• Tidak ada hasil yang ditemukan

Organisasi Advokat dalam Undang-Undang Advokat

Dalam dokumen DARI REDAKSI. Salam Redaksi. iii (Halaman 46-49)

THE ADVOCATES AND ORGANIZATIONS OF ADVOCATES IN INDONESIA)

D. Organisasi Advokat dalam Undang-Undang Advokat

perpecahan dalam tubuh Ikadin.

4. Masa Rekonsilidasi dan Reformasi 9

• Pada 1995, Pemerintah mem-fasilitasi dua seminar di Jakarta untuk Ikadin, AAI, dan IPHI. Hasilnya adalah Kode Etik Bersama dan pembentukan Forum Komunikasi Advokat Indonesia (FKAI). Belakangan, Ikadin menarik diri dan memberlakukan kembali kode etik Ikadin untuk para anggotanya.

• Diawali dengan tiga kali pertemuan di bulan Januari 2002, pada 11 Feb-ruari 2002 dideklarasikan berdirinya Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) yang beranggotakan Ikadin, AAI, IPHI, AKHI, HKHPM, Serikat Pengacara In-donesia (SPI) dan Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI).

• Kegiatan KKAI:

- Panitia bersama dengan Makamah Agung menyelenggarakan Ujian Pengacara praktik tanggal 17 April 2002.

- Membuat Kode Etik Advokat Indonesia pada 23 Mei 2002.

- Mendesak diundangkannya Ran-cangan Undang-Undang tentang Advokat.

• Setelah Undang-Undang Nomor 18 Tahun

2003 tentang Advokat diundangkan 5 April 2003, dibentuk KKAI versi kedua pada 16 Juni 2003, dengan tujuan melaksanakan verifikasi atas advokat dalam rangka membentuk Organisasi Advokat.

• 21 Desember 2004, Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) dibentuk sebagai pelaksanaan amanat Undang-Undang Advokat.

• Paska berlakunya Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat berkenaan dengan ketentuan Pasal 32 ayat (3) dan ayat (4), bukannya lahir atau terbentuk organisasi advokat sebagaimana dimaksud oleh Pasal 28 ayat (1) akan tetapi lahirlah beberapa organisasi Advokat. Dengan demikian kehendak undang-undang tentang pembentukan organisasi Advokat yang merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat sebagimana ketentuan Pasal 32 ayat (4) jo Pasal 28 ayat (1) gagal dibentuk oleh 8 (delapan) organisasi Advokat yang diberi tugas dan wewenang sebagaimana ketentuan Pasal 32 ayat (3) UU Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat.10

D. Organisasi Advokat dalam Undang-Undang Advokat

Untuk mewadahi profesi advokat, sejak dahulu telah dibentuk berbagai organisasi advokat, yaitu Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM), Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI), dan dalam perkembangannya bermunculan organisasi advokat lainnya, sampai dengan adanya Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) maupun Kongres Advokat Indonesia (KAI).

Sejak disahkannya UU Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) hingga saat ini tercatat ada sembilan permohonan uji materiil di Mahkamah Konstitusi (MK). Namun dari sembilan permohonan tersebut, Pasal yang berkaitan dengan wadah profesi advokat, yaitu Pasal 28 sampai dengan Pasal 30 telah diuji sebanyak 4 kali:

1. Putusan Nomor 014/PUU-IV/2006:

a. Pasal yang diuji: Pasal 1 ayat (1), Pasal 1 ayat (4), Pasal 28 ayat (1), Pasal 28 ayat (3), dan Pasal 32 ayat (4).

b. Pasal yang menjadi batu uji: Pasal 28A, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal

9 Ibid, hal.26

10 o.p cit., Keterangan Ahli pada Uji Materi UU RI Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dalam Perkara Nomor 71/PUU-VIII/2010 di Makamah Konstitusi RI, hlm. 50.

28D ayat (3), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28J ayat (1), dan Pasal 28J ayat (2) UUD Tahun 1945.

c. Hasil putusan MK:

1) Dalil-dalil para Pemohon tidak beralasan sehingga harus ditiolak.

2) Menyatakan permohonan para Pemo-hon ditolak untuk seluruhnya.

2. Putusan Nomor 66/PUU-VIII/2010:

a. Pasal yang diuji: Pasal 28 ayat (1), Pasal 32 ayat (4), Pasal 30 ayat (2).

b. Pasal yang menjadi batu uji: Pasal 36A, Pasal 28E ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 27 ayat (2) UUD Tahun 1945.

c. Hasil Putusan MK:

1) Permohonan para Pemohon sepanjang mengenai pengujian Pasal 28 ayat (1) dan Pasal 32 ayat (4) tidak dapat diterima.

2) Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.

3. Putusan Nomor 71/PUU-VIII/2010

a. Pasal yang diuji: Pasal 28 ayat (1), Pasal 30 ayat (2), Pasal 32 ayat (4).

b. Pasal yang menjadi batu uji: Pasal 28, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28j ayat (1) UUD Tahun 1945.

c. Hasil putusan MK:

1) Permohonan para Pemohon ne bis in idem untuk seluruhnya.

2) Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima.

4. Putusan Nomor 79/PUU-VIII/2012 a. Pasal yang diuji: Pasal 28 ayat (1).

b. Pasal yang menjadi batu uji: Pasal 27 ayat (2), Pasal 28, Pasal 28C ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (2), Pasal 28H ayat (1), Pasal 28I ayat (2) UUD Tahun 1945.

c. Hasil putusan MK:

1) Permohonan para Pemohon ne bis in idem untuk seluruhnya.

2) Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima.

Isu utama dari pengujian tersebut adalah apakah frasa “satu-satunya” pada Pasal 28 ayat (1) UU Advokat mengandung pengertian hanya boleh ada satu organisasi advokat.

Di dalam UU Advokat yang berlaku hingga saat ini, pembentukan organisasi advokat merupakan wujud tanggung jawab profesi advokat yang bebas dan mandiri sebagaimana ketentuan Pasal 32 ayat (4) jo. Pasal 28 ayat (1) UU Advokat, yang

mengisyaratkan bahwa seluruh advokat patut untuk taat kepada hukum dengan mengindahkan UU Advokat. Pembentukan organisasi advokat sebagai wadah profesi advokat bertujuan untuk memudahkan pembinaan, pengembangan, dan pengawasan, serta untuk meningkatkan kualitas advokat itu sendiri dalam menjalankan tugas profesinya memberikan jasa hukum untuk kepentingan hukum atau kliennya sesuai dengan kode etik profesi advokat sehingga ke depan diharapkan rasa keadilan masyarakat dalam proses penegakan hukum dapat terwujud. UU Advokat mengamanatkan dibentuknya organisasi advokat, akan tetapi tidak menentukan bagaimana cara pembentukannya. Dalam Pasal 28 ayat (2) hanya dinyatakan: “ketentuan mengenai susunan organisasi advokat ditetapkan oleh para advokat dalam AD/ART”.

Materi yang terpenting dari UU Advokat adalah pengakuan bahwa Advokat adalah penegak hukum yang bebas dan mandiri dan dijamin oleh hukum dan perundang-undangan11. Untuk menjaga kemandiriannya advokat mengatur dan mengurus sendiri profesinya dalam satu organisasi profesi advokat (self governing body) tanpa campur tangan atau kontrol kekuasaan pemerintah. Jadi organisasi Advokat menurut UU Advokat itu harus dibentuk oleh para Advokat itu sendiri yang akan menjadi anggota dalam organisasi tersebut untuk mencapai tujuan yang sama. Dengan demikian tidak boleh dan dilarang organisasi advokat dibentuk hanya oleh beberapa orang pengurus dari organisasi advokat yang ada, yang kemudian mengklaim pembentukan tersebut sah dan benar karena untuk dan atas nama para anggotanya dari masing-masing organisasi, kemudian memproklamirkan sebagai satu-satunya organisasi advokat yang sah.

Hingga saat ini tidak ada atau setidaknya belum ada kesepakatan dan/atau persetujuan kehendak bersama dari seluruh para Advokat Indonesia untuk membentuk organisasi Advokat sebagaimana yang dikehendaki oleh UU Advokat.

Jika ada yang beranggapan telah ada, maka anggapan itu dapat dianggap melanggar hak fundamental seorang Advokat Indonesia untuk menggunakan haknya membentuk, memilih dan dipilih dalam pembentukan organisasi dimaksud, terlebih bagi Advokat yang yang tidak masuk menjadi anggota 8 (delapan) organisasi Advokat yang disebut dalam Pasal 32 ayat (3) UU Advokat.

Pasal 28E ayat (3) UUD Negara RI Tahun 1945 dan Pasal 20 Deklarasi Universal PBB menentukan:

pertama, “setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat tampa kekerasan;” dan kedua, “tidak seorang pun boleh dipaksa untuk memasuki suatu perkumpulan”.

11 Pasal 5 ayat (1), Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

Jika ketententuan dalam Pasal 28 ayat (1) UU Advokat harus dipaksakan berlaku, pembentukan organisasi Advokat harus dilaksanakan dengan kongres atau munas seluruh para Advokat Indonesia.

Pasal 17 standard for the independence of the legal profession dari Internasional Bar Association (IBA) menentukan bahwa penunjukan pengurus organisasi profesi advokat harus dilakukan melalui suatu pemilihan oleh para anggotanya secara bebas (freely elected by all the members without interference of any kind by any other body or person) dan tidak boleh ada campur tangan luar. Juga dalam Pasal 20 Deklarasi Universal PBB menentukan: “setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat tampa kekerasan”. Tidak seorang pun boleh dipaksa untuk memasuki suatu perkumpulan12. Para Advokat seperti warga negara lainya berhak atas kebebasan berekspresi, mempunyai kepercayaan, berserikat dan berkumpul. Secara khusus para advokat harus mempunyai hak untuk ikut serta dalam diskusi umum mengenai hal-hal yang bersangkutan dengan melindungi HAM dan memasuki atau membentuk organisasi lokal nasional atau internasional dan menghadiri rapat-rapatnya tanpa mengalami pembatasan profesional dengan dalih tindakan merekalah yang sah atau keanggotaan mereka dalam suatu organisasi yang sah.

Ada dua prinsip yang menjadi semangat dari UU Advokat yaitu:

1. Kebebasan dan kemandirian profesi advokat;

dan

2. Organisasi advokat yang mengurus dirinya sendiri (self governing body).

Kedua prinsip tersebut telah 39 (tiga puluh sembilan) tahun diperjuangkan tetapi tidak pernah dapat diterima oleh pemerintah orde lama maupun orde baru. Dua prinsip tersebut dapat dilaksanakan oleh organisasi advokat, sebagai berikut:

1. Organisasi Advokat itu ditetapkan oleh para Advokat sendiri.

Sesuai dengan ketentuan UU Advokat organisasi advokat itu dibentuk harus ditetapkan oleh pribadi-pribadi masing-masing para Advokat sendiri yang mempunyai hak untuk memilih dan dipilih.13

2. Mengatur dan mengurus dirinya sendiri.

Untuk menjaga kemandiriannya advokat mengatur dan mengurus sendiri profesinya dalam satu organisasi profesi advokat (self governing body) tanpa campur tangan atau kontrol dari kekuasaan pemerintah.

3. Bertanggung jawab dalam menjalankan profresi.

Bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya, dilakukan sesuai dengan kode etik maupun peraturan perundang-undangan.

4. Tidak boleh melakukan diskriminasi

Advokat tidak boleh melakukan diskriminasi.

5. Memberi bantuan hukum secara cuma-cuma.

Memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada masyarakat yang tidak mampu.

6. Demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum Advokat menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan berdasakan hukum, termasuk usaha memberdayakan masyarakat dalam hak-hak fundamental mereka di depan hukum.

Berdasarkan kondisi dalam praktik di lapangan, terdapat organisasi advokat dengan nama Perhimpunan Advokat Indonesia atau lebih dikenal dengan sebutan Peradi sebagai wadah tempat berhimpunnya organisasi advokat. Eksistensi Peradi ini selain diakui oleh Pemerintah RI, dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM (surat Nomor M.HH.AH.03.03-40 tertanggal 28 Nopember 2008), juga diakui oleh aparat penegak hukum lain, dalam hal ini Kepolisian, Kejaksaan, dan Mahkamah Agung (Surat Ketua MA Nomor 089/KMA/VI/2010 tanggal 25 Juni 2010). Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 014/PUUIV/2006, tanggal 30 November 2006, menyatakan bahwa “Organisasi Peradi sebagai satu-satunya wadah profesi advokat pada dasarnya adalah organ negara dalam arti luas yang bersifat mandiri (independent state organ) yang juga melaksanakan fungsi negara.”

Dengan demikian, terdapat pengakuan bahwa Peradi sebagai satu-satunya wadah profesi advokat yang sah dan diakui, yang terbentuk berdasarkan amanat UU Advokat khususnya Pasal 28 ayat (1) jo.

Pasal 32 ayat (3) dan (4).

Putusan MK No. 014/PUU-IV/2006 tanggal 30 Nopember 2006 halaman 57 butir 4 dan 6 menyatakan sebagai berikut:

“Bahwa ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Advokat yang memberikan status kepada advokat sebagai penegak hukum yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan menunjukkan bahwa karena kedudukannya itu diperlukan suatu organisasi yang merupakan satu-satunya wadah profesi advokat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) UU Advokat. Karena, Pasal 28 ayat (1) UU Advokat menyebutkan, “Organisasi Advokat merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan

12 Prinsip-prinsip dasar tentang peran advokat/pembela (disahkan oleh kongres PBB kedelapan tentang Pencegahan kejahatan dalam perlakuan terhadap pelaku kejahatan, havana, kuba, 27 agustus sampai 7 september 1990).

13 o.p cit., Pasal 28 ayat (1), Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

Undang-Undang ini dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi Advokat”, maka organisasi Peradi sebagai satu-satunya wadah profesi advokat pada dasarnya adalah organ negara dalam arti luas yang bersifat mandiri (independent state organ) yang juga melaksanakan fungsi negara (vide Putusan MK No. 066/PUU-l 1/2004) bahwa penyebutan secara eksplisit nama delapan organisasi yang tercantum dalam Pasal 32 ayat (3) dan Pasal 33 UU Advokat tidaklah menyalahi hakikat suatu aturan peralihan yang oleh ahli dari pemohon dianggap memihak kelompok tertentu, melainkan hanya untuk mengukuhkan fakta hukum tertentu (legal fact) yang ada dan peralihannya ke dalam fakta hukum baru menurut UU Advokat.

Bahwa Pasal 32 ayat (3) dan (4) UU Advokat sesungguhnya merupakan pasal yang sudah selesai dilaksanakan dengan telah berlalunya tenggat dua tahun dan dengan telah terbentuknya Peradi sebagai organisasi advokat yang merupakan satu-satunya wadah profesi advokat, sehingga tidak relevan lagi untuk dipersoalkan konstitusionalitasnya.

Selain itu, Pasal 32 ayat (3) UU Advokat pernah dimohonkan pengujian kepada MK yang oleh MM dalam Putusannya Nomor 019/PUUI/2003 telah dinyatakan ditolak”.

Kedudukan Peradi sebagai organ negara dalam sistem ketatanegaraan mempunyai arti penting jika dipandang dari segi fungsi kelembagaan.

Dalam sistem peradilan di Indonesia hanya ada satu lembaga dari masing-masing penegak hukum seperti Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian Negara. Tidak mungkin terdapat lebih dari satu organ negara yang melaksanakan fungsi negara untuk menegakkan hukum dalam sistem peradilan di Indonesia dalam kedudukan advokat sebagai penegak hukum yang merupakan salah satu perangkat dalam proses peradilan yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya.

Adanya satu wadah profesi advokat, tidak melanggar prinsip kemerdekaan berserikat dan mengeluarkan pendapat sesuai amanat Pasal 28E UUD Tahun 1945, bahkan tidak membatasi hak-hak asasi setiap Warga Negara Indonesia (WNI), karena UU Advokat tidak pernah melarang orang untuk berserikat dan menyampaikan pendapat.

Faktanya saat ini masih ada KAI, begitu pula eksistensi dari Ikadin, AAI, IPHI, HAPI, SPI, AKHl, HKHPM, dan APSI.

E. Pelaksanaan Kode Etik Advokat dan

Dalam dokumen DARI REDAKSI. Salam Redaksi. iii (Halaman 46-49)