• Tidak ada hasil yang ditemukan

ORANG BERJUBAH KELABU

Dalam dokumen MencariBendeMataram-DewiKZ-TMT (Halaman 55-101)

DADANG KARTAPATI dan Kartawirya segera maju pula. Melihat lawannya tidak boleh dibuat gegabah, mereka hanya mengambil sikap mengurung.

"Sorohpati!" teriak Dadang Kartapati. "Kau datang kemari karena memegang janji hendak menyerahkan surat wasiat itu. Aku pun memegang janji pula tidak membasmi sekalian penduduk Kota Waringin. Tapi ternyata kau ingkar janji. Maka jangan sesalkan! Kami terpaksa merajang tubuhmu menjadi bergedel!"

"Kau berani? Boleh coba!" tantang Sorohpati.

Dadang Kartapati jadi panas hati. Berbareng dengan Brajabirawa, ia melompat menyerang dengan

cempulingnya. Dikerubut dua orang dengan sekaligus, Sorohpati tidak takut. Masih bisa ia berbicara. Serunya, "Aku telah berusia lanjut. Sudah waktunya aku

Legakan hati kalian—aku tidak akan menyesal atau berpenasaran."

Dengan gesit ia mengelakkan serentetan serangan, kemudian membalas. Pedangnya bergerak seperti kitiran dan mencecar dari samping. Sasarannya kini kepada Kartawirya yang didengkinya.

Kartawirya buru-buru menangkis. Ia tahu, dirinya berada di antara teman-temannya. Lagi-pula disarangnya sendiri. Di luar tenda puluhan anak buahnya berbaris rapat menunggu perintah. Karena itu hatinya gede. Walaupun agak jeri terhadap Sorohpati, namun bisa ia berlagak. Setelah terbebas dari suatu serangan

mendadak, ia maju mendesak.

Brajabirawa bersenjata sebatang tongkat panjang semacam tombak. Bersama Dadang Kartapati yang bersenjata cempuling, ia mendesak dari samping. Dengan begitu, Sorohpati kini benar-benar terkurung.

Namun jago tua itu sedikit pun tiada gentar. Pe-dangnya berkeredepan mengundurkan Kartawirya dahulu, kemudian balik menikam Dadang Kartapati dan Brajabirawa dengan berbareng. Hebat dan gesit gerakan pedangnya. Tiba-tiba suatu samberan angin terasa berada dibelakangnya. Ia menoleh dan melihat seorang berperawakan tinggi jangkung datang menimbrung. Rupanya dia salah seorang ketua pasukan yang sengaja datang membantu rekan-rekannya. Tak peduli siapa dia, pedang Sorohpati terus menyapu. Trang! Pedangnya terpental balik dan memapas cempuling Dadang Kartapati sambil berseru, "Bagus!"

Itulah salah satu tipu muslihat menggunakan tenaga lawan. Begitu pedangnya kena terpental balik, tiba-tiba

menyambar dada Brajabirawa yang tidak berjaga-jaga. Hebatnya lagi, ujung pedangnya hanya menggores lengan. Sasarannya yang benar ialah dada Kartawirya. Orang ini lantas saja menjerit tinggi.

"Bangsat! Dadang Kartapati. Di sini kau mau mengumbar adatmu?"

Panas hatinya pendekar ini. Cempulingnya lantas berkesiur menghantam kepala. Tapi Sorohpati hanya cukup memiringkan kepala. Pedangnya bergerak memukul tangkainya. Kemudian mental menghantam tongkat baja Brajabirawa.

"Lepas atau kutung lenganmu!" teriaknya garang. Brajabirawa kaget kena serangan yang sama sekali tak terduga. Dalam keadaan tak bersiaga, buru-buru ia mengangkat tongkat bajanya melintang untuk

melindungi dirinya. Tetapi lengannya tadi sudah tergores pedang. Betapa pun juga mengurangi pemusatan pikiran. Tiba-tiba saja tongkat bajanya terlepas dari genggaman dan terlempar tinggi ke udara.

Inilah kesempatan yang bagus. Sorohpati lantas maju dan membabatkan pedangnya. Brajabirawa menjerit tinggi. Lengannya kutung, sehingga ia terbanting di atas tanah dan mengerang-erang kesakitan.

Tetapi pada saat itu juga, Sorohpati mundur pula dengan sempoyongan. Ia memekik tertahan. Matanya berkunang-kunang dan kedua kakinya terasa lemas. Hampir saja ia tak sanggup mempertahankan diri. Sebab selagi ia tadi menghajar Brajabirawa, Dadang Kartapati dan si Jangkung menyerang pula dengan berbareng. Tentu saja gabungan mereka bukan main besarnya.

"Tahan!" seru Sorohpati setelah terhajar. "Aku hendak berbicara."

Selagi membuka mulut demikian, ia melontakkan darah, jelaslah, bahwa ia terkena hajaran berat. Dan melihat ia terluka parah, orang-orang yang mengepung arena menjadi lega. Mereka yakin, bahwa dia bakal merubah sikap.

"Sorohpati, berbicaralah!" kata Dadang Kartapati dengan tertawa.

Sorohpati melontakkan darah lagi. Kemudian sambil menuding Gandarpati dan Astika, ia berkata: "Kau dengarkan, kata-kataku ini. Aku semenjak berangkat kemari, tak lagi aku memikirkan mati hidupku. Mula-mula aku bermaksud untuk mencoba menjalin suatu

persahabatan dengan kamu bertiga. Betapa pun juga, kamu bertiga sebenarnya adalah tuan-tuan budiman. Tetapi ternyata kesudahannya lain sekali. Namun aku tetap percaya, bahwa kamu semua adalah tuan-tuan yang terhormat. Yang dapat membedakan antara denda dan budi. Yang dapat memisahkan antara yang

tersangkut dan tidak. Maka itu tuan-tuan dalam hal ini murid dan anakku hendaklah jangan kamu bawa-bawa. Sebagai pengganti mereka, nah majukanlah lagi dua orang untuk mengembut aku."

"Hm!" Dadang Kartapati menggerendeng. Ia tahu maksud Sorohpati yang hendak menyelamatkan murid dan anaknya. Dasar ia licin, justru terbangunlah akalnya. Sahutnya, "Dalam hal ini kita lihat saja nanti bagaimana nasib mereka. Bagus atau tidak, tergantung kepada keadaan."

Sekian lama, Gandarpati tidak membuka mulut atau meraba pedang karena patuh terhadap perintah gurunya. Tapi begitu mendengar ucapan Dadang Kartapati, ia tak dapat membungkam terus.

"Guru!" serunya sambil meraba hulu pedangnya. Benar-benar ia tak dapat berdiam diri menyaksikan luka parah gurunya.

"Jangan bergerak!" teriak Sorohpati.

Akan tetapi Astika yang beradat panas telah melompat dengan teriak nyaring. Cepat Gandarpati menyambar lengannya dan ditariknya. Katanya perlahan, "Adik, dengarlah dulu kata ayahmu."

Astika merenggut tangannya sambil membentak sengit. "Hm, pengecut!"

Masih dapat Gandarpati menguasai mulutnya. Dasar ia memang seorang pendiam. Lalu membuang mukanya ke arah gelanggang. Di sana babak baru mulai lagi.

"Tua bangka, kau hendak berpesan apalagi?" teriak Dadang Kartapati. Sambil berteriak, cempuling bergerak menghantam dahsyat.

Buru-buru Sorohpati menangkis sambaran cempuling itu. Sekarang ia merasakan kuat tenaga lawan, sehingga seluruh sendi-sendi tulangnya terasa nyaris lumpuh. Tetapi menyaksikan kelicikan Dadang Kartapati tak dapat ia tinggal menyerah saja. Insyaflah sekarang, saat mati hidup terjadi dalam babak baru ini. Lolos atau mati. Maka dengan mengerahkan semangat tempurnya, ia membalas menyerang. Dengan rapat ia membela diri dengan ilmu-ilmu simpanannya dan dengan ganas ia menikam dan mendesak.

Dadang Kartapati benar-benar kagum atas

ketangguhannya. Coba dia tak terluka, pastilah akan lebih hebat. Katanya dalam hati. "Tidak kusangka ia begini tangguh. Untung aku tadi berhasil menghajar kepungannya. Kalau tidak..." Teringatlah dia, bahwa Sorohpati tadi memperkenankannya mengajukan dua orang lagi sebagai pengganti kedudukan Gandarpati dan Astika. Karena licik, segera ia memanggil empat orang pembantunya sekaligus. Kemudian barulah ia menyerang berbarengan seperti turunnya hujan lebat.

Dalam keadaan mati hidup, Sorohpati memperlihatkan kemampuannya. Pedangnya ber-keredep menghadapi keroyokan mereka. Air mukanya tenang berwibawa. Meskipun diserang bagaikan hujan badai, sama sekali tak bergeming. Inilah suatu pertempuran mati-matian yang tidak memikirkan lagi keselamatan jiwa. Tujuannya hanya satu: mati berbareng dengan sekalian musuhnya.

Melihat pertarungan itu, tergoncang hati Astika. Ia pilu terharu, cemas dan panas. Benar-benar keterlaluan pengeroyok itu. Beberapa kali ia hendak melompat maju, namun setiap kali Gandarpati mencegahnya. Dengan suara tenang Gandarpati menghibur.

"Legakan hatimu, Guru belum kalah."

"Tapi kalau Ayah sudah keteter4), bagaimana kita akan menolongnya?" Astika menegas.

Gandarpati tidak menjawab. Tangannya hanya

menuding. Katanya, "Lihatlah! Itulah suatu tipu-muslihat ilmu simpanan ayahmu!"

") keteter: terdesak

Memang benar. Pada saat itu Sorohpati menggunakan ilmu simpanan warisan tabib sakti Maulana Ibrahim yang diwarisi lewat anaknya: Manik Angkeran. Tiba-tiba ia mendesak Dadang Kartapati tiga langkah. Kemudian melesat menikam Kartawirya yang sudah terluka dan berada di pinggir arena. Orang ini kelabakan kena dise-rang dengan mendadak. Belum lagi dapat berbuat sesuatu, kembali lagi dadanya berlubang.

la terbanting tertengkurap dengan mengaduh sedih. Sorohpati tidak hanya berhenti sampai di situ saja. Mendadak tubuhnya melesat mundur dan menghantam dua lawannya dengan sikunya. Kemudian merabu Dadang Kartapati yang sedang tercengang-cengang menyaksikan kegesitannya. Untung, dia bukan orang lemah. Buru-buru ia mengayun cempulingnya dan menangkis dengan mengadu tenaga.

Serangan pembalasan yang cepat ini benar-benar diluar dugaan mereka. Itulah jurus sakti berasal dari perguruan Sadewata, guru Maulana Ibrahim, Tatang Manggala dan Diah Kartika. Dengan jurus itu pula, Diah Kartika pernah melukai dua puluh lawan dengan sekali gerak5) Maka tak mengherankan, bahwa dalam gerakan itu Sorohpati dapat melukai tiga lawannya secara cepat sekali.

Brajabirawa yang menggeletak di pinggir arena berseru keras karena kagetnya. Serunya tak jelas. "Dadang! Awas!"

Waktu itu Dadang Kartapati sedang maju

mengayunkan cempulingnya. Karena penasaran ia

hendak membuat perhitungan. Ia yakin dalam hal mengadu tenaga ia menang seurat, karena Sorohpati telah terluka. Itulah sebabnya, ia ber-besar hati. Tanpa memedulikan kemampuan diri ia lantas menghantam.

Sorohpati ternyata masih gesit. Melihat berkelebatnya cempuling Dadang Kartapati, ia berkelit, pedangnya lempang ke depan dan menikam dengan mendadak. Dan pada saat itu juga, Dadang Kartapati menjerit kesakitan. Lengan kirinya kena tertikam dan hampir rantas dari tubuhnya sehingga ia terus mengiang-iang.

Astika yang tadinya berkecil hati, berbalik menjadi bangga. Terus saja ia bertepuk-tepuk girang. Dasar masih kanak-kanak, ia lalu berteriak: "Ah, benar-benar hebat! Kalau begini mana bisa kawanan tikus melawan ular?"

Sorohpati sendiri terbangun pula semangat tempurnya. Dalam keadaan demikian, masih bisa ia merobohkan seorang lawan lagi di luar dugaannya sendiri. Dengan begitu, tekanan terhadap dirinya agak jadi ringan. Dengan mulut dan pedang yang berlepotan darah, ia memutar menghadapi empat lawan lagi yang datang mengepung.

Sekarang dari luar tenda, masuklah sepuluh orang lagi dan terus bergerak mengepung. Meskipun Sorohpati tangguh namun ia tak dapat berkelahi terus menerus. Mulutnya terus-menerus menyemburkan gumpalan darah pula. Lambat-laun tenaganya nampak habis. Entah bera-pa lama lagi ia dabera-pat mempertahankan diri.

Brajabirawa waktu itu telah digotong anak buahnya dan didudukkan di atas kursi. Ia pingsan beberapa kali. Tetapi setiap sadar dari pingsannya, masih ia ingat

rencana kelicikannya. Serunya: "Jangan... dibunuh... kamu mengerti maksudku?"

Seruan ini segera disampaikan kepada siapa saja yang mendengar. Maka sebentar kemudian terdengar pula suatu jawaban.

"Baik, baik. Kami tahu maksud Tuan...."

Sorohpati dapat menebak maksud lawannya. Katanya dengan tertawa: "Kalian hendak menangkap aku hidup-hidup untuk kalian tukarkan dengan pangkat... jangan harap!"

Semua orang tahu, bahwa jago tua itu berkepala batu. Mereka tak sudi meladeni. Dengan secara bergiliran dan bergantian mereka menyerang dan mundur. Dan

diserang dengan cara demikian habislah tenaga

Sorohpati: Matanya mulai berkunang-kunang. Kepalanya puyeng dan telinganya pengang. Kembali lagi ia

memuntahkan darah. Namun tak sudi ia menyerah men-tah-mentah. Masih saja ia berusaha mengeluarkan ilmu simpanannya sambil berseru kepada muridnya.

"Gandarpati, kau perhatikan semuanya ini. Di kemudian hari akan besar faedahnya."

Sebenarnya tidak boleh ia bergerak di luar batas sisa tenaganya, mengobral tenaga dengan cara demikian, berarti membunuh diri sendiri. Tetapi pada saat itu, ia tak mengharapkan hidup lagi. Tujuannya sekarang hendak memperlihatkan semua ilmu simpanannya yang belum sempat diwariskan kepada murid satu-satunya itu. Ia sadar, bahwa hal itu sebenarnya hanya merupakan hiburan pengantar perjalanannya yang terakhir. Dalam keadaan demikian, alangkah terasa nikmat.

Dengan mengobral latihannya selama empat puluh tahun lebih, ia mendesak belasan lawannya dalam tiga puluh jurus. Setelah itu mulailah ia membela diri. Guru Maulana Ibrahim, memang seorang ahli pedang pada zaman Ratu Bagus Boang. Ilmu pedangnya berisi tiga puluh enam jurus pokok. Di samping menyerang, ingat pula untuk membela diri. Dengan ilmu pedang itu pulalah Diah Kartika menjagoi di seluruh Jawa Barat. Edoh

Permanasari satu-satunya pewaris ilmu pedang Ratu Fatimah sukar menandingi. Dan ilmu pedang guru besar Sadewata itu, diwarisi Sorohpati lewat anaknya Manik Angkeran. Dasar mempunyai bakat baik, dapat ia menyelami sampai kedasarnya. la mencampur adukkan dengan ilmu pedang ajaran Adipati Surengpati. Maka tak mengherankan- meskipun dalam keadaan luka parah-belasan pengeroyoknya tak dapat mendekatinya. Mereka hanya menunggu kelelahannya belaka.

Setelah lewat beberapa jurus lagi, mendadak Sorohpati menyampok lima batang golok yang

mengancam dengan berbareng. Begitu ber-gelontangan di atas tanah, segera ia berseru: "Tahan sebentar! Aku hendak berbicara...."

"Kau mau ngomong apa lagi?" bentak salah seorang. "Mana Dadang Kartapati? Apakah dia masih bisa diajak berbicara?"

Kala itu, lengan Dadang Kartapati yang yaris rantas sudah mendapat pertolongan.

Meskipun agak mendingan, namun sakitnya luar biasa. Ia mengatupkan giginya untuk menahan rasa sakit. Tak urung kedua matanya merah berlinangan juga. Tapi begitu mendengar suara Sorohpati, tak sudi ia berada di

bawah pengaruh. Dengan membusungkan dada, ia me-maksa menyahut. "Aku di sini. Kau mau pesan apa?"

"Apakah kau benar-benar menghendaki barang itu?" "Hm, apakah kau sangka, aku cuma main-main saja?" Dadang Kartapati mendongkol.

"Baik," tungkas Sorohpati. "Akan kuserahkan barang itu, asal saja kau sudi menerima dua syaratku."

"Syarat apakah itu? Coba bilang!" sahut Dadang Kartapati dengan mengatupkan giginya.

"Yang pertama, kau menjamin keselamatan dua pengikutku ini. Bagaimana?"

Menuruti hati, ingin ia mengutuk dan memakinya. Tapi kemudian ia berpikir di dalam hati, tujuanku untuk

memperoleh surat wasiat. Kalau dipikir, buat apa menginginkan kedua pengikutnya? Bisa-bisa membuat repot. Memikir demikian, ia segera memanggut.

"Sekarang yang kedua," kata Sorohpati berlega hati. "Kau menghendaki barang itu.

Seharusnya kau harus merebutnya secara ksatria. Asal dalam seratus jurus kau dapat memenangkan aku, surat wasiat itu lantas menjadi milikmu. Nah, bagaimana?"

"Bagus..." Hampir Dadang Kartapati memaki. Itulah disebabkan ia sudah terluka.

Jangan lagi dalam keadaan demikian. Seumpama segar bugar pun belum tentu dapat memenangkan ilmu pedang orang tua itu. Meskipun orang tua itu berada dalam keadaan luka parah. Syukur ia licin. Setelah

mengasah otak, ia memaksa diri untuk tertawa meskipun peringisan menahan rasa nyeri.

"Kau sudah tahu, aku tak dapat melawanmu lagi. Mengapa kau berbicara perkara adu kepandaian?"

Sorohpati terdiam sejenak, la seperti lagi menimbang-nimbang. Pikirnya di dalam hati, Brajabirawa sudah terluka. Kartawirya juga. Kau pun begitu. Kurasa didalam perkemahan ini tiada lagi yang dapat diandalkan, selain main kerubut menunggu habisnya tenagaku. Baiklah aku suruh dia mencari orang yang dapat melawan aku. Siapa lagi? Memikir demikian, lantas ia menyahut: "Siapa saja boleh melawan aku."

"Bagus! Jadi aku kau perkenankan memilih tandingmu?" Dadang Kartapati menegas.

"Benar." Sorohpati membenarkan tanpa pikir lagi. Astika terharu mendengar pembenaran ayahnya. Hatinya penuh syukur pula. Bukankah ayahnya sedang berjuang demi keselamatannya, meskipun dalam keadaan luka parah? Mengingat ketangguhannya tak usah berkhawatir lagi. Tapi mengingat luka parahnya ia meragukan ketahanan tenaganya.

Dalam pada itu, Dadang Kartapati telah berkata: "Sorohpati, apakah kau memegang janjimu?"

"Aku seorang laki-laki seperti kau juga," sahut Sorohpati.

"Bagus! Jadi, kalau dalam seratus jurus kami menang kau harus menyerahkan surat wasiat itu, bukan?"

"Benar."

"Tapi selain itu, kau pun harus tunduk kepada peraturan kami. Bukankah kau mengajukan dua syarat pula?"

"Tak usahlah kau berkepanjangan," potong Sorohpati. "Kalau aku kalah, kau boleh memotong kepalaku,

merajang atau merebus diriku dalam minyak mendidih. Sesukamulah. Sebaliknya kalau kau kalah, aku masih mau berbicara lagi."

Sorohpati memang sengaja hendak mengulur waktu untuk sedikit merebut tenaganya kembali. Meskipun dia sendiri sudah memutuskan untuk mati, tapi mengingat keselamatan Astika dan Gandarpati ia mencoba mencari jalan keluar. Dalam pada itu, mendadak Brajabirawa yang dalam keadaan lupa-lupa ingat ikut berbicara pula. Katanya menimbrung.

"Dadang Kartapati! Kita pun laki-laki. Mengapa mengoceh tak keruan juntrungnya? Bilang, kalau kita kalah dia pun bisa memperlakukan kita sekehendaknya."

Mendengar suara Brajabirawa yang gagah sedang dirinya sudah terluka parah, tiba-tiba ingatan Astika seperti tergugah. Teringatlah dia tadi kepada kata-kata ayahnya, bahwa ayahnya hanya menyegani satu orang. Itulah pendekar Watu Gunung yang selama pertemuan ini belum menampakkan batang hidungnya. Maka dengan gopoh ia berseru, "Ayah! Jangan sampai kena jebak!"

"Apa?" Sorohpati kaget. "Jebak apa?"

"Bukankah Watu Gunung yang katanya berada dalam perkemahan ini belum muncul?"

Sorohpati benar-benar kaget sampai telinganya pengang. Hampir saja ia pingsan.

Pikirnya, Celaka! Kalau wasiat puteri Adipati

Kartapati tidaklah apa. Mereka berkata hanya akan dipersembahkan kepada Gubernur Inggris. Tetapi kalau jatuh ke tangan Watu Gunung, inilah lain. Dunia semesta akan menjadi geger. Ya Tuhan... celaka! Pendekar

Sangaji untung seorang yang berbudi luhur. Tapi Watu gunung ... Ih! Benar-benar hebat akibatnya....

Ia jadi menyesal atas kecerobohannya. Maklumlah, ia dalam keadaan luka parah. Dirinya dalam keadaan lupa-lupa ingat pula. Namun ia sudah berjanji. Sebagai seorang Ksatria tak boleh ia menarik ucapannya. Sungguh pun demikian pikirannya kini kacau. Hatinya gelisah bukan main.

Astika berduka melihat perubahan wajah ayahnya. Hampir sepuluh tahun lamanya ia hidup serumah dengan ayahnya. Selama itu belum pernah ia melihat perubahan wajah ayahnya sehebat ini. Tahulah dia, bahwa hati ayahnya sedang terpukul hebat. Diam-diam ia menarik lengan Gandarpati. Bertanya dengan berbisik:

"Wasiat itu sebenarnya berharga sampai di mana? Mengapa Ayah rela menukar dengan jiwanya sendiri?"

Gandarpati membuka mulut. Tapi aneh jawabannya. la tidak langsung memberi keterangan tentang arti wasiat itu bagi keselamatan hidup manusia.

"Ayahmu datang kemari, sebenarnya untuk menemui pendekar Watu Gunung untuk diajak berunding.

Sekarang keadaannya sudah lain. Rupanya mereka sudah bersekongkol sebelumnya, meskipun masing-masing mempunyai kepentingannya sendiri. Ah, adikku. Mulai saat ini, engkau harus mendengarkan semua kata-kata kakakmu ini. Dan barulah jiwamu terjamin...."

Astika mendongkol mendengar bunyi jawabannya. Katanya keras: "Kau mengoceh sendiri. Kau belum menjawab pertanyaanku."

"Sst!" Gandarpati mencegah. "Tentang surat wasiat itu lambat laun kau mengerti sendiri. Baiklah kuterangkan sedikit. Barangsiapa dapat memahami bunyi dan isi surat wasiat itu, ia akan menjagoi seluruh dunia. Kalau

manusia bertabiat buruk, dunia ini bakal terbakar musnah. Itulah yang diprihatinkan ayahmu sekarang "

Astika kaget mendengar keterangan Gandarpati. Setelah kaget, ia tercengang.

Kepalanya lantas sibuk menebak-nebak, rahasia apakah yang tersimpan dalam surat wasiat itu sampai dapat menyulap manusia begitu hebat.

Sorohpati mendengar semua pembicaraan itu, meskipun hanya berbisik-bisik. Lalu berkata nyaring. "Brajabirawa, Dadang Kartapati! Perkenankan aku berbicara sebentar dengan muridku dan anakku. Bolehkah?"

"Boleh! Mengapa tidak? Masakan kau bisa kabur dari kepungan kita?" sahut Dadang Kartapati mewakili Brajabirawa.

Sorohpati segera menghampiri Astika dan Gandarpati. Kemudian dibawanya menyendiri. Katanya perlahan, "Astika, masih aku hendak berpesan kepadamu. Kalau aku nanti mati, orang yang terdekat denganmu harus ditambah seorang lagi. Dialah Demang di galuh, Ki Jaga Saradenta. Dan untukmu Gandarpati ceritakanlah

kejadian ini kepada Kyai Kasan Kesambi. Nah, kalian jangan lupa. Ingat-ingatlah nama itu!"

Astika pilu. la lantas menangis sesenggukan. Katanya sedih, "Ayah! Benar-benarkah Ayah tak dapat meloloskan diri?"

Sorohpati tidak menjawab. Dengan melempangkan pedang ke udara ia berteriak nyaring: "Adipati

Surengpati, junjunganku! Semenjak muda aku mengabdi padamu. Kau didik. Aku... Kau asuh aku... untuk menjadi seorang pendekar bangsa, musuh segala bentuk angkara murka di persada bumi ini. Sayang, otakku terlalu tumpul untuk dapat mewarisi semua ilmu kepandaiannya.

Sekiranya begitu, apakah arti bangsa kurcaci ini. Hm, hm! Puterimu Titisari yang berotak cerdas luar biasa, kini mendampingi suaminya pendekar besar Sangaji, entah di mana dia sekarang berada. Aku diberi kepercayaan puterimu untuk menyimpan sepucuk surat wasiat yang paling berharga di dunia ini. Meskipun ilmu kepandaianku dangkal, aku tidak akan memalukan engkau. Demi

namamu dan kesejahteraan umat manusia, aku bersedia mengorbankan jiwaku. Moga-moga kau dengar suaraku ini...

Hebat kata-kata Sorohpati. Semuanya jadi tercengang-cengang. Sorohpati sendiri setelah meledakkan isi

hatinya, terus melompat ke tengah gelanggang kembali. Pedangnya berkelebat hendak memagas lehernya sendiri.

"Ayah! Jangan!" teriak Astika memburu tapi seluruh tenaganya seperti punah.

Sehingga ia hanya tertegun dengan pandang kejang. Brajabirawa, Dadang Kartapati, Kartawirya dan sekalian bawahannya tak dapat mencegah. Mereka hanya kaget dan sibuk tak keruan. Dan pada detik itu, tiba-tiba pedang Sorohpati terpental ke udara. Sesosok

bayangan berkelebat menyambar pedang itu. Dan berdirilah seorang laki-laki yang berperawakan tinggi besar di depan Sorohpati sambil membentak.

"Hai, binatang! Kau hendak bunuh diri? He, he, hee...

Dalam dokumen MencariBendeMataram-DewiKZ-TMT (Halaman 55-101)

Dokumen terkait