• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. Otonomi Khusus Provinsi Aceh

2. Sejarah Otonomi Khusus Provinsi Aceh

Secara garis besar, Provinsi Aceh terdiri dari 23 (dua puluh tiga) Kabupaten/Kota, dengan titik koordinat 2 – 6 Lintang Utara dan 95 – 98 Bujur Timur dengan luas wilayah + 57.365,57 KM dan jumlah penduduk 4.384.077 (empat juta tiga ratus delapan puluh empat ribu tujuh puluh tujuh) jiwa. Daerah Aceh mempunyai batas-batas :

a. sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka;

b. sebelah selatan berbatasan dengan Provinsi Sumatera Utara;

c. sebelah timur berbatasan dengan Selat Malaka; dan

d. sebelah barat berbatasan dengan Samudera Indonesia.72

Sejarah panjang keberadaan masyarakat Aceh dibumi nusantara, memperlihatkan bahwa kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di daerah Aceh telah mampu menata kehidupan kemasyarakatan yang unik, egaliter dan berkesinambungan dalam menyikapi kehidupan duniawi dan ukhrawi.

Sebuah semboyan kehidupan bermasyarakat telah menjadi pegangan umum masyarakat Aceh, yakni “Adat bak po teumeureuhom, Hukom bak Syiah Kuala, Qanun bak Putro Phang, Reusam bak Laksamana“ yang bila diartikan “ Adat dari Sultan (pemimpin), Hukum dari Ulama, Peraturan dari Putri Pahang (mahkamah Rakyat), Diplomasi dan etika dari Panglima”.73 Hal ini masih dapat diartikulasikan dalam persfpektif modern bernegara serta mengatur pemerintahan yang demokratis dan bertanggungjawab dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, di Aceh terbentuk gerakan perlawanan menghadapi tentara Belanda (membonceng sekutu) yang ingin berkuasa kembali di Republik Indonesia, yaitu dengan menghimpun segala organisasi berbasis kekuatan rakyat, untuk dilatih sebagai pasukan keamanan guna mengantisipasi pasukan Belanda yang akan masuk ke Aceh dibawah pimpinan Tengku Muhammad Daod Bereueh sebagai Gubernur militer di Aceh, Langkat dan Tanah Karo.

72 Aceh Dalam Angka 2008, Pemerintah Aceh.

73 Muhammad Umar, Peradaban Aceh, JKMA, hlm.76

Disebabkan Aceh tidak dapat diduduki Belanda, maka keberadaan Negara Republik Indonesia masih diakui oleh dunia Internasional. Pada awalnya setelah penyerahan kekuasaan dari Belanda kepada Republik Indonesia tahun 1949, Aceh adalah sebagai salah satu Provinsi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, tetapi pada tahun 1950 Provinsi Aceh disatukan dengan Provinsi Sumatera Utara dan dijadikan Keresidenan Aceh.

Bagi pejuang Aceh, dengan dijadikannya Aceh sebagai Karesidenan, para pejuang tersebut merasa kecewa kepada pemerintah Republik Indonesia dan juga pelaksanaan Syariat Islam yang dijanjikan tidak pernah direalisasikan oleh Pemerintah Pusat. Maka pada tahun 1953 dibawah pimpinan Tengku Muhammad Daod Bereueh mengumumkan bahwa Aceh sebagai Negara Bagian dari Republik Indonesia, yaitu Negara Bahagian Aceh, dengan nama Darul Islam (DI) dan tentaranya diberi nama Tentara Islam Indonesia (TII) yang dikenal dengan pemberontakan DI-TII.74

Pada tahun 1959, Pemerintah Pusat mengutus Mr. Hardi untuk melakukan perundingan dengan Tengku Muhammad Daod Bereueh yang terkenal dengan nama MISI HARDI. Perundingan tersebut mengambil kesepakatan, antara lain:

1. Aceh diberikan keistimewaan di bidang Agama dan menjalankan Syariat Islam;

2. Keistimewaan di bidang Pendidikan;dan

74 Muhammad Umar, op.cit, hlm.63

3. Keistimewaan di bidang adat istiadat.75

Setelah perundingan selesai dan dibentuk Provinsi Daerah Istimewa Aceh, namun pelaksanaan ketiga hak istimewa yang dijanjikan tidak pernah diwujudkan oleh Pemerintah Pusat. Keadaan tersebut menimbulkan kekecewaan kembali bagi masyarakat dan para pejuang Aceh.

Selain itu, pada tahun 1967 di Lhok Seumawe (Aceh Utara) ditemukan ladang gas alam (LNG) yang kemudian dikelola oleh PT. Arun. Sejak itu pula timbul masalah baru karena para pekerja PT. Arun didominasi oleh pekerja dari luar Aceh, dengan alasan orang Aceh belum siap sumber daya manusianya yang menimbulkan kecemburuan sosial bagi masyarakat Aceh. Kedua hal tersebut kembali menimbulkan pergolakan di Aceh dengan di proklamirkan berdirinya Negara Aceh Merdeka (AM) oleh Muhammad Hasan Tiro pada tahun 1976.

Untuk mengantisipasi pemberontakan Aceh Merdeka, pemerintah Republik Indonesia memberlakukan operasi militer di tiga Kabupaten, yaitu Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Timur. Melihat sistem pelaksanaan operasi militer tersebut telah banyak menelan korban di pihak Aceh Merdeka, maka sistem perjuangan dirubah menjadi sistem gerilya dan nama Aceh Merdeka di rubah menjadi Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Akhirnya pada tahun 1999, Pemerintah mengambil solusi politik dalam menyelesaikan konflik berkepanjangan di Aceh dengan melaksanakan penyelenggaraan Keistimewaan bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh berdasarkan

75 Ibid, hal.63

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999.76 Keistimewaan yang diberikan terhadap 4 (empat) bidang, yaitu bidang Agama dan menjalankan syari’at Islam, Bidang Pendidikan, Bidang Adat Istiadat dan Peran ulama.

Dalam perjalanan penyelenggaraan keistimewan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, dipandang kurang memberikan kehidupan didalam keadilan atau keadilan dalam kehidupan. Kondisi demikian belum dapat mengakhiri pergolakan masyarakat di Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang dimanifestasikan dalam berbagai bentuk reaksi dan gerakan pemberontakan dibawah bendera Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Pemberontakan GAM tidak berakhir dikarenakan Pemerintah mengambil solusi politik sepihak tanpa melakukan perundingan.

Pemberontakan yang dilakukan oleh Gerakan Aceh Merdeka kembali diantisipasi oleh pemerintah dengan menggunakan kekuatan militer sehingga menimbulkan banyaknya korban berjatuhan dipihak GAM dan masyarakat tidak berdosa.

Puncak reaksi masyarakat Aceh dilakukan dengan mengajukan tuntutan reperendum77 pada tanggal 28 November 1999 di halaman Mesjid Raya Baiturrahman Banda Aceh yang dihadiri jutaan masyarakat dari berbagai pelosok dalam wilayah Aceh, dengan tuntutan pelaksanaan referendum untuk menentukan Aceh sebagai bagian Negara Republik Indonesia atau berpisah dari Negara Republik Indonesia.78

76 Penjelasan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

77 Referendum dimotori oleh Sentral Informasi Rakyat Aceh (SIRA).

78 Muhammad Umar, op. cit, hlm.65

Respon Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat terhadap keinginan referendum dari masyarakat Aceh, memaksa pemerintah mengambil salah satu solusi politik bagi penyelesaian persoalan Aceh dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2001 yang mengatur penyelenggaraan otonomi khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.79

Dalam pelaksanaannya, Undang-Undang tersebut juga belum cukup memadai dalam menampung aspirasi kepentingan pembangunan ekonomi dan keadilan politik di Aceh. Walaupun Undang-Undang Otonomi Khusus sudah disahkan namun api perjuangan para pejuang Aceh di bawah bendera GAM tidak serta merta padam dan terus berlanjut, dikarenakan sekali lagi Pemerintah mengambil solusi politik sepihak yang merendahkan martabat para pejuang Aceh.

Puncak kehancuran dan hikmah bagi Aceh adalah dengan terjadinya gempa bumi dan gelombang tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 yang meluluh lantakkan bumi Aceh. Kejadian tersebut, memberikan hikmah dan hidayah kepada pihak Pemerintah dan GAM untuk melakukan perdamaian dengan menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) di Helsinky (Finlandia) pada tanggal 15 Agustus 2005. Atas Nota Kesepahaman tersebut, Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang memberikan Otonomi Khusus bagi Provinsi Aceh.

79 Penjelasan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

3. Otonomi Khusus Provinsi Aceh Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18

Dokumen terkait