• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Forgiveness ODHA Perempuan yang Terinfeksi dari Suami

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gambaran Forgiveness ODHA Perempuan yang Terinfeksi dari Suami"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II LANDASAN TEORI

A. FORGIVENESS

1. Forgiveness dan Interpersonal Transgression

Forgiveness merupakan konstruk multidimensional, sehingga tidak

ada konsep tunggal yang menjelaskan konstruk ini dengan sempurna.

Namun, konsep-konsep tersebut saling menunjang dan melengkapi.

(McCullough, Pargament, & Thoresen, 2000).

Snyder dan Thompson (dalam Lopez & Snyder, 2003)

mendefinisikan forgiveness sebagai bentuk penerimaan transgression yang

berhubungan dengan attachement (kelekatan) dengan transgressor,

transgression, dan sisa-sisa dari transgression yang berubah dari negatif

menjadi netral atau positif. Enright dan kawan-kawan (dalam McCullough,

Pargament, & Thoresen, 2000; Lopez & Snyder, 2003) menyatakan bahwa,

forgiveness merupakan suatu kerelaan melepas hak untuk membenci,

memberikan penilaian negatif, dan tidak peduli terhadap seseorang yang

bertindak tidak adil dan menyakiti, diwaktu yang bersamaan

mengembangkan kasih sayang, kemurahan hati, dan bahkan cinta.

McCullough mengatakan bahwa forgiveness merupakan suatu keadaan

intraindividual (intrapersonal), yang tercermin pada perubahan prososial

terhadap transgressor terkait dengan konteks interpersonal yang spesifik

(2)

Transgression (transgresi) merupakan tindakan yang salah atau

secara moral menyinggung dan menimbulkan luka atau rasa sakit baik fisik

maupun psikologis (McCullough, 2001; McCullough, Pargament, &

Thoresen, 2000; Worthington & Wade, 1999) dan transgressor merupakan

orang yang melakukan transgresi (McCullough, Pargament, & Thoresen,

2000; Lopez & Snyder, 2003).

Menurut McCullough (dalam McCullough, 2001), untuk membahas

forgiveness perlu ditinjau transgresi yang terjadi berdasarkan konteks

hubungan interpersonal. Transgresi dalam hubungan interpersonal juga

biasa disebut dengan interpersonal transgression (transgresi interpersonal)

(McCullough & Witvliet, 2002; McCullough, Pargament, & Thoresen,

2000). McCullough & Witvliet (2002) mengungkapkan bahwa, saat

seseorang menghadapi transgresi, mereka akan menghindari (avoidance)

atau membalas (revenge) transgressor dengan tindakan yang

memungkinkan transgressor merasakan rasa sakit dan luka yang sama

dengan apa yang dirasakannya. Namun, tindakan membalas transgressor

kadang berujung pada tindakan yang lebih desktruktif dan sangat

membahayakan (McCullough & Witvliet, 2002).

Transgresi berbeda dengan agresi. Pada agresi tindakan destruktif

merupakan suatu yang disengaja, bermaksud merusak atau menyakiti orang

lain dan bertujuan menunjukkan kekuatan, mempengaruhi orang lain,

mendapatkan pengakuan sosial atau sekedar menyalurkan perasaan negatif

(3)

destruktif malah muncul akibat dari perasaan tersinggung atau luka atas

tindakan transgressor. Walaupun keduanya bersifat destruktif

(Worthington & Wade, 1999; Kenrick, Neuberg, & Cialdini, 2010),

transgresi tidak memiliki tujuan menekan atau menguasai orang lain seperti

halnya agresi. Worthington & Wade (1999) mengungkapkan bahwa,

transgresi dapat menjadi destruktif apabila transgresi cukup parah, terjadi

berulang kali, dipenuhi dengan emosi negatif, dan tidak disertai rasa

bersalah atau permintaan maaf dari transgresor.

Menurut McCullough (dalam Snyder & Lopez, 2002), forgiveness,

merupakan salah satu mekanisme untuk menyelesaikan dampak dari

interpersonal transgression. McCullough dan kawan-kawan (dalam Lopez

& Snyder, 2003), mengungkapkan, perubahan prososial ditentukan oleh

motivasi interpersonal seseorang, sehingga forgiveness merupakan suatu

pilihan internal (intrapersonal process) baik sengaja maupun tidak. Saat

seseorang memilih untuk forgive, dia menjadi kurang termotivasi untuk

membahayakan transgressor (atau hubungannya dengan transgressor) dan

bersamaan lebih termotivasi untuk bertindak dalam cara yang lebih

menguntungkan transgressor (McCullough, 2001).

Jadi forgiveness merupakan satu set perubahan-perubahan prososial

dalam hubungan interpersonal yang muncul karena adanya motivasi

interpersonal dalam diri individu, yakni dimana individu menjadi semakin

(4)

baik dan keinginan untuk berdamai, dan diwaktu yang bersamaan

mengembangkan kasih sayang dan kemurahan hati. 2. Dimensi Forgiveness

Forgiveness sejatinya merupakan refleksi dari perubahan

intrapersonal terkait konteks hubungan (relationship) yang spesifik.

Forgiveness tidak sama halnya dengan resolusi konflik, melainkan sebagai

bentuk perubahan-perubahan motivasi dalam diri yang dipengaruhi oleh

karakteristik hubungan interpersonal (McCullough & Witvliet, 2002).

Semakin dekat hubungan interpersonal, maka semakin memungkinkan

munculnya forgiveness dalam hubungan tersebut (McCullough & Witvliet,

2002). Ketika seseorang forgive, mereka akan memunculkan respon (baik

tentang pikiran dan perasaan, apa yang ingin mereka lakukan, atau

bagaimana mereka berperilaku) terhadap orang orang yang menyakitinya.

Selanjutnya, McCullough (dalam Snyder & Lopez, 2002)

mengungkapkan forgiveness sebagai perubahan tiga dimensi motivasi

terhadap transgressor, yaitu dari negatif ke arah yang lebih positif, yang

ditandai dengan rendahnya dorongan untuk menghindari (avoidance

motivations); rendahnya dorongan untuk menyakiti atau membalas dendam

(revenge motivations); dan meningkatnya dorongan untuk berperilaku

positif (benevolence motivations) terhadap transgressor. Lebih jelasnya,

(5)

a) Avoidance Motivation.

Merupakan motivasi untuk menjauhi transgressor ditandai dengan

individu yang memiliki kecenderungan perilaku menarik diri (withdrawal)

dari hubungan terhadap transgressor (Worthington, 2005). Semakin tinggi

motivasi seseorang untuk menjauh dan senantiasa menjaga jarak maka

diartikan semakin sulit mereka dapat memaafkan orang yang telah

menyakitinya, dan sebaliknya semakin menurun motivasi untuk

menghindari pelaku, membuang keinginan untuk menjaga kerenggangan

(jarak) dengan orang yang telah menyakitinya maka semakin mungkin

mereka memaafkan (forgiveness).

b) Revenge Motivation.

Revenge Motivation merupakan kecenderungan seseorang untuk

melakukan pembalasan (balas dendam) atau mengharapkan hukuman yang

setimpal terhadap transgressor. Secara sederhana, motivasi ini dapat

diartikan sebagai kecenderungan perilaku untuk melakukan sesuatu yang

menyakitkan seseorang yang pernah menyakitinya. Motivasi untuk

melakukan pembalasan biasanya sesuai dengan derajat transgresi yang

dirasakan terhadap transgressor. Namun, aksi pembalasan kadang tidak

equivalent (seimbang), bahkan balas dendam banyak berujung pada

penghakiman yang begitu berat, oleh karenanya tak jarang siklus saling

balas dendam akan senantiasa berkelanjutan (McCullough & Witvliet,

(6)

Semakin menurun motivasi untuk membalas dendam terhadap

transgressor, membuang keinginan untuk membalas dendam terhadap

orang yang telah menyakiti maka seseorang akan semakin cenderung dapat

memaafkan (forgiveness). Namun sebaliknya, apabila meningkat keinginan

membalas dendam dan berharap transgressor mendapatkan hukuman yang

setimpal dengan perbuatannya, kemungkinan untuk dapat forgive menjadi

lebih sulit (Worthington & Wade, 1999).

c) Benevolence Motivation.

Benevolence motivations ditandai dengan dorongan untuk berbuat

baik terhadap transgressor (McCullough, 2001). Adanya sikap rela

menerima masalah agar hubungan dengan transgressor menjadi lebih baik.

Apabila seseorang semakin termotivasi oleh niat baik dan keinginan untuk

berdamai dengan transgressor, meskipun pelanggarannya termasuk

tindakan berbahaya, maka peluang forgive menjadi lebih memungkinkan,

dan sebaliknya. Oleh karena itu individu yang memaafkan, memiliki

benevolence motivations yang tinggi, namun di sisi lain memiliki avoidance

dan revenge motivations yang rendah (McCullough, Pargament, &

Thoresen, 2000; Lopez & Snyder, 2003).

Berdasarkan dimensi diatas, dapat disimpulkan bahwa forgiveness

merupakan konstruk motivasional, yang mengindikasikan seseorang

memiliki potensi untuk kurang avoidance dan revenge dan lebih

(7)

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Forgiveness

Saat transgresi terjadi, keadaan intrapersonal (proses internal) dan

interpersonal memainkan peranan penting terhadap peluang terjadinya

forgiveness (McCullough, Pargament, & Thoresen, 2000). Ada banyak

faktor yang mempengaruhi kecenderungan seseorang untuk memilih

forgive atau tidak (unforgive).

Wardhati dan Faturochman (2001), mengemukakan bahwa ada

beberapa faktor forgiveness, diantaranya adalah empati, atribusi terhadap

transgresi dan transgressor, tingkat kelukaan, karakteristik kepribadian dan

kualitas hubungan. Hal yang sama juga diungkapkan oleh McCullough

(2001) bahwa kepribadian seperti aggreableness (Big Five Personality)

dapat mempengaruhi forgiveness. Selain itu, stabilitas emosi, agama dan

spiritualitas juga mempengaruhi forgiveness. Kemudian dalam studi

lanjutan, McCullough (200) menambahkan bahwa empathy, attributions

dan appraisals, dan rumination turut mempengaruhi forgiveness. Dari

penjelasan tersebut, berikut faktor-faktor yang mempengaruhi forgiveness:

a) Agreeableness (Big Five Personality)

Agreeableness adalah salah satu dimensi kepribadian dari Big Five

Personality, dimensi ini merupakan gabungan dari trait altruism

(kebajikan), empathy (empati), care (kepedulian), dan generosity

(kemurahan hati) (McCullough, 2001). Dimensi ini memiliki korelasi yang

(8)

seseorang yang agreeableness memiliki kecenderungan yang tinggi untuk

forgiving (memaafkan) dan rendah untuk vengeful (dendam).

b) Emotional Stability (Stabilitas Emosi)

Stabilitas emosi merupakan dimensi kepribadian yang ditandai

dengan rendahnya kerentanan pengalaman emosi yang negatif, tidak moody

(emosi mudah berubah-ubah), dan tidak mudah sensitif (MuCullough,

2001). McCullough (2001) menjelaskan bahwa, stabilitas emosi merupakan

disposisi munculnya forgiveness.

c) Religiousness dan Spirituality

Faktor agama dan spiritual menurut McCullough dan kawan-kawan

(2000), memainkan peranan penting dalam kecenderungan seseorang untuk

memaafkan. Berdasarkan berbagai penelitian mengungkapkan bahwa,

orang yang lebih religius atau dalam hal spiritual cenderung memiliki

kecenderungan yang tinggi untuk forgive terhadap orang lain (McCullough,

2001). Hal ini dibenarkan oleh McCulluogh, namun McCullough (2001)

lebih menyebut faktor ini sebagai indikasi adanya forgiveness. Menurutnya,

religiusitas dan spiritualitas memungkin orang lebih termotivasi untuk

memaafkan (berdasarkan nilai-nilai agama) (McCullough, Pargament, &

Thoresen, 2000), tapi hal ini hanya bermain dalam tatanan belief atau sebuah

harapan untuk dapat memaafkan (McCullough, 2001).

d) Empathy for the Transgressor

Empati adalah kemampuan seseorang untuk ikut merasakan

(9)

yang spesifik, ditandai dengan kasih sayang, kelembutan, dan simpati

(McCullough, 2001). Menurut Wardhati & Faturochman, (2001)

kemampuan ini erat kaitannya dengan pengambilalihan peran, yakni ketika

berempati seseorang dapat memahami perasaan transgressor yang merasa

bersalah dan tertekan akibat transgresi yang dilakukannya.

Empati juga menjelaskan variabel sosial psikologis yang

mempengaruhi forgiveness yaitu permintaan maaf (apologies) dari pihak

yang menyakiti (McCullough, 2001). Ketika pelaku meminta maaf kepada

pihak yang disakiti maka hal itu bisa membuat korban lebih berempati dan

kemudian termotivasi untuk memaafkannya (McCullough, 2001; Wardhati

& Faturochman, 2001).

e) Generous Attributions (Atribusi) dan Appraisals (Penilaian)

Penilaian akan mempengaruhi setiap perilaku individu. Setiap

perilaku itu ada penyebabnya dan penilaian dapat mengubah perilaku

individu (termasuk forgiveness) di masa mendatang (Wardhati &

Faturochman, 2001). Orang yang forgive terhadap transgresi cenderung

menilai transgressor dengan penilaian yang lebih menyenangkan hal ini

menurut McCullough disebabkan oleh kausalitas antara attributions dan

appraisals (McCullough, 2001). Orang yang pemaaf (forgiving people),

biasanya mengatribusikan transgresi yang terjadi bukanlah merupakan

tanggungjawab transgressor atau mungkin tidak bermaksud menyakiti

(McCullough, 2001). Atribusi tersebut memunculkan perubahan penilaian

(10)

positif, sehingga akan memunculkan forgiveness terhadap transgressor

(Wardhati & Faturochman, 2001).

f) Rumination (Perenungan) terhadap Transgression

Rumination merupakan perenungan kembali terhadap transgresi

yang terjadi. Perenungan ini akan mengulang kembali kejadian (transgresi)

dimasa lalu yang mengganggu pikiran dan afeksi, sehingga akan

menghambat seseorang untuk forgive (McCullough, 2001). Menurut

McCullough (2001) semakin sering seseorang mengingat-ingat transgresi,

semakin cenderung seseorang termotivasi untuk menghindari (avoidance)

atau melakukan pembalasan (revenge) terhadap transgressor.

B. PERNIKAHAN

1. Pernikahan dan Intimate Relationship

Setiap manusia, suatu saat akan menghadapi sebuah pernikahan.

Menurut Papalia dan kawan-kawan (2011), pernikahan merupakan

kebutuhan dasar setiap manusia. Mayorittas masyarakat beranggapan,

pernikahan merupakan cara terbaik dalam menjamin keteraturan

membesarkan anak dan membentuk keluarga (Papalia, Olds, & Feldman,

2011).

Santrock (1995) mendefinisikan pernikahan sebagai penyatuan dua

individu dari dua keluarga yang berbeda untuk membentuk satu sistem

keluarga yang baru. Kemudian Olson dan DeFrain (dalam Handayani,

(11)

sebagai komitmen emosional dan legalitas antara dua orang untuk berbagi

kedekatan fisik, kedekatan emosional, tugas dan sumber ekonomi.

Duvall dan Miller (1985) dengan jelas menjabarkan bahwa,

pernikahan merupakan suatu hubungan yang sah sebagai unit sosial antara

laki-laki dan perempuan yang didalamnya terdapat relasi seksual, keabsahan

memiliki anak, dan penetapan pembagian tugas dan peran diantara

keduanya. Sebagai unit sosial, pernikahan mendapatkan pengakuan

masyarakat dan diatur oleh undang-undang atau agama. Sebagai relasi

seksual, pernikahan di dalamnya memuat pemenuhan hasrat dan biologis.

Pernikahan juga dianggap sebagai cara yang sah memiliki anak dan

bertanggung jawab sepenuhnya dalam peran orang tua terhadap anak.

Terakhir, pernikahan memuat penetapan tugas dan peran dalam membangun

keluarga yang berbeda antara suami dan istri.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa, pernikahan merupakan kebutuhan

dasar setiap manusia yang menyatukan laki-laki dan perempuan dari

keluarga yang berbeda membentuk unit sosial baru, memuat hak dan

kewajiban sebagai suami istri, dan disahkan oleh undang-undang dan

agama.

2. Motif Pernikahan

Pada mulanya, keputusan pernikahan merupakan masalah bersama

antara dua keluarga dari masing-masing pasangan yang akan dinikahkan.

Kemudian, ada pergeseran dimana keputusan ini juga merupakan

(12)

(2008) memberikan beberapa alasan menikah menjadi dua bagian, yakni

alasan positif dan negatif. Alasan-alasan tersebut, sebagai berikut:

a. Alasan Positif

1) Persahabatan; ingin menjalani kehidupan bersama.

2) Cinta (intimacy); saling mencintai merupakan alasan yang cukup

bagi pasangan memutuskan untuk menikah.

3) Pasangan yang suportif; alasan saling mendukung pasangan.

4) Pasangan seksual; melegitimasi hubungan seksual.

5) Sharing pengasuhan anak; memiliki anak dan mengasuh

merupakan alasan yang popular.

b. Alasan Negatif

1) Hamil diluar nikah; menikah karena terlanjut hamil.

2) Protes terhadap orang tua atas keluarga yang kurang harmonis.

3) Ingin mandiri; menikah untuk belajar mandiri.

4) Untuk mengatasi kekecewaan atas hubungan sebelumnya.

5) Tekanan keluarga dan sosial; dibeberapa budaya, alasan menikah

dapat terjadi hanya karena faktor usia yang mengharuskan

seseorang menikah.

6) Kebutuhan keuangan; dengan menikah berharap terpenuhinya

kebutuhan keuangan.

3. Tipe Pernikahan

Pernikahan secara umum terdiri dari seorang laki-laki dan seorang

(13)

pernikahan yang terjadi antara seorang laki-laki dengan banyak perempuan

(polygyny) dan seorang perempuan dengan banyak laki-laki (polyandry)

dalam waktu yang bersamaan (Duvall & Miller, 1985; Papalia, Olds, &

Feldman, 2011).

Olson dan DeFrain (dalam Handayani, Suminar, Hendriani, Alfian,

& Hartini, 2008) mengidentifikasi beberapa tipe pernikahan berdasarkan

pencapaian kepuasaan pernikahan dari yang paling tinggi hingga yang

terendah. Secara berurutan tipe pernikahan tersebut sebagai berikut:

a) Vitalized Couples

Tipe ini mencapai kepuasan di seluruh aspek pernikahan. Konflik

dan komunikasi dapat dikelola dengan baik. Pasangan pernikahan

cenderung lebih berpendidikan, status pekerjaan yang tinggi, dan menikah

dalam waktu yang lama.

b) Harmonious Couples

Tipe ini memiliki kepuasaan pada tinggkat kedua setelah tipe

sebelumnya. Tingkat pendidikan status pekerjaan yang cukup tinggi.

Cenderung sedikit memiliki anak dan kurang puas dalam hal pengasuhan

anak.

c) Traditional Couples

Kelemahan tipe ini, kurang mampu membangun komunikasi dan

menyeleseikan konflik. Pasangan cukup berpendidikan dan biasanya istri

(14)

dan jumlah anak lebih banyak. Meskipun tidak puas dengan pernikahan, tipe

ini cenderung tetap mempertahankan pernikahan.

d) Conflicted Couples

Hampir sama dengan tipe sebelumnya, namun kecenderungan untuk

mempertahankan pernikahan lebih rendah, bahkan separuh dari tipe ini

lebih memilih untuk bercerai.

e) Devitalized Couples

Tipe ini memiliki ketidakbahagiaan hampir di seluruh aspek

pernikahan. Memiliki kecenderungan 10 kali lebih besar untuk mengakhiri

pernikahan dibandingkan tipe pernikahan lainnya.

4. Manfaat Pernikahan

Pernikahan memiliki banyak keuntungan dibandingkan dengan

orang yang tidak menikah. Olson dan DeFrain (dalam Handayani, Suminar,

Hendriani, Alfian, & Hartini, 2008) dalam penelitiannya, menuturkan

beberapa dampak positif pernikahan menurut Linda Waite, yakni:

a) Memiliki gaya hidup yang lebih sehat.

Pernikahan membuat orang lebih banyak menghindari perilaku yang

berbahaya dibandingkan dengan orang yang melajang, duda, dan janda.

Umumnya mereka memiliki gaya pola hidup sehat dalam hal makanan, olah

(15)

b) Harapan hidup lebih panjang.

Orang yang menikah memiliki harapan hidup yang lebih panjang,

karena adanya dukungan emosional dari pasangan dan tersedianya sumber

keuangan yang cukup.

c) Kehidupan seksual yang sehat dan memuaskan.

Kepuasan seksual yang dicapai oleh orang yang telah menikah lebih

tinggi dibandingkan dengan yang tidak menikah.

d) Memiliki aset ekonomi yang lebih baik.

Pernikahan akan mengumpulkan dua sumber pendapatan dari

sepasangan suami-istri menjadi satu, sehingga aset yang dimiliki akan

semakin banyak.

e) Anak-anak akan berkembang lebih baik.

Anak yang tinggal bersama kedua orangtuanya, memiliki

kecenderungan tinggi dalam prestasi akademik, cenderung rendah untuk

drop out dari sekolah, prosentase yang rendah untuk hamil diluar nikah, dan

memiliki keterampilan pengelolaan emosi yang lebih baik.

C. ORANG DENGAN HIV/AIDS (ODHA) 1. HIV/AIDS

AIDS dan HIV adalah dua hal yang berbeda. AIDS (Acquired

Immune Deficiency Syndrome) atau Sindrom Kehilangan Kekebalan Tubuh

merupakan sekumpulan gejala penyakit yang menyerang tubuh manusia

setelah terinfeksi HIV (Djoerban, 2001). Sedangkan, HIV (Human

(16)

kekebalan tubuh manusia, yakni suatu mekanisme tertentu dari tubuh atau

biasa disebut dengan respon imun, yang berfungsi menangkal ancaman

infeksi dan penyakit dari luar (Sarafino & Smith, 2011). Saat respon imun

menurun, tubuh menjadi mudah terserang penyakit infeksi baik dari virus,

bakteri, dan mikroba lainnya.

Orang dengan status positif HIV (seropositive), sangat rentan

terhadap serangan infeksi lanjutan yang disebut dengan opportunistic

infection (Muma, Lyons, Borucki, & Pollard, 1997), seperti paru-paru basah

(pneumocystis carinii pneumonia) dan bahkan kanker (kaposi’s sarcoma)

(Sarafino & Smith, 2011). Pada hakikatnya, infeksi oportunistik tidaklah

berbahaya. Infeksi ini merupakan infeksi yang biasa dialami oleh setiap

orang dan tidak menyebabkan gangguan yang berarti jika kekebalan tubuh

dalam kondisi normal. Namun jika imunitas kian menurun, infeksi tersebut

dapat menjadi sekumpulan penyakit terminal (terminal illness) yang

berujung pada kematian (Sarafino & Smith, 2011).

HIV ditularkan dengan cara yang sangat terbatas, yakni melalui

kontak seksual atau pertukaran cairan tubuh. Dinyatakan terbatas, karena

HIV dalam jumlah yang cukup untuk menginfeksi hanya dapat ditemukan

dalam darah, air mani, dan cairan vagina, sedangkan melalui cairan-cairan

tubuh yang lain (air mata, keringat, air liur, dan air seni) tidak pernah

dilaporkan adanya kasus penularan (Djoerban, 2001). Pertukaran cairan

tubuh dapat terjadi melalui seks penetratif, yakni penis masuk kedalam

(17)

seropositif kepada bayinya secara perinatal (Tuapattinaja, 2004), transfusi

dari produk darah yang telah tercemar HIV (Muninjaya, 1999; Djoerban,

2001), dan penggunaan jarum suntik bergantian dengan orang yang telah

terinfeksi (Spiritia, 2004).

Seperti virus pada umumnya, HIV membutuhkan sel inang untuk

berkembang biak. Dengan menginfeksi sel inang, jumlah HIV akan

bertambah. Semakin banyak jumlah virus di dalam tubuh, imunitas tubuh

akan semakin memburuk. Sehingga, perkembangan penyakit menjadi AIDS

semakin cepat (Djoerban, 2001; Sarafino & Smith, 2011). Sampai saat ini

belum ada yang dapat memastikan kapan AIDS akan muncul. Menurut

Kaplan (dalam Tuapattinaja, 2004), kemunculan AIDS bervariasi antara

1-10 tahun, dengan kisaran rata-rata waktu 7-8 tahun. Kemudian Djoerban

(2001) menambahkan, dari semua orang yang seropositif, terdapat

kemungkinan 50% dari penderita akan mengidap AIDS setelah 10 tahun,

selanjutnya setelah 13 tahun hampir semuanya menunjukkan gejala AIDS,

dan meninggal dunia.

Jadi dapat disimpulkan bahwa, HIV merupakan “agen” yang

menyebabkan lemahnya kekebalan tubuh manusia, membuat tubuh menjadi

rentan terhadap penyakit dan infeksi sekunder lainnya. Virus ini masuk ke

dalam tubuh melalui pertukaran cairan tubuh dengan hubungan seksual, dari

ibu hamil ke pada janinnya, dan penggunaan jarum suntik bersama (sharing

(18)

sekumpulan penyakit oportunistik yang menjadi indikator kemunculan

AIDS dalam rentang waktu tertentu.

a) Gambaran Imunitas

Imunitas merupakan respon adaptif untuk melindungi tubuh dari

invasi virus (termasuk HIV), bakteri dan mikroba lainnya yang berpotensi

merusak dan menyerang sel atau pertahanan tubuh (Muma, Lyons, Borucki,

& Pollard, 1997). Organ utama dalam fungsi kekebalan ini adalah lymphoid,

yang selalu aktif memproduksi dan meyimpan lymphocyte (sel darah putih)

sel T (helper) atau biasa dikenal dengan CD4+, yakni salah satu partikel sel

darah putih yang berperan aktif dalam imunitas tubuh (Nursalam &

Kurniawati, 2007).

HIV termasuk dalam kategori retrovirus, karena keunikannya dalam

melakukan transkripsi informasi genetik secara terbalik dari RNA ke DNA

(Muma, Lyons, Borucki, & Pollard, 1997). Apabila virus telah tertanam

dalam DNA, cukup sekali saja terinfeksi HIV, seumur hidup penderita akan

membawa virus tersebut (Muma, Lyons, Borucki, & Pollard, 1997;

Djoerban, 2001).

Sejak terinfeksi, secara bertahap HIV menguasai dan kemudian

merusak sel CD4+. Jumlah sel CD4+ semakin berkurang dalam darah,

sehingga ketahanan tubuh untuk mengantisipasi serangan berbagai kuman

penyakitpun ikut melemah. Selama masa inkubasi, sel CD4+ mengalami

penurunan jumlah dari 1000/µl sebelum infeksi, menjadi 200-300/µl dalam

(19)

Tahapan rusaknya sistem imun, awalnya tercermin pada keadaan

klinik tanpa gejala. Gejala-gejala klinik biasanya baru disadari penginap

HIV setelah beberapa waktu lamanya, karena adanya masa jeda yang

disebut dengan window period (Tuapattinaja, 2004). Window period

merupakan periode infeksi yang tidak menunjukkan gejala apapun, yang

berlangsung sejak infeksi pertama hingga penderita dinyatakan positif HIV.

Selanjutnya, disusul dengan gejala yang tidak berat, seperti pembesaran

kelenjer getah bening, diare, penurunan berat badan, dan sariawan. Biasanya

gejala klinik yang berat, sesuai dengan kriteria AIDS, baru muncul setelah

jumlah limfosit CD4+ kurang dari 200/µl (Djoerban, 2001).

Berdasarkan penjabaran tingkat klinik diatas, kita dapat menarik

kesimpulan bahwa ada fase yang dilalui oleh pengidap HIV sampai dengan

berkembang menjadi AIDS. Fase tersebut dapat terjadi dalam rentang waktu

yang cukup lama (sekitar 2-10 tahun).

b) Pengobatan HIV/AIDS

Infeksi HIV bersifat permanen. Apabila sekali terinfeksi, virus ini

akan diderita sumur hidup (Djoerban, 2001). Untuk mengatahui keberadaan

HIV, saat ini ada beberapa metode pemeriksaan yang dapat dilakukan, yakni

metode ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay), Western Blot, dan

IFA (Immunofluorescence Antibody Assay) (DeVita, Hellman, &

Rosenberg, 1988). Biasanya tes baru dapat dilakukan setelah 2 atau bahkan

(20)

Siapa saja dapat terkecoh dengan hasil tes yang negatif HIV

(seronegatif) dan merasa aman dari ancaman. Transmisi virus dapat terus

terjadi saat penderita masih dalam periode asimptomatik (Muma, Lyons,

Borucki, & Pollard, 1997). Oleh karena itu perlu diwaspadai dan sebaiknya

melakukan pemeriksaan ulang 3-6 bulan berikutnya. Kemudian, apabila

hasil pemeriksaan positif, tindakan-tindakan yang tepat harus segera

dilakukan untuk mencegah perkembangan HIV di dalam tubuh. Tindakan

yang paling utama adalah melalui pengobatan dengan antiretroviral agents,

atau yang biasa disebut dengan ARV (antiretroviral).

ARV yang pertama kali ditemukan adalah AZT (azidothymidine)

yang berfungsi menghambat enzim reserve transcriptase (transkripsi

terbalik) untuk berkembang biak. Kemudian, pada tahun 1990an,

pengobatan HIV semakin berkembang dengan lahirnya proteinase inhibitor,

yakni jenis ARV yang menghambat enzim protase, sehingga mengakibatkan

virus HIV generasi baru akan cacat dan tidak mampu menginfeksi

(Djoerban, 2001).

Enzim protase sendiri berfungsi untuk memberikan kemampuan

terhadap HIV generasi berikutnya melanjutkan infeksi ke sel limfosit.

Dengan adanya proteinase inhibitor ini, akhirnya dapat mengurangi jumlah

infeksi yang mungkin terjadi terhadap sel limfosit lainnya secara dramatis

(Tuapattinaja, 2004). Kemudian, setelah tahun 1998, muncul ARV dengan

nama Sustiva yang dinyatakan lebih ampuh jika dikombinasikan dengan

(21)

pasien dengan jumlah virus yang amat banyak, sekitar 100.000 kopi

RNA-HIV/ml darah. (Djoerban, 2001). Hasilnya sangat menggembirakan, setelah

pengobatan selama 24 minggu pada 90% kasus, jumlah virus dalam darah

berkurang sampai dengan tidak terdeteksi lagi (kurang dari 400 kopi/ml).

Dari seluruh penjabaran diatas, disimpulkan bahwa antiretroviral

(ARV) merupakan obat yang dapat menghambat perkembangan restrovirus

di dalam tubuh. Obat ini tidak dapat menangkal transmisi HIV dan bukan

suatu tindakan medis yang dapat menyembuhkan dan membunuh virus.

ARV hanya dapat mencegah reproduksi virus, mempertahankan jumlah

virus seminimal mungkin dalam darah, dan menjaga kestabilan sistem imun

akibat invasi HIV, sehingga pengidap dapat menjalankan kehidupan dengan

“normal”.

2. ODHA Perempuan

Siapa saja dapat terinfeksi HIV, baik laki-laki maupun perempuan,

tergantung seberapa banyak peluang dan seberapa besar faktor resiko

penularan. Dalam hal ini, perhatian utama lebih mengarah kepada

perempuan, karena adanya kasus infeksi terhadap perempuan yang

kesehariannya hanya berprofesi sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT).

Amelia (2015) melalui media SindoNews.com mengabarkan bahwa,

HIV telah merebak menjangkiti sekitar 617 orang IRT di Kota Medan,

jumlah ini tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan jumlah PSK (pekerja

seks komersial) yang terinfeksi HIV saat itu. Fenomena ini mengejutkan,

(22)

terkait penularan HIV sangat tidak memungkinkan bagi IRT. Infeksi

tersebut, menurut pengamatan Eban Totonta Kaban (dalam Amelia, 2015)

berasal dari suami yang suka “jajan” alias tidak setia kepada istrinya.

Kondisi ini mematahkan anggapan yang berkembang di masyarakat bahwa

HIV/AIDS adalah penyakit akibat perilaku yang menyimpang. Buktinya,

tidak hanya orang-orang yang berperilaku menyimpang saja, bahkan IRT

dapat terdampak akibat penularan yang disinyalir berasal dari suami.

Perhatian kepada perempuan menjadi begitu dikedepankan, karena

perempuan memegang peranan penting dalam upaya pencegahan dan

perawatan, baik untuk mereka yang terinfeksi maupun untuk penderita

AIDS (Muninjaya, 1999). Apabila ada salah seorang anggota keluarga,

seperti halnya suami terinfeksi HIV/AIDS, orang yang paling bertanggung

jawab untuk merawat dan manjaga adalah kaum perempuan, yakni istrinya

sendiri. Dibalik itu, sorotan negatif masyarakat akan langsung menjurus

kepada istri ketimbang kepada suami, terlepas siapa sebenarnya pembawa

infeksi tersebut kedalam rumah-tangga (Dalimoenthe, 2011).

Selain fokus diatas, ketidakmampuan perempuan sebagai istri dalam

rumah-tangga untuk menolak kewajibannya melayani suami dalam

hubungan badan merupakan faktor resiko tertinggi bagi mereka

(Dalimoenthe, 2011). Dalimoenthe (2011) menuturkan bahwa, jika istri

sudah terjangkiti, pintu masuk semakin besar bagi HIV untuk menggerogoti

rumah-tangga. Penularan semakin melebar kepada anggota keluarga

(23)

Penularan pada anak dapat terjadi dari kehamilan dari ibu yang

seropositif kepada bayinya, baik in utero (dalam kandungan), selama

persalinan, maupun setelah bayi lahir. Kemungkinan penularan dari Ibu

seropositif terhadap bayi berkisar 30-40% (Muninjaya, 1999). Selain itu,

Muninjaya (1999) menambahkan bahwa, ada kemungkinan ASI (Air Susu

Ibu) turut menjadi media transmisi terhadap bayi, karena HIV juga dijumpai

dalam ASI meskipun dalam dosis kecil.

Demikian besarnya dampak apabila perempuan telah masuk dalam

lingkaran HIV/AIDS, terlebih lagi apabila sudah terkait dengan

keberlangsungan hidup berumah-tangga. Ada ketakutan mengenai

kehilangan suami, mencemaskan keadaan anak-anak atau bayi yang

dikandungnya, bahkan akan berimbas kepada eksistensi keluarga dalam

kehiduapan sosial di masyarakat (Dalimoenthe, 2011).

Dari seluruh uraian diatas dapat disimpulkan bahwa, ODHA

perempuan merupakan seseorang yang dinyatakan positif terinfeksi HIV

melalui diagnosa dari seperangkat tes atau pemeriksaaan darah, dengan

jenis kelamin perempuan. Istilah ODHA biasa digunakan untuk menyatakan

serostatus perempuan tersebut yang positif HIV, baik pada tahap tanpa

gejala maupun yang sudah menunjukkan gejala AIDS.

D. GAMBARAN FORGIVENESS ODHA PEREMPUAN

Pernikahan memuat tuntutan pemenuhan hak dan kewajiban sebagai

tujuan bersama dalam peran suami dan istri. Peran tersebut, bertujuan

(24)

dapat mengayomi, memimpin, melindungi, dan mencari nafkah, dan istri

mengemban peran pengasuhan, pemeliharan, dan menenangkan atau

menghibur (Handayani, Suminar, Hendriani, Alfian, & Hartini, 2008).

Banyak hal yang dapat menghambat tujuan pernikahan dan menjadi

sumber masalah dalam pernikahan. Masalah yang biasa dihadapi dalam

pernikahan, diantaranya adalah masalah finansial, gaya komunikasi,

keluarga, tugas-tugas rumah tangga, dan selera pribadi (Handayani,

Suminar, Hendriani, Alfian, & Hartini, 2008). Selain itu, ketidaksetiaan

pasangan juga menjadi masalah yang sering terjadi (Dalimoenthe, 2011).

Handayani dan kawan-kawan (2008) mengungkapkan bahwa,

laki-laki lebih cenderung memiliki kemungkinan berselingkuh dari pada

perempuan. Berselingkuh, berganti-ganti pasangan seksual atau hanya

sekedar menggunakan jasa pekerja seks komersial (PSK). Hal ini membuat

laki-laki beresiko tinggi terdampak berbagai infeksi penyakit menular

seksual, termasuk HIV (McCullough, Pargament, & Thoresen, 2000).

Disamping itu, trend seks sebelum menikah (premarital sexual behavior)

(Santrock, 1995), dan penggunaan narkoba jarum suntik juga dapat

membuat seseorang beresiko tertular HIV (Spiritia, 2004).

Saat kembali kerumah, suami dengan segala penyakit menular

termasuk HIV dapat menginfeksi keluarga. Istri beresiko tinggi tertular

pertama kali. Apabila istri telah tertular, penularan akan melebar kepada

anggota keluarga lainnya, yakni anak-anak (Muninjaya, 1999). Istri (ODHA

(25)

suaminya sendiri. Perasaan tersakiti dalam hubungan interpersonal menurut

McCullough (McCullough & Witvliet, 2002) disebut dengan interpersonal

transgression. Seperti kebanyakan perempuan lainnya, dalam pernikahan

ODHA perempuan juga menuntut berbagai perasaan dan kepercayaan

(Papalia, Olds, & Feldman, 2011). Oleh karena itu, saat transgresi terjadi,

ODHA perempuan merasa dikhianati dan diperlakukan tidak adil oleh

suami, karena telah melanggar kepercayaannya. Keadaan ini jika dibiarkan

berlarut-larut akan menjadi masalah berkepanjangan (Widhikora & Rusli,

2013) dan mengakibatkan kegagalan pernikahan.

Permasalahan dalam penikahan tidak selalu berujung buruk. Apabila

dapat diseleseikan dengan baik, pernikahan akan semakin kuat bertahan

(Handayani, Suminar, Hendriani, Alfian, & Hartini, 2008). Oleh karenanya,

dalam menghadapi transgresi oleh suami, ODHA perempuan perlu

menyelesaikan permasalahan dengan cara yang baik. Salah satu cara terbaik

menghadapi transgresi menurut McCullough (dalam McCullough,

Pargament, & Thoresen, 2000) adalah forgiveness. ODHA perempuan dapat

memilih untuk forgiveness terhadap apa yang telah dilakukan suami

terhadapnya agar keutuhan rumah tangga dapat terjaga.

Banyak alasan mengapa forgiveness perlu dalam konteks

pernikahan, McCullough (dalam McCullough, Pargament, & Thoresen,

2000) mengungkapkan bahwa, dengan forgiveness seseorang dapat

mempertahankan komitmen dalam keluarga. Dengan melakukan

(26)

terbuka, mengakui kesalahan, menyusun kembali harapan-harapan dan

tujuan pernikahan (McCullough, Pargament, & Thoresen, 2000;

(Handayani, Suminar, Hendriani, Alfian, & Hartini, 2008). Selain itu,

dengan forgiveness, ODHA perempuan sebagai dalam perannya sebagai

istri seperti pengasuhan dan pemeliharaan dapat berjalan dengan baik.

Sehingga, harapan membesarkan anak dalam keluarga yang harmonis lebih

Referensi

Dokumen terkait

Tolok ukur kondisi Sosial (sesuai baku mutu/ penera/ volume target Nilai Besaran Parameter Indikator Sosial setelah Pengelolaan Sosial 1 2 5 6 7 8 9 10 11 12 13

Trigonometri sebagai suatu metode dalam perhitungan untuk menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan perbandingan- perbandingan pada bangun geometri, khususnya dalam

Ditinjau dari pengertian efisiensi menurut Mubyarto dalam Sihombing (2011) yaitu sistem tataniaga disebut efisien apabila memenuhi dua syarat yaitu mampu menyampaikan

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh penggunan metode (NHT) disertai dengan Peta Konsep dan LKS, motivasi belajar, dan kreativitas siswa terhadap

Dengan mengikuti penjelasan guru, siswa mampu menentukan berat benda dengan alat ukur tidak baku menggunakan benda-benda konkrit dengan benar.. Dengan praktik mengukur, siswa

Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai perubahan tutupan lahan di Kabupaten Samosir anatara tahun 2005, 2011 dan 2017

Berdasarkan teori-teori dan hasil penelitian yang belum konsisten tentang strategi inovasi dan pengaruhnya pada kinerja perusahaan, maka penulis mencoba mengangkat permasalahan

Siswa dapat menentukan berat benda dengan alat ukur tidak baku menggunakan benda-benda konkret dengan benar.. siswa dapat membandingkan berat dua benda