BAB II LANDASAN TEORI
B. Kerangka Teori
1. Organizational Citizenship Behavior (OCB)
Baik buruknya kinerja seorang karyawan dapat dilihat dari kemampuannya dalam melaksanakan tugas-tugas sesuai dengan pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya dan seharusnya organisasi atau perusahaan terkait harus melakukan pengukuran terhadap kinerja karyawannya tidak hanya sebatas tugas-tugas yang terdapat dalam deskripsi pekerjaannya saja. Satu hal yang dapat diukur dari karyawan adalahperilaku Organizational Citizenship Behaviour (OCB) individu atau karyawan di tempat kerja.
Menurut Organ dalam Kurniawan (2015) OCB adalah perilaku individu dalam hal ini karyawan yang sangat menguntungkan untuk organisasi dan merupakan kebebasan memilih, secara tidak langsung atau secara eksplisit diakui oleh sistem penghargaan formal. Definisi lain menurut Organ, OCB adalah perilaku yang membangun, tetapi tidak termasuk dalam job description formal karyawan.
Kemudian Organ dalam Kurniawan (2015) mendefinisikan OCB sebagai perilaku individu yang bebas, tidak berkaitan secara langsung atau eksplisitdengan sistem reward dan bisa menignkatkan fungsi efektif organisasi. Sedangkan Morrison (1994) mendefinisikan OCB sebagai perilaku extra role karyawan dan perbedaan yang paling mendasar adalah
pada reward karena pada perilaku ini biasanya terbebas dari reward. Perilaku yang dilakukan oleh individu tidak diorganisir dalam reward, dengan kata lain tidak ada insentif tambahan bagi karyawan yang berperilaku extra role.
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa OCB merupakan:
a. Perilaku yang bersifat sukarela, bukan merupakan tindakan yang terpaksa terhadap hal-hal yang mendahulukan kepentingan organisasinya.
b. Perilaku individu sebagai wujud kepuasan atas performance yang tidak diperintahkan secara formal.
a. Dimensi Organizational Citizenship Behavior (OCB)
Terdapat 5 aspek dalam OCB yang disebutkan Organ, 1998 (dalam Kurniawan, 2015) yang apabila dilihat secara luas dapat memberikan sumbangan pada hasil kerja organisasi secara keseluruhan, yaitu:
1) Altruism, yaitu perilaku membantu meringankan pekerjaan yang
ditujukan kepada individu dalam suatu organisasi. Hoffman (2007) altruism menunjukkan suatu pribadi yang lebih mementingkan kepentingan orang lain, dibandingkan dengan kepentingan pribadinya. Misalnya, karyawan yang sudah selesai dengan pekerjaannya membantu karyawan lain dalam menghadapi pekerjaan yang sulit.
2) Courtesy, yaitu perilaku membantu teman kerja untuk mencegah timbulnya masalah sehubungan dengan pekerjaannya dengan cara memberi konsultasi dan informasi serta menghargai kebutuhan mereka. Menurut Hoffman (2007) Courtesy menunjukkan suatu perilaku membantu orang lain secara sukarela dan bukan merupakan tugas serta kewajibannya. Misalnya membantu dalam mempergunakan peralatan dalam bekerja.
3) Sportmanship, yaitu perilaku toleransi pada situasi yang kurang
menyenangkan dan kurang ideal di tempat kerja tanpa mengeluh. Menurut Podsakoff , 2000 (dalam Budihardjo, 2004) dimensi ini kurang dapat perhatian dalam penelitian empiris. Dikatakan pula bahwa sportsmanship seharusnya memiliki cakupan yang lebih luas, dalam pengertian individu tidak hanya menahan ketidakpuasan tetapi individu tersebut harus tetap bersikap positif serta bersedia mengorbankan kepentingannya sendiri demi kelangsungan organisasi. Misalnya, saat dirinya tidak nyaman dengan kondisi pekerjaannya.
4) Civic virtue, yaitu perilaku terlibat dalam kegiatan-kegiatan
organisasi dan peduli pada kelangsungan hidup organisasi. Hoffman (2007) Civic Virtue adalah perilaku secara sukarela berpartisipasi, bertanggungjawab dan terlibat dalam mengatasi masalah-masalah organisasi demi kelangsungan organisasi. Karyawan juga aktif mengemukakan gagasan-gagasannya serta
ikut mengamati lingkungan bisnis dalam hal ancaman dan peluang. Misalnya, aktif berpartisipasi dalam rapat organisasi.
5) Conscientiousness, yaitu perilaku yang terlihat ketika individu
melakukan hal-hal yang menguntungkan organisasi seperti mematuhi peraturan-peraturan yang berlaku di organisasi. Menurut Hoffman (2007) Conscientiousness adalah perilaku yang menunjukkan upaya sukarela untuk meningkatkan cara dalam menjalankan pekerjaannya secara kreatif agar kinerja organisasi meningkat. Perilaku tersebut melibatkan kreatif dan inovatif secara sukarela untuk meningkatkan kemampuannya dalam bekerja demi peningkatan organisasi. Karyawan tersebut melakukan tindakan-tindakan yang menguntungkan organisasi melebihi dari yang disyaratkan, misalnya berinisiatif meningkatkan kompetensinya, secara sukarela mengambil tanggungjawab di luar wewenangnya.
b. Faktor-faktor yang mempengaruhi OCB
Menurut Organ et al. dalam Rahmawati dan Prasetya (2017) peningkatan OCB dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Berikut penjelasan lebih lanjut:
1. Faktor Internal a. Kepuasan kerja
Karyawan yang puas berkemungkinan lebih besar untuk berbicara positif tentang organisasinya, membantu rekan kerjanya,
dan membuat kinerja pekerjaan mereka melampaui target, lebih dari itu karyawan yang puas bisa jadi lebih patuh terhadap panggilan tugas, karena mereka ingin mengulang pengalaman-pengalaman positif mereka.organ dan Bateman dalam Rahmawati dan Prasetya (2017) menyatakan semua dimensi dari kepuasan kerja meliputi
work, co-worker, supervision, promotions, pay dan overall
berkolaborasi positif dengan OCB. b. Komitmen Organisasi
Bashaw dan Grant dalam Rahmawati dan Prasetya (2017) mengartikan komitmen organisasi sebagai keinginan karyawan untuk tetap mempertahankan keanggotaan dirinya dalam organisasi, bersedia melakukan usaha yang tinggi demi mencapai sasaran organisasi.
c. Kepribadian
Organ dalam Rahmawati dan Prasetya (2017) menyatakan bahwa perbedaan individu merupakan prediktor yang memainkan peran penting pada seorang karyawan, sehingga karyawan akan menunjukkan OCB mereka.
d. Moral Karyawan
Moral berisikan ajaran atau ketentuan mengenai baik dan buruk suatu tindakan yang dilakukan dengan sengaja. Titisari dalam Rahmawati dan Prasetya (2017) mengemukakan bahwa moral
merupakan kewajiban-kewajiban susila seseorang terhadap masyarakat atau organisasinya.
e. Motivasi
Robbins dan Coulter dalam Rahmawati dan Prasetya (2017) mengartikan motivasi sebagai kesediaan untuk melakukan usaha yang tinggi demi mencapai sasaran organisasi sebagaimana dipersyaratkan oleh kemampuan usaha itu untuk memuaskan sejumlah kebutuhan individu.
2. Faktor Eksternal a. Gaya kepemimpinan
Menurut Utaminingsih dalam Rahmawati dan Prasetya (2017) gaya kepemimpinan adalah kecenderungan orientasi aktivitas pemimpin ketika mempengaruhi aktivitas bawahan untuk mencapai tujuan dan sasaran organisasi.
b. Kepercayaan pada Pimpinan
Kepercayaan atau trust ialah rasa percaya yang dimiliki oleh seseorang kepada orang lain yang didasarkan pada integritas, reliabilitas dan perhatian (Tan dalam Rahmawati dan Prasetya 2017). c. Budaya Organisasi
Menurut Robbins dalam Rahmawati dan Prasetya (2017) budaya organisasi adalah seperangkat karakteristik utama yang dihargai anggota organisasi.
c. Indikator OCB
Menurut Organ dalam Kurniawan (2015: 104) ada beberapa indikator-indikator OCB pegawai, sebagai berikut:
1. Altruism: karyawan membantu rekan kerja yang berhalangan,
karyawan membantu rekan kerja dalam pekerjaan, karyawan membantu rekan kerja dengan beban berat, karyawan membantu rekan karena penugasan.
2. Courtesy: karyawan bekerja sama, karyawan mencegah masalah,
karyawan tidak semena-mena, karyawan peduli dan menghargai, karyawan perhatian pada pengumuman, karyawan patuh pada aturan.
3. Conscientiousness: karyawan tidak habiskan waktu lama untuk
makan, karyawan tidak mengambil jeda waktu ekstra istirahat, karyawan selalu tepat waktu.
4. Civic virtue: karyawan membangun citra, karyawan menghadiri
dan partisipasi dalam rapat, karyawan mengikuti perubahan.
5. Sportmanship: karyawan menghindari kesalahan, karyawan
cenderung kreatif, karyawan tidak banyak mengeluh.
d. Organizational Citizenship Behavior (OCB) dalam Perspektif
Islam
Menurut Nurdiana, 2011 (dalam Anggraini, 2017) OCB dalam pandangan Islam diidentikkan dengan perilaku ikhlas, yakni beribadah dan bekerja semata karena Allah. Tidak ingin mendapat pujian dari orang
lain ataupun mendapat imbalan materi. Hal ini diterangkan dalam
Al-quran surat An nisa’ ayat 125 sebagi berikut:
ۗ حَنِيف ًا يبَنَايِيمنَ يلَّةنَ يايَََّّايَ ُحنسين َ يه َيَ نَّ نِ وَجْه َه ُْ يبيةيميَ يحَّننَ ۗ ِننا حيسيفيَ يحيَيَ
لَنةياَنَايِيمنَ يب َُّ يايَََّّايَ
Artinya:”Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang
ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah,sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah
mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya”.
Jadi, karyawan yang ikhlas memiliki ciri-ciri kapasitas hati yang besar, memiliki kejernihan pandangan atau hati yang bersih, selalu memberi lebih dari yang diminta darinya bekerja tanpa pamrih, dan selalu menjaga hubungan baik sesama rekan kerja ataupun orang lain di luar kerja. Orang yang ikhlas senantiasa beramal dengan sungguh-sungguh, baik dalam keadaan sendiri atau orang banyak, baik ada pujian atau tidak.
2. Komitmen Organisasi
Sopiah (2008) memberikan definisi komitmen organisasi adalah derajat yang mana pegawai percaya dan menerima tujuan-tujuan organisasi dan akan tetap tinggal atau tidak meninggalkan organisasi. Komitmen Organisasi adalah sampai tingkat mana seorang karyawan memihak pada suatu organisasi tertentu dan tujuan-tujuannya, dan berniat mempertahankan keanggotaan dalam organisasi itu (Robbins, 2008). Blau & Global (dalam Harahap, 2010) mendefenisikan komitmen organisasi sebagai orientasi seseorang terhadap organisasi dalam arti kesetiaan,
identifikasi, dan keterlibatan kepada organisasi dan tujuan-tujuannya. Menurut Fred Luthan, komitmen organisasi didefinisikan sebagai:
a. Keinginan kuat untuk tetap sebagai anggota organisasi tertentu; b. Keinginan untuk berusaha keras sesuai keinginan organisasi; dan c. Keyakinan tertentu, dan penerimaan nilai dan tujuan
organisasi.Dengan kata lain, komitmen merupakan sikap yang merefleksikan loyalitas karyawan pada organisasi dan proses berkelanjutan di mana anggota organisasi mengekspresikan perhatiannya terhadap organisasi dan keberhasilan serta kemajuan yang berkelanjutan.
Komitmen pada organisasi ini menyangkut kebanggan karyawan terhadap pekerjaannya dan menjadi bagian dari organisasi dimana karyawan tersebut bekerja, sehingga dalam melaksanakan tugas sebagai anggota organisasi maka karyawan akan memiliki komitmen untuk memberikan kontribusi terbaiknya terhadap organisasinya.
a. Dimensi Komitmen Organisasi
Allen & Meyer (1991) membagi komitmen menjadi tiga dimensi di antaranya:
1) Komitmen Afektif: Karyawan terikat secara emosi, mampu mengenal, dan terlibat penuh dalam organisasi. Srimulyani (2009) menyatakan bahwa karyawan yang memiliki komitmen organisasional afektif yang tinggi akan memiliki kedekatan emosional yang erat dengan organisasinya sehingga karyawan akan memiliki motivasi dan
kontribusi yang besar bagi organisasi. Secara lebih ringkas : komitmen organisasional afektif adalah keadaan di mana karyawan ingin melakukan sesuatu untuk organisasi (Allen & Meyer, 1990).
2) Komitmen Normatif: Allen dan Meyer (dalam Coetzee, 2005) mendefinisikan komitmen normatif merupakan perasan bertanggung jawab untuk tetap tinggal dalam organisasi. Komitmen Normatif adalah kuatnya keinginan seseorang dalam melanjutkan pekerjaannya bagi organisasi disebabkan karena dia merasa berkewajiban dari orang lain untuk dipertahankan. Greenberg (dalam Harahap 2010). Srimulyani (2009) menegaskan bahwa karyawan yang memiliki komitmen organisasional normatif akan menempatkan perasaan kewajiban terhadap rekan kerja maupun manajemen dan akan memberikan perasaan kewajiban pada karyawan untuk memberi balasan atas apa yang telah organisasi berikan. Secara lebih ringkas : komitmen organisasional normatif adalah keadaan di mana ada sesuatu yang seharusnya (ought) mereka lakukan untuk organisasi (Allen & Meyer, 1990).
3) Komitmen Continuance : Robbins & Judge (2008) menyatakan bahwa komitmen organisasional Continuance mengarah pada nilai ekonomi yang dirasa dari bertahan dalam suatu organisasi bila dibandingkan dengan meninggalkan organisasi. Srimulyani (2009) mengungkapkan bahwa karyawan yang memiliki komitmen organisasional
butuh untuk berbuat demikian sehingga mereka berkemungkinan melakukan usaha yang tidak maksimal terhadap organisasi. Secara lebih ringkas: komitmen organisasional Continuance adalah keadaan di mana karyawan perlu (need) melakukan sesuatu untuk organisasi (Allen & Meyer, 1990).
Komitmen organisasi harus terus dipertahankan maka dari itu perlu ada program pemberdayaan yang dapat dikembangkan untuk memperkuat komitmen organisasi adalah sebagai berikut:
1) Lama Bekerja. Lama bekerja merupakan waktu yang telah dijalani seseorang dalam melakukan pekerjaan pada perusahaan, Semakin lama seseorang bertahan dalam suatu perusahaan, semakin terlihat berkomitmen tinggi.
2) Kepercayaan. Adanya saling percaya di antara anggota organisasi akan menciptakan kondisi yang baik untuk pertukaran informasi dan saran tanpa adanya rasa takut.
3) Rasa percaya diri. Rasa percaya diri menimbulkan rasa percaya diri karyawan dengan menghargai kemampuan yang dimiliki karyawan sehingga komitmen terhadap perusahaan makin tinggi.
4) Kredibilitas. Menjaga kredibilitas dengan penghargaan dan mengembangkan lingkungan kerja yang mendorong kompetisi yang sehat sehingga tercipta organisasi yang memiliki kinerja yang tinggi. 5) Pertanggungjawaban. Pertanggungjawaban karyawan pada wewenang
peran, standar, dan tujuan tentang penilaian terhadap kinerja karyawan.
b. Faktor- faktor Pembentuk Komitmen
Terbentuknya komitmen suatu organisasi dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain:
1. Faktor Kesadaran
Kesadaran menunjukkan suatu keadaan jiwa seseorang, yang merupakan titik temu atau equilibrium dari berbagai pertimbangan sehingga diperoleh suatu keyakinan, ketenangan, ketetapan hati, dan kesinambungan dalam jiwa yang bersangkutan.
2. Faktor Aturan
Aturan adalah perangkat penting dalam segala tindakan dan perbuatan seseorang. Peranan aturan sangat besar dalam hidup bermasyarakat, sehingga dengan sendirinya aturan harus dibuat, dipatuhi, dan diawasi yang akhirnya dapat tercapai sasaran manajemen sebagai pihak yang berwenang, yang mengatur segala sesuatu yang ada di dalam organisasi kerja tersebut.
3. Faktor Organisasi
Organisasi pelayanan, contohnya pelayanan pendidikan, pada dasarnya tidak berbeda dengan organisasi pada umumnya. Hanya terdapat sedikit perbedaan pada penerapannya, karena sasaran pelayanan ditujukan secara khusus kepada manusia yang memiliki watak dan kehendak yang multikompleks. Organisasi pelayanan yang
dimaksud disini adalah mengorganisir fungsi pelayanan yang baik dalam bentuk struktur maupun mekanisme yang akan berperan dalam mutu dan kelancaran pelayanan.
4. Faktor Pendapatan
Pendapatan ialah penerimaan seseorang sebagai imbalan atas tenaga/pikiran yang telah dicurahkan untuk orang lain atau badan organisasi, baik dalam bentuk uang, fasilitas dalam jangka waktu tertentu. Pada dasarnya pendapatan harus dapat memenuhi kebutuhan hidup baik untuk dirinya dan keluarga.
5. Faktor Kemampuan Keterangan
Kemampuan berasal dari kata mampu yang memiliki arti dapat melakukan tugas/pekerjaan sehingga menghasilkan barang atau jasa sesuai dengan yang diharapkan. Kemampuan dapat diartikan sebagai sifat/ keadaan yang ditunjukkan oleh keadaan seseorang yang dapat melaksanakan tugas atas dasar ketentuan-ketentuan yang ada. Keterampilan adalah kemampuan melakukan pekerjaan dengan menggunakan anggota badan dan peralatan yang tersedia.
6. Faktor Sarana Pelayanan
Sarana pelayanan adalah segala jenis perlengkapan kerja dan fasilitas lain yang berfungsi sebagai alat utama/ pembantu dalam pelaksanaan pekerjaan, dan juga berfungsi sosial dalam rangka untuk memenuhi kepentingan orang-orang yang sedang berhubungan dengan organisasi kerja itu.
Sedangkan, faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi komitmen individu, antara lain:
1. Faktor personal, terdiri dari ekspektasi pekerjaan kontrak psikologi, faktor pemilihan pekerjaan, dan karakteristik personal yang lain yang membentuk komitmen individual.
2. Faktor organisasional, meliputi pengalaman kerja, cakupan pekerjaan, dan tujuan konsistensi organisasional yang kesemuanya membentuk perasaan tanggungjawab.
3. Faktor non organisasional, yaitu ketersediaan pekerjaan alternatif.
c. Indikator Komitmen
Menurut Allen dan Meyer dalam Kurniawan (2015: 103) ada beberapa indikator komitmen antara lain sebagai berikut:
1. Komitmen Afektif: kebahagiaan dalam organisasi, kebanggan dalam organisasi.
2. Komitmen normatif: tanggungjawab pada organisasi, kesetiaan pada organisasi.
3. Komitmen kontinuan: keterikatan pada organisasi, kepemilikan pada organisasi, ketergantungan pada organisasi.
d. Komitmen dalam Perspektif Islam
Dalam kehidupan organisasi setiap muslim dituntut untuk berkomitmen terhadap organisasi dengan satu tuntutan bahwa segala bentuk pertumbuhan dan perkembangan materiil harus ditunjukkan demi keadilan, kebenaran, dan peningkatan ketaqwaan spiritual baik bagi
organisasi maupun dirinya sendiri sebagai wujud pertanggungjawaban sebagai seorang khalifah di bumi. Adapun firman Allah SWT pada surat At Taubah ayat 71:
وَنِْ وْن َُْهَوْن ُْ وَاَُمَعْرَوفَِ وْنَُمَرَنْنوو بَعِْ ٍ وَوفْنَو َُُْ وَعَهَهَعِْ وَافْوَر َمَرَوت ُْ وْنَُوَر َمَرَوت ُْ
وْوَ َْٰوَُُووَجْوَُُْم ُْ ٍ وْهَ وْنَُعن ََُن ُْ وْنََُ َمَن ُْْؤفُْهنوت وْؤ ْلَهةوت وْنَُرنََُن ُْ وَمَُْوَرَوت
وَعنٌَُْ وَنن َنِْ وْهَ وهنََّوو ٍوَهَ وَعَهَرٌْ َمْنُْ
Artinya: “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan,
sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan sholat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah maha Perkasa lagi Maha Bijakasana”.