• Tidak ada hasil yang ditemukan

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

C- Organik Tanah

Kandungan bahan organik tanah (C-Organik ) merupakan salah satu indikator kesuburan tanah. Tanah yang mengalami kemerosotan kandungan C-organik menandakan tanah tersebut mengalami penurunan kesuburan tanah atau degradasi kesuburan. Tanah miskin bahan organik dan didominasi mineral liat 1 : 1, mempunyai KTK yang rendah, sehingga efisiensi pemupukan akan berkurang karena sebagian besar hara mudah hilang dari perakaran tanaman (Setyorini, dkk., 2007).

Akibat pengelolaan hara yang kurang bijaksana serta pengangkutan jerami sisa panen keluar lahan, sebagian besar lahan sawah terindikasi berkadar bahan organik rendah (C-organik < 2%). Hasil kajian yang

13

dilakukan oleh Kasno,dkk.(2003), menunjukkan bahwa dari 1.577 contoh tanah sawah di Sumatera Barat dan Selatan, Kalimantan Selatan mencapai angka di atas 2 %, karena tergolong tanah gambut. Sedangkan tanah sawah di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Lombok rata – rata berkadar C-organik dibawah 2%.

Terdapat korelasi positif antara kadar bahan organik dan produktivitas tanaman padi sawah, dimana makin rendah kadar bahan organik makin rendah produktivitas lahan. Menurunya kadar C-Organik tanah disebabkan oleh : 1) di daerah tropis tingkat pelapukan bahan organik sangat intensif akibat curah hujan dan suhu tinggi, 2) pengelolaan lahan kurang tepat, 3) intensitas tanam yang tinggi serta 4) penggunaan jerami ke luar sawah untuk penggunaan industri (Setyorini, dkk., 2004).

Lahan sawah di Indonesia mempunyai kadar C-Organik yang relatif rendah. Dari 1.548 contoh tanah lahan sawah, 17% berkadar C- Organik <1%, 28% berkadar C-Organik 1 – 1,5%, dan 20% berkadar C- Organik antara 1,5 – 2%. Hal ini berarti bahwa status C-Organik lahan sawah di Indonesia termasuk rendah (<2%) dan hanya 34% yang berkadar C-Organik >2% (Agus, dkk., 2004).

Simarmata, dkk. (2012) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa dengan pengembalian jerami ke lahan sawah dapat meningkatkan kadar C- organik tanah. Keadaan ini juga dapat mempengaruhi sifat fisik dan sifat kimia tanah sawah yang secara tidak langsung dapat meningkatkan unsur hara tersedia yang dapat dilihat dari KTK tanah.

Peranan Bahan Organik

Bahan organik adalah setiap bahan / material yang dihasilkan secara alami oleh makhluk hidup (tumbuhan atau hewan) yang kembali ke dalam tanah dan mengalami proses dekomposisi. Jika bahan organik ini terus mengalami pelapukan/dekomposisi maka akan menghasilkan senyawa humus. Kebanyakan bahan organik berasal dari jaringan tanaman. Residu dari tanaman mengandung 60 – 90% kelembapan. Bahan organik kering mengandung C (karbon), Oksigen, H (Hidrogen), dan sebagian kecil S (Sulfur), N (Nitrogen), P (Posfor), K (Kalium), Ca (Kalsium), dan Mg (Magnesium). Walaupun dalam jumlah kecil, namun keberadaan unsur hara ini sangat penting dalam menyuburkan tanah (FAO, 2005).

Bahan organik tanah terdiri dari senyawa humik (50%), senyawa non humik(30%), bahan organik kasar (16%) dan biomassa biota tanah (4%). Biomassa tanah terdiri atas akar tanaman (8%), mikrobia tanah (70%) dan fauna tanah (28%). Kandungan bahan organik tanah penting untuk menentukan management kesuburan tanah yang tepat (Hanafiah, dkk., 2009).

Bahan organik berperan penting dalam menyuburan tanah baik dari segi fisik tanah, kimia tanah , maupun biologi tanah. Bahan organik berperan peningkatan aktivitas biota tanah, berperan dalam siklus hara dan peningkatan unsur hara dalam tanah, baik makro maupun mikro, juga berperan dalam perbaikan agrerat tanah (Heese, 1982). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Wen (1982), bahwa dengan pemberian bahan

15

organik pada suatu lahan sawah di Jiangshu dan Shanghai, dapat meningkatkan produksi dari 15 ton per hektar menjadi 45 ton per hektar.

Penggunaan bahan organik dalam sistem pertanian padi sawah merupakan faktor yang sangat penting. Bahan organik sangat diperlukan untuk memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Bahan organik dapat berfungsi sebagai : 1. Menyimpan air tersedia lebih banyak, mengurangi penguapan, membuat kondisi tanah mudah untuk pergerakan akar tanaman baik untuk tanah liat berat maupun tanah berpasir, 2. Menyediakan hara makro dan mikro bagi tanaman dalam batas tertentu, 3. Meningkatkan daya menahan KTK , 4. Menetralkan keracunan Al dan Fe, 5. Media tumbuh mikroorganisme tanah, seperti penambat N, pelarut S, dan sebagainya. Bahan organik sebaiknya tersedia secara insitu berupa hijauan , residu tanaman, kotoran ternak, dan kompos. Namun demikian bahan organik juga mempunyai beberapa kekurangan, antara lain bulky yaitu diperlukan dalam jumlah banyak, tidak dapat digunakan sebagai pupuk susulan seperti urea, pada tanah dengan drainase yang buruk dapat menyebabkan kondisi makin reduktif sehingga berpotensi mengalami keracunan Fe, Mn, pembentukan H2S, asam – asam organik yang bersifat toksik bagi tanaman, bahan organik segar memerlukan N tersedia tanah sehingga tanaman menjadi kahat N, meningkatkan emisi gas metan yang dapat menyebabkan pemanasan bumi. Oleh karena itu, selain dapat diproduksi secara insitu , bahan organik yang akan dijadikan sebagai masukan dalam sistem pertanian padi sawah harus berkualitas (Nurjaya, dkk., 2007).

Penggunaan bahan organik secara insitu yang memafaatkan bahan organik yang berasal dari sisa tanaman yang terdapat disekitarnya sehingga kehilangan unsur hara baik makro maupun mikro dapat dikurangi sekecil mungkin. Penggunaan pupuk anorganik merupakan upaya untuk tetap mempertahankan agar unsur hara dalam tanah terutama tidak mengalami pengurasan atau pengangkutan yang berlebihan sehingga terjadi defisiensi hara yang menyebabkan keseimbangan hara tanah terganggu . Keuntungan pemakaian bahan organik secara insitu selain mengurangi penggunaan pupuk anorganik akibat terangkutnya hara oleh hasil tanaman serta pengembalian hara mikro (Nurjaya, dkk., 2007).

Jerami

Potensi jerami padi di Indonesia sangat besar dari segi kuantitas yaitu 77 juta ton dari hasil panen padi (BPS, 2008). Jumlah jerami sebesar tersebut sangat potensial untuk dapat digunakan sebagai bahan amelioran tanah, pakan ternak atau sebagai media perkembangbiakan jamur. Namun karena kandungan silika yang tinggi sehingga jerami tidak terlalu disukai sebagai pakan ternak. Sehingga banyak jerami padi menjadi terbuang ( Husnain, 2009).

Jerami adalah satu – satunya bahan organik yang tersedia dalam jumlah yang besar bagi para petani. Dalam penggunaannya jerami yang terdapat di lahan dapat dipindahkan keluar dari lahan, atau dibakar in situ, atau ditumpuk dan disebar di lahan, atau digunakan sebagai mulsa untuk musim tanam berikutnya. Setiap perlakuan ini memberikan pengaruh yang berbeda pada keseimbangan hara tanah. Jerami merupakan sumber unsur

17

hara makro (N,P,K,Ca,Mg, S) dan juga merupakan sumber unsur hara mikro (Zn dan Cu) (Doberman and Fairhust, 2002).

Jerami yang begitu banyak di lahan sawah belum dimanfaatkan secara optimal oleh petani. Padahal pada jerami memiliki potensi besar sebagai bahan organik. Didalam jerami terkandung berbagai unsur hara yang harus dikembalikan ke lahan setelah panen dilakukan, agar tetap terjaga keseimbangan unsur hara di lahan tersebut, menjaga kesuburan tanah, dan juga menyediakan unsur hara yang dibutuhkan tanaman (Doberman and Fairhust, 2002).

Berdasarkan penelitian dari Doberman and Fairhust (2000), bahwa unsur hara yang terkandung dalam jerami kering adalah 0,5 – 0,8 % Nitrogen , 0,07 – 0,12 % Posfor, 1,2 – 1,7 % Kalium, 0,05 – 0,10 % Sulfur, dan 4 – 7 % Silika. Dalam 1 ton jerami terdapat sekitar 5 – 8 kg Nitrogen, 0,7 – 1,2 kg Posfor, 12 - 17 kg Kalium, 0,5 – 1,5 kg Sulfur, dan 40 – 70 kg Silika dan 30 g Zinc. Berdasarkan penelitian Sarwono dan Arianto (2003), bahwa jerami mengandung nutrisi didalamnya berupa lignin 8,81%, bahan kering 92%, serat kasar 32,14%, protein kasar 5,31%, serat detergen netral (NDF) 73,82 %, dan lain – lain.

Jerami segar pada umumnya memiliki nilai C/N yang cukup tinggi, kemudian menurun seiring dengan tingkat pelapukannya. Hasil pengomposan jerami menunjukkan bahwa semakin lama waktu pengomposan, rasio C/N semakin rendah. Jerami segar mula- mula mempunyai rasio C/N sekitar 51 setelah seminggu dikomposkan rasio C/N turun, dengan penurunan tingkat C/N terendah sekitar 30. Namun demikian,

pada kondisis ini kompos belum matang, sebab rasio C/N belum sampai < 25. Kematangan kompos akan dicapai pada minggu ke tiga setelah pengomposan jika jerami dicacah, jika tidak maka kompos matang pada minggu ke empat (Abdulrachman, dkk., 2013).

Teknologi pengomposan insitu untuk merombak jerami padi adalah dengan menggunakan mikrobia dekomposer untuk mempercepat pengomposan dan meningkatkan mutu kompos yang dihasilkan. Namun teknologi ini masih memerlukan tenaga yang banyak dan waktu yang relatif lama (Nurjaya, dkk., 2007).

Hasil penelitian dari Balittanah (2012) menunjukkan bahwa pemberian kompos jerami baik yang dikomposkan dengan dekomposer cair dan padat maupun tidak dikomposkan pada lahan sawah tidak berbeda nyata terhadap produksi padi. Namun pemberian jerami dalam bentuk segar dapat memperbaiki sifat fisik tanah dibandingkan pengembalian jerami dalam bentuk kompos yang ditunjukkan dengan perbaikan pori aerasi dan permeabilitas tanah. Kumazawa (1984) dalam penelitiannya menyatakan bahwa kompos jerami padi tidak akan memiliki pengaruh yang besar pada lahan yang telah menerima pempupukan nitrogen secara kimia. Secara umum, hal terpenting dari penggunaan kompos jerami terhadap peningkatan produksi adalah menyediakan unsur nitrogen dan mengatur immobilisasi dan mineralisasi nitrogen di tanah. Menurut De Datta (1984) kompos atau bahan organik yang ditambahkan ke tanah tidak akan memberikan hasil yang tinggi pada kondisi drainase tanah yang buruk. Proses dekomposisi

19

jerami akan berjalan cepat pada lahan sawah yang memiliki drainase sedang dan dilakukan pengolahan intensif.

Hasil penelitian Batubara (2011) menunjukkan bahwa pemberian jerami cacah dan pupuk kandang sapi berpengaruh nyata meningkatkan pH dan C-Organik tanah, tetapi tidak berpengaruh nyata meningkatkan KTK dan kejenuhan basa tanah, tinggi tanaman, berat kering tanaman, jumlah anakan, jumlah anakan produktif dan berat gabah. Interaksi keduanya berpengaruh nyata meningkatkan kedua kejenuhan basa tanah, jumlah anakan dan berat kering tanaman, serta berpengaruh sangat nyata meningkatkan C-organik tanah dan tinggi tanama, tetapi tidak berpengaruh nyata meningkatkan pH, KTK, jumlah anakan produktif dan berat gabah. Biochar

Biochar merupakan butiran halus dari arang kayu yang berpori (porous) , bila digunakan sebagai suatu pembenah tanah dan dapat mengurangi CO2 ke udara. Biochar berasal dari bahan padatan kaya karbon yang terbentuk melalui proses pembakaran bahan organik atau biomassa tanpa atau dengan sedikit oksigen (pyrolisis) pada temperatur 250 – 5000C. Dalam tanah, biochar menyediakan habitat mikroba tanah, tapi tidak dikonsumsi dan umumnya biochar yang diaplikasikan dapat tinggal dalam tanah hingga ratusan tahun (Gani, 2009).

Sumber biochar terbaik adalah limbah organik khususnya limbah pertanian. Potensi bahan bakunya yang berasal dari limbah pertanian juga tergolong melimpah, terutama yang sulit terdekomposisi atau dengan kadar C/N yang tinggi. Hasil analisis Sarwani et al (2013), menginformasikan

bahwa secara nasional, potensi biomassa yang dikonversi menjadi biochar diperkirakan sekitar 10,7 juta ton yang akan menghasilkan biochar 3,1 juta ton. Potensi tertinggi berasal dari sekam padi yaitu mencapai 6,8 juta ton/ hektar dan akan menghasilkan biochar 1,77 juta ton/ hektar.

Kualitas biochar sangat tergantung pada sifat fisik dan sifat kimia biochar yang ditentukan oleh jenis bahan kayu (kayu lunak, kayu keras, sekam padi, dan lain – lain) dan metode karbonisasi (alat pembakaran, temperatur), dan bentuk biochar ( padat, serbuk, karbon aktif) (Ogawa, 2006). Temperatur selama proses produksi biochar sangat menentukan kandungan C, pH , KTK biochar yang dihasilkan (Chen et al, 2008; Van zwieten et al, 2010).

Penambahan biochar ke tanah meningkatkan ketersediaan kation utama dan P, sebagaimana halnya total konsentrasi N dalam tanah. Kandungan C-Organik dari biochar ini juga sangat tinggi yakni sekitar 70 – 80%. KTK dan pH sering mengingkat, berturut – turut sampai 40% dari KTK awal dan sampai satu unit pH. Tingginya ketersediaan hara bagi tanaman merupakan hasil dari bertambahnya nutrisi secara langsung dari biochar dan meningkatknya retensi hara (Cheng, et al 2008;Lehmann, et al 2003;Lehmann and Rondon,2006; Sohl, 2009).

Lehman et al (2003) dengan penelitian pot menggunakan tanaman kacang tunggak (Vigna unguiculata (L.) Walp) dan padi (Oryza sativa L.), menyimpulkan bahwa penambahan biochar nyata meningkatkan pertumbuhan nutrisi tanaman. Walaupun konsetrasi N daun berkurang, serapan P, K, Zn, Ca, dan Cu oleh tanaman bertambah dengan makin

21

tingginya penambahan biochar. Pencucian dari pupuk N yang diberikan berkurang nyata dengan adanya pemberian biochar, sedangkan pencucian Cu dan Mg diperlambat.

Selain berpengaruh positif pada sifat tanah, pemberian biochar juga berpengaruh terhadap peningkatan produktivitas tanaman, khususnya pada tanah masam, namun tidak berpengaruh nyata pada tanah yang memiliki pH netral (Gaskin, 2010).

Hasil penelitian menunjukkan, peningkatan karbon tanah setelah aplikasi biochar selama satu musim tanam tidak selalu dapat dilihat. Demikian juga dengan hara N dan P, peningkatan kedua hara ini juga bervariasi. Ketersediaan hara akibat pemberian biochar terjadi melalui tiga mekanisme yaitu : 1. Suplai hara langsung dari biochar (Mukherjee and Zimmerman, 2013), 2. Kemampuan biochar meretensi hara, dan 3. Dinamika mikroorganisme dalam tanah (Lehman dan Rondon, 2006). Bedasarkan hasil penelitian Hale et al (2013) membuktikan bahwa biochar mampu meretensi N dan P sehingga tidak mudah hanyut terbawa air dan akan tersedia bagi tanaman.

Pupuk Kandang

Pupuk kandang didefinisikan sebagai semua produk buangan dari binatang peliharaan yang dapat digunakan untuk menambah hara, memperbaiki sifat fisik, dan sifat biologi tanah. Apabila dalam memelihara ternak tersebut diberi alas sekam pada ayam, jerami pada sapi, kerbau dan kuda, maka alas tersebut akan dicampur menjadi satu kesatuan dan disebut sebagai pupuk kandang pula (Hartatik dan Widowati, 2007).

Diantara jenis pupuk kandang, pupuk kandang sapi lah yang mempunyai kandungan serat yang tinggi seperti selulosa, hal ini terbukti dari hasil pengukuran parameter C/N rasio yang cukup tinggi > 40. Tingginya kadar C dalam pukan sapi dapat menghambat penggunaan langsung ke lahan pertanian karena akan menekan pertumbuhan tanaman utama. Penekanan pertumbuhan terjadi karena mikroba dekomposer akan menggunakan N yang tersedia untuk mendekomposisi bahan organik tersebut sehingga tanaman utama akan kekurangan N. Untuk memaksimalkan penggunaan pukan sapi, harus dilakukan pengomposan agan menjadi kompos pukan sapi dengan rasio C/N dibawah 20. Jika telah dikomposkan maka kandungan hara pukan sapi adalah sebagai berikut : N 2%, P2O5 1,5 %, K2O 2,2 %, Ca 2,9%, Mg 0,7%, bahan organik 69,9 %, dan kadar air 7,9% (Hartatik dan Widowati, 2007).

PENDAHULUAN

Dokumen terkait