• Tidak ada hasil yang ditemukan

Otonomi Khusus Provinsi Aceh Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006

C. Otonomi Khusus Provinsi Aceh

3. Otonomi Khusus Provinsi Aceh Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006

a. Otonomi Khusus Provinsi Aceh Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001.

Berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan pada masa lalu yang menitik beratkan pada sistem terpusat (sentralisasi) dipandang sebagai sumber bagi munculnya ketidakadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Momentum reformasi di Indonesia memberi peluang bagi timbulnya pemikiran-pemikiran baru untuk menyuarakan perubahan, yang selama masa orde baru hak mengeluarkan pendapat dikekang oleh rezim Soeharto dengan kekuatan militer.

Terbukanya kesempatan menyuarakan aspirasi memunculkan pergolakan masyarakat di Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang dimanifestasikan dalam berbagai bentuk reaksi dalam menyuarakan perubahan, baik melalui jalur politik maupun gerakan perlawanan dengan mempergunakan kekuatan bersenjata (separatis).

Kondisi demikian memaksa pemerintah untuk mengambil langkah-langkah politik dalam menyelesaikan konflik yang timbul di Provinsi Aceh, yaitu:

a. Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 1999 telah mengamanatkan dalam Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999, antara lain memberikan Otonomi Khusus kepada Provinsi Daerah Istimewa Aceh.

b. Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 2000 telah dilakukan perubahan kedua terhadap Undang-Undang Dasar 1945, antara lain Pasal 18B ayat (1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-Undang.

c. Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2000 telah merekomendasikan dalam Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/2000, agar Undang-Undang tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh dapat dikeluarkan selambat-lambatnya bulan Mei 2001.

Berlandaskan hal tersebut, maka Provinsi Daerah Istimewa Aceh dipandang perlu untuk mendapatkan kesempatan menyelenggarakan pemerintahan daerah dalam bentuk otonomi khusus melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001. Undang-Undang ini pada prinsipnya mengatur kewenangan pemerintahan di Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang merupakan kekhususan dari kewenangan pemerintahan daerah, selain sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Hal mendasar dari Undang-Undang ini sebagaimana tercantum dalam penjelasan umum adalah pemberian kesempatan yang lebih luas untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri termasuk sumber-sumber ekonomi, menggali dan memberdayakan sumber daya alam dan sumber daya manusia, menumbuhkembangkan prakarsa, kreativitas dan demokrasi, meningkatkan peran serta masyarakat, menggali dan mengimplementasikan tata bermasyarakat yang sesuai dengan nilai luhur kehidupan masyarakat Aceh, memfungsikan secara optimal Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam memajukan penyelenggaraan pemerintahan dan mengaplikasikan syariat Islam.

Undang-Undang otonomi khusus Provinsi Aceh menempatkan titik berat otonomi khusus pada Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang pelaksanaannya diletakkan pada daerah Kabupaten (Sagoe) dan Kota (Banda) secara proporsional. Kekhususan ini merupakan peluang yang berharga untuk melakukan penyesuaian struktur, susunan, pembentukan, dan penamaan pemerintahan di tingkat lebih bawah yang sesuai dengan jiwa dan semangat berbangsa dan bernegara yang hidup dalam nilai-nilai luhur masyarakat Aceh, dengan susunan daerah menjadi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Kabupaten (Sagoe) dan Kota (Banda), Kecamatan (Sagoe Cut), Mukim80, dan Gampong (Pasal 2).

80 Mukim adalah kesatuan masyarakat hukum dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang terdiri atas gabungan beberapa gampong (desa) yang mempunyai batas wilayah tertentu dan harta

Skema 1

Susunan Daerah Aceh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Kabupaten (sagoe)/Kota (banda)

Kecamatan (sagoe cut)

Mukim

Gampong

Selain itu dibentuknya lembaga Wali Nanggroe dan Tuha Nanggroe yang merupakan simbol bagi pelestarian penyelenggaraan kehidupan adat, budaya, dan pemersatu masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Pasal 10), serta dibentuknya Mahkamah Syari’ah yang merupakan peradilan Syariat Islam sebagai bagian sistem peradilan Nasional (Pasal 25).

Untuk melaksanakan berbagai kewenangan dalam rangka kekhususan Provinsi Aceh, oleh pemerintah diberikan sumber keuangan termasuk tambahan penerimaan dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus, yaitu tambahan penerimaan dari hasil sumber daya alam (setelah dikurangi pajak)

kekayaan sendiri, berkedudukan langsung di bawah kecamatan (Sagoe Cut) yang dipimpin oleh Imum Mukim.

sebesar 55% (lima puluh lima persen) untuk pertambangan minyak bumi dan sebesar 40% (empat puluh persen) untuk pertambangan gas alam selama delapan tahun. Mulai tahun kesembilan menjadi 35% (tiga puluh lima persen) untuk pertambangan minyak bumi dan sebesar 20% (dua puluh persen) untuk pertambangan gas alam (Pasal 4 ayat (4).

b. Otonomi Khusus Provinsi Aceh Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006.

Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005, menandakan kilas baru sejarah perjalanan Provinsi Aceh menuju keadaan yang damai, adil, makmur, sejahtera, dan bermartabat.

Hal yang patut dipahami bahwa Nota Kesepahaman adalah suatu bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, dan politik di Provinsi Aceh secara berkelanjutan.81

Metode pendekatan penyelesaian konflik yang berbeda sebagai dasar dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, sangat berpengaruh terhadap sisi-sisi pengaturan kewenangan yang diberikan dalam pelaksanaan otonomi khusus. Solusi politik yang diambil secara sepihak oleh pemerintah dengan dikeluarkannya

81 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 memberikan kekuasaan penuh bagi pemerintah untuk mengatur dan menentukan kewenangan khusus yang akan diberikan.

Berbeda halnya dengan solusi politik yang mendasari dibentuknya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, di mana solusi politik diambil berdasarkan perundingan antara Pemerintah dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dituangkan dalam Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding). Adanya perundingan menimbulkan konsekuensi persetujuan bersama dan kekuatan yang berimbang dalam menentukan pengaturan kewenangan khusus yang akan diberikan.

Irwandi Yusuf menyatakan:

Pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh sebagai konsekuensi dari Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) merupakan sebuah win-win solution bagi penyelesaian masalah Aceh. Oleh karena itu, diharapkan kepada kedua belah pihak untuk dapat menjaga dan menghormati pelaksanaannya demi terciptanya kedamaian dan terwujudnya kesejahteraan yang berkeadilan di Aceh.82

Pada dasarnya, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 mengakomodir Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001, antara lain daerah Aceh masih terbagi atas Kabupaten/Kota, Kecamatan, Mukim, dan Gampong, lembaga Wali Nanggroe dan Tuha Nanggroe yang merupakan simbol bagi pelestarian penyelenggaraan kehidupan adat, budaya, dan pemersatu

82 Hasil wawancara dengan Irwandi Yusuf (Gubernur Aceh), pada hari Senin, tanggal 3 Mei 2010, pukul 11.23 Wib.

masyarakat di Provinsi Aceh, Mahkamah Syari’ah yang merupakan peradilan Syariat Islam sebagai bagian sistem peradilan Nasional, dan pemberian dana pelaksanaan otonomi khusus.

Selain itu kepada Provinsi Aceh diberikan kewenangan-kewenangan lainnya, seperti:

a. Dapat dibentuknya Partai Politik Lokal sebagai organisasi politik yang dibentuk sekelompok warga negara Indonesia yang berdomisili di Aceh (Pasal 75-88);

b. Hubungan Internasional. Pemerintah Aceh dapat mengadakan kerja sama dengan lembaga atau badan luar negeri kecuali yang menjadi kewenangan pemerintah, berpartisipasi secara langsung dalam kegiatan seni, budaya, dan olah raga internasional. Dalam naskah kerjasama dicantumkan frasa Pemerintah Aceh sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 9);

c. Pembentukan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) selaku mitra Pemerintah Daerah yang berfungsi menetapkan fatwa yang dapat menjadi pertimbangan terhadap kebijakan pemerintahan daerah dalam bidang Pemerintahan, Pembangunan, pembinaan masyarakat, dan ekonomi (Pasal 138);

d. Penyelenggaraan Telekomunikasi dan Informatika (Pasal 151);

e. Pengelolaan sumber daya alam meliputi perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan dan pengawasan kegiatan usaha berupa eksplorasi,

eksploitasi, dan budidaya di bidang pertambangan yang terdiri atas pertambangan mineral, batu bara, panas bumi, kehutanan, pertanian, perikanan dan kelautan (Pasal 156-170);

f. Tenaga Kerja (Pasal 174), g. Kependudukan (Pasal 211),

h. Pertanahan (Pasal 213) dimana Pemerintah Aceh dan/atau Pemerintah Kabupaten/Kota berwenang mengatur dan mengurus peruntukan, pemanfaatan dan hubungan hukum berkenaan dengan hak atas tanah termasuk memberikan hak guna bangunan dan hak guna usaha;

i. Pendidikan (Pasal 215);

j. Kebudayaan (Pasal 221);

k. Sosial (Pasal 223);

l. Kesehatan (Pasal 224);

m. Hak Asasi Manusia (Pasal 227);

n. Bendera, Lambang, dan Himne (Pasal 246-248);

Dokumen terkait