikahan yang terjadi antara seorang laki-laki dengan banyak perempuan

(polygyny) dan seorang perempuan dengan banyak laki-laki (polyandry)

dalam waktu yang bersamaan (Duvall & Miller, 1985; Papalia, Olds, & Feldman, 2011).

Olson dan DeFrain (dalam Handayani, Suminar, Hendriani, Alfian, & Hartini, 2008) mengidentifikasi beberapa tipe pernikahan berdasarkan pencapaian kepuasaan pernikahan dari yang paling tinggi hingga yang terendah. Secara berurutan tipe pernikahan tersebut sebagai berikut:

a) Vitalized Couples

Tipe ini mencapai kepuasan di seluruh aspek pernikahan. Konflik dan komunikasi dapat dikelola dengan baik. Pasangan pernikahan cenderung lebih berpendidikan, status pekerjaan yang tinggi, dan menikah dalam waktu yang lama.

b) Harmonious Couples

Tipe ini memiliki kepuasaan pada tinggkat kedua setelah tipe sebelumnya. Tingkat pendidikan status pekerjaan yang cukup tinggi. Cenderung sedikit memiliki anak dan kurang puas dalam hal pengasuhan anak.

c) Traditional Couples

Kelemahan tipe ini, kurang mampu membangun komunikasi dan menyeleseikan konflik. Pasangan cukup berpendidikan dan biasanya istri tidak bekerja atau bekerja paruh waktu. Cenderung menikah pada usia muda

(39)

dan jumlah anak lebih banyak. Meskipun tidak puas dengan pernikahan, tipe ini cenderung tetap mempertahankan pernikahan.

d) Conflicted Couples

Hampir sama dengan tipe sebelumnya, namun kecenderungan untuk mempertahankan pernikahan lebih rendah, bahkan separuh dari tipe ini lebih memilih untuk bercerai.

e) Devitalized Couples

Tipe ini memiliki ketidakbahagiaan hampir di seluruh aspek pernikahan. Memiliki kecenderungan 10 kali lebih besar untuk mengakhiri pernikahan dibandingkan tipe pernikahan lainnya.

4. Manfaat Pernikahan

Pernikahan memiliki banyak keuntungan dibandingkan dengan orang yang tidak menikah. Olson dan DeFrain (dalam Handayani, Suminar, Hendriani, Alfian, & Hartini, 2008) dalam penelitiannya, menuturkan beberapa dampak positif pernikahan menurut Linda Waite, yakni:

a) Memiliki gaya hidup yang lebih sehat.

Pernikahan membuat orang lebih banyak menghindari perilaku yang berbahaya dibandingkan dengan orang yang melajang, duda, dan janda. Umumnya mereka memiliki gaya pola hidup sehat dalam hal makanan, olah raga dan perilaku sehat lainnya.

(40)

b) Harapan hidup lebih panjang.

Orang yang menikah memiliki harapan hidup yang lebih panjang, karena adanya dukungan emosional dari pasangan dan tersedianya sumber keuangan yang cukup.

c) Kehidupan seksual yang sehat dan memuaskan.

Kepuasan seksual yang dicapai oleh orang yang telah menikah lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak menikah.

d) Memiliki aset ekonomi yang lebih baik.

Pernikahan akan mengumpulkan dua sumber pendapatan dari sepasangan suami-istri menjadi satu, sehingga aset yang dimiliki akan semakin banyak.

e) Anak-anak akan berkembang lebih baik.

Anak yang tinggal bersama kedua orangtuanya, memiliki kecenderungan tinggi dalam prestasi akademik, cenderung rendah untuk

drop out dari sekolah, prosentase yang rendah untuk hamil diluar nikah, dan

memiliki keterampilan pengelolaan emosi yang lebih baik.

C. ORANG DENGAN HIV/AIDS (ODHA) 1. HIV/AIDS

AIDS dan HIV adalah dua hal yang berbeda. AIDS (Acquired

Immune Deficiency Syndrome) atau Sindrom Kehilangan Kekebalan Tubuh

merupakan sekumpulan gejala penyakit yang menyerang tubuh manusia setelah terinfeksi HIV (Djoerban, 2001). Sedangkan, HIV (Human

(41)

kekebalan tubuh manusia, yakni suatu mekanisme tertentu dari tubuh atau biasa disebut dengan respon imun, yang berfungsi menangkal ancaman infeksi dan penyakit dari luar (Sarafino & Smith, 2011). Saat respon imun menurun, tubuh menjadi mudah terserang penyakit infeksi baik dari virus, bakteri, dan mikroba lainnya.

Orang dengan status positif HIV (seropositive), sangat rentan terhadap serangan infeksi lanjutan yang disebut dengan opportunistic

infection (Muma, Lyons, Borucki, & Pollard, 1997), seperti paru-paru basah (pneumocystis carinii pneumonia) dan bahkan kanker (kaposi’s sarcoma)

(Sarafino & Smith, 2011). Pada hakikatnya, infeksi oportunistik tidaklah berbahaya. Infeksi ini merupakan infeksi yang biasa dialami oleh setiap orang dan tidak menyebabkan gangguan yang berarti jika kekebalan tubuh dalam kondisi normal. Namun jika imunitas kian menurun, infeksi tersebut dapat menjadi sekumpulan penyakit terminal (terminal illness) yang berujung pada kematian (Sarafino & Smith, 2011).

HIV ditularkan dengan cara yang sangat terbatas, yakni melalui kontak seksual atau pertukaran cairan tubuh. Dinyatakan terbatas, karena HIV dalam jumlah yang cukup untuk menginfeksi hanya dapat ditemukan dalam darah, air mani, dan cairan vagina, sedangkan melalui cairan-cairan tubuh yang lain (air mata, keringat, air liur, dan air seni) tidak pernah dilaporkan adanya kasus penularan (Djoerban, 2001). Pertukaran cairan tubuh dapat terjadi melalui seks penetratif, yakni penis masuk kedalam vagina atau anus saat melakukan aktifitas seksual, melalui ibu yang

(42)

seropositif kepada bayinya secara perinatal (Tuapattinaja, 2004), transfusi dari produk darah yang telah tercemar HIV (Muninjaya, 1999; Djoerban, 2001), dan penggunaan jarum suntik bergantian dengan orang yang telah terinfeksi (Spiritia, 2004).

Seperti virus pada umumnya, HIV membutuhkan sel inang untuk berkembang biak. Dengan menginfeksi sel inang, jumlah HIV akan bertambah. Semakin banyak jumlah virus di dalam tubuh, imunitas tubuh akan semakin memburuk. Sehingga, perkembangan penyakit menjadi AIDS semakin cepat (Djoerban, 2001; Sarafino & Smith, 2011). Sampai saat ini belum ada yang dapat memastikan kapan AIDS akan muncul. Menurut Kaplan (dalam Tuapattinaja, 2004), kemunculan AIDS bervariasi antara 1-10 tahun, dengan kisaran rata-rata waktu 7-8 tahun. Kemudian Djoerban (2001) menambahkan, dari semua orang yang seropositif, terdapat kemungkinan 50% dari penderita akan mengidap AIDS setelah 10 tahun, selanjutnya setelah 13 tahun hampir semuanya menunjukkan gejala AIDS, dan meninggal dunia.

Jadi dapat disimpulkan bahwa, HIV merupakan “agen” yang menyebabkan lemahnya kekebalan tubuh manusia, membuat tubuh menjadi rentan terhadap penyakit dan infeksi sekunder lainnya. Virus ini masuk ke dalam tubuh melalui pertukaran cairan tubuh dengan hubungan seksual, dari ibu hamil ke pada janinnya, dan penggunaan jarum suntik bersama (sharing

(43)

sekumpulan penyakit oportunistik yang menjadi indikator kemunculan AIDS dalam rentang waktu tertentu.

a) Gambaran Imunitas

Imunitas merupakan respon adaptif untuk melindungi tubuh dari invasi virus (termasuk HIV), bakteri dan mikroba lainnya yang berpotensi merusak dan menyerang sel atau pertahanan tubuh (Muma, Lyons, Borucki, & Pollard, 1997). Organ utama dalam fungsi kekebalan ini adalah lymphoid, yang selalu aktif memproduksi dan meyimpan lymphocyte (sel darah putih) sel T (helper) atau biasa dikenal dengan CD4+, yakni salah satu partikel sel darah putih yang berperan aktif dalam imunitas tubuh (Nursalam & Kurniawati, 2007).

HIV termasuk dalam kategori retrovirus, karena keunikannya dalam melakukan transkripsi informasi genetik secara terbalik dari RNA ke DNA (Muma, Lyons, Borucki, & Pollard, 1997). Apabila virus telah tertanam dalam DNA, cukup sekali saja terinfeksi HIV, seumur hidup penderita akan membawa virus tersebut (Muma, Lyons, Borucki, & Pollard, 1997; Djoerban, 2001).

Sejak terinfeksi, secara bertahap HIV menguasai dan kemudian merusak sel CD4+. Jumlah sel CD4+ semakin berkurang dalam darah,

sehingga ketahanan tubuh untuk mengantisipasi serangan berbagai kuman penyakitpun ikut melemah. Selama masa inkubasi, sel CD4+ mengalami penurunan jumlah dari 1000/µl sebelum infeksi, menjadi 200-300/µl dalam waktu 2-10 tahun (Nursalam & Kurniawati, 2007).

(44)

Tahapan rusaknya sistem imun, awalnya tercermin pada keadaan klinik tanpa gejala. Gejala-gejala klinik biasanya baru disadari penginap HIV setelah beberapa waktu lamanya, karena adanya masa jeda yang disebut dengan window period (Tuapattinaja, 2004). Window period merupakan periode infeksi yang tidak menunjukkan gejala apapun, yang berlangsung sejak infeksi pertama hingga penderita dinyatakan positif HIV. Selanjutnya, disusul dengan gejala yang tidak berat, seperti pembesaran kelenjer getah bening, diare, penurunan berat badan, dan sariawan. Biasanya gejala klinik yang berat, sesuai dengan kriteria AIDS, baru muncul setelah jumlah limfosit CD4+ kurang dari 200/µl (Djoerban, 2001).

Berdasarkan penjabaran tingkat klinik diatas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa ada fase yang dilalui oleh pengidap HIV sampai dengan berkembang menjadi AIDS. Fase tersebut dapat terjadi dalam rentang waktu yang cukup lama (sekitar 2-10 tahun).

b) Pengobatan HIV/AIDS

Infeksi HIV bersifat permanen. Apabila sekali terinfeksi, virus ini akan diderita sumur hidup (Djoerban, 2001). Untuk mengatahui keberadaan HIV, saat ini ada beberapa metode pemeriksaan yang dapat dilakukan, yakni metode ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay), Western Blot, dan IFA (Immunofluorescence Antibody Assay) (DeVita, Hellman, & Rosenberg, 1988). Biasanya tes baru dapat dilakukan setelah 2 atau bahkan sampai dengan 12 minggu sejak infeksi awal.

(45)

Siapa saja dapat terkecoh dengan hasil tes yang negatif HIV (seronegatif) dan merasa aman dari ancaman. Transmisi virus dapat terus terjadi saat penderita masih dalam periode asimptomatik (Muma, Lyons, Borucki, & Pollard, 1997). Oleh karena itu perlu diwaspadai dan sebaiknya melakukan pemeriksaan ulang 3-6 bulan berikutnya. Kemudian, apabila hasil pemeriksaan positif, tindakan-tindakan yang tepat harus segera dilakukan untuk mencegah perkembangan HIV di dalam tubuh. Tindakan yang paling utama adalah melalui pengobatan dengan antiretroviral agents, atau yang biasa disebut dengan ARV (antiretroviral).

ARV yang pertama kali ditemukan adalah AZT (azidothymidine) yang berfungsi menghambat enzim reserve transcriptase (transkripsi terbalik) untuk berkembang biak. Kemudian, pada tahun 1990an, pengobatan HIV semakin berkembang dengan lahirnya proteinase inhibitor, yakni jenis ARV yang menghambat enzim protase, sehingga mengakibatkan virus HIV generasi baru akan cacat dan tidak mampu menginfeksi (Djoerban, 2001).

Enzim protase sendiri berfungsi untuk memberikan kemampuan terhadap HIV generasi berikutnya melanjutkan infeksi ke sel limfosit. Dengan adanya proteinase inhibitor ini, akhirnya dapat mengurangi jumlah infeksi yang mungkin terjadi terhadap sel limfosit lainnya secara dramatis (Tuapattinaja, 2004). Kemudian, setelah tahun 1998, muncul ARV dengan nama Sustiva yang dinyatakan lebih ampuh jika dikombinasikan dengan ARV generasi sebelumnya. Hal ini dibuktikan dengan penelitian terhadap

(46)

pasien dengan jumlah virus yang amat banyak, sekitar 100.000 kopi RNA-HIV/ml darah. (Djoerban, 2001). Hasilnya sangat menggembirakan, setelah pengobatan selama 24 minggu pada 90% kasus, jumlah virus dalam darah berkurang sampai dengan tidak terdeteksi lagi (kurang dari 400 kopi/ml).

Dari seluruh penjabaran diatas, disimpulkan bahwa antiretroviral (ARV) merupakan obat yang dapat menghambat perkembangan restrovirus di dalam tubuh. Obat ini tidak dapat menangkal transmisi HIV dan bukan suatu tindakan medis yang dapat menyembuhkan dan membunuh virus. ARV hanya dapat mencegah reproduksi virus, mempertahankan jumlah virus seminimal mungkin dalam darah, dan menjaga kestabilan sistem imun akibat invasi HIV, sehingga pengidap dapat menjalankan kehidupan dengan “normal”.

2. ODHA Perempuan

Siapa saja dapat terinfeksi HIV, baik laki-laki maupun perempuan, tergantung seberapa banyak peluang dan seberapa besar faktor resiko penularan. Dalam hal ini, perhatian utama lebih mengarah kepada perempuan, karena adanya kasus infeksi terhadap perempuan yang kesehariannya hanya berprofesi sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT).

Amelia (2015) melalui media SindoNews.com mengabarkan bahwa, HIV telah merebak menjangkiti sekitar 617 orang IRT di Kota Medan, jumlah ini tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan jumlah PSK (pekerja seks komersial) yang terinfeksi HIV saat itu. Fenomena ini mengejutkan, karena keseharian berada dirumah, peluang terinfeksi dan faktor resiko

(47)

terkait penularan HIV sangat tidak memungkinkan bagi IRT. Infeksi tersebut, menurut pengamatan Eban Totonta Kaban (dalam Amelia, 2015) berasal dari suami yang suka “jajan” alias tidak setia kepada istrinya. Kondisi ini mematahkan anggapan yang berkembang di masyarakat bahwa HIV/AIDS adalah penyakit akibat perilaku yang menyimpang. Buktinya, tidak hanya orang-orang yang berperilaku menyimpang saja, bahkan IRT dapat terdampak akibat penularan yang disinyalir berasal dari suami.

Perhatian kepada perempuan menjadi begitu dikedepankan, karena perempuan memegang peranan penting dalam upaya pencegahan dan perawatan, baik untuk mereka yang terinfeksi maupun untuk penderita AIDS (Muninjaya, 1999). Apabila ada salah seorang anggota keluarga, seperti halnya suami terinfeksi HIV/AIDS, orang yang paling bertanggung jawab untuk merawat dan manjaga adalah kaum perempuan, yakni istrinya sendiri. Dibalik itu, sorotan negatif masyarakat akan langsung menjurus kepada istri ketimbang kepada suami, terlepas siapa sebenarnya pembawa infeksi tersebut kedalam rumah-tangga (Dalimoenthe, 2011).

Selain fokus diatas, ketidakmampuan perempuan sebagai istri dalam rumah-tangga untuk menolak kewajibannya melayani suami dalam hubungan badan merupakan faktor resiko tertinggi bagi mereka (Dalimoenthe, 2011). Dalimoenthe (2011) menuturkan bahwa, jika istri sudah terjangkiti, pintu masuk semakin besar bagi HIV untuk menggerogoti rumah-tangga. Penularan semakin melebar kepada anggota keluarga lainnya, yakni anak-anak.

(48)

Penularan pada anak dapat terjadi dari kehamilan dari ibu yang seropositif kepada bayinya, baik in utero (dalam kandungan), selama persalinan, maupun setelah bayi lahir. Kemungkinan penularan dari Ibu seropositif terhadap bayi berkisar 30-40% (Muninjaya, 1999). Selain itu, Muninjaya (1999) menambahkan bahwa, ada kemungkinan ASI (Air Susu Ibu) turut menjadi media transmisi terhadap bayi, karena HIV juga dijumpai dalam ASI meskipun dalam dosis kecil.

Demikian besarnya dampak apabila perempuan telah masuk dalam lingkaran HIV/AIDS, terlebih lagi apabila sudah terkait dengan keberlangsungan hidup berumah-tangga. Ada ketakutan mengenai kehilangan suami, mencemaskan keadaan anak-anak atau bayi yang dikandungnya, bahkan akan berimbas kepada eksistensi keluarga dalam kehiduapan sosial di masyarakat (Dalimoenthe, 2011).

Dari seluruh uraian diatas dapat disimpulkan bahwa, ODHA perempuan merupakan seseorang yang dinyatakan positif terinfeksi HIV melalui diagnosa dari seperangkat tes atau pemeriksaaan darah, dengan jenis kelamin perempuan. Istilah ODHA biasa digunakan untuk menyatakan

serostatus perempuan tersebut yang positif HIV, baik pada tahap tanpa

gejala maupun yang sudah menunjukkan gejala AIDS.

D. GAMBARAN FORGIVENESS ODHA PEREMPUAN

Pernikahan memuat tuntutan pemenuhan hak dan kewajiban sebagai tujuan bersama dalam peran suami dan istri. Peran tersebut, bertujuan menciptakan pernikahan yang harmonis dan bahagia. Suami dituntut untuk

(49)

dapat mengayomi, memimpin, melindungi, dan mencari nafkah, dan istri mengemban peran pengasuhan, pemeliharan, dan menenangkan atau menghibur (Handayani, Suminar, Hendriani, Alfian, & Hartini, 2008).

Banyak hal yang dapat menghambat tujuan pernikahan dan menjadi sumber masalah dalam pernikahan. Masalah yang biasa dihadapi dalam pernikahan, diantaranya adalah masalah finansial, gaya komunikasi, keluarga, tugas-tugas rumah tangga, dan selera pribadi (Handayani, Suminar, Hendriani, Alfian, & Hartini, 2008). Selain itu, ketidaksetiaan pasangan juga menjadi masalah yang sering terjadi (Dalimoenthe, 2011).

Handayani dan kawan-kawan (2008) mengungkapkan bahwa, laki-laki lebih cenderung memiliki kemungkinan berselingkuh dari pada perempuan. Berselingkuh, berganti-ganti pasangan seksual atau hanya sekedar menggunakan jasa pekerja seks komersial (PSK). Hal ini membuat laki-laki beresiko tinggi terdampak berbagai infeksi penyakit menular seksual, termasuk HIV (McCullough, Pargament, & Thoresen, 2000). Disamping itu, trend seks sebelum menikah (premarital sexual behavior) (Santrock, 1995), dan penggunaan narkoba jarum suntik juga dapat membuat seseorang beresiko tertular HIV (Spiritia, 2004).

Saat kembali kerumah, suami dengan segala penyakit menular termasuk HIV dapat menginfeksi keluarga. Istri beresiko tinggi tertular pertama kali. Apabila istri telah tertular, penularan akan melebar kepada anggota keluarga lainnya, yakni anak-anak (Muninjaya, 1999). Istri (ODHA Perempuan) akan sangat tersakiti saat mengetahui dirinya tertular HIV dari

(50)

suaminya sendiri. Perasaan tersakiti dalam hubungan interpersonal menurut McCullough (McCullough & Witvliet, 2002) disebut dengan interpersonal

transgression. Seperti kebanyakan perempuan lainnya, dalam pernikahan

ODHA perempuan juga menuntut berbagai perasaan dan kepercayaan (Papalia, Olds, & Feldman, 2011). Oleh karena itu, saat transgresi terjadi, ODHA perempuan merasa dikhianati dan diperlakukan tidak adil oleh suami, karena telah melanggar kepercayaannya. Keadaan ini jika dibiarkan berlarut-larut akan menjadi masalah berkepanjangan (Widhikora & Rusli, 2013) dan mengakibatkan kegagalan pernikahan.

Permasalahan dalam penikahan tidak selalu berujung buruk. Apabila dapat diseleseikan dengan baik, pernikahan akan semakin kuat bertahan (Handayani, Suminar, Hendriani, Alfian, & Hartini, 2008). Oleh karenanya, dalam menghadapi transgresi oleh suami, ODHA perempuan perlu menyelesaikan permasalahan dengan cara yang baik. Salah satu cara terbaik menghadapi transgresi menurut McCullough (dalam McCullough, Pargament, & Thoresen, 2000) adalah forgiveness. ODHA perempuan dapat memilih untuk forgiveness terhadap apa yang telah dilakukan suami terhadapnya agar keutuhan rumah tangga dapat terjaga.

Banyak alasan mengapa forgiveness perlu dalam konteks pernikahan, McCullough (dalam McCullough, Pargament, & Thoresen, 2000) mengungkapkan bahwa, dengan forgiveness seseorang dapat mempertahankan komitmen dalam keluarga. Dengan melakukan

(51)

terbuka, mengakui kesalahan, menyusun kembali harapan-harapan dan tujuan pernikahan (McCullough, Pargament, & Thoresen, 2000; (Handayani, Suminar, Hendriani, Alfian, & Hartini, 2008). Selain itu, dengan forgiveness, ODHA perempuan sebagai dalam perannya sebagai istri seperti pengasuhan dan pemeliharaan dapat berjalan dengan baik. Sehingga, harapan membesarkan anak dalam keluarga yang harmonis lebih mungkin dapat dilaksanakan.

E. KERANGKA TEORITIS HIV/AIDS Suami dengan HIV Istri terinfeksi HIV PERNIKAHAN Interpersonal Transgression Forgive FORGIVENESS Unforgive Benevolence -forgiving Avoidance-forgiving Revenge-forgiving Benevolence -forgiving Avoidance-forgiving Revenge-forgiving

(52)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. IDENTIFIKASI VARIABEL

Sesuai dengan tujuan dan fokus penelitian mengenai “gambaran

forgiveness ODHA perempuan yang terinfeksi dari suami”, maka variabel

yang digunakan dalam penelitian ini adalah forgiveness.

B. DEFENISI OPERASIONAL FORGIVENESS

Forgiveness didefinisikan sebagai satu set perubahan prososial

dalam hubungan interpersonal yang muncul karena adanya motivasi

interpersonal dalam diri individu, yakni individu menjadi semakin menurun

motivasi bertindak membahayakan, semakin termotivasi oleh niat baik dan keinginan untuk berdamai, dan diwaktu yang bersamaan mengembangkan kasih sayang dan kemurahan hati.

Forgiveness muncul sebagai antisipasi terhadap adanya

interpersonal transgression oleh transgressor. Interpersonal transgression

merupakan tindakan yang menimbulkan perasaan tersakiti pada salah satu pihak dalam hubungan interpersonal, sedangkan transgressor merupakan pihak yang melakukan transgresi. Saat transgresi terjadi, proses forgiveness bergerak secara kontinum dari unforgive (tidak memaafkan) menuju forgive (memaafkan) ditandai dengan perubahan-perubahan prososial.

Indikator dari perubahan-perubahan prososial tersebut diantaranya; (a) penurunan motivasi untuk menghindari (avoidance) kontak pribadi dan

Gambar

Tabel 3. 1. Blueprint skala sikap (forgiveness)
Tabel 4. 6. Kategorisasi penormaan skor forgiveness
Tabel 4. 8. Gambaran forgiveness berdasarkan tingkat usia
Tabel 4. 10. Gambaran forgiveness berdasarkan stadium

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukan bahwa makna pengidap HIV/AIDS bagi ODHA adalah manusia biasa yang terdapat virus di dalam tubuhnya yang dikarenakan perilaku beresiko

Hasil penelitian yaitu mengenai respon dinyatakan hamil dan mengalami HIV, perubahan yang terjadi, upaya kesehatan yang dilakukan, system dukungan yang

Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa kekerasan seksual yang terjadi merupakan bentuk kejahatan moral yang terjadi akibat tidak ada pemahaman tentang seksualitas..

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah –Nya sehingga penelitian dengan judul “ Gambaran Perilaku Berisiko Terinfeksi HIV/AIDS Pada

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran perilaku pemenuhan kebutuhan gizi pada anak terinfeksi HIV di Yayasan Tegak Tegar tahun 2013, yang dilakukan sejak bulan

hasil penelitian skripsi yang berjudul “ Faktor Perilaku Pada Kejadian Terinfeksi Kembali TB Paru Di Kabupaten Bengkayang Tahun 2017”. Penulis menyadari bahwa dalam

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan hubungan antara persepsi orang dengan HIV/AIDS (ODHA) tentang voluntary counseling and testing dengan perilaku pencegahan

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pada ODHA memiliki harga diri yang positif, hal ini disebabkan karena orang dengan HIV AIDS juga masih merasa berguna