• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEMBILAN JURUS PUKULAN SAKTI

Dalam dokumen MencariBendeMataram-DewiKZ-TMT (Halaman 162-197)

WAKTU TERDENGAR suara gemerincing benda logam yang ketiga kalinya, Fatimah tersadar dari pingsannya. Ia menyenakkan mata. Dadanya terasa sakit luar biasa seperti kena tusuk dari luar. Namun karena berada dalam pelukan Sangaji, hatinya terhibur. Dan kembali ia

memejamkan matanya.

Sangaji kini dapat melihat wajah mereka. Yang bertubuh jangkung memiliki hidung bengkok seperti patuk elang. Yang lainnya berambut keriting dan berjenggot tebal. Sedang yang wanita, bermata tajam. Umurnya paling tinggi dua puluh empat tahun.

"Guru menyebut mereka dengan Pedande. Apakah mereka pendeta dari Bali?"

Sekarang ia memperhatikan senjata yang dibawanya. Yang laki-laki menggenggam senjata mirip tongkat tetapi agak tipis. Tongkat itu nampaknya bersambung-sambung seperti berengsel. Setiap digerakkan berbunyi gemerin-cing. Sedang yang wanita bersenjata logam bulat seakan-akan piring keemas-emasan. Jumlahnya dua. Setiap kali hendak bergerak, kedua piringnya digeserkan sehingga bersuara nyaring nyeri.

"Gagak Seta! Bukankah engkau mengenal kami?" tegur laki-laki yang berhidung bengkok.

Gagak Seta tertawa melalui hidungnya. "Tentu. Mengapa tidak? Bukankah kalian orang-orang yang datang dari Pegunungan Kapakisan?"

"Benar. Nah, sesudah kau mengenal anak-keturunan Empu Kapakisan yang termasyur semenjak zaman Majapahit, mengapa tidak cepat-cepat berlutut?"

Mendengar ucapannya, Gagak Seta tertawa terbahak-bahak. "Kalian merasa diri apa sampai berani berbicara begitu terhadap aku? Biar pun kalian keturunan malaikat, apakah dasarnya sampai aku si Jembel harus bertekuk lutut? Hm, hm! Kalian jangan berlagak yang

bukan-bukan di depanku. Aku dan kalian seperti telaga dan laut. Masing-masing mempunyai jalannya sendiri."

Empu Kapakisan hidup pada zaman Majapahit. Dia saudara seperguruan Mapatih Gajah Mada. Tatkala Mapatih Gajah Mada menyerbu Pulau Bali, Empu

Kapakisan membantunya, sehingga Bali dapat dikuasai. Itulah sebabnya, dia dihormati sebagai pahlawan negara dan sahabat Mapatih Gajah Mada yang berilmu sangat tinggi.

"Guru!" Sangaji menungkas. "Apakah Guru kenal mereka? Mengingat ilmu kepandaiannya, apa sebab Guru tak pernah menyinggung-nyinggung nama mereka!"

"Hm! Terhadap manusia-manusia bunglon yang tidak berwatak, gurumu tidak mempunyai waktu untuk

mengingat-ingat namanya," sahut Gagak Seta. "Kalau kau ingin mengenal namanya, nah, tanyakanlah sendiri!"

Sangaji memutar pandangnya. Orang yang berhidung bengkok lantas mengeluarkan dua potong logam dari dalam sakunya. Logam itu bukan baja, bukan pula besi. Tatkala digeser, mendadak berbunyi: Ting! Ting! Ting! Suara inilah tadi yang mengejutkan jantung Sangaji, Gagak Seta dan Sirtupelaheli. Dalam jarak dekat aung dan getarannya terasa lebih hebat.

"Anak keturunan Empu Kapakisan mesti mempunyai tanda ini," kata orang berhidung bengkok. "Inilah pusaka turun-temurun."

Sangaji mengamati-amati benda logam itu.

Tatkala orang itu merapatkan dua potongan logam dikedua tangannya, hatinya kaget sampai berjingkrak. Itulah sebuah bende yang terbelah menjadi dua.

"Kami berasal dari Pulau Lombok. Tahukan kau nama ibukota Lombok?" kata si Hidung bengkok lagi. "Itulah Mataram. Karena itu, benda ini kami namakan Bende Mataram."

Tak terasa Sangaji memutar pandang kepada Gagak Seta. Gagak Seta demikian pula. Mereka saling

memandang untuk memperoleh pertimbangan. Berkatalah si Hidung bengkok lagi. "Kami bertiga bernama Mohe, Jahnawi dan Jinawi. Utusan suci untuk membuat perdamaian dunia."

"Siapa yang bernama Mohe?"

"Aku," sahut yang berhidung bengkok.

"Mohe! Agaknya kau serumpun dengan jahe," kata Gagak Seta dengan tertawa terbahak-bahak.

Mohe menggeram. Kedua matanya berputar. Terang sekali hatinya bergusar. Namun ia berusaha

menyabarkan diri.

"Semenjak lama padepokan Kapakisan kehilangan tiga pusaka. Sebuah jala, sebuah bende dan sebuah keris. Karena itu, anak keturunannya wajib menemukan ketiga pusaka tersebut. Kami mendengar berada di pusat Pulau Jawa. Itulah sebabnya kami sudi menjadi hamba raja Jawa. Nah, tahulah kau sekarang—bahwa tujuan kami adalah hendak mencari ketiga pusaka leluhur kami. Jadi bukan berangan-angan memperoleh pangkat-derajat

atau kekayaan orang-orang Jawa. Karena itu, istilah bunglon sungguh kurang tepat!"

"Benar! Memang bukan bunglon, tetapi cuma bunglon perantauan," sahut Gagak Seta cepat. Terang sekali mulutnya yang jahil hendak membakar hati mereka. "Hm.... Tiap orang memang bisa mengaku sebagai anak-keturunan Empu Kapakisan. Tetapi Kapakisan yang mana? Di Jawa Timur ada Kapakisan. Di Bali ada

Kapakisan. Sekarang, di Lombok kalian menyebut-nyebut Kapakisan pula. Hm, hm! Aku si tua bangka paling benci terhadap mulut-mulut bunglon."

"Tuan!" bentak Jahnawi yang semenjak tadi berdiam diri. "Di sini bukan sebuah surau tempat mengajarkan ilmu dan pengetahuan hidup. Kapakisan tetap Kapakisan. Biarpun berada di Pulau Bali atau Pulau Jawa atau di Pulau Lombok. Kapakisan tetap Kapakisan. Sebab nama Kapakisan hanya satu."

"Benar, benar! Sinting memang tetap sinting!" bentak Gagak Seta pula.

"Kami mendengar nama Gagak Seta dari pembicaraan orang," sambung Jahnawi si wanita. "Dari mulut orang, kami mendengar kabar, bahwa engkau pernah

mempunyai seorang murid yang secara kebetulan memiliki pusaka-pusaka Kapakisan tersebut. Benarkah itu?"

"Hm, hm! Kalau benar bagaimana? Kalau tidak kalian mau apa?" sahut Gagak Seta pendek.

Pendekar ini lantas bersiaga. Teringatlah dia, bahwa ketiga orang itu dapat melontarkan Sirtupelaheli dalam satu gebrakan. Itulah suatu ilmu kepandaian yang tak

boleh dibuat gegabah. Ilmu kepandaiannya sendiri memang masih berada di atas Sirtupelaheli. Namun untuk dapat melemparkan Sirtupelaheli dalam satu

gebrakan, rasanya tidak mungkin. Oleh pertimbangan itu, ia merasa diri belum dapat melawan mereka apalagi berangan-angan untuk menang. Rasanya belum

mendapat pegangan. Kecuali apabila dia bisa menimpali gerakan-gerkan Sangaji yang aneh pula seperti yang pernah disaksikan tatkala bertempur melawan Kebo Bangah di padepokan Gunung Damar.

Ketiga orang itu lantas saja menjadi habis kesabarannya. Mohe mengibaskan tangan kirinya.

Jahnawi dan Jinawi segera mengerti maksud kibasannya. Dengan serentak ketiga orang itu bergerak. Mereka melompat tinggi dan tahu-tahu sudah berada di depan Sirtupelaheli. Diserang dengan mendadak Sirtupelaheli tidak tinggal diam. Segera ia menimpukkan enam senjata rahasianya dengan sekaligus. Tetapi dengan mudah mereka dapat menyelamatkan diri. Mohe merangsak dan mencoba mencengkeram leher Sirtupelaheli. Dengan sebat Sirtupelaheli membabat tongkatnya. Entah apa sebabnya, tiba-tiba saja Sirtupelaheli kena terangkat tinggi-tinggi— dan punggungnya kena dicengkeram Jahnawi dan Jinawi dengan berbareng.

Kena cengkeraman itu, Sirtupelaheli habis tenaganya. Tubuhnya lantas kena diputar-putarkan pula. Mohe lantas menghampiri dan melumpuhkan jalan darahnya dengan pukulan tujuh kali.

Menyaksikan pertarungan segebrakan itu, berpikirlah Sangaji: Melihat gerakannya, tidak terlalu luar biasa. Mereka hanya bisa bergerak dengan lancar, licin dan serasi. Yang luar biasa adalah cara memancing Nenek

Sirtupelaheli. Begitu kena terpancing, dengan kerja sama yang rapih kedua rekannya lantas menerkam punggung. Meskipun Nenek Sirtupelaheli kena diruntuhkan lagi dalam segebrakan, namun apabila diadu dengan perseorangan, tidak bakal kalah. Aku yakin, ilmu kepandaian mereka perorangan tidak akan melebihi Nenek Sirtupelaheli.

Dalam pada itu, Mohe telah melemparkan tubuh Sirtupelaheli kepada Gagak Seta.

"Tuan, meskipun Tuan akan membungkam seribu bahasa, namun kami tahu—dia adalah adik

seperguruanmu. Menurut peraturan tata tertib dan peradaban dimana saja, seorang murid tidak boleh mengkhianati perguruannya. Tetapi dia cuma menuruti hawa nafsunya belaka. Lantas meninggalkan perguruan untuk mengabdikan nafsunya kepada seseorang. Eh, tahu-tahu dia meracuninya pula. Lantas pindah majikan berbareng menjual jasa-jasa baik. Kutungkan

kepalanya!"

Gagak Seta terkejut." Bukan tentang keputusan untuk mengutungkan kepala adik seperguruannya. Tetapi, bahwasanya mereka tahu belaka riwayat perjalanan hidup adiknya seperguruan itu begitu jelas seperti membaca buku. Namun ia tak sudi kalah gertak. Sahutnya setelah tertawa panjang. "Maaf! Perguruan kami tidak mempunyai peraturan begitu. Sebab orang ini lahir tanpa ada yang memerintah. Juga mati tiada yang menyuruh. Dia bebas seperti awan bergerak di atas kepala kita. Seumpama benar keteranganmu, itulah urusan rumah tangga kami. Siapa kesudian minta jasa baikmu."

"Tapi mulai malam ini kami perintahkan kepadamu. Semua tata tertib perguruan dan peradaban baru, harus tunduk kepada peraturan kami. Kau dengar?"

Mendengar kata-katanya, Gagak Seta tercengang sejenak. Kemudian tertawa terbahak-bahak sampai terbatuk-batuk. Katanya mengguruh: "Hai! Semenjak kapan otakmu sinting tak keruan? Kau sadar akan kata-katamu itu?"

"Mengapa tidak?" bentak Mohe. "Bukankah kami sudah menyatakan, bahwa kami adalah utusan suci untuk perdamaian dunia? Kedamaian bakal terjadi, apabila tiap orang mengerti akan tata tertib. Kedamaian bakal terjadi, manakala tiap insan sadar akan

peradabannya."

"Eh, kau ngoceh seperti burung!" potong Gagak Seta. "Aku Gagak Seta paling benci kepada mulut besar."

Mohe tertawa terkekeh-kekeh. "Kau benar-benar rewel! Aneh dan lucu! Semenjak tadi kami tahu, bahwa dia berusaha hendak mengambil nyawamu dengan jalan meracuni tanah. Mengapa kau tak mau mengambil nyawanya? Benar-benar aku tak mengerti!"

Sangaji tercekat. Teringat akan bunyi ringan seringan jatuhnya selembar daun di atas tanah tadi, hatinya terasa meringkas. 'Jadi benar-benar bunyi langkah manusia," pikirnya. "Benar-benar tinggi kepandaiannya. Syukur, aku tadi sudah berada di dalam

persembunyiannya. Kalau tidak, aku pun bakal kena intip. Ah, kusangka tadi langkah Daniswara...."

Dalam pada itu terdengar Gagak Seta membentak. "Aku Gagak Seta entah sudah berapa banyak membunuh

orang karena kesalahan tangan. Tetapi aku tak bakal membunuh saudara seperguruan betapa jahat pun."

"Baik! Sungguh baik hatimu!" tungkas Mohe. "Tapi kau mesti membunuhnya. Kalau kau menolak, artinya

melanggar perintah." "Perintah siapa?"

"Perintah kami. Dan barang siapa berani melanggar perintah, kami akan mengambil nyawanya," sahut Mohe. "Karena kau kini ternyata berani melanggar perintah, maka kami akan mengambil nyawamu dulu. Kemudian baru adikmu."

Gusar dan geli berkecamuk dalam hati Gagak Seta. Saking tak betahnya, dia lantas tertawa terbahak-bahak. Sejenak kemudian berkata sambil menggaruk-garuk kepalanya.

"Eh, benar-benar gendeng! Semenjak dahulu sampai sekarang, aku baru mendengar peraturan edan ini. Coba jawablah! Siapa yang memberi kuasa kepadamu untuk melakukan kebajikan suci mendamaikan dunia? Siapa yang memberi hak padamu untuk melakukan hukum mengambil nyawa."

"Tata tertib dan peradaban Kapakisan," sahut Mohe. Gagak Seta merasa seperti lagi berhadapan dengan rombongan manusia edan. Namun mengingat

kepandaian mereka, tak berani ia berlaku sembrono. Meskipun demikian, tak dapat ia menguasai

"Baiklah, taruh kata kalian ini utusan suci pembuat perdamaian. Tetapi mengapa belum-belum sudah menghukum orang dengan mengambil nyawa?"

"Kami tidak hanya membunuh. Kalau perlu membakar kota. Apa bedanya?"

"Hm, jadi begitulah cara kalian hendak menegakkan perdamaian. Bagus, bagus! Aku si orang jembel paling muak terhadap peraturan-peraturan kosong. Kalian mau bikin apa terhadapku?"

"Gagak Seta! Kau berani melawan kami?" bentak Mohe dengan mendelik.

Gagak Seta tidak segera menjawab. Ia tertawa lagi panjang-panjang untuk memuntahkan perasaan mendongkolnya. Sangaji sendiri yang berwatak sabar luar biasa, pada saat itu merasa jijik terhadap mereka. Jadi mereka inilah yang membakar Kota Waringin? Sadar, bahwa gurunya bakal menghadapi bencana, ia

meletakkan tubuh Fatimah hati-hati di atas tanah. Kemudian berdiri tegak dengan meraba pedang Sokayana.

"Hai! Kau pun berani melawan kami?" bentak Mohe kepada Sangaji.

"Hei! Kau boleh main gila di pulaumu sendiri, tetapi jangan mencoba-coba di sini," kata Gagak Seta. "Tanpa sebab tanpa perkara, kalian menantang aku. Biar iblis pun akan mengkentuti mulutmu yang kotor."

"Binatang!" bentak Mohe. "Kesalahanmu sudah terang. Yang pertama tidak mau memberi keterangan tentang muridmu yang dikabarkan mewarisi pusaka-pusaka kami. Dan yang kedua: melanggar dan

membangkang perintah kami untuk mengutungi kepala adik seperguruanmu. Manakah yang kurang terang?"

Gagak Seta mendongak dan tertawa nyaring luar biasa sampai bumi tergetar.

"Aku Gagak Seta, selamanya hidup malang melintang seorang diri. Aku Gagak Seta, selamanya bekerja dengan cara seorang laki-laki. Kau boleh mencincang aku,

membunuh aku tapi kau tak bisa memaksa aku untuk membunuh salah seorang saudara seperguruanku. Apalagi dia kini dalam keadaan tak berdaya. Gagak Seta selama hidupnya belum pernah membunuh seorang yang tidak bisa melawan lagi."

"Bagus! Benar-benar kau berani membangkang perintah kami," teriak Mohe.

"Meskipun Gagak Seta seorang jembel, seorang yang tak kebagian pangkat dan derajat, namun setidak-tidaknya Gagak Seta masih sadar akan tujuan hidup, sebisa-bisanya melakukan perbuatan baik dan

menyingkiri segala kejahatan. Demi menjunjung

peradaban manusia, Gagak Seta bersedia runtuh di atas tanah. Kepala Gagak Seta boleh jatuh menggelinding di tanah, tapi Gagak Seta tidak akan melakukan perbuatan busuk membunuh adik seperguruan meskipun dia

hendak mengambil nyawaku sendiri."

Sirtupelaheli tidak bisa bergerak, tetapi pen-dengarannya masih terang benderang. Begitu

mendengar ucapan Gagak Seta yang gagah luar biasa, tak terasa air matanya menetes di atas tanah.

Sangaji sendiri merasa kagum sekali. Memang semenjak dahulu, ia tahu gurunya berwatak ksatria

sejati. Sepak terjangnya jauh berlainan dengan Kebo Bangah atau mertuanya sendiri. Tetapi pada saat itu, kegagahan dan keperwiraan gurunya benar-benar nampak lebih tegas.

Mohe dan Jahnawi tertawa dengan berbareng. "Gila! Gila!" kata mereka. Manusia ini hidup dengan angan-angannya belaka."

"Dia lagi bermimpi," Jinawi menambahi.

Sekonyong-konyong dengan membentak keras, mereka menyerang dengan berbareng.

Gagak Seta segera memutar ilmu tongkatnya yang termasyur untuk melindungi diri. Tiga jurus mereka mendesak, namun tidak juga berhasil seperti tatkala merobohkan Sirtupelaheli. Sadar bahwa ilmu kepandaian Gagak Seta lebih tinggi daripada Sirtupelaheli, mereka lantas mengeluarkan senjatanya masing-masing. Kemudian merangsak dengan berbareng.

Mohe mengancam batok kepala, sedang Jahnawi menyerang dari samping. Cepat luar biasa, Gagak Seta menangkis. Traang! Pada detik itu Mohe menggelundung di atas tanah sambil memukul betis. Gagak Seta

melompat tinggi. Di luar dugaan Jinawi yang bersenjata piring logam sudah mendahului melayang ke udara. Dengan suara gemerincing, senjatanya yang aneh meng-ancam leher.

Menghadapi serangan mendadak itu, Gagak Seta mengayunkan tongkatnya. Begitu berbentrok, tahu-tahu Jahnawi menggebukkan tongkatnya. Mendadak saja, sebelum tongkatnya tiba pada sasaran, suatu tenaga luar

biasa telah membetotnya dari belakang. Dan tongkatnya kena rampas.

Inilah kejadian di luar dugaan. Hampir berbareng Jahnawi dan Mohe berputar. Ternyata yang merampas senjata Jahnawi adalah Sangaji yang tadi tidak begitu dipandang mata.

Perampasan senjata Jahnawi sendiri, dilakukan Sangaji dengan gerakan yang cepat luar biasa. Dengan gusar Mohe dan Jahnawi menyerang dari kiri dan kanan. Untuk menyelamatkan diri, Sangaji melompat mundur ke

sebelah kiri. Diluar dugaan, Jinawi yang kena terpukul balik oleh lontaran tenaga sakti Gagak Sakti, pada deik itu sudah berada dibelakangnya. Ia tidak hanya

bersenjata piring logam lagi, tetapi tangan kanannya telah mengayunkan senjata rantai yang berkilauan. Dan begitu berkelebat, cepat-cepat Sangaji membungkuk. Punggungnya kena terhajar.

Hebat pukulan itu. Meskipun Sangaji memiliki tenaga sakti yang tiada keduanya dalam jagad ini, tetapi begitu kena pukulan rantai berkilau matanya lantas berkunang-kunang. Kejadian itu membuktikan, bahwa Jinawi memiliki tenaga sakti tak boleh dianggap ringan. Untunglah, dalam dirinya mengalir tenaga sakti Bayu Sejati, Kumayan Jati dan Getah sakti Dewadaru. Sambil melompat ke depan, segera ia menghimpun ketiga tenaga itu. Kemudian menenteramkan hatinya.

Mohe, Jahnawi dan Jinawi yang menamakan diri tiga tusan suci itu, tidak sudi memberi napas kepadanya. Segera mereka mengurung dengan rapat. Sesudah serang-menyerang beberapa jurus, dengan senjata rampasan di tangan kanan—Sangaji melepaskan pukulan

gertakan kepada Mohe. Berbareng dengan itu, tangan kirinya menjambret senjata tongkat Jinawi. Baru saja ia hendak membetot, mendadak saja Jinawi melepaskan genggamannya sehingga ujung senjatanya membal ke atas dan menghantam pergelangan.

Seperti diketahui, senjata mereka berbentuk seperti tongkat. Tapi agak tipis dan berengsel. Itulah sebabnya bisa membal ke atas dan menghantam pergelangan. Dan kena hantaman itu, jari tangan Sangaji kesemutan. Mau tak mau, terpaksalah ia melepaskan senjata itu yang telah digenggamnya erat-erat. Dan begitu terlepas dari - genggaman, Jinawi segera menyambutnya.

Semenjak memiliki ilmu sakti Kyai Tunggul-manik dan memperoleh pula petunjuk-petunjuk dari Kyai Kasan Kesambi, belum pernah Sangaji memperoleh tandingan. Di luar dugaan, dalam menghadapi wanita muda seperti Jinawi, dua kali beruntun ia kena pukulan. Pukulan kedua tadi lebih hebat daripada pukulan pertama yang me-ngenai punggung. Seumpama dalam dirinya tidak mengalir himpunan tenaga sarwa sakti, pastilah pergelangan tangannya akan patah.

Sekarang—setelah memperoleh pengalaman—tak berani lagi ia melayani keras dengan keras. Segera ia merubah tata berkelahinya. Ia kini membela diri sambil mengamat-amati serangan-serangan mereka bertiga.

Dilain pihak, ketiga utusan suci itu pun merasa kaget. Belum pernah, mereka bertemu lawan seperti Sangaji. Tiba-tiba Mohe menundukkan kepalanya dan

menyeruduk. Inilah serangan yang bertentangan dengan semua ajaran tata berkelahi. Menyeruduk dengan bagian

tubuh yang terpenting tidak akan diakukan oleh seseorang yang bisa berkelahi.

Meskipun aneh, Sangaji tak mau masuk perangkap. Ia berdiri tegak bagaikan gunung, la mengerti, bahwa serudukan itu pasti hanya digunakan untuk mengelabui lawan. Dan serangan susulan yang bakal datang itulah serangan yang benar-benar.

Dugaannya ternyata benar. Tatkala batok kepala Mohe terpisah kira-kira satu kaki dari perutnya, tiba-tiba ia mundur selangkah sambil menggeserkan letak kaki. Sekonyong-konyong Jahnawi melompat tinggi dan tatkala tubuhnya melayang turun, ia mencoba duduk di atas ke-pala Sangaji. Ini pun serangan yang aneh bin ajaib.

Buru-buru Sangaji mengegos ke samping. Mendadak ia merasa dadanya nyeri. Itulah serangan Mohe yang dilepaskan dengan kepala ditundukkan. Tetapi Mohe sendiri pun kaget. Ia kena terdorong himpunan tenaga sakti Tunggulmanik sampai terhuyung mundur beberapa langkah.

Ketiga utusan suci itu lantas saja berubah wajahnya. Kalau tadi percaya kepada ketangguhan sendiri, kini menjadi pucat. Tetapi mereka segera merangsak lagi. Selagi Mohe membabat dengan senjatanya, Jahnawi terbang tinggi dan berungkir-balik di udara sampai tiga kali. Mau tak mau Sangaji heran menyaksikan cara mereka berkelahi. Apa sebab Jahnawi berjungkir-balik sampai tiga kali di udara tanpa alasan?

Tetapi sadar bahwa lawannya bisa menyerang di luar dugaan, cepat-cepat ia mengegos ke kiri. Mendadak seleret sinar putih berkelebat dan pundaknya kena pukulan senjata Jahnawi. Ia terkesiap. Itulah pukulan

yang sangat aneh. Bagaimana cara dia bisa memukul selagi berjungkir-balik? Herannya lagi, apa sebab ia tak berdaya untuk menangkis atau mengelakkan?

Pukulan itu sangat hebat. Meskipun seluruh tubuhnya dilindungi himpunan tenaga sarwa sakti, rasa sakitnya dapat menggigit sampai ke tulang sungsumnya. Kalau bisa, ingin ia mundur. Tetapi sekali mengundurkan diri, gurunya pasti dalam bahaya. Memperoleh pertimbangan demikian, ia jadi nekat. Setelah menarik napas dalam-dalam, ia melompat menghantam dada Jahnawi dengan telapak tangannya.

Pada detik yang bersamaan, mendadak Mohe yang bersenjata rangkap melompat ke depan sambil

memukulkan kedua senjatanya. Trang! Sungguh aneh! Himpunan tenaga sakti Sangaji yang dahsyat seumpama dapat merobohkan gunung, lenyap tak keruan perginya, sebelum sadar apa sebabnya, tiba-tiba punggungnya kena hanjar rantai Jinawi. Bres!

Karena sakit secara wajar kakinya bergerak. Sekonyong-konyong selagi hendak mengadakan

serangan balasan, pinggangnya terasa sakit luar biasa. Itulah tendangan kaki si Brewok Jahnawi yang dikirim dengan mendadak. Tetapi kena tenaga tolak himpunan sakti, ia terpental berjungkir-balik. Dan saat itu, Mohe berhasil mendaratkan senjatanya di pundak Sangaji lagi.

Gagak Seta yang berada di pinggir tahu Sangaji dalam kesukaran. Berkali-kali ia menyaksikan Sangaji kena pukulan telak. Ia sendiri tak dapat membantu, karena mengingat kedudukannya sendiri maupun Sangaji. Mereka berdua kini menduduki tingkat teratas. Meskipun lawannya berjumlah tiga, namun satu pengucapan.

Sebaliknya apabila dia turun ke gelanggang, itulah suatu pengeroyokan. Sebab ilmu kepandaiannya berbeda dengan ilmu kepandaian Sangaji sekarang. Dan apabila peristiwa pengeroyokan itu sampai terdengar diluaran, akan meruntuhkan martabat orang-orang gagah di seluruh tanah air.

"Anakku! Coba kau minggir! Biar kulawannya lagi...." serunya.

Sangaji hendak berseru agar gurunya menjauhi atau melarikan diri. Tiba-tiba teringatlah dia, bahwa ia tak boleh memanggil Guru dengan terang-terangan di depan mereka. Bukankah gurunya merahasiakan

perhubungannya?

Pada saat itu, Mohe menghantam dengan senjata

Dalam dokumen MencariBendeMataram-DewiKZ-TMT (Halaman 162-197)

Dokumen terkait