PENDIDIKAN KARAKTER DI PONDOK PESANTREN
“ANNURIYYAH” KALIWINING KECAMATAN
RAMBIPUJI KABUPATEN JEMBER
Oleh:
Dr. Hj. St. Rodliyah, M.Pd
NIP. 19680911 199903 2 001
PENELITIAN INI DIBIAYAI DARI DIPA STAIN JEMBER TAHUN ANGGARAN 2013
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
JEMBER
ii
Pendidikan Karakter (Studi Kasus di Pondok Pesantren “Annuriyyah” Kaliwining,
Kecamatan Rambipuji Kabupaten Jember).
b. Bidang Ilmu : Manajemen Pendidikan
c. Kategori Penelitian : Field Research (Studi Lapangan)
2. Ketua Peneliti
a. Nama Lengkap : Dr. Hj. St. Rodliyah, M.Pd
b. Jenis Kelamain : Perempuan
c. Pangkat/Gol/NIP : Pembina Tk I /IV.b/ 19680911 199903 2 001
d. Jabatan Sekarang : Lektor Kepala
e. Jurusan : Tarbiyah
5. Lama Penelitian : 3 (tiga) bulan
6. Biaya Yang Diperlukan : Rp. 8.000.000,- ( delapan juta rupiah).
a. Sumber dana dari : DIPA STAIN JEMBER
Jember , 29 Nopember 2013
Mengetahui,
iii
Puji syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT., yang
telah melimpahkan rahmat, tauhid dan hidayah-Nya, sehingga penulisan hasil
laporan penelitian yang berjudul “Manajemen Pondok Pesantren Berbasis
Pendidikan Karakter di Pondok Pesantren “Annuriyyah” Kiliwining Kecamatan
Rambipuji Kabupaten Jember dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam secara selektif bertujuan
untuk menjadikan para santrinya sebagai manusia yang mandiri yang diharapkan
dapat menjadi pemimpin umat dalam menuju keridhaan Allah SWT. Oleh karena
itu pesantren bertugas untuk mencetak manusia yang benar-benar ahli dalam
bidang agama dan ilmu pengethuan serta berakhlak mulia. Pondok pesantren juga
berfungsi sebagai agen implementasi pendidikan karakter secara efektif, terbukti
di pondok pesantren tidak hanya diajarkan tentang nilai-nilai agama saja,
melainkan juga diajarkan tentang nilai etika, nilai moral, nilai estetika dan nilai
seni yang membawa santri menjadi manusia yang berkepribadian sempurna.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi STAIN agar
mempertimbangkan eksistensinya sebagai lembaga pendidikan Islam yang
tentunya memiliki ikatan moral dengan lembaga-lembaga pendidikan Islam yang
lain baik yang di bawahnya maupun yang sederajat untuk menjalin kerjasama
atau saling memberikan masukan demi kebaikan dan kemajuan lembaga
pendidikan Islam.
Terselesainya laporan penelitian ini tidak terlepas adanya bantuan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ketua STAIN Jember Bapak Dr. H. Babun Suharto, SE., MM., beserta
seluruh jajarannya yang telah memberikan kepercayaan kepada kami atas
pelaksanaan penelitian ini.
2. Bapak KH. Moch. Nuru Sholeh selaku pengasuh pondok pesantren
“Annuriyyah” Kaliwining Kecamatan Rambipuji Kabupaten Jember, yang
iv
4. Para ustadz dan ustadzah, para pengurus, para santri, dan seluruh warga
pondok pesantren “Annuriyyah” yang telah berkenan memberikan data-data
yang kami butuhkan.
5. Semua pihak yang ikut berpartisipasi dalam pelaksanaan penelitian ini yang
tidak mungkin kami sebutkan satu persatu.
Atas segala bantuan dan fasilitasnya, kami mengucapkan terima kasih
yang sedalam-dalamnya dan kami berdo’a mudah-mudahan amal baiknya
diterima oleh Allah SWT. Amien.
Jember, 29 Nopember 2013
v
Pondok pesantren paling tidak memiliki tiga peran utama yaitu sebagai lembaga pendidikan Islam, lembaga dakwah dan lembaga pengembangan masyarakat. Kyai sebagai pengasuh pondok pesantren berperan sangat penting dalam meningkatkan mutu santri yang ada di pondok pesantren dengan berbekal manajemen, akan tercapai visi yang diharapkan oleh pengasuh. Pondok pesantren merupakan tempat yang paling efektif untuk implementasi pendidikan karakter, karena proses pembelajaran di pondok pesantren berjalan selama 24 jam, para santri selalu dalam pengawasan pengasuh, dan para ustadz dengan aturan dan tata tertib yang telah ditetapkan. Selain itu para santri dibudayakan dan dikondisikan dengan lingkungan yang positif yang kegiatannya selalu bermanfaat untuk pengembangan potensi diri dan kepribadian.
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap lebih mendalam tentang manajemen pondok pesantren berbasis pendidikan karakter. Fokus penelitian ini meliputi 4 hal : (1) perencanaan (planing)pondok pesantren berbasis pendidikan karakter, (2) pengorganisasian(organizing)pondok pesantren berbasis pendidikan karakter, (3) pelaksanaan (actuating) pondok pesantren berbasis pendidikan karakter, dan (4) pengawasan (controling)pondok pesantren berbasis pendidikan karakter di pondok pesantren “Annuriyyah” Kaliwining Kecamatan Rambipuji Kabupaten Jember.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan rancangan studi kasus. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara mendalam, observasi partisipan, dan studi dokumentasi. Analisis data menggunakan diskriptif kualitatif, dengan cara data yang telah terkumpul dinalisis dengan menggunakan tiga langkah yaitu organisasi data dan reduksi data, penyajian data, dan verifkasi atau penarikan kesimpulan. Sedangkan pengecekan keabsahan data menggunakan (1) kredibilitas data dilakukan dengan teknik triangulasi (sumber dan metode), pengecekan anggota, dan diskusi teman sejawat, dan (2) konfirmabilitas, digunakan untuk melihat tingkat konfirmabilitas antara temuan yang diperoleh dengan data pendukungnya.
vi
“Annuriyyah” adalah dengan cara memberikan kewenangan sturktural yang independen pada setiap lembaga untuk mengorganisir lembaga masing-masing mulai dari aktivitas murni pondok pesantren, pembelajaran madrasah diniyah, sampai pembelajaran MTs dan MA, (3) pelaksanaan (actuating) manajemen pondok pesantren berbasis pendidikan karakter yang dilakukan pengasuh pondok pesantren “Annuriyyah” adalah dengan cara melaksanakan semuan program kegiatan yang telah direncanakan bersama, baik itu aktivitas keseharian pondok pesantren mulai dari bangun tidur sampai menjelang tidur kembali, aktivitas madrasah diniyah, aktivitas MTs dan MA, dan (4) pengawasan (controling)
manajemen pondok pesantren berbasis pendidikan karakter yang dilakukan oleh pimpinan pondok pesantren “Annuriyyah” ini terdapat dalam 2 bentuk yaitu (1) bentuk pengawasan langsung dengan cara pimpinan selalu memantau langsung pelaksanaan aktivitas keseharian para santri, (2) bentuk penerapan kegiatan rapat bulanan, rapat 6 bulanan (satu semester) sekali, dan rapat ketika ada masalah yang mendesak untuk secepatnya diselesaikan.
vii
2.1 Nilai-Nilai Pendidikan Karakter 32
2.2 Unsur-Unsur Karakter Inti 34
2.3 Esensi Nilai Karakter 36
4.1 Keadaan Ustadz dan Ustadzah Pondok Pesantren
“Annuriyyah”
51
4.2 Kurikulum Madrasah Diniyah Pondok Pesantren
“Annuriyyah”
52
4.3 Jadwal Pelaksanaan Kegiatan Pondok Pesantren
“Annuriyyahh”
vii
GAMBAR URAIAN HALAMAN
x
HALAMAN JUDUL . ... i
LEMBAR PENGESAHAN ...………... ii
KATA PENGANTAR ... iii
ABSTRAK... v
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR GAMBAR ... viii
DAFTAR ISI...………...... ix
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah…...... 1
B. Fokus Penelitian………...... 3
C. Tujuan Penelitian ...………....... 4
D. Manfaat Penelitian …..... 5
E. Sistematika pembahasan ... 6
BAB II : KAJIAN TEORITIS A. Tinjauan Tentang Manajemen Pondok Pesantren a. Konsep Manajemen... 7
1. Pengetian Manajemen ... 7
2. Fungsi Manajemen ... 8
b. Konsep Pondok Pesantren ... 13
1. Pengertian Pondok Pesantren ... 13
2. Pengertian Manajemen Pondok Pesantren... 15
3. Tujuan dan Orientasi Pendidikan Pesantren ... 15
4. Sistem Pendidikan Pondok Pesantren... 20
B. Tinjauan Tentang Pendidikan Karakter a. Pengertian Pendidikan Karakter ... 24
xi BAB III : METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian dan Rancangan ... 39
B. Pendekatan Penelitian ... 39
C. Lokasi Penelitian ... 40
D. Subyek penelitian ... 40
E. Data dan Sumber Data ... 41
F. Teknik Pengumpulan data ... 42
G. Analisa Data ... 43
H. Pengecekan Keabsahan Data ... 45
I. Tahap-Tahap penelitian ... 46
BAB IV : LAPORAN HASIL PENELITIAN A. Gambaran Obyek Penelitian ... 48
B. Penyajian Data dan Analisis Data... 55
C. Pembahasan Temuan Penelitian ... 72
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 86
B. Saran-Saran ... 88
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam Indonesia yang
keberadaannya sudah dikenal sejak abad 19 dan telah mengakar kuat di kalangan
masyarakat muslim Indonesia. Pondok pesantren termasuk pendidikan khas
Indonesia yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat serta telah
teruji kemandiriannya sejak berdirinya sampai sekarang (Badri dan Munawiroh,
2007: 3).
Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam secara selektif bertujuan
menjadikan para santrinya sebagai manusia yang mandiri yang diharapkan dapat
menjadi pemimpin umat dalam menuju keridhaan Allah SWT. Oleh karena itu
pesantren bertugas untuk mencetak manusia yang benar-benar ahli dalam bidang
agama dan ilmu pengethuan serta berakhlak mulia.
Untuk mencapai tujuan tersebut lembaga pesantren menerapkan
manajemen berbasis pendidikan karakter dalam arti penegelolaan lembaga pondok
pesantren memberdayakan dan melibatkan semua elemen yang ada di pesantren
untuk ikut bertanggung jawab dalam keberhasilan proses pembelajaran untuk
mencapai tujuan. Aktornya tidak hanya Kyai dan para ustadz, melainkan semua
orang dewasa yang ada di lembaga pesantren, terutama Kyai dan Ibu Nyai yang
harus di dengarkan dawuhnya dan nasehatnya serta ditaati perintahnya.
Pondok pesantren juga berfungsi sebagai agen implementasi pendidikan
karakter secara efektif, terbukti di pondok pesantren tidak hanya diajarkan
tentang nilai-nilai agama saja, melainkan juga diajarkan tentang nilai etika, nilai
moral, nilai estetika dan nilai seni yang membawa santri menjadi manusia yang
berkepribadian sempurna. Lickona (1992) menekankan tiga komponen dalam
pendidikan karakter yaitu (1) moral knowingatau pengetahuan tentang moral, (2)
moral feeling atau perasaan tentang moral, dan (3) moral action atau perbuatan
mengerjakan sekaligus nilai-nilai kebajikan. Tiga nilai tersebut yang selalu
diajarkan dan ditekankan kepada para santri di pondok pesantren.
Selanjutnya Lickona (1992) menjelaskan beberapa alasan perlunya
pendidikan karakter, diantaranya: (1) banyaknya generasi muda saling melukai
karena lemahnya kesadaran pada nilai-nilai moral, (2) memberikan nilai-nilai
moral pada generasi muda merupakan salah satu fungsi peradaban yang paling
utama, (3) peran pesantren sebagai lembaga pendidikan agama semakin penting
ketika banyak anak-anak memperoleh sedikit pengajaran moral dari orang tua,
masyarakat, dan lembaga pendidikan sekolah, (4) masih adanya nilai-nilai moral
yang secara universal masih diterima seperti perhatian, kepercayaan, rasa hormat,
dan tanggungjawab, (5) demokrasi memiliki kebutuhan khusus untuk untuk
pendidikan moral karena demokrasi merupakan peraturan diri, untuk dan oleh
masyarakat, (6) tidak ada sesuatu sebagai pendidikan bebas nilai. Pesantren
mengajarkan pendidikan bebas nilai. Pesantren mengajarkan nilai-nilai melalui
desain ataupun tanpa desain, (7) komitmen pada pendidikan karakter penting
manakala kita mau dan terus menjadi ustadz atau guru yang baik, dan (8)
pendidikan karakter yang efektif membuat pesantren lebih beradap, peduli kepada
masyarakat, dan mengacu kepada performansi lembaga pesantren yang maju dan
berkembang serta bisa memenuhi tuntutan kebutuhan masyarakat.
Mengembangkan kebiasaan dan perilaku terpuji bagi peserta didik, akan
menghasilkan out put yang berbobot. Tidak hanya pandai secara kognitif, tetapi
cerdas secara afektif. Kacung Marijan sepakat, maslah-masalah besar yang terjadi
di negeri ini tidak lepas dari masalah karakter. Karena itu dunia pendidikan harus
mampu menjadi motor penggerak untuk memberikan pendidikan karakter
terhadap peserta didik.
Alasan-alasan di atas menunjukkan bahwa pendidikan karakter sangat
perlu ditanamkan sedini mungkin untuk mengantisipasi persoalan di masa depan
yang semakin kompleks seperti semakin rendahnya perhatian dan kepedulian anak
terhadap lingkungan sekitar, tidak memiliki tanggungjawab, rendahnya
kepercayaan diri, dan lain-lain. Karena pendidikan karakter menurut Elkin dan
peduli, dan bertindak atas nilai-nilai etika/moral. Pendidikan karakter
mengajarkan kebiasaan berpikir dan berbuat yang membantu orang hidup dan
bekerja bersama-sama sebagai keluarga, teman, tetangga, masyarakat, dan bangsa.
Keberadaan pondok pesantren “Annuriyyah” Kaliwining Rambipuji
Jember, telah dipercaya masyarakat untuk membawa putra-putrinya menjadi
manusia yang sempurna, karena pondok pesantren ini tidak hanya mengajarkan
ilmu pengetahuan dan teknologi saja, tetapi mendidik santri menjadi manusia
yang beriman dan bertaqwa (imtaq) kepada Alloh SWT. Imtaq inilah yang
sekarang lagi gencar disebut sebagai pendidikan karakter, kata gus Ubaid putra
dari Bapak Kyai Moch. Nurus Sholeh pengasuh pondok “Annuriyyah” Kaliwining
Rambipuji Jember. Untuk pembinaan imtaq semua santri wajib sholat lima waktu
berjamaah, wajib mentaati semua tata tertib pondok pesantren, mentaati dan
menghormati guru/ustadz, dan bangun malam sekitar jam 03.00 untuk melakukan
sholat tahajud dan berdzikir kemudian diteruskan sholat shubuh berjamaah dan
mengaji Al-Quran (wawancara, senin, 20 Agustus 2013).
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti merasa tertarik untuk
mengkaji secara mendalam tentang pendidikan karakter di pondok pesantren
sebagai wujud tanggungjawab dari orang tua dan sosok intelektual akademis.
Untuk itu dianggap perlu dilakukannya penelitian dengan judul ”Manajemen
Pondok Peantren Berbasis Pendidikan Karakter” (Studi Kasus di Pondok
Pesantren “Annuriyyah” Kaliwining Kecamatan Rambipuji Kabupaten Jember).
B. Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan
sebuah fokus penelitian tentang manajemen pondok pesantren berbasis
pendidikan karakter di pondok pesantren “Annuriyyah” Kaliwining Rambipuji
Jember. Kemudian fokus penelitian ini dijabarkan sebagai berikut :
1. Bagaimana perencanaan (planing) pondok pesantren berbasis pendidikan
karakter di pondok pesantren “Annuriyyah” Kaliwining Kecamatan
2. Bagaimana pengorganisasian (organizing) pondok pesantren berbasis
pendidikan karakter di pondok pesantren “Annuriyyah” Kaliwining
Kecamatan Rambipuji Kabupaten Jember ?
3. Bagaimana pelaksanaan (actuating) pondok pesantren berbasis pendidikan
karakter di pondok pesantren “Annuriyyah” KaliwiningKecamatan Rambipuji
Kabupaten Jember ?
4. Bagaimana pengawasan (controling) pondok pesantren berbasis pendidikan
karakter di pondok pesantren “Annuriyyah” Kaliwining Kecamatan Rambipuji
Kabupaten Jember ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah rumusan kalimat yang menunjukkan adanya hal
yang diperoleh setelah penelitian selesai (Arikunto, 2002: 53). Adapun tujuan
penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tentang manajemen pondok pesantren
berbasis pendidikan karakter di pondok pesantren “Annuriyyah” Kaliwining
Kecamatan Rambipuji Kabupaten Jember. Kemudian tujuan rincinya untuk
mendeskrepsikan:
1. Perencanaan (planing) pondok pesantren berbasis pendidikan karakter di
pondok pesantren “Annuriyyah” KaliwiningKecamatan Rambipuji Kabupaten
Jember.
2. Pengorganisasian (organizing) pondok pesantren berbasis pendidikan karakter
di pondok pesantren “Annuriyyah” Kaliwining Kecamatan Rambipuji
Kabupaten Jember.
3. Pelaksanaan (actuating) pondok pesantren berbasis pendidikan karakter di
pondok pesantren “Annuriyyah” KaliwiningKecamatan Rambipuji Kabupaten
Jember.
4. Pengawasan (controling) pondok pesantren berbasis pendidikan karakter di
pondok pesantren “Annuriyyah” Kaliwining Kecamatan Rambipuji Kabupaten
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain :
1. Secara Teoritis:
Menambah khazanah wawasan keilmuan tentang manajemen pondok
pesantren berbasis pendidikan karakter serta implementasinya dalam dunia
pendidikan Islam.
2. Secara Praktis:
a. Bagi Peneliti
Menambah pengetahuan dan pengalaman dalam penelitian serta
wawasan dalam mengaplikasikan disiplin ilmu yang dimiliki yang
berhubungan dengan masalah manajemen khususnya manajemen
pondok pesantren.
b. Bagi Lembaga pondok pesantren “Annuriyyah” Kaliwining, hasil
penelitian ini dapat dijadikan masukan bagi lembaga khususnya
pengasuh dan para ustadz dan santri agar mereka menyadari betapa
pentingnya pendidikan karakter dan pendidikan agama bagi santri.
Karena dengan pondasi pendidikan karakter dan pendidikan agama
yang kuat, anak akan mampu menjadi pemimpin masa depan bangsa
dan agama yang penuh dengan tanggung jawab, amanah, jujur dan
bijaksana.
c. Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan dan pertimbangan
bagi masyarakat untuk bisa memilihkan lembaga pendidikan yang
terbaik bagi putra-putrinya. Agar nantinya mereka menjadi manusia
yang berakhlak mulia dan berkepribadian baik serta bisa berguna bagi
agama, nusa dan bangsa.
E. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan merupakan gambaran singkat tentang penelitian
yang dikemukakan secara beraturan dari bab per bab dengan sistematis, dengan
secara global. Adapun penelitian ini terdiri dari lima bab, secara garis besarnya
adalah sebagai berikut :
Bab satu pendahuluan, yang menguraikan tentang latar belakang masalah,
fakus masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab dua kerangka teoritik, yang berisi tentang (1) tinjauan tentang
manajemen pondok pesantren meliputi : (a) konsep manajemen meliputi
pengertian manajemen dan fungsi manajemen, dan (b) konsep pondok pesantren
meliputi pengertian pondok pesantren, tujuan dan orientasi pendidikan pesantren,
dan sistem pendidikan pesantren, dan (2) pendidikan karakter meliputi (a)
pengertian pendidikan karakter, (b) tujuan dan fungsi pendidikan karakter, (c)
langkah-langkah pembentukan pendidikan karakter, dan (d) macam-macam nilai
dalam pendidikan karakter.
Bab tiga metodologi penelitian, menguraikan tentang jenis penelitian dan
rancangan penelitian, pendekatan penelitian, lokasi penelitian, subyek
penelitian, data dan sumber data, teknik pengumpulan data, analisa data,
pengecekan keabsahan data, dan tahap-tahap penelitian.
Bab empat laporan hasil penelitian yang menguraikan tentang penyajian
data yang (meliputi data umum latar belakang obyek, dan data khusus yang
berkaitan dengan fokus penelitian, kemudian analisa data, dan makna penelitian.
Bab lima kesimpulan dan saran, pada bagian akhir disajikan kesimpulan
dari hasil penelitian dan kemudian diberikan saran-saran untuk perbaikan
manajemen pondok pesantren berbasis pendidikan karakter di pondok pesantren
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang Manajemen Pondok Pesantren a. Konsep Manajemen
1. Pengertian Manajemen
Manulang (1981) mengartikan manajemen sebagai seni dan ilmu
perencanaan, pengorganisasian, penyusunan, pengarahan dan pengendalian
terhadap sumber daya manusia dan non manusia untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Stoner (1978) mendefinikan
manajemen sebagai suatu proses perencanaan, pengorganisasian,
penyusunan, pengarahan dan pengendalian terhadap usaha-usaha para
anggota organisasi dan penggunaan sumber-sumber organisasi lainnya
untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan.
Dale (1973) dengan mengutip beberapa pendapat, mengemukakan
bahwa manajemen adalah mengelola orang-orang, pengambilan keputusan,
dan proses mengorganisasi dan memakai sumber-sumber untuk mencapai
tujuan yang telah ditentukan. Dalam pendidikan, manjemen itu dapat
diartikan sebagai aktivitas memadukan sumber-sumber pendidikan yang
telah ditentukan sebelumnya. Aktivitas yang dimaksud terdiri dari
perncanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengendalian secara
sistematis. Adapun sumber yang diperlukan meliputi tenaga manusia, biaya,
sarana prasarana, dan waktu yang tersedia.
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian
manajemen adalah suatu proses kegiatan yang mencakup perencanaan,
pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian yang dilakukan dalam
rangka mencapai tujuan dengan menggunakan potensi sumber daya manusia
b. Fungsi Manajemen
Keberhasilan suatu lembaga pendidikan perlu didukung dengan
manajemen yang baik. Burhanuddin (2002:6) mengemukakan bahwa
“manajemen memiliki kedudukan strategis dalam memberikan dukungan
penyelenggaraan pendidikan, terutama dalam program peningkatan mutu
pendidikan di sekolah. Manajemen bekerja dalam proses pendayagunaan
segenap sumber daya yang tersedia di sekolah seoptimal mungkin demi
terselenggaranya program-program pendidikan secara efektif dan efisien.
Manajemen dilihat dari fungsinya berarti usaha pencapaian tujuan
dengan melakukan serangkaian kegiatan yang berupa perencanaan,
pengorganisasian, penggerakan dan pengendalian. Sedangkan menurut
Buford dan Bedein (1988: 5) mengatakan bahwa ada lima fungsi
manajemen dasar yaitu: (1) perencanaan, (2) pengorganisasian, (3)
penyusunan staf dan pengelolaan sumber daya manusia, (4) pengarahan dan
pemberian pengaruh, (5) pengendalian”. Adapun menurut Robbins (1989)
menyebutkan manajemen itu memiliki 4 fungsi yakni (1) perencanaan, (2)
pengorganisasian, (3) kepemimpinan, dan (4) pengendalian.
Dari beberapa fungsi manajemen sebagaimana dikemukakan di atas
dapat dirumuskan bahwa fungsi dasar manajemen adalah (1) perencanaan,
(2) pengorganisasian, (3) pengarahan, dan (4) pengendalian.
Kepemimpinan, pemberian pengaruh atau motivasi dapat dimasukkan ke
dalam fungsi pengarahan. Sedangkan penyusunan staf dan pengelolaan
sumber daya manusia dapat dimasukkan ke dalam fungsi pengorganisasian.
1) Perencanaan(Planing)
Perencanaan merupakan proses untuk menentukan tujun yang akan
dicapai serta langkah-langkah yang harus diambil untuk mencapai tujuan.
Handayaningngrat (1988) menyatakan bahwa “fungsi perencanaan meliputi
serangkaian keputusan yang berupa menentukan tujuan, kebijakan,
membuat program, menentukan metode yang akan dipakai dan prosedur
serta menyusun jadwal pelaksanaan”. Koonzi dan O’Donnell (1972)
berhubungan dengan memilih tujuan kebijakan, prosedur-prosedur,
program-program dan alternatif-alternatif yang ada.
Sedangkan Robbin (1988) mngemukakan perencanaan itu dpat
dikelompokkan berdasarkan luas jangkauannya perencanaan meliputi
perencanaan strategik dan operasional. Apabila menurut kerangka waktunya
meliputi jangka pendek dan jangka panjang, dan apabila berdasarkan
sifatnya terdaapat perencanaan spesifik dan direksional.
Sejalan dengan hal tersebut diatas, berkenaan dengan bagaimana
kemampuan mengelola perencanaan seluruh aktivitas kegiatan pondok
pesantren berbasis pendidikan karakter, maka perencanaan mengandung
pokok-pokok sebagai berikut.
(a) Perencanaan selalu berorientasi masa depan maksudnya perencanaan
berusaha memprediksi bentuk dan sifat masa depan santri yang
diinginkan berdasarkan situasi dan kondisi masa lalu, sekarang dan
masa yang akan datang.
(b) Perencanaan merupakan sesuatu yang sengaja dilahirkan dan bukan
kebetulan, sehingga hasil dari pemikiran yang matang dan cerdas
bersumber dari hasil eksplorasi terhadap penyelenggaraan pendidikan
keterampilan sebelumnya.
(c) Perencanaan memerlukan tindakan dari orang-orang yang terlibat dalam
pengelolaan pendidikan pondok pesantren.
(d) Perencanaan harus bermakna, dalam arti bahwa usaha-usaha yang
dilakukan dalam rangka mencapai tujuan diselenggarakan pendidikan
pondok pesantren.
Uraian di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut (1) bahwa
keberhasilan pelaksanaan suatu kegiatan sangat ditentukan oleh baik
buruknya perencanaan, (2) perencanaan harus dapat memandang atau
meramalkan kegiatan-kegiatan dimana yang akan datang secara obyektif,
(3) perencanaan harus diarahkan kepada tercapainya suatu tujuan,
sehingga bila terjadi kegagalan dalam pelaksanaan kemungkinan besar
perencanaan harus memikirkan anggaran, kebijakan, prosedur, metode,
dan kriteria-kriteria untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
2) Pengorganisasian(Organizing)
Pengorganisasian adalah suatu proses untuk menentukan,
mengelompokkan dan pengaturan secara bersama dalam suatu kegiatan
untuk mencapai tujuan, menentukan orang-orang yang akan melakukan
aktivitas atau kegiatan, menyediakan alat yang akan digunakan dalam
melaksanakan aktivitas tersebut (Hasibuan, 1990). Sedangkan Juliatriasa
(1988) menyatakan bahwa “pengorganisasian adalah suatu usaha yang
ditempatkan agar suatu kelompok manusia yang bekerjasama dalam
mencapai tujuan dapat berhasil dengan baik sesuai dengan tujuan semula”.
Kemudian Winardi (1990) menerangkan bahwa “pengorganisasian adalah
suatu proses dimana suatu pekerjaan yang ada dibagi atas
komponen-komponen hasil-hasil yang diperoleh untu mencapai tujuan.
Menurut Heidjrachman (1990) pengorganisasian adalah kegiatan
untuk mencapai tujuan sekelompok orang, dilakukan dengan
membagi-bagi tugas, tanggungjawab, dan wewenang diantara mereka, penetapan
deprtemen-departemen serta menentukan hubungan-hubungan.
Adapun langkah-langkah manajemen dalam membentuk kegiatan
kegiatan pada proses pengorgnisasian meliputi: (1) sasaran, manajer harus
mengetahui tujuan organisasi, yang ingin dicapai, (2) menentukan
kegiatan-kegiatan, (3) mengelompokkan kegiatan-kegiatan, (4)
pendelegasian wewenang, (5) perincian peranan perorangan, (6) tipe
organisasi, dan (7) bagan organisasi.
Dari berbagai pendapat tersebut, maka dapat diambil kesimpulan
pengorganisasian adalag suatu usaha menstrukturkan atau menetapkan
kerjasama diatara orang-orng dalam kelompok, yang meliputi, menetapkan
tugas, wewenang, tanggungjawab serta hubungan masing-masing.
3) Pelaksanaan(Actuating)
Siagian (1981) menyatakan penggerakan/pelaksanaan adalah
para bawahan sehingga mereka mau bekerja secara ikhlas dalam rangka
mencapai tujuan organisasi sesuai dengan rencana. Dalam melaksanakan
fungsi penggerakan ini, maka peranan pemimpin sangat penting karena
penggerakan lebih banyak berhubungan dengan manusia sebagi subyek
kegiatan, sehingga betapapun modern peralatan yang digunakan jika tanpa
dukungan manusia tidk akan mempunyai arti apa-apa. Sementara manusia
sendiri adalah makhluk hidup yang mempunyai harga diri, perasaan,
tujuan dan karakter yang berbeda-beda. Dengan demikian maka pimpinan
harus memahami faktor-faktor manusia dan perilaku manusia. Berbagai
teori yang membahas human behavior menyatakan bahwa setiap orang
pada dasarnya merasa memiliki tanggungjawab, potensi mau bekerja dan
mau dipimpin. Dari konsep ini maka Elton Mayo dengan teori Human
Science yang dikutip oleh hasibuan (1986) menyimpulkan bahwa: (1)
maslah manusia hanya dapat diselesaikan secara manusiawi, (2) Morle
(semangat kerja) lebih besar peranan dan pengaruhnya terhadap
produktivitas para kerja. Morale adalah suatu keadaan yang berhubungan
erat dengn kondisi mental, (3) perlakuan yang wajar/baik terhadap para
pekerja lebih besar pengaruhnya terhadap produktivitas dari pada upah
yang besar, seklipun upah juga merupakan hal yang penting.
Terry (1988) mengemukakan actuating adalah usaha menggerakkan
anggota kelompok sedemikian rupa hingga mereka berkeinginan dan
berusaha mencapai sasaran perusahaan yang bersangkutan dan sasaran
anggota perusahaan tersebut karenna para anggota itu ingin mencapai
sasaran tersebut. Penekanan definisi tersebut tepat digunakan untuk
menggerakkan bawahan dalam memberikan bimbingan, instruksi, nasehat,
koreksi jika diperlukan an memberikan insentif atau perangsang atas
jasa-jasanya dalam perusahaan.
Berkaitan dengan pelaksanaan program kegiatan dalam pondok
pesantren, maka kewajiban pengasuh pondok pesntren untuk memberikan
pengarahan dan motivasi dengan pendekatan manusiawi agar tujuan
faktor kepemimpinan pengasuh pondok pesantren mempunyai peranan
sentral dalam meningkatkan semangat personel pondok pesantren.
4) Pengawasan(Controling)
Pengawasan sering juga disebut dengan pengendalian yaitu proses
pengukuran kinerja, membandingkan antara hasil sesungguhnya dengan
rencana serta mengambil tindakan pembetulan yang diperlukan. Salah satu
fungsi pengendalian adalah mengadakan koreksi sehingga apa yang sedang
dilakukan dapat diarahkan dengan benar untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Proses pengendalian terdiri atas tiga langkah universal yaitu (1)
mengukur perbuatan, (2) membandingkan perbuatan, (3) memperbaiki
penyimpangan dengan tindakan pembetulan. Dengan demikian maka
pengendalian melakukan kegiatan erat sekali dengan fungsi perencanaan,
pengorganisasian, dan penggerkan. Pengendalian sangat menentukan baik
buruknya pelaksanaan suatu rencana. Koontz (1984) menyatakan
“pengendalian adalah pengukuran dan perbaikan terhadap pelaksanaan
bawahan, agar rencana yang telah dibuat untuk mencapai tujuan dapat
tercapai”. Tujuan pengendalian adalah agar proses pelaksanaan dilakukan
sesuai dengan ketentuan rencana dan melakukan sesuai dengan ketentuan
rencana dan melakukan perbaikan jika terdapat penyimpangan dalam
pelaksanaannya, sehingga tujuan yang dicapai sesuai dengan
perencanaannya.
Seorang manajer dapat melakukan pengendalian dengan, jika
mengetahui proses pengendalian. Hasibuan (1990) menyatakan dengan
baik, jika mengetahui proses pengendalian. Hasibuan (1990) menyatakan
bahwa proses pengendalian dapat dilakukan melalui tahapan-tahapan
sebagai berikut: (1) menentukan standar-standar atau dasar untuk
melakukan kontrol, (2) mengukur pelakasanaan kerja, dan (3) melakukan
tindakan-tindakan perbaikan jika terjadi penyimpangan (deviasi) agar
pelaksanaan dan tujuan sesuai dengan rencana.
Berkaitan dengan pengawasan pondok pesantren dapat dilakukan
yang terlibat dalam pengelolaan pondok pesantren serta berbagai upaya
menggerakkannya, sehingga tujuan yang ingin dicapi dapat berhasil
dengan baik sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Kemampuan
pengasuh pondok pesantren dalam pengendalian ini adalah untuk proses
pengukuran kinerja, memperbaiki penyimpngan dengan tindakan
pembetulan. Sehingga diperlukan kemampuan pengasuh pondok
pesantren. Bagaimana kemampuan pengasuh pondok pesantren dalam
merencanakan, mengorganisasikan dan menggerakkan karena hal ini
berkaitan erat dengan kegiatan pengendalian/evaluasi terhadap setiap
program yang telah ditetapkan.
Pengawasan di pondok pesantren berfungsi sebagai supervisi dan
evaluasi yang erat kaitannya dengan perencanaan masa yang akan datang,
sesuai dengan pencapaian yang diperoleh sebelumnya. Hal-hal yang
diasumsikan sebagai penghambat harus segera ditanggulangi,
diminimalisir atau dihilangkan. Sedangkan hal-hal yang progresif untuk
pengembangan pondok pesantren dipertahankan dan bahkan ditingkatkan
dibisa mungkin.
2. Konsep Pondok Pesantren
a. Pengertian Pondok Pesantren
Pesantren secara terminologi dimaknai sebagai lembaga
pendidikan dan pengajaran agama Islam, yang pada umumnya
pendidikan dan pengajara tersebut diimplementasikan dengan cara
non klasikal. Di mana seorang kyai mengajar santri berdasarkan
kitab-kitab yang berbahasa arab dari ulama’-ulama’ besar sejak abad
pertengahan, sedangkan para santri tinggal dalam asrama pesantren.
Kehadiran pesantren di tengah-tengah masyarakat tidak hanya sebagai
lembaga pendidikan saja, tetapi juga sebagai lembaga penyiaran
agama dan sosial keagamaan. Dengan sifat yang lentur sejak awal
kehadirannya, pesantren ternyata mampu mengadaptasikan diri serta
Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran agama
Islam dengan menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai
pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari (Mastuhu: 1994).
Pondok pesantren merupakan pendidikan khas Indonesia
yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat serta telah
teruji kemandiriannya sejak berdirinya samapi sekarang (Badri dan
Munawiroh: 2007). Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam
dipimpin dan dikelola langsung oleh kyai yang memiliki visi dan
penentu arah kebijakan dalam melaksanakan proses pembelajaran dan
pencapaian yang hendak dihasilkan proses pembelajaran dan
pencapaian yang hendak dihasilkan oleh santri-santri sebagai peserta
didik.
Pondok pesantren merupakan sebuah sisten pendidikan Islam
yang unik dan khas Indonesia. Ia memiliki karakteristik tersendiri
dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Sebagai suatu lembaga
pendidikan Islam, pondok pesantren dari sudut historis kultural dapat
dikatakan sebagai trainning center yang otomatis menjadi cultural
cneter Islam yang disahkan atau dilembagakan oleh masyarakat,
setidak-tidaknya oleh masyarakat Islam sendiri tidak dapat diabaikan
(Jamaluddin dan Abdullah: 1999).
Pondok pesantren, sebagaimana disebutkan dalam UU RI.
Nomor 20 Tahun 2003 merupakan bagian dari pendidikan agama.
Karena itu wewenang pokok dalam pengembangan dan pembinaan
pondok pesantren berada pada Departemen Agama. Sementara itu
pemerintah daerah bertugas mendukung atas terselenggaranya
pendidikan keagamaan dalam rangka pemantapan sistem pendidikan
nasional (Wahid dan Nur Hidayat: 2001).
Untuk itu pondok pesantren adalah merupakan sebuah institusi
pendidikan yang melekat dalam perjalanan kehidupan bangsa
pernah mencita-citakan model pesantren ini sebagai sistem pendidikan
nasional. Menurutnya ini merupakan hasil kreasi budaya bangsa yang
tak ternilai harganya yang patut dipertahankan dan dikembangkan.
2. Pengertian Manajemen Pondok Pesantren
Manajemen adalah suatu proses kegiatan yang mencakup
perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian
yang dilakukan dalam rangka mencapai tujuan dengan
menggunakan potensi sumber daya manusia dan sumber daya non
i.manusia penting lainnya.
Sedangkan pondok pesantren adalah lembaga pendidikan
tradisional Islam untuk memahami, menghayati dan mengamalkan
ajaran agama Islam dengan menekankan pentingnya moral agama
Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari.
Dari dua pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa
manajemen pondok pesantren adalah suatu proses kegiatan yang
mencakup perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan
pengawasan yang dilakukan di lembaga pendidikan tradisional
Islam untuk memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran
agama Islam dengan menekankan pentingnya moral agama Islam
sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari.
3. Tujuan dan Orientasi Pendidikan Pesantren 1) Tujuan Pesantren
Secara umum tujuan pendidikan di pondok pesantren adalah
menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim dalam arti
kepribadian yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT.,
berakhlak mulia, menjadi pelayan masyarakat sebagaimana
kepribadian nabi Muhammad SAW., mampu berdiri sendiri, bebas
dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau
menegakkan Islam dan kejayaan umat Islam di tengah-tengah
kepribadian Indonesia. Idealnya pengembangan kepribadian yang
ingin dituju oleh pondok pesantren adalah kepribadian muslim
(Mansur, 2004:35-36).
Pendidikan pesantren sebagai sebuah media pembelajaran
bagi kondisi bangsa Indonesia yang semakin kehilangan
moralitasnya sebagai bangsa berbudaya dan berakhlak dalam
banyak sorortan media massa mengungkapan krisisi moral yang
ditimbulkan oleh para pelajar diakibatkan gagalnya proses
pendidikan yang diemban oleh lembaga-lembaga pendidikan
umum. Minimnya pengetahuan tentang agama menjadi salah satu
faktor dari memicunya aksi-aksi kekerasan, brutalitas, kenakalan
remaja, penjbretan yang dilakukan pelajar dan sebagainya.
Pesantren merupakan penggodokan kader-kader ulama yang
mampu menjadi media transformasi dalam mengatasi problematika
sosial, membentuk insan yang bertaqwa dan beriman kepada Allah
SWT. Peran ulama menjadi sangat strategis dalam ikut serta
mengusung cita-cita pendidikan nasional yang menjadi ciri khas
bangsa Indonesia yaitu terciptanya manusia seutuhnya. Dalam
konteks Al-Hayatu Al-Islamiyah (kehidupan Islam), para ulama
berusaha keras berijtihad untuk memecahkan segenap problem
kehidupan masyarakat yang terus berkembang (Yusanto: 1998).
Menurut Mastuhu, ada 8 prinsip yang berlaku pada
pendidikan di pesantren. Kedelapan prinsip itu menggambarkan
kira-kira 8 ciri utama tujuan pendidikan pesantren, antara lain:
(1) Memiliki kebijakan menurut ajaran Islam
(2) Memiliki kebebasan yang terpimpin
(3) Berkemampuan mengatur diri sendiri
(4) Memiliki rasa kebersamaan yang tinggi
(5) Menghormati orang tua dan guru
(6) Cinta kepada ilmu
(8) Kesederhanaan (Tafsir: 2010).
Pondok pesantren memiliki keduduka dan peranan yang
sangat penting dalam upaya meningkatkan sumber daya manusia
mendatang. Sejarah menunjukkan banyaknya tokoh nasional
bahkan internasional yang lahir dari lingkungan pesantren. Hal ini
membuktikan bahwa pesantren mempunyai kekuatan dan
kemampuan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas,
memiliki pengetahuan luas, berpikir maju, wawasan kebangsaan,
yang dibingkai oleh iman dn taqwa kepada Allah SWT.
Tujuan pendidikan pesantren diharapkan mempunyai dua
paradigma yang menjadi tolok ukur keberhasilan dari pondok
pesantren itu sendiri. Pertama, tujuan pesantren menciptakan dan
mengembangkan kepribadian muslim yaitu kepribadian yang
beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT., berakhlak mulia,
mandiri, dan menegakkan Islam. Kedua, ikut serta mencerdaskan
bangsa, memiliki keterampilan dan berkembang di bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi.
2) Orientasi Pendidikan Pesantren Masa Depan
Selama dua dasawarsa kebelakang pendidikan pesantren
hanya menghasilkan jumlah santri yang menjadi ulama. Sementara
itu juga kebutuhan akan profesionalitas dalam bidang ilmu
pengetahuan akan profesionalitas dalam bidang ilmu pengetahuan
dan teknologi masih belum ada. Kebutuhan dunia pasar menjadi
faktor penting dalam meningkatkan kemajuan pendidikan pesantren
sehingga orientasi pondok pesantren tidak tidak hanya
memproduksi ulama, tapi juga menciptakan tenaga-tenaga yang
terampil, profesional dan mempunyai keterampilan khusus
dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Disitulah akhirnya pendidikan pesantren dapat dilihat
ketinggian moralitas agama dari pada moralitas yang lain. Tujuan
dan orientasi seperti itu timbul dan disebabkan karena landasan
utama pendidikan pesantren adalah Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
Sebenarnya pesan wahyu tidak hanya menyerukan pada pencarian
kehidupan ukhrawi, tapi manusia juga diperintahkan mencari
kehidupan duniawi. Dari beberapa ayat Al-Qur’an dijelaskan
tentang ilmu-ilmu teknologi dan ilmu pengetahuan.Dari para
pemikir dan ilmuan barat banyak sekali terinspirasi melalui
ayat-ayat Al-Qur’an dalam menciptakan penemuan baru teori dan
konsep.
Sekalipun begitu seperti yang dikutip Zuly Qodir (2003)
dalam bukunya beliau mengatakan “Pendidikan di pesantren juga
mengembangkan kualitas intelektual, etos kerja disamping kualitas
moral yang tinggi dan pengabdian atau dalam istilah Al-Qur’an
Karenanya pendidikan di pesantren selain untuk mencapai ridho
Allah juga untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.
Gerakan reformasi di Indonesia secara umum menuntut
diterapkannya prinsip demokrasi, desentralisasi, keadilan, dan
menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Dalam hubungannya dengan pendidikan,
prinsip-prinsip tersebut akan memberikan dampak yang mendasar pada
kandungan, proses dan manajemen sistem pendidikan. Selain itu,
ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat dan
memunculkan tuntunan baru dalam aspek kehidupan baru termasuk
dalam sistem pendidikan.
Seirama dengan tuntutan perubahan yang terus
menggelinding dewasa ini maka salah satu tuntutan yang kemudian
memperoleh momentumnya yang tepat ialah ditetapkannya UU No.
22 tahun 1999 tentang otonomi daerah sebagai salah satu wujud
pemberian peran yang lebih besar kepada daerah untuk mengurus
UU No. 22 Tahun 1999 ini mempengaruhi pada perubahan
sistem pemerintahan sentralistik menuju pada sistem desentralistik
yang memberikan wewenang penuh pada sistem pemerintah daerah
dalam mengambil setiap keb luasijakan. Tingkat prestasi
pendidikan di tiap daerah yang menjadaji sorotan masyarakat luas
sangat berbeda sekali, sehingga berpengaruh pada penyelenggaraan
dan pengelolaan lembaga pendidikan baik dari segi kualitas,
kuantitas, sarana dan prasarana maupun dana pendidikan yang
nantinya akan mengalami persaingan bebas antar daerah. Akhirnya
dana pendidikan yang menjadi tanggungjawab pemerintah
dilimpahkan pada pemerintah daerah bahkan masyarakat.
Bagi seorang muslim, seperti yang dikutip Fachry Ali dari
Nurcholis (1992) mengatakan “Modernisasi merupakan suatu
keharusan mutlak, sebab modernisasi dalam pengertian yang
sedemikian itu berarti bekerja dan berpikir menurut aturan-aturan
hukum alam. Menjadi modern berarti mengembangkan
kemampuan berpikir secara ilmiah, bersikap dinamis dan progresif
dalam mendekati kebenaran-kebenaran universal”. Pernyataan
demikian tampaknya bukan tanpa dasar beberapa ayat di dalam
Al-Qur’an memberi panduan kehidupan.
Modernisasi pendidikan Islam khususnya pesantren
merupakan salah satu keharusan dalam merespon ketertinggalan
umat Islam yang diakibatkan oleh teknologisasi di segala bidang.
Teknologisasi ini mulai merambah dan merusak keseimbangan
ekosistem agama, sosial dan budaya. Maka diperlukan antisipasi
terhadap pengaruh-pengarruh negatif teknologisasi yang
mengakibatkan rusaknya moral bangsa Indonesia. Pengusungan
Islam sebagai rahmatan lil alamain sebagai filter terhadap setiap
perubahan-perubahan.
Timbulnya kritik terhadap tradisi ilmu pengetahuan Islam di
ditingkat atas, tapi juga munculnya realitas baru dalam masyarakat
yang merupakan akibat meluasnya kegiatan pesantren. Pendidikan
pesantren mengalami peningkatan. Pada mulanya pesantren tidak
mengenal sistem klasikal dan hanya mengajarkan kitab-kitab klasik
“kitab kuning” kini sudah mengenal madrasah (Tebba: 2002).
Perubahan jaman menuntut adanya pembaharuan sistem
pendidikan. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah
mengubah pola pikir manusia untuk mengikuti kemajuan tersebut.
Maka pesantren dituntut untuk bisa menyediakan lembaga
pendidikan yang sesuai dengan keinginan masyarakat. Namun visi
dan misi pesantren tetap untuk mencetak intelektual muslim yang
berbudi pekerti luhur harus dikedepankan. Sehingga pesantren
yang telah lama menjadi pendidikan tetap eksis karena tidak
ditinggalkan masyarakat pengguna jasa pendidikan (Rahman, 2001:
199).
d. Sistem Pendidikan Pesantren
Sistem merupakan seperangkat unsur yang secara teratur dan
saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas untuk
melaksanakan suatu maksud tertentu. Dalam hal ini sistem pendidikan
pesantren merupakan seperangkat alat yang secara teratur saling
berkaitan antara elemen pesantren (asrama, masjid, santri, kitab dan
Kyai) dalam melaksanakan pendidikan yang saling bekerjasama
membangun common working yang baik demi kemajuan lembaga.
Sistem pesantren disini sangat penting menjadi satu kesatuan yang
utuh dalam tercapainya tujuan pendidikan yang dicita-citakan dalam
membentuk kepribadian luhur dan berintelektual.
Komponen-komponen pendidikan menjadi sangat penting
dalam setiap pengelolaan sebuah institusi yang membentuk satu
kesatuan yang utuh dalam mencapai tujuan. Dalam pesantren masa
sebuah lembaga pesantren dan tidak lagi memegang otoritas sebagai
pengambil kebijakan dalam menentukan arah tujuan pesantren, tetapi
menjadi sebuah tanggung jawab bersama komponen-komponen
pendidikan.
Mulai dekade 1970-an telah terjadi perubahan yang cukup
besar pada keberadaan pesantren sebagai sebuah sistem pendidikan.
Pesantren sebagai sebuah bentuk sistem tradisional mulai berubah.
Pesantren sebelumnya dikenal sebagai bentuk sistem perseolahan (ala
Belanda yang dimodifikasi dalam bentuk islamisme) yaitu sistem
madrasah (ibtidaiya, tsanawiyah, Aliyah, dan semacamnya bahkan
pesantren modern mulai mendirikan perguruan tinggi. Seperti yang
disinyalir oleh Mansur (2004) yang mengatakan bahwa “Memang
adanya sistem persekolahan dilingkungan pesantren tidak dengan serta
merta menggusur sistem kelas bandongan yang selama ini dikenal”,
kitab-kitab klasik masih tetap diajarkan oleh pimpinan pesantren.
Pengajian kelas bandongan ini biasanya dismapaikan setelah shalat
rawatib tetapi karena jumlah komunitas santri dipesantren semakin
besar maka penyampaian pengajian kitab bersifat massal dengan tidak
meninggalkan model sorogan, dimana santri mengajukan bab-bab
tertentu dalam kitab untuk dibaca didepan kyai.
Sebagai lembaga pendidikan Islam tertua, sejarah
perkembangan pondok pesantren memiliki model-model pengajaran
yang bersifat non klasikal yaitu sistem pendidikan dengan metode
pengajaran wetonan dan sorogan. Di Jawa Barat, metode tersebut
diistilahkan dengan “bendungan” sedangkan di Sumatra digunakan
istilah “halaqah” (Hasbullah: 2001).
Selain wetonan dan sorogan sistem pendidikan pesantren juga
menggunakan metode pengajaran (1) metode musyawarah (bahtsul
masa’il), (2) metode pengajian pasaran, (3) metode hafalan
1) Metode Wetonan (halaqah)
Metode yang di dalamnya terdapat seorang Kyai yang
membaca suatu kitab dalam waktu tertentu, sedangkan santrinya
membawa kitab yang sama lalu santri mendengarkan dan menyimak
bacaan kyai. Metode ini dapat dikatakan sebagai proses belajar
mengaji secara kolektif dan metode pengajatan kelompok seperti
memberikan sebuah konstruksi pemikiran dalam mengembangkan
keilmuan yang lebih komprehensip. Dalam metode ini memberikan
kebebasan pada para santri untu bertanya, kritikan ataupun tanggapan
tentang isi dari materi yang diberikan seorang kyai sehingga
kesalahan-kesalahn dalam mengaji sesuatu dapat diminimalisir dengan
beberapa pandangan kyai ataupun santri.
2) Metode Sorogan
Metode ini dapat dikatakan sebagai proses belajar mengajar
individual dan metode ini menekankan pada keaktifan belajar seorang
santri dalam pencarian ilmu pengetahuan yang ingin diketahui dengan
cara menyajikan kitab-kitab kepada kyai untuk dikaji.
Seperti yang dijelaskan oleh Abdurrahman Masud dalam
Nawawi (2004) “Seorang guru yang demokratis”. Anekdot yang
dikemukakan tentang diskusi dengan muridnya menunjukkan bahwa
dia memberi kesempatan kepada muridnya untuk mengungkapkan
pendapat yang berbeda. Tidak seperti pendidikan otoritatif yang
teacher center, Nawawi percaya pada potensi aktif dan keikhlasan
individual.
3) Metode Musyawarah (Bahtsul Masa’il)
Metode musyawarah merupakan metode pembelajaran yang
mirip dengan metode diskusi atau seminar. Beberapa santri dengan
jumlah tertentu membentuk halaqah yang dipimpin langsung oelh kyai
atau ustadz atau mungkin oleh santri senior yang membahas atau
mengkaji suatu persoalan yang telah ditentukan sebelumnya. Dalam
pendapatnya. Dengan demikian metode ini lebih menitik beratkan
pada kemampuan seseorang di dalam menganalisis dan memecahkan
suatu persoalan dengan argumen logika yang mengacu pada kitab-kita
tertentu. Musyawarah dilakukan juga untuk membahas materi-materi
tertentu dari sebuah kitab yang dianggap rumit untuk memahaminya
(Rahman: 1992).
4) Metode Pengajian Pasaran
Metode pengajian pasaran adalah kegiatan belajar para santri
melalui pengkajian materi (kitab) tertentu pada seorang kyai yang
dilakukan oleh sekelompok santri dalam kegiatan yang terus menerus
selama tenggang waktu tertentu. Umumnya dilakukan pada bulan
ramadhan selama setengah bulan, dua puluh hari atau terkadang satu
bulan penuh tergantung pada besarnya kitab yang di kaji. Pengajian
pasaran ini dahulu banyak dilakukan di pesantren tua di Jawa, dan
dilakukan oleh Kya-Kyai senior dibidangnya. Titik beratnya pada
pembecaan bukan pada pemahaman sebagaimana metode bandongan.
Kebanyakan pesertanya justru para ustadz atau para kyai yang datang
dari tempat-tempat lain yang sengaja datang untuk mengikuti
pengajian tersebut. Dengan kata lain pengajian ini lebih banyak untuk
mengambil berkah atau ijazah dari kyai-kyai yang dianggap senior
(Rahman: 1992).
5) Metode Hafalan (Muhafadhah)
Metode hafalan adalah kegiatan belaajar santri dengan
menghafal suatu teks tertentu di bawah bimbingan dan pengawasan
kyai. Para santri diberi tugas untuk menghafal bacaan-bacaan dalam
jangka tertentu. Materi pembelajaran dengan metode hafalan
umumnya berkenaan dengan Al-qur’an, sharaf dan nahwu. Dalam
pembelajaran metode ini seorang santri di beri tugas oleh kyai untuk
menghafal suatu bagian tertentu atau keseluruhan dari suatu kitab
6) Metode Demontrasi (Praktek Ibadah)
Metode demontrasi adalah cara pembelajaran yang dilakukan
dengan memperagakan suatu keterampilan dalam hal pelaksanaan
ibadah tertentu yang dilakukan secara perorangan maupun kelompok.
Dengan mengikuti petunjuk dari para kyai atau ustadz.
B. Tinjauan Tentang Pendidikan Karakter a. Pengertian Pendidikan Karakter
Menurut kamus besar bahasa Indonesia Poerwodarminto,
karakter diartikan sebagai sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti
yang membedakan seseorang dari yang lain. Karakter juga bisa
diartikan sebagai tabi’at yaitu perangai atau perbuatan yang selalu
dilakukan atau disebut kebiasaan. Karakter juga diartikan sebagai
watak, yaitu sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran
dan tingkahlaku atau kepribadian.
Pendidikan karakter menurut Thomas Lickona (1991) adalah
pendidikan untuk membentuk kepribadian seseorang melalui
pendidikan budi pekerti, yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata
seseorang, yaitu tingkahlaku yang baik, jujur bertanggung jawab,
menghormati hak orang lain, kerja keras, dan sebagainya. Sedangkan
menurut Elkind dan Sweet (2004) pendidikan karakter adalah upaya
yang disengaja untuk membantu memahami manusia, peduli dan inti
atas nilai-nilai etis/susila.
Menurut T. Ramli (2003) dalam http://www.mtsnslawi.
sch.id/2011/01/konsep-pendidikan-karakter.html, pendidikan karakter
memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan
pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya
menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang
baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga
negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum
masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan
karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pendidikan
nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya
bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi
muda.
Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang
bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolut) yang bersumber
dari agama yang juga disebut sebagai the golden rule. Pendidikan
karakter dapat memiliki tujuan yang pasti, apabila berpijak dari
nilai-nilai karakter dasar tersebut. Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai-nilai
karakter dasar tersebut adalah cinta kepada Allah dan ciptaan-Nya
(alam dengan isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih
sayang, peduli, dan kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, pantang
menyerah, keadilan dan kepemimpinan, baik dan rendah hati, toleransi,
cinta damai, dan cinta persatuan. Pendapat lain mengatakan bahwa
karakter dasar manusia terdiri dari: dapat dipercaya, rasa hormat dan
perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab, kewarganegaraan, ketulusan,
berani, tekun, disiplin, visioner, adil dan punya integritas. Pendidikan
karakter di pondok pesantren harus berpijak kepada nilai-nilai dasar
karakter dan nilai-nilai dasar agama Islam, yang selanjutnya
dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau lebih tinggi (
yang bersifat absolut atau bersifat relatif) sesuai dengan kebutuhan,
kondisi, dan lingkungan pondok pesantren itu sendiri).
Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala
sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter
peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini
mencakup ketedanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau
menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal
terkait lainnya.
Berkowitz (1998) menyatakan bahwa kebiasaan berbuat baik
(cogntion) menghargai pentingnya nilai karakter (valuing). Karena
mungkin saja perbuatannya tersebut dilandasi oleh rasa takut untuk
berbuat salah, bukan karena tingginya penghargaan akan nilai itu.
Misalnya saja ketika seseorang berbuat jujur, hal itu dilakukannya
karena ia takut dinilai oleh orang lain, bukan karena keinginannya yang
tulus untuk menghargai nilai kejujuran itu sendiri. Oleh sebab itu
pendidikan karakter diperlukan juga aspek perasaan (domain affection
atau emosi).
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman niali-nilai
karakter kepada warga sekolah/pondok pesantren yang meliputi
komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk
melaksanakan nilai-nilai tersebut. Dalam pendidikan karakter di pondok
pesantren, semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan,
termasuk komponen-komponen pendidikan pondok pesantren itu
sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian,
penanganan atau pengelalolaan mata pelajaran, manajemen pondok
pesantren, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan pondok pesantren,
pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan etos kerja seluruh
warga pondok pesantren.
Menurut Bannet (1991) sekolah/pondok pesantren mempunyai
peran yang amat penting dalam pendidikan karakter anak, karena
anak-anak menghabiskan waktu cukup banyak bahkan semua waktunya
berada di pondok pesantren, dan apa yang terekam dalam memori
anak-anak di pesantren akan mempengaruhi kepribadian anak-anak ketika dewasa
kelak. Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu
yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitif), perasaan (feeling) dan
tindakan (action). Menurut Lickona, tanpa ketiga aspek tersebut, maka
pendidikan karakater tidak akan efektif, sejalan apa yang disampaiakan
oleh Suyanto (2010) pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan
pendidikan nasional pasal I UU RI, Sisdiknas Tahun 2003 menyatakan
potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan
akhlak mulia. Amana UU Sisdiknas tersebut dimaksudkan agar
pendidikan tidak hanya membentuk manusia Indonesia yang cerdas
saja, namun juga berkepribadian atau berkarakter yang baik, sehingga
nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan
karakter yang bernafaskan nilai-nilai luhur bangsa dan agama.
b. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Karakter
Pendidikan saat ini merupakan topik yang banyak dibicarakan di
kalangan pendidik. Pendidikan karakter diyakini sebagai aspek penting
dalam peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), karena turut
menentukan kemajuan suatu bangsa. Karakter masyarakat yang
berkualitas perlu dibentuk dan dibina sejak usia dini, karena usia dini
merupakan masa “emas” namun “kritis” bagi pembentukan karakter
seseorang. Untuk itu tepat sekali jika pendidikan karakter menjadi
program prioritas Kemindiknas tahun 2010-2014, yang dituangkan
dalam Rencana Aksi Nasional Pendidikan Karakter (2010): pendidikan
karakter disebutkan sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti,
pendidikan moral, pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan
kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk,
memelihara apa yang baik dan mewujudkan kebaikan itu dalam
kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.
Selanjutnya pendidikan karakter pada intinya bertujuan
membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia,
bermoral, bertoleran, bergotong-royong, berjiwa patriotik, berkembang
dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya
dijiwai oleh iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan
Pancasila.
Adapun fungsi dari pendidikan karakter adalah (1)
menegembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik, dan
yang multikultural, (3) meningkatkan peradaban bangsa yang
kompetitif dalam pergaulan dunia.
c. Langkah-Langkah Pembentukan Karakter
Pembentukan karakter santri, dapat dilakukan melalui
memasukkan konsep karakter pada setiap kegiatan proses
pembelajaran.Selain itu juga dilakukan melalui pembuatan
slogan-slogan yang mampu menumbuhkan kebiasaan baik dalam segala
tingkahlaku masyarakat di pondok pesantren. Dan juga dapat dilakukan
melalui pemantauan perilaku santri secara kontinu, dan pemantauan ini
akan lebih mudah dilakukan apabila santri berada di pondok pesantren.
Memasukkan konsep karakter pada setiap kegiatan proses
pembelajaran, biasa dilakukan dengan cara antara lain:
a) Menanamkan nilai kebaikan kepada anak atau santri (knowing the
good). Menanamkan konsep diri pada santri setiap akan memasuki
pelajaran. Baik itu dalam bentuk janji tentang karakter, maupun
pemahaman tentang makna pada karakter yang akan disampaikan.
b) Menggunakan cara yang membuat anak memiliki alasan atau
keinginan untuk berbuat baik (desiring the good). Memberikan
beberapa contoh i dalam perilaku melalui cerita dengan tokoh-tokoh
yang mudah difahami oleh santri.
c) Mengembangkan sikap mencintai perbuatan baik (loving the good).
Agar santri mengembangkan karakter yang baik, maka ada
penghargaan bagi santri yang membiasakan melakukan kebaikan.
Demikian pula bagi santri yang melakukan pelanggaran, supaya
diberi hukuman yang mendidik.
d) Melakukan perbuatan baik (acting the good). Karakter yang sudah
mulai dibangun melalui konsep diaplikasikan dalam proses
pembelajaran selama di pondok pesantren. Selama itu, juga
memantau perkembangan santri dalam praktek pembangunan
sebagai model. Kyai dan para ustadz akan banyak dilihat oleh santri.
Apa yang dilakukan oleh Kyai dan para ustadz akan di anggap benar
oleh santri. Untuk itulah, Kyai dan para ustadz harus mampu
memberikan contoh yang baik dan positif.
Penanaman nilai-nilai ini, baik nilai relegi, nilai moral, nilai
sosial, dan lain-lain ini dilakukan dengan cara pendampingan ustadz.
Selain sebagai model perilaku sehari-hari dalam bentuk perilaku yang
bisa diteladani, Kyai dan ustadz juga melakukan pemantauan secara
berkelanjutan terhadap perkembangan moral santri. Kyai dan ustadz
juga bisa membangun komunikasi yang efektif dengan orang tua santri
tentang perilaku santri di rumah. Semua itu untuk menyiapkan
santri-santri dalam rangka mengokohkan konsep moral pada diri mereka.
d. Macam-Macam Nilai Dalam Pendidikan karakter
Menurut Doni Koesoema (2010:208) ada beberapa kriteria nilai
yang bisa menjadi bagian dalam kerangka pendidikan karakter yang
dilaksanakan di pondok pesantren. Nilai-nilai ini diambil sebagai garis
besarnya saja, sifatnya terbuka, masih bisa ditambahkan dengan
nilai-nilai yang relevan dengan situasi kelembagaan pendidikan tempat setiap
individu bekerja. Nilai-nilai tersebut antara lain:
a) Nilai Keutamaan. Manusia memiliki keutamaan kalau ia menghayati
dan melaksanakan tindakan-tindakan yang utama, yang membawa
kebaikan bagi diri sendiri dan orang lain dalam konteks Yunani
kuno, misalnya nilai keutamaan ini tampil dalam kekuatan fisik dan
moral. Kekuatan fisik di sini berarti ekselensi, kekuatan, keuletan,
dan kemurahan hati. Kekuatan moral berarti berani mengambil
resiko atas pilihan hidup, konsisten, dan setia.
b) Nilai Keindahan. Pada masa lalu nilai keindahan ini ditafsirkan
terutama pada keindahan fisik, berupa hasil karya seni, patung,
lebih tinggi menyentuh dimensi interioritas manusia itu sendiri yang
menjadi penentu kualitas dirinya sebagai manusia.
c) Nilai Kerja. Jika ingin berbuat adil, manusia harus bekerja. Inilah
prinsip dasar keutamaan Hesiodian. Penghargaan atas nilai kerja
inilah yang menentukan kualitas diri seseorang individu. Menjadi
manusia utama adalah menjadi manusia yang bekerja. Untuk itu
butuh kesabaran, ketekunan, dan jerih payah. Jika lembaga
pendidikan kia tidak menanamkan nilai kerja ini, individu yang
terlibat di dalamnya tidak akan dpat mengembangkan karakter
dengan baik.
d) Nilai Cinta Tanah Air (patriotisme). Pemahaman dan penghayatan
nilai ini banyak bersumber dari gagasan keutamaan yang
diungkapkan oleh Tirteo (1995: 180) “Ideal kepahlawanan homerian
tentang arete telah berubah menjadi cita-cita cinta tanah air, dan sang
penyair menyerambahi semangat ini dalam diri seluruh warga
negara. Apa yang ingin ia ciptakan adalah sebuah rakyat, sebuah
negara yang setiap warganya adalah pahlawan yang setia untuk
membela negaranya sampai titik darah yang terakhir.
e) Nilai Demokrasi. Nilai demokrasi ini mewarisi pendidikan karakter
ala Atenean. Kebebsab berpikir dan menyampaikan pendapat. Nilai
ini merupakan harga mati bagi sebuah masyarakat yang demokratis.
f) Nilai Kesatuan. Dalam konteks berbangsa dan bernegara di
Indonesia, nilai kesatuan ini menjadi dasar pendirian negara ini, yang
tertulis dalam sila ke-3 yaitu persatuan Indonesia.
g) Menghidupi Nilai Moral. Nilai inilah yang oleh Socrates di acu
sebagai sebuah panggilan untuk merawat jiwa, Jiwa inilah yang
menentukan apakah seseorang itu sebgai individu merupakan pribadi
yang baik atau tidak.
h) Nilai-Nilai Kemanusiaan. Apa yang membuat manusia
sungguh-sungguh manusiawi itu merupakan bagian dari keprihatinan setiap