• Tidak ada hasil yang ditemukan

SUATU PERTARUNGAN YANG ANEH

Dalam dokumen MencariBendeMataram-DewiKZ-TMT (Halaman 101-162)

DALAM MEMBURU SUATU BURUAN, baik Sangaji maupun Titisari tergolong ahli. Itulah disebabkan, keuletan dan kesabaran Sangaji disamping ilmu

kepandaiannya yang sudah mencapai tataran sempurna. Sedangkan Titisari memiliki otak cemerlang yang tiada bandingnya pada zamannya.

Demikianlah —begitu menaruh curiga, pandang mata mereka yang tajam luar biasa, terus saja mengarah ke barat. Watu Gunung boleh merasa diri seorang cerdik, namun menghadapi mereka berdua tiada mungkin sanggup mengingusi. Seperti berjanji, mereka berdua lantas melesat tak ubah bayangan. Sekonyong-konyong, Titisari berseru setengah memekik.

"Aji, lihat!"

Mendengar suara Titisari, Sangaji menghentikan langkahnya, la menoleh ke arah timur laut. Samar-samar nampak asap tebal membumbung ke udara. Pada saat itu, ia mengerinyitkan dahi.

"Bukankah suatu kebakaran besar-besaran?" Titisari berpaling kepadanya. Ia tidak menyahut. Setelah menyenak napas, lalu berkata mengajak.

"Biarlah kita menitipkan kepalanya dahulu. Sepuluh tahun lagi belum kasep. Sekarang kita lihat, siapakah yang main gila?"

"Apakah engkau memperoleh firasat buruk?" Sangaji terkesiap.

Selamanya, Sangaji menganggap Titisari berada di atas kepandaiannya sendiri. Itulah disebabkan, ia merasa kalah cerdas. Malahan ia menganggap otak Titisari

seencer otak malaikat yang tak pernah salah melihat dunia. Sebenarnya hal ini berlebih-lebihan. Namun dalam hal mengadu kecerdasan, ia benar-benar merasa takluk.

"Mari, kita lihat saja!" sahut Titisari mengangguk. Mereka berdua lantas mengarah ke timur laut. Ternyata yang sedang mengalami kebakaran besar-besaran adalah Kota Waringin. Tatkala mereka hampir mencapai perbatasan kota, perjalanan pepat oleh penduduk yang lari pontang-panting tanpa tujuan.

Untunglah, Sangaji dan Titisari bukan manusia baru lagi. Begitu merasa diri terhalang, terus saja menerjang pagar dan halaman. Dari sana mereka menyaksikan Kota Waringin terbakar ludas serata tanah. Benar-benar mengherankan! Siapa yang berbuat sekejam itu?

"Aji! Paman Sorohpati menyembunyikan diri di kota ini," kata Titisari. "Setelah ia terbunuh semalam, rupanya ada tangan kotor lain membakar kotanya."

"Apakah Watu Gunung?" Sangaji memotong. "Mustahil!" sahut Titisari cepat. "Meskipun dia

termasuk manusia yang besar angan-angannya, namun tak mungkin ia melakukan perbuatan rendah.

Alasan Titisari masuk akal. Sangaji jadi sibuk sendiri. "Apakah engkau mengira, perbuatan gerombolan penjahat atau Kompeni Inggris?" Titisari tak segera menjawab. Setelah merenung sejenak berkata: "Mari kita lihat!"

Memeriksa kota dalam kebakaran besar, tidaklah mudah. Itulah disebabkan, mereka tak dapat

menghampiri dekat-dekat. Selagi mereka menebarkan penglihatan, mulailah terdengar suara kentung tanda kebakaran dikejauhan. Kentung itu lantas jadi sambung-menyambung.

"Mengapa begitu?" Sangaji terkejut. "Hidup tanpa engkau apalah artinya? Itulah sebabnya aku memburumu sampai ke Jawa Barat."

"Aneh! Kutaksir kebakaran ini sudah terjadi semenjak pagi belum menyingsing. Tetapi kentung tanda bahaya lagi berjalan sekarang," gerendeng Titisari. "Rupanya,

ada lagi hal yang menekan hati penduduk. Eh, Aji! Apakah semenjak kita meninggalkan wilayah Jawa Tengah telah terjadi hal-hal diluar pengamatan kita?"

Sangaji tidak mengemukakan pendapatnya, la membiarkan isterinya berpikir dan ia percaya akan memperoleh suatu penglihatan yang benar.

"Pusaka warisan Bende Mataram memang hebat!" kata Titisari lagi. "Tadinya aku hanya bermaksud untuk memancing musuh-musuhmu di Jawa Barat. Tapi

rupanya, di sini kita bakal melihat suatu keramaian baru!" Perlahan Titisari berjalan mengarah ke timur. Dan Sangaji mengikuti dibelakangnya dengan pikiran penuh. Pikirnya di dalam hati, "Mengusut kebakaran ini,

sebenarnya mudah. Dengan meminta keterangan penduduk, bukankah akan jadi terang-gamblang? Mengapa Titisari tak mau berbuat demikian? Barangkali dia mempunyai pikiran lain."

Memang, dugaan Sangaji benar belaka. Sebagai seorang wanita yang memiliki otak cemerlang pada zaman itu, mustahil Titisari tidak mempunyai pikiran demikian. Soalnya tujuannya bukan untuk mencari keterangan tentang terjadinya kebakaran belaka. Sebaliknya, ia hendak menyingkap alasan pembakaran itu. Pastilah ada latar belakangnya yang hebat.

Sebab musababnya, sudah terang. Itulah yang bersangkut-paut dengan wasiat sakti Bende Mataram. Tadinya, dia bermaksud hendak memancing musuh-musuh Sangaji keluar dari sarangnya. Itulah Watu Gunung dengan sekalian anak muridnya. Tetapi melihat kebakaran itu, Titisari kini berpikir lain.

Watu Gunung boleh berani. Boleh pula yakin kepada kepandaian sendiri. Namun kalau sampai berani

membakar kota di wilayah Jawa Tengah adalah mustahil. Itulah lonceng kematiannya sendiri. Sebab berani

mengumandangkan tantangan dengan terang-terangan, sebelum bersiaga. Di Jawa Tengah dia bakal diubar pendekar-pendekar sakti. Di Jawa Barat ia diserbu pendekar-pendekar Himpunan Sangkuriang yang kini berada di bawah bendera Sangaji.

Siapakah yang tak tahu, bahwa di atas Gunung Damar bermukim pendekar kelas wahid Kyai Kasan Kesambi beserta kelima muridnya yang terkenal? Mereka ini tak boleh dibuat gegabah.

Siapa yang tak tahu pula, sepak terjang Gagak Seta dan Adipati Surengpati yang namanya menggetarkan jagad? Siapa tak kenal akan lagak lagu Ki Hajar

Karangpandan dan Jaga Saradenta? Mereka akan keluar dengan serentak, manakala wilayahnya kena rusak tangan-tangan kotor. Oleh pertimbangan itu—Titisari ya-kin—bahwa Watu Gunung tidak akan berani membakar sebuah kota di Jawa Tengah. Sebaliknya kalau bukan dia, lantas siapa?

Inilah suatu hal masih merupakan teka-teki bagi pendekar wanita itu yang memiliki otak paling cemerlang pada zamannya. Pastilah yang membakar Kota Waringin mempunyai andalan yang luar biasa tangguh. Dan bukan gerombolan kurcaci yang hanya mengadu untung belaka.

Sekonyong-konyong Titisari menegakkan mukanya. Seperti terkejut ia berseru: "Ah! Benar-benar tolol aku!"

"Kau berkata apa?"

"Kau ingat bunyi kentungan itu, tidak?" Sangaji mengangguk dengan pandang penuh pertanyaan.

"Mengapa tidak semenjak tadi dibunyikan?" kata Titisari berteka-teki. "Itulah suatu kesengajaan yang ditujukan kepada kita."

"Kepada kita?" Sangaji tambah tak mengerti. Titisari tertawa geli seakan-akan menertawakan ketololannya sendiri. Berkata mengajak, "Mari, kita kembali ke tempat Gandarpati! Entah siapa memancing kita agar menjauhi Gandarpati. Kalau ini suatu kerja sama, kita bakal menghadapi lawan yang tersusun baik."

Sesudah berkata demikian, Titisari mendahului berlari. Ia kembali ke tempat Gandarpati tadi. Dan Sangaji

segera mengikuti dengan meningkatkan

kewaspadaannya. Baru saja sampai ditanjakan, di atas bukit sekonyong-konyong terdengar suatu teriakan dahsyat yang kemudian disusul dengan suara gelak panjang. Hebat suara teriakan dan suara tertawa itu sampai seluruh tanah pegunungan terasa bergetaran.

Mendengar teriakan dan suara tertawa itu. Sangaji kaget bercampur girang. Itulah suara yang dikenalnya dan sudah lama dirindukan. "Bukankah Guru?" ia berkata kepada Titisari.

Titisari tersenyum dengan memanggut kecil.

Sahutnya, "Benar. Sudah selang sekian tahun, namun suara Paman Gagak Seta masih saja tetap angker. Hanya entah apa sebabnya, dia terdengar sedang bergusar."

Buru-buru Sangaji mendaki pegunungan itu tanpa berpikir panjang lagi. la melompat ke atas batu besar dan menebarkan penglihatannya.

Di atas gundukan lain—tempat mereka tadi bertemu dengan Gandarpati nampak empat orang bersenjata sedang mengepung seorang berusia lanjut yang

berperawakan tegap ramping. Dan orang yang sedang dikepung itu, benar-benar Gagak Seta pendekar sakti dan besar yang namanya berendeng dengan Kyai Kasan Kesambi, Adipati Surengpati, Kyai Haji Lukman Hakim, Mangkubumi I, Pangeran Sambernyawa dan Kebo Bangah.

Meskipun usianya kini tambah menanjak, namun menghadapi kerubutan empat orang tak usahlah Sangaji mengkhawatirkan. Tidak hanya satu dua kali, Sangaji pernah menyaksikan gurunya bertempur menghadapi lawan kelas wahid. Dan selamanya ia kagum. Malahan, meskipun kini sudah memiliki ilmu sakti di atas gurunya sendiri, masih saja ia mengagumi ke-gagahannya. Tak mengherankan bahwa nama Gagak seta akan tetap abadi sampai kemudian hari. Gagah dan berwatak ksatria sejati.

Diluar dugaan, keempat pengeroyoknya ternyata bukan lawan enteng. Karena jauh, Sangaji tak dapat melihat muka mereka. Mereka mengenakan pakaian seragam hitam. Bersenjata pedang dan golok panjang. Tiga orang lainnya berdiri menonton. Mereka

mengenakan pakaian seragam hitam. Nampaknya mereka mengatur pertarungan itu dengan bergiliran. Sekiranya keempat rekannya kena dikalahkan, mereka bertiga lantas melompat menggantikan kedudukannya.

Tiba-tiba terdengar teriakan seseorang.

"Eh! Buat apa kau melindungi murid Sorohpati? Kau bujuklah saja, agar dia menyerahkan surat wasiat Bende Mataram... Kami akan melindungi nyawamu! Bukankah adil pertukaran ini?"

Ia masih berbicara selintasan lagi. Tapi meskipun Sangaji bertelinga tajam, tak dapat ia menangkap kata-katanya terakhir. Yang terang ia tahu maksud mereka. Mereka hendak merampas surat wasiat tulisan Titisari yang mungkin berada dalam saku Gandarpati murid Sorohpati.

Mendengar teriakan itu, Gagak Seta tertawa panjang. "Kamu kumpulan binatang apa sampai berani

mengancam aku si orang tua? Surat wasiat memang berada di sini. Niiih disakuku. Ambillah sendiri kalau mampu." Sambil berbicara, ia menggebu kembali tiap serangan lawan-lawannya.

Mendadak saja, dari arah timur muncullah seorang nenek dengan berbatuk-batuk. Dibelakangnya menguntit seorang gadis yang berambut rereyapan. Dan melihat perawakan gadis itu, hati Sangaji tercekat. Ia seperti pernah melihat dan mengenalnya. Segera ia menajamkan matanya. Namun lantaran jaraknya sangat jauh, belum berhasil ia memperoleh pengamatan terang.

Setelah berbatuk-bauk, nenek itu berteriak nyaring. "Para pendekar Tunggul Wulung! Apa maksud kalian? Kalian datang dengan begini saja, tanpa mengajak aku berunding. Apakah kalian menganggap aku sudah mampus?"

Mendengar bunyi teriakan nenek itu, Sangaji heran. Kalau tiada hubungan dengan mereka, pastilah nenek itu bukan orang sembarangan. Pikirnya di dalam hati, baru beberapa tahun aku meninggalkan Jawa Tengah. Rupanya di sini telah muncul pendekar-pendekar sakti baru di luar pengamatanku. Ah, hebat!

Mendengar teriakan nenek-nenek itu, keempat pengeroyok Gagak Seta menjadi bingung. Dalam usaha menjatuhkan Gagak Seta, mereka memperhebat

serangannya. Terang sekali tujuannya. Mereka ingin cepat-cepat menguasai Gagak Seta. Dan melihat hal itu Sangaji tersenyum.

Hm, pikirnya di dalam hati, rupanya kamu belum mengenal siapa Gagak Seta. Kalau kamu sampai membangkitkan amarahnya, masakan bisa menolong jiwamu. Bertempur begitu bernafsu menghadapi Gagak Seta, memang suatu kesalahan besar. Tadi, Gagak Seta masih bisa main bersenyum. Tetapi begitu melihat datangnya si nenek, wajahnya berubah menjadi tegang. Ia menangkis serangan keempat pengeroyoknya

selintasan. Sekonyong-konyong ia membentak dan tinjunya mendarat di dada salah seorang lawan yang berada dikirinya. Dan begitu kena gempurannya, orang itu terpental tinggi dan jatuh menggelinding ke bawah. Kepalanya terbentur batu dan pecah berantakan.

Menyaksikan perubahan itu, orang yang berteriak tadi lantas membentak.

"Mundur!"

Berbareng dengan bentakannya, ia melesat maju sambil mengirimkan pukulan aneh.

Nampaknya seperti meninju udara kosong, tapi

akibatnya di luar dugaan. Seperti suatu gelombang yang tiada nampak, pukulannya datang menghampiri Gagak Seta.

Gagak Seta pada saat itu sedang repot menggebu ketiga sisa pengeroyoknya. Meskipun demikian,

telinganya yang tajam mendengar sambaran angin. Ia lantas tertawa.

"Kepandaian semacam ini hendak kau pamerkan kepada aku si orang tua? Hm, kau jangan bermimpi yang bukan-bukan!"

Tangannya lantas mengusap udara. Suatu benturan kemudian terjadi. Dan si penyerang terpental mundur. Syukur ia kena ditahan seorang kakek-kakek yang berdiri menonton di luar garis. Dengan demikian, ia tidak sampai mengalami nasib seperti kawannya. Meskipun demikian baik dia maupun kakek itu, berkisar dari tempatnya berpinjak. Itulah membuktikan betapa hebat tenaga balasan Gagak Seta. Tak mengherankan bahwa ketika sisa pengeroyoknya cepat-cepat melompat mundur berjaga-jaga.

Pukulan udara kosong bagi Gagak Seta tidak asing lagi. Adipati Surengpati memiliki ilmu itu. Mereka berdua pernah mengadu kepandaian. Itulah sebabnya, Gagak Seta tidak perlu repot menghadapi pukulan demikian.

"Wira Kuluki! Alpikun!" teriak si Nenek. "Kalian bangsa pendekar mahaperwira. Mengapa menggunakan ilmu pukulan udara? Kalau hanya pukulan wajar, tidak apalah. Mengapa kalian menggunakan beracun terhadap seorang ksatria sejati seperti Gagak Seta?"

Setelah berteriak demikian, ia melesat mendaki bukit tak ubah bayangan. Gadis yang berada dibelakangnya berusaha mengikuti dengan mengerahkan segenap tenaganya.

Sangaji kaget mendengar bunyi teriakan nenek itu. Khawatir akan keselamatan gurunya, Sangaji segera menyusul. Titisari memburunya dan menangkap

pundaknya. Bisiknya, "Aji! Mengapa kau jadi bingung tak keruan! Dengan hadirnya nenek itu, kau tak usah cemas. Yang paling penting kau jangan memperkenalkan diri atau muncul dengan tiba-tiba."

Sangaji mengangguk mengerti. Sambil memegang pergelangan tangan Titisari, ia terus berlari-lari dibelakang gadis berereyapan itu. Sambil mengikuti, mencoba mengumpulkan semua ingatannya. Gerak-geriknya yang gesit dan sifatnya yang tak pedulian. Ia kaget, tatkala Titisari berbisik di tengah telinganya.

"Kau memikirkan siapa?" "Aku?" sahut Sangaji gugup.

"Kau lagi mengingat-ingat gadis di depan itu, bukan?" potong Titisari.

"Benar," kata Sangaji dengan muka merah.

"Kau tak usah bersegan-segan. Dialah bibiku.... Bibi kita berdua."

"Bibi kita berdua?" Sangaji heran. "Siapa?"

"Fatimah, adik gurumu Paman Wirapati dan dahulu pernah mengaku sebagai murid Paman Suryaningrat.23)

"Hm," dengus Titisari bernada mendongkol. "Bisa saja dia membawa lagaknya yang ketolol-tololan dan angin-anginan. Kau percaya dia murid Paman Suryaningrat benar-benar? Paling tidak.... Dengan diam-diam, ia berguru kepada seorang pendekar lain?" . "Siapa?"

"Siapa lagi kalau bukan nenek itu." "Siapa dia?"

"Siapa tahu?" sahut Titisari dengan bisikan tinggi. Sangaji tercengang mendengar kata-kata Titisari. Dengan Fatimah ia mempunyai kesan baik dan aneh. Mula-mula bertemu di dalam sebuah benteng kuno, tatkala ia menderita luka parah. Kemudian menolongnya tatkala gadis itu menderita luka parah. Yang terakhir, Fatimah mengantarkan keberangkatannya ke Jakarta di lereng pegunungan Gunung Damar. Aneh gerak gerik dan lagak lagu Fatimah. Sayang karena dia bukan seorang pemuda yang berwatak usilan kesannya yang aneh tidak begitu menjadi buah pikirannya. Tapi kini setelah memperoleh penglihatan aneh lagi, perhatiannya jadi tergugah. Mungkin pula kisikan Titisari yang

menyebabkan.

"Ya, benar. Dia seorang gadis tanpa perlindungan tanpa bekal hidup. Namun berani hidup menyendiri dengan seorang diri pula di dalam benteng kuno. Alasannya lantaran menunggu makam orang tuanya. Benarkah itu? Atau bukankah dia lagi menekuni suatu ilmu sakti di luar ajaran paman gurunya, Suryaningrat? Jangan-jangan benar dugaan Titisari. Ucapannya pun aneh pula tatkala mengantarkan aku berangkat ke Jakarta. Ia bercerita tentang seorang kekasih yang dirahasiakan. Yang dikatakan, bercita-cita menjadi

seorang raja. Benarkah dia lagi membicarakan Manik Angkeran?24)

Sibuk pikiran Sangaji. Sayang, dia bukan Titisari. Meskipun ilmunya kini tinggi, namun jalan pikirannya masih sangat lamban dibandingkan dengan Titisari. Sekian lamanya ia mencoba mencari suatu pegangan, namun masih saja merupakan suatu teka-teki besar baginya.

Tak lama kemudian, ia sudah tiba dipinggang pegunungan. Dari sini ia nampak jelas, betapa cara gurunya mempertahankan diri dari pukulan udara. Ternyata gurunya mempertahankan diri dengan pukulan-pukulan pendek. Terang sekali, itulah suatu siasat untuk memunahkan pukulan lawan yang berbahaya. Hanya saja ia tak mengerti, apa sebab gurunya begitu sabar menghadapi suatu keroyokan. Kalau mau, pastilah dia bisa mengusir sekalian lawannya dengan satu pukulan geledek yang pernah dilakukan terhadap lawan-lawannya yang setaraf. Menimbang demikian, tahulah Sangaji bahwa Gagak Seta pastilah menggenggam suatu maksud rahasia.

Dengan hati tegang, Sangaji mengikuti jalannya pertarungan itu dari belakang gerombol pohon. Tiba-tiba Titisari berbisik menasehati.

"Kau dandanlah sebagai petani. Aku pun begitu supaya bisa bebas dari pengamatan Fatimah. Kau mengerti?"

Terang sekali, Titisari menaruh purbasangka terhadap Fatimah. Gadis itu memang menimbulkan suatu teka-teki. Makin dikenangkan, makin menjadi buah pikiran yang berbelit. Maka segera ia melepas ikat kepalanya

dan menanggalkan pakaian luarnya. Kemudian dengan berjingkit-jingkit ia kembali ke tempat

persembunyiannya.

"Hai!" kata Titisari berbisik. "Kau masih belum bisa menyamar sebagai petani. Rupamu masih seperti seorang raja."

"Raja?"

"Kau bisa memerintah sekalian Raja Muda Himpunan Sangkuriang. Apakah namanya bukan seorang raja?" sahut Titisari menggoda.

Sewaktu Sangaji hendak membuka mulut, sekonyong-konyong ia mendengar nenek itu berkata dengan suara nyaring.

"Rekan Alpikun! Pukulan udara kosongmu sudah termasyur semenjak belasan tahun yang lalu. Mengapa engkau perlu menebarkan bubuk racun? Hm, sayang! Sayang! Sungguh sayang! Bukankah lantas nampak kelemahannya? Dan kau Wira Kuluki! Kau menggunakan langkah tipu muslihat bintang penjuru. Apakah kau mengira, pendekar Gagak Seta bisa kau ingusi. Hm, ja-ngan harap! Oh, oh, oh! CIh,uh...." ia berhenti berbatuk-batuk. Berkata lagi, "Dahulu, sewaktu pendekar Kebo Bangah masih hidup, golonganmu sangat dihormati dan disegani. Meskipun pendekar Kebo Bangah terkenal sebagai seorang pendekar licin, namun dia tak pernah menggunakan racun secara menggelap.

Sayang... sungguh sayang Kau merusak nama besarnya!"

Mendengar kata-kata nenek itu, Gagak Seta seperti tersadar. Memang, dahulu di atas padepokan Kyai Kasan

Kesambi ia pernah melihat saudara-saudara seperguruan pendekar Kebo Bangah, yang berkepandaian tinggi pula. Karena itu, tak sudi lagi ia berkelahi dengan ayal-ayalan. Terus saja tangannya berputar dan melepaskan pukulan geledek.

Hebat pukulan Gagak Seta. Mengherankan lagi adalah kedua lawannya. Dengan berbareng mereka menyambut pukulan itu. Ternyata mereka hanya kena digeser dari tempatnya dan mundur dengan sempoyongan. Mereka tak sampai roboh. Maka teranglah, bahwa ilmu

kepandaiannya hampir dapat mengimbangi Kebo Bangah dalam masa jayanya.

Diam-diam Sangaji mengamat-amati mereka yang di sebut Alpikun dan Wira Kuluki. Alpikun berperawakan gemuk bulat. Badannya pendek. Mukanya menyinarkan warna merah. Muka ini mengingatkan kepada muka Keyong Buntet adik seperguruan pendekar Kebo Bangah. Dan orang yang disebut Wira Kuluki berperawakan

seperti Maesasura. Badannya agak kurus. Sekalipun demikian, pandang matanya samalah berbahayanya dengan adik seperguruan Kebo Bangah itu. Benar-benar merupakan lawan yang tak boleh dibuat gegabah. Dan orang yang tadi berkata nyaring adalah seorang pemuda berusia kurang lebih tiga puluh tahun. Ia pun

mengenakan pakaian seragam tak beda dengan rekan-rekannya. Hanya saja dia nampak bersih. Bahwasanya orang semuda itu bisa berhadap-hadapan dengan Gagak Seta, membuktikan ilmu kepandaiannya tidak lemah. Pastilah dia berada di atas kepandaian sang Dewaresi pada zaman jayanya.

"Nenek Sirtupelaheli! Memang kau tidak sudi membantu Gagak Seta dengan terang-terangan. Sebaliknya membantu dengan diam-diam. Apakah caramu itu tidak curang?"

"Apakah Tuan seorang anggauta Tunggul Wulung pula?" Nenek Sirtupelaheli menegas. "Maaf, belum pernah aku melihat mukamu."

"Tentu saja Nenek belum pernah melihat aku.

Sewaktu Nenek sedang mencari nama, aku masih belum pandai beringus. Aku bernama, Daniswara adik sang Dewaresi. Akulah putera bungsu Kebo Bangah."

"Kau putera pendekar Kebo Bangah, apa perlu memasuki perkumpulan Tunggul Wulung yang tak keruan tujuannya?" bentak Nenek Sirtupelaheli.

Daniswara tertawa. "Lucu! Sungguh lucu!" katanya. "Dunia ini begini luas, masakan aku harus tetap

menyimpan diri seperti katak dalam tempurung?" Kata-katanya diucapkan dengan mantram sakti warisan Kebo Bangah. Hebat pengaruhnya sampai bumi terasa

tergetar.

Sangaji terkejut. Benar-benar hebat pemuda itu! Pastilah dia bukan sembarang orang. Pantaslah gurunya melayani keragaman ilmu kepandaiannya dengan hati-hati.

Dalam pada itu, gelanggang pertempuran mengalami suatu perubahan. Tiba-tiba saja dua orang lagi memasuki gelanggang. Dengan demikian, Gagak Seta dikerubut enam musuh tangguh. Itulah tak mengapa. Tapi ternyata mereka mulai menggunakan bubuk beracun seperti per-ingatan Sirtupelaheli. Dan kena bubuk beracun itu Gagak

Seta nampak limbung. Ia jadi terdesak selangkah demi selangkah.

Melihat limbungnya Gagak Seta, hati Sangaji gelisah. Lantas saja ia bersiaga hendak menolong.

"Ssst! Kau tak usah bingung!" bisik Titisari. "Kau kira siapa Paman Gagak Seta. Ilmu kepandaiannya sejajar dengan Ayah. Kalau hanya menghadapi racun, bukankah dia jauh lebih berpengalaman daripada engkau? Ingat saja Paman Kebo Bangah yang memiliki ilmu beracun tiada bandingnya. Meskipun demikian, Paman Kebo Bangah tak mampu mengalahkan Paman Gagak Seta."

Diingatkan kepada Kebo Bangah, Sangaji jadi tersadar. Kalau begitu limbungnya Gagak Seta sebenarnya hanya suatu tipu muslihat belaka. Selagi berpikir demikian, Titisari berbisik lagi.

"Sirtupelaheli, pasti tidak akan tinggal diam. Dia pasti menolong. Kau percaya tidak?"

"Mengapa menolong?"

"Hm, lihat sajalah! Justru itulah yang dikehendaki Paman Gagak Seta. Kalau tidak begitu, apa perlu Paman Gagak Seta berlagak limbung segala. Dia bermaksud

Dalam dokumen MencariBendeMataram-DewiKZ-TMT (Halaman 101-162)

Dokumen terkait