TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang Manajemen Pondok Pesantren a. Konsep Manajemen
2) Orientasi Pendidikan Pesantren Masa Depan
Selama dua dasawarsa kebelakang pendidikan pesantren hanya menghasilkan jumlah santri yang menjadi ulama. Sementara itu juga kebutuhan akan profesionalitas dalam bidang ilmu pengetahuan akan profesionalitas dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi masih belum ada. Kebutuhan dunia pasar menjadi faktor penting dalam meningkatkan kemajuan pendidikan pesantren sehingga orientasi pondok pesantren tidak tidak hanya memproduksi ulama, tapi juga menciptakan tenaga-tenaga yang terampil, profesional dan mempunyai keterampilan khusus dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Disitulah akhirnya pendidikan pesantren dapat dilihat sebagai salah satu jenis pendidikan yang lebih berorientasi pada
ketinggian moralitas agama dari pada moralitas yang lain. Tujuan dan orientasi seperti itu timbul dan disebabkan karena landasan utama pendidikan pesantren adalah Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Sebenarnya pesan wahyu tidak hanya menyerukan pada pencarian kehidupan ukhrawi, tapi manusia juga diperintahkan mencari kehidupan duniawi. Dari beberapa ayat Al-Qur’an dijelaskan tentang ilmu-ilmu teknologi dan ilmu pengetahuan.Dari para pemikir dan ilmuan barat banyak sekali terinspirasi melalui ayat-ayat Al-Qur’an dalam menciptakan penemuan baru teori dan konsep.
Sekalipun begitu seperti yang dikutip Zuly Qodir (2003) dalam bukunya beliau mengatakan “Pendidikan di pesantren juga mengembangkan kualitas intelektual, etos kerja disamping kualitas moral yang tinggi dan pengabdian atau dalam istilah Al-Qur’an Karenanya pendidikan di pesantren selain untuk mencapai ridho Allah juga untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.
Gerakan reformasi di Indonesia secara umum menuntut diterapkannya prinsip demokrasi, desentralisasi, keadilan, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam hubungannya dengan pendidikan, prinsip-prinsip tersebut akan memberikan dampak yang mendasar pada kandungan, proses dan manajemen sistem pendidikan. Selain itu, ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat dan memunculkan tuntunan baru dalam aspek kehidupan baru termasuk dalam sistem pendidikan.
Seirama dengan tuntutan perubahan yang terus menggelinding dewasa ini maka salah satu tuntutan yang kemudian memperoleh momentumnya yang tepat ialah ditetapkannya UU No. 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah sebagai salah satu wujud pemberian peran yang lebih besar kepada daerah untuk mengurus nasib daerahnya sendiri (Hamid dan Hidayat: 2003).
UU No. 22 Tahun 1999 ini mempengaruhi pada perubahan sistem pemerintahan sentralistik menuju pada sistem desentralistik yang memberikan wewenang penuh pada sistem pemerintah daerah dalam mengambil setiap keb luasijakan. Tingkat prestasi pendidikan di tiap daerah yang menjadaji sorotan masyarakat luas sangat berbeda sekali, sehingga berpengaruh pada penyelenggaraan dan pengelolaan lembaga pendidikan baik dari segi kualitas, kuantitas, sarana dan prasarana maupun dana pendidikan yang nantinya akan mengalami persaingan bebas antar daerah. Akhirnya dana pendidikan yang menjadi tanggungjawab pemerintah dilimpahkan pada pemerintah daerah bahkan masyarakat.
Bagi seorang muslim, seperti yang dikutip Fachry Ali dari Nurcholis (1992) mengatakan “Modernisasi merupakan suatu keharusan mutlak, sebab modernisasi dalam pengertian yang sedemikian itu berarti bekerja dan berpikir menurut aturan-aturan hukum alam. Menjadi modern berarti mengembangkan kemampuan berpikir secara ilmiah, bersikap dinamis dan progresif dalam mendekati kebenaran-kebenaran universal”. Pernyataan demikian tampaknya bukan tanpa dasar beberapa ayat di dalam Al-Qur’an memberi panduan kehidupan.
Modernisasi pendidikan Islam khususnya pesantren merupakan salah satu keharusan dalam merespon ketertinggalan umat Islam yang diakibatkan oleh teknologisasi di segala bidang. Teknologisasi ini mulai merambah dan merusak keseimbangan ekosistem agama, sosial dan budaya. Maka diperlukan antisipasi terhadap pengaruh-pengarruh negatif teknologisasi yang mengakibatkan rusaknya moral bangsa Indonesia. Pengusungan Islam sebagai rahmatan lil alamain sebagai filter terhadap setiap perubahan-perubahan.
Timbulnya kritik terhadap tradisi ilmu pengetahuan Islam di pesantren tidak hanya disebabkan oleh perubahan wawasan umat
ditingkat atas, tapi juga munculnya realitas baru dalam masyarakat yang merupakan akibat meluasnya kegiatan pesantren. Pendidikan pesantren mengalami peningkatan. Pada mulanya pesantren tidak mengenal sistem klasikal dan hanya mengajarkan kitab-kitab klasik “kitab kuning” kini sudah mengenal madrasah (Tebba: 2002).
Perubahan jaman menuntut adanya pembaharuan sistem pendidikan. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengubah pola pikir manusia untuk mengikuti kemajuan tersebut. Maka pesantren dituntut untuk bisa menyediakan lembaga pendidikan yang sesuai dengan keinginan masyarakat. Namun visi dan misi pesantren tetap untuk mencetak intelektual muslim yang berbudi pekerti luhur harus dikedepankan. Sehingga pesantren yang telah lama menjadi pendidikan tetap eksis karena tidak ditinggalkan masyarakat pengguna jasa pendidikan (Rahman, 2001: 199).
d. Sistem Pendidikan Pesantren
Sistem merupakan seperangkat unsur yang secara teratur dan saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas untuk melaksanakan suatu maksud tertentu. Dalam hal ini sistem pendidikan pesantren merupakan seperangkat alat yang secara teratur saling berkaitan antara elemen pesantren (asrama, masjid, santri, kitab dan Kyai) dalam melaksanakan pendidikan yang saling bekerjasama membangun common working yang baik demi kemajuan lembaga. Sistem pesantren disini sangat penting menjadi satu kesatuan yang utuh dalam tercapainya tujuan pendidikan yang dicita-citakan dalam membentuk kepribadian luhur dan berintelektual.
Komponen-komponen pendidikan menjadi sangat penting dalam setiap pengelolaan sebuah institusi yang membentuk satu kesatuan yang utuh dalam mencapai tujuan. Dalam pesantren masa kini otoritas kyai bukan lagi menjadi faktor utama bagi kemajuan
sebuah lembaga pesantren dan tidak lagi memegang otoritas sebagai pengambil kebijakan dalam menentukan arah tujuan pesantren, tetapi menjadi sebuah tanggung jawab bersama komponen-komponen pendidikan.
Mulai dekade 1970-an telah terjadi perubahan yang cukup besar pada keberadaan pesantren sebagai sebuah sistem pendidikan. Pesantren sebagai sebuah bentuk sistem tradisional mulai berubah. Pesantren sebelumnya dikenal sebagai bentuk sistem perseolahan (ala Belanda yang dimodifikasi dalam bentuk islamisme) yaitu sistem madrasah (ibtidaiya, tsanawiyah, Aliyah, dan semacamnya bahkan pesantren modern mulai mendirikan perguruan tinggi. Seperti yang disinyalir oleh Mansur (2004) yang mengatakan bahwa “Memang adanya sistem persekolahan dilingkungan pesantren tidak dengan serta merta menggusur sistem kelas bandongan yang selama ini dikenal”, kitab-kitab klasik masih tetap diajarkan oleh pimpinan pesantren. Pengajian kelas bandongan ini biasanya dismapaikan setelah shalat rawatib tetapi karena jumlah komunitas santri dipesantren semakin besar maka penyampaian pengajian kitab bersifat massal dengan tidak meninggalkan model sorogan, dimana santri mengajukan bab-bab tertentu dalam kitab untuk dibaca didepan kyai.
Sebagai lembaga pendidikan Islam tertua, sejarah perkembangan pondok pesantren memiliki model-model pengajaran yang bersifat non klasikal yaitu sistem pendidikan dengan metode pengajaran wetonan dan sorogan. Di Jawa Barat, metode tersebut diistilahkan dengan “bendungan” sedangkan di Sumatra digunakan istilah “halaqah” (Hasbullah: 2001).
Selain wetonan dan sorogan sistem pendidikan pesantren juga menggunakan metode pengajaran (1) metode musyawarah (bahtsul masa’il), (2) metode pengajian pasaran, (3) metode hafalan (muhafadhah), dan (4) metode demontrasi (praktek ibadah).