• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II OTONOMI KHUSUS PROVINSI ACEH DALAM SISTEM OTONOMI DI INDONESIA. terjadi jauh sebelum Negara Indonesia merdeka, khususnya pada masa penjajahan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II OTONOMI KHUSUS PROVINSI ACEH DALAM SISTEM OTONOMI DI INDONESIA. terjadi jauh sebelum Negara Indonesia merdeka, khususnya pada masa penjajahan"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

OTONOMI KHUSUS PROVINSI ACEH DALAM SISTEM OTONOMI DI INDONESIA

A. Sejarah Otonomi Daerah di Indonesia

Penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah sesungguhnya telah terjadi jauh sebelum Negara Indonesia merdeka, khususnya pada masa penjajahan Belanda. Pondasi awal desentralisasi pada masa penjajahan belanda diatur dalam Regering Reglement (RR)32 yang ditetapkan pada tahun 1854. Peraturan ini menegaskan bahwa di Hindia Belanda tidak dikenal adanya desentralisasi karena sistem yang digunakan adalah sentralisasi, namun disamping sentralisasi diperkenalkan juga dekonsentrasi. Dengan adanya dekonsentrasi, kawasan Hindia Belanda di bentuk wilayah-wilayah administratif yang diatur secara hierarkis mulai Gewest (residentie), Afdeling, Distric, dan Onderdistric.

Selanjutnya pada tahun 1903, oleh Pemerintah Belanda ditetapkan Decentralisatie Wet33 pada tanggal 23 Juli 1903 yang diundangkan dalam Staatsblad Tahun 1903 Nomor 329. Decentralisatie Wet pada dasarnya memuat ketentuan dari Regering Reglement tahun 1854 ditambah beberapa pasal baru yang memungkinkan adanya daerah otonom (gewest) yang memiliki kewenangan

32 Regering Reglement sebutan lazim dari Reglement op het beleid der regering van Nederlandsch-Indie, Stbl. 1854 No. 129 yang ditetapkan pada tanggal 2 September 1854. Lihat Jimly Asshiddiqie, op.cit, hlm.397

33 Decentralisatie Wet sebutan lazim dari Wet van Houdende Decentralisatie van het Bestuur in Nederlandsch-Indie.

(2)

mengurus keuangan sendiri. Daerah-daerah yang dibentuk dipimpin oleh petinggi-petinggi Belanda yang ditunjuk oleh Pemerintah Belanda.

Kemudian pada tahun 1925 Pemerintah Belanda mengeluarkan Wet op de Staatsinrichting van Nederlands-Indie yang biasa disebut Indische Staatsregeling (IS). Aturan ini mulai melibatkan orang Indonesia dalam badan-badan pemerintahan, khususnya para kaum ningrat. Untuk melaksanakan Indische Staatsregeling (IS) tersebut, dikeluarkan dua peraturan baru, yaitu Regentschap ordonatie dan Provincies ordonantie. Melalui kedua peraturan tersebut, kawasan Jawa dan Madura mulai dibagi dalam beberapa Provincies (setara dengan provinsi), Regent (setara dengan karesidenan) dan Stad (setara dengan kabupaten/kotamadya).

Kawasan di luar Jawa, pada tahun 1937 diberlakukan Groepgemeenschap ordonantie dan Stadgemeente ordonantie Buittengewesten. Pemerintahan lokal yang dibentuk berdasarkan peraturan sebelumnya tetap dipertahankan tetapi dibawahnya dibentuk beberapa Groeps (setara karesidenan) dan Stad (setara kabupaten/kotamadya). Dalam sistem ini mulai diterapkan konsep desentralisasi yang disebut otonomi daerah. Otonomi dalam konsep ini adalah hak untuk membantu pelaksanaan pemerintah pusat, sementara kepala daerah adalah “orang pusat di daerah” yang sekaligus memegang jabatan tertinggi di daerah dan diawasi oleh Gubernur Jenderal.34

34 Ahmad Yani, Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 8-9

(3)

Ketika Jepang masuk ke Indonesia tahun 1942, konsep yang sudah dibentuk oleh pemerintah Hindia Belanda tidak dipakai lagi. Pemerintah Jepang menghapuskan sistem desentralisasi dengan menerapkan sistem sentralisasi penuh melalui kekuasaan militer sebagai sentralnya.

Setelah kemerdekaan, sejarah perkembangan otonomi daerah di Indonesia mengalami pasang surut dari waktu ke waktu sejalan dengan adanya konfigurasi politik yang mewarnai proses terciptanya suatu undang-undang pemerintahan daerah yang representatif dan aktual.

Sejak kemerdekaan sampai saat ini, proses desentralisasi dengan distribusi kekuasaan/kewenangan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintahan Daerah selalu bergerak dan berubah-ubah dari satu titik ke titik lain dengan bobot kekuasaan yang berpindah-pindah mengikuti perubahan sistem politik (rezim) dalam memandang visi tentang kebangsaan.35

Konsep otonomi daerah yang selalu bergerak pada titik keseimbangan yang berbeda, mempengaruhi jalannya pemerintahan di daerah. Perbedaan itu sangat jelas terlihat dengan menggunakan konsep bandul yang selalu bergerak secara simetris pada dua sisi, yaitu Pusat dan Daerah. Dengan kata lain bahwa pada suatu waktu bobot kekuasaan terletak pada Pemerintah Pusat dan pada kesempatan lain bobot kekuasaan berada pada Pemerintah Daerah.36

35 J. Kaloh, op.cit, hlm 15 36 Ibid, hlm 16

(4)

Gambar 1

Bobot Kekuasaan Pemerintahan

Sentralisasi Desentralisasi

Kondisi yang demikian ini disebabkan karena dua hal, pertama, karena pengaturan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, yang sejak kemerdekaan hingga sekarang telah memiliki 7 (tujuh) Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, antara lain Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, Penetapan Presiden (PANPRES) Nomor 6 Tahun 1959, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.

Jika kita cermati secara analitis, terlihat bahwa titik berat bobot kekuasaan ternyata berpindah-pindah pada masing-masing kurun waktu berlakunya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah tersebut37. Kedua, di sebabkan adanya perbedaan interpretasi dan implementasi terhadap Undang-

37 UU No. 1 Tahun 1945 bobot kekuasaan pada pemerintah pusat (sentralisasi), UU No.22 Tahun 1948 bobot kekuasaan pada pemerintah daerah (desentralisasi), UU No. 1 Tahun 1957 bobot kekuasaan pada pemerintah daerah (desentralisasi), Penpres No. 6 Tahun 1959 bobot kekuasaan pada pemerintah pusat (sentralisasi), UU No. 18 Tahun 1965 bobot kekuasaan pada pemerintah daerah (desentralisasi), UU No. 5 Tahun 1974 bobot kekuasaan pada pemerintah pusat (sentralisasi), UU No.

22 Tahun 1999 bobot kekuasaan pada pemerintah daerah (desentralisasi), UU No. 32 Tahun 2004 bobot kekuasaan pada pemerintah daerah (desentralisasi).

(5)

Undang tentang Pemerintahan Daerah yang disebabkan oleh kepentingan penguasa pada masa berlakunya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah.38

Perjalanan panjang sejarah pemerintahan sebelum proklamasi dan setelah proklamasi, menjadi masukan yang sangat berarti untuk melahirkan pemerintahan daerah yang kuat dan stabil dari kepentingan politis, atau karena konflik kepentingan antara eksekutif dan legislatif, maupun karena tarik-menarik kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.

Meskipun pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda telah timbul pelaksanaan otonomi daerah, namun karena pada waktu itu Negara Indonesia belum terbentuk, maka sejarah panjang otonomi daerah di Indonesia dapat dikategorikan dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu era kemerdekaan, era Orde Baru, dan era Reformasi.

1. Otonomi Daerah di Era Kemerdekaan

Proklamasi kemerdekaan Negara Republik Indonesia oleh Sukarno dan Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta, merupakan babak baru bagi terbentuknya negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat, memberikan konsekuensi logis bagi negara Indonesia untuk membentuk sistem pemerintahan yang akan di jalankan. Oleh karena itu, pada tanggal 18 Agustus 1945 dalam sidang Panitia Persiapan

38. J. Kaloh, op.cit, hlm.2

(6)

Kemerdekaan Indonesia (PPKI) disepakati untuk mensahkan UUD yang dikenal dengan UUD 1945. Dalam Konstitusi tersebut diakui adanya otonomi dalam sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia, khususnya dalam Pasal 18 UUD 1945, yaitu:

Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”.

Lebih lanjut dijelaskan dalam penjelasan Pasal 18 yang terdiri dari 2 (dua) bagian, yaitu:39

I. Oleh karena Negara Indonesia itu suatu eenheidstaat, maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat staat juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi dan daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil. Di daerah-daerah yang bersifat otonom (streek and locale rechtsgemeenschappen) atau bersifat daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang- undang.

II. Dalam territorial Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landschappen dan volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut.

Isi pasal 18 beserta penjelasannya merupakan acuan dan dasar bagi pemerintah untuk mengatur sistem otonomi daerah dengan pola pengaturan yang mensinergikan hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah, maupun antar pemerintahan daerah.

39 Penjelasan UUD ini hanya terdapat di dalam naskah UUD yang asli, sedangkan dalam Amandemen UUD, penjelasan tersebut ditiadakan dengan memasukkan substansi yang penting ke dalam pasal dan ayat tertentu.

(7)

Pada era kemerdekaan (1945-1965) sebagai babak awal baru bagi terbentuknya pemerintahan daerah, oleh pemerintah telah dikeluarkan beberapa kebijakan tentang otonomi daerah yang diawali dengan dikeluarkannya Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1945, kemudian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, Ketetapan Presiden (PANPRES) Nomor 6 Tahun 1959, dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965.

a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945

Sejalan dengan proklamasi kemerdekaan Negara Republik Indonesia dan ditetapkannya UUD 1945, yang dalam Pasal 18 mengamanahkan pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahan ditetapkan dengan Undang-Undang, maka pada tanggal 19 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menetapkan pembagian daerah Negara Republik Indonesia menjadi 8 (delapan) Provinsi yang masing-masing dikepalai oleh seorang Gubernur, yaitu:

Jawa Barat (Mas Soetardjo Karrohadikusumo), Jawa Tengah (R.P.

Soeroso), Jawa Timur (R.M.T.A. Soeryo), Sumatera (Mr. Teuku Muhammad Hasan), Kalimantan (Ir. Pangeran Muhammad Nur), Sulawesi (dr. G.S.S.J. Ratu Langie), Sunda Kecil (Mr. I Gusti Ketut Pudja), dan Maluku (Mr. J. Latuharhary). Daerah Propinsi dibagi lagi dalam Karesidenan yang dikepalai oleh seorang Residen.40

40 Yohanis Anton Raharusun, Op.cit, hlm.130

(8)

Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dalam Pasal IV Aturan Peralihan juga mengamanahkan agar dibentuk suatu Komite Nasional sebelum terbentuknya lembaga MPR, DPR, dan DPA guna membantu Presiden dalam menjalankan roda pemerintahan. Atas dasar hal tersebut, Wakil Presiden Mohd. Hatta pada tanggal 16 Oktober 1945 mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden Nomor X yang menyatakan bahwa Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) diserahi kekuasaan legislatif dan tugasnya sehari-hari dijalankan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP).

Dengan dibaginya Negara Republik Indonesia menjadi 8 (delapan) daerah Propinsi dan Karesidenan, maka untuk terselenggaranya penyelenggaraan pemerintahan daerah tersebut dibentuklah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) yang diundangkan pada tanggal 23 November 1945. Undang-undang ini merupakan kebijakan formal pertama yang melandasi semangat otonomi daerah di Indonesia dengan maksud untuk mengadakan lembaga legislatif lokal yang bernama Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) guna mendampingi Kepala Daerah dalam menjalankan pemerintahan di daerah.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 menegaskan keberadaan Komite Nasional Daerah yang berkedudukan di Karesidenan (Kabupaten/Kota sekarang) sebagai Badan Permusyawaratan Rakyat Daerah (BPRD) atau

(9)

pemegang kekuasaan legislatif lokal yang bertugas mengatur urusan rumah tangga daerah bersama-sama dengan dan dipimpin oleh Kepala Daerah.41

Bila ditinjau Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945, tampak jelas bobot kekuasaan berada pada pemerintah pusat, sedangkan desentralisai yang diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah-daerah otonom adalah desentralisasi politik, khususnya aspek kekuasaan legislatif lokal.

Desentralisasi administrasi dan desentralisasi fiskal belum diatur sama sekali, bahkan bentuk dan susunan daerah belum ditetapkan termasuk pengaturan daerah istimewa.42

Hal ini disadari sepenuhnya oleh para pembentuk undang-undang akan segala kekurangan dan ketidaklengkapan undang-undang tersebut, sebagaimana dinyatakan secara eksplisit di dalam penjelasan umumnya bahwa Peraturan ini tidak sempurna dan tentu tidak akan memberikan kepuasan sepenuhnya, karena harus diadakan dengan cepat sekedar mencegah kemungkinan kekacauan.

Selain itu di dalam konsideran juga dinyatakan, kehadiran undang- undang ini hanyalah untuk sementara waktu, terutama sebelum diadakan pemilu. Namun, dapatlah dikatakan bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun

41 KND yang belum dipilih melalui pemilu ini tidak dapat berjalan sendiri, tetapi dipimpin oleh Kepala Daerah (bukan anggota) sehingga tidak punya hak suara. Meskipun kondisi tersebut tidak ideal bagi suatu badan legislatif, tapi realitas ini dapat dimengerti demi kelancaran pemerintahan daerah pada masa itu.

42 Yohanis Anton Raharusun, op.cit, hlm.132

(10)

1945 memberikan konstribusi dalam meletakkan fundamen awal terbentuknya badan legislatif lokal dan menanamkan tradisi otonomi daerah.

b. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948

Pembentukan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 yang dilakukan secara cepat dengan materi pengaturan yang sangat sederhana (hanya terdiri dalam 6 pasal), menimbulkan banyak kesulitan dalam pelaksanaannya, terutama karena dominannya peran Kepala Daerah yang tidak saja sebagai kepala pemerintahan akan tetapi juga selaku pimpinan KND (BPRD).

Dominannya peran Kepala Daerah, mengakibatkan mandulnya peran KND (BPRD) selaku badan legislatif dan menjadikan kurang harmonisnya hubungan keduanya. Karena itu, pada tanggal 10 Juli 1948 oleh pemerintah ditetapkan Udang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 yang mengatur pokok- pokok pemerintahan di daerah.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 terdiri atas V Bab dan 47 Pasal yang dilengkapi dengan penjelasan umum dan penjelasan pasal per pasal dengan rincian, Bab I mengatur tentang pembagian daerah otonom, Bab II mengatur tentang bentuk dan susunan pemerintahan daerah, Bab III mengatur tentang kekuasaan dan kewajiban pemerintahan daerah, Bab IV mengatur tentang keuangan daerah, dan Bab V mengatur tentang pengawasan terhadap daerah.

(11)

Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 ditegaskan bahwa daerah dalam Negara Republik Indonesia tersusun dalam 3 (tiga) tingkatan, yaitu: provinsi, kabupaten (kota besar) dan desa, nagari, marga, gampong dan sebagainya yang disebut swatantra (menyelenggarakan pemerintahan sendiri).

Masing-masing daerah tersebut dinamakan Daerah Tingkat I, Daerah Tingkat II, dan Daerah Tingkat III.

Secara yuridis-fungsional pemerintahan atau wilayah hukum penyelenggaraan administrasi pemerintahan, wilayah nasional Republik Indonesia dibagi secara hierarkis dan horizontal atas wilayah nasional sebagai wilayah hukum pemerintahan pusat, wilayah provinsi sebagai wilayah hukum pemerintahan provinsi, setiap wilayah provinsi dibagi atas wilayah kabupaten (kota besar), dan wilayah kabupaten (kota besar) dibagi atas wilayah yang disebut desa, nagari, marga dan lain-lain.

Tingkatan daerah swatantra dilatar belakangi oleh pemikiran pembentuk undang-undang, sebagaimana dimuat dalam penjelasan umum tentang empat persoalan penting. Persoalan pertama mengenai apakah suatu urusan adalah urusan pusat atau urusan daerah, Kedua mengenai keberagaman kesatuan masyarakat hukum dan bahwa urusan otonomi tidak kongruen dengan urusan hukum adat, Ketiga mengenai Kepala Daerah yang harus dipilih secara langsung oleh rakyat daerah yang bersangkutan, tetapi harus pula mendapat pengesahan dari pemerintah, Keempat mengenai pengawasan,

(12)

maksudnya bahwa Pemerintah Pusat pada intinya mengawasi DPRD dan DPD baik produk-produk hukumnya maupun tindakan-tindakannya.43

Penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 telah bersifat kolegial, dimana masalah pemerintahan tidak lagi diputuskan secara tunggal oleh BPRD yang dipimpin oleh Kepala Daerah, akan tetapi diputuskan oleh DPRD dan DPD.

Pemerintahan daerah terdiri atas DPRD dan DPD, dimana para anggota DPD dipilih oleh dan dari anggota-anggota daerah yang diangkat oleh Presiden untuk Provinsi dan oleh Menteri Dalam Negeri untuk Kabupaten (kota besar) atau oleh Kepala Daerah Provinsi untuk desa.

Aturan tersebut ditujukan demi tegaknya kedaulatan rakyat dan berjalan lancarnya roda pemerintahan di daerah, selain itu agar dualisme pemerintahan daerah seperti dianut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tidak terjadi lagi dimana pemerintah daerah yang berdasarkan BPRD dan pemerintah daerah yang dijalankan oleh Kepala Daerah sendiri termasuk posisi kepala daerah sebagai pimpinan BPRD.44

Sejalan dengan tujuan menegakkan kedaulatan rakyat dan untuk berjalan lancarnya roda pemerintahan di daerah, oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 diberikan kewenangan sebanyak-banyaknya kepada daerah otonom baik secara penuh (hak otonomi) maupun secara tidak penuh (hak

43 Memori Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 ad.1, ad. 2, ad. 3, dan ad.

4. Lihat juga Jimly Asshiddiqie, op.cit. hlm.401

44 Lihat Pasal 2 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948.

(13)

medebewind) guna mengatur dan mengurus sendiri rumah tangganya. Bahkan hak medebewind itu dapat diserahkan lagi oleh pemerintah daerah provinsi kepada daerah otonom yang lebih rendah melalui peraturan daerah. Agar kewenangan yang diserahkan dapat dijalankan dengan baik, kepada daerah otonom diberikan sumber-sumber pendapatan, pajak negara yang diserahkan kepada daerah, dan lain-lain pendapatan seperti pinjaman dan subsidi. Selain itu, daerah-daerah diwajibkan pula memiliki APBD.

Menurut Amarah Muslimin:

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 mengandung prinsip:

a. Penghapusan perbedaan cara pemerintahan di Jawa dan Madura dengan daerah luar bisa disatukan, atau uniformitas pemerintahan daerah di seluruh Indonesia;

b. Membatasi tingkatan badan-badan pemerintahan daerah sedikit mungkin, yaitu provinsi, kabupaten atau kota besar, dan tingkatan terendah yang belum ditentukan namanya karena namanya berbeda-beda bagi daerah-daerah;

c. Penghapusan dualisme pemerintahan daerah; dan

d. Pemberian hak otonomi dan medebewind seluas-luasnya kepada badan-badan pemerintahan daerah yang tersusun secara demokratis (collegial bestuur) atas dasar permusyawaratan.45

Bila kita lihat secara eksplisit terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, dapat dikatakan bahwa undang-undang tersebut telah mencakup hampir seluruh segi desentralisasi, baik desentralisasi politik, desentralisasi administrasi, dan desentralisasi fiskal, walaupun desentralisasi tersebut pengaturannya tidak di jabarkan secara langsung sehingga membingungkan daerah dalam pelaksanaannya.

45 Amarah Muslimin, Ichtisar Perkembangan Otonomi Daerah, (Jakarta : Jembatan, 1960).

hlm.50

(14)

Untuk mengisi kekurangan-kekurangan yang ada pada Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1948, oleh pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) dibawah kepemimpinan Perdana Menteri Hatta dan Menteri Dalam Negeri Anak Agung Gede Agung, undang-undang pemerintahan daerah itu coba digulirkan, namun hanya terbatas di daerah eks RI. Bentuknya adalah dengan menerbitkan Undang-Undang dan Perpu pembentukan daerah otonom provinsi, yaitu Provinsi Jawa Timur (Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1950), Provinsi Yogyakarta (Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950), Provinsi Jawa Tengah (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950), Provinsi Jawa Barat (Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1950), Provinsi Sumatera Selatan (Perpu Nomor 3 Tahun 1950), dan Provinsi Sumatera Utara (Perpu Nomor 5 Tahun 1950).46

Pada tahun 1950 terjadi pergantian konstitusi UUD 1945 dengan UUDS 1950 dan bubarnya Republik Indonesia Serikat (RIS) menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Secara umum UUDS 1950 itu sendiri masih kental dipengaruhi paham liberalisme. Pada masa ini diberlakukan 2 (dua) peraturan pemerintahan yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 yang diberlakukan di daerah-daerah eks RI dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Daerah Indonesia Timur yang diberlakukan untuk daerah-daerah Indonesia Timur (Sunda Kecil, Sulawesi, dan Maluku).

46 Yohanis Anton Raharusun, op.cit. hlm.142

(15)

c. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957

Pembentukan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, pada dasarnya dikarenakan adanya keragaman pengaturan pemerintahan daerah, terutama Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 yang diberlakukan di daerah-daerah eks RI dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1950 yang diberlakukan untuk daerah-daerah Indonesia Timur. Undang-Undang ini adalah hasil kerja DPR pemilu tahun 1955 dengan harapan dapat menanggulangi kemelut politik yang bermuara pada pendemokrasian pemerintahan daerah awal tahun 1950-an.

Terdapat perubahan yang mendasar dalam pengaturan mengenai pemerintahan daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 dibandingkan undang-undang sebelumnya, walaupun secara substansial masih mempertahankan format pemerintahan lokal yang terdapat dalam Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1948, antara lain tingkatan daerah otonom masih tetap tiga lapis yaitu Daerah Tingkat I, Daerah Tingkat II, dan Daerah Tingkat III, Pemerintah Daerah masih tetap terdiri dari DPRD dan DPD, sumber pendapatan daerah masih tetap, sistem pengawasan preventif dan represif oleh pemerintahan atasan terhadap keputusan-keputusan pemerintah bawahan dan beberapa hal lainnya.

Beberapa perubahan mendasar dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 antara lain:

(16)

a. Sistem pemilihan Kepala Daerah. Kepala Daerah dipilih langsung oleh rakyat, berbeda dengan sebelumnya dimana diangkat oleh pejabat pemerintah pusat berdasarkan calon yang diajukan oleh DPRD.

b. Keanekaragaman dalam pengaturan pemerintahan daerah secara bertahap dihilangkan, dengan cara mengakui daerah-daerah otonom yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 dan menerbitkan Undang-Undang pembentukan daerah otonom baru bagi daerah-daerah eks NIT/negara bagian lainnya.

c. Kedudukan Kepala Daerah tidak lagi menjadi alat pusat dan sekaligus alat daerah, tetapi hanya sebagai alat daerah saja. Konsekuensinya, diberikan kewenangan kepada Kepala Daerah untuk mengawasi pekerjaan DPRD dan DPD, juga berhak menahan dijalankannya keputusan DPRD dan DPD.

d. Otonomi materiil yang dianut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 diubah menjadi otonomi riil. Daerah-daerah mengerjakan urusan-urusan pemerintahan menurut bakat, kesanggupan dan kemampuannya. Urusan rumah tangga daerah dapat ditambah dari waktu ke waktu. Bahkan, kepada pemerintah daerah dapat diberikan tugas pembantuan.

e. Di daerah-daerah, selain ada lembaga-lembaga DPRD, DPD dan Kepala Daerah (collegial bestuur) yang mengatur dan mengurus rumah tangga daerah dan menjalankan tugas medebewind, juga terdapat penguasa lain

(17)

(pamong praja) yang menyelenggarakan tugas dekonsentrasi atau pemerintahan umum.47

Menurut Soetarjo, Undang-Undang ini mencerminkan negara serikat atau bonstaat karena pemerintah pusat tidak memiliki kewenangan untuk menjalankan kekuasaannya di daerah. Undang-Undang ini, di satu pihak menganjurkan negara kesatuan, tetapi di pihak lain membentuk negara federasi.48

Pengaturan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 pada dasarnya sudah cukup baik, hanya sayangnya tidak diberlakukan secara sungguh- sungguh oleh pemerintah pusat, dikarenakan keengganan pemerintah pusat untuk merealisasikan penyerahan urusan-urusan pemerintahan kepada daerah- daerah otonom sehingga menimbulkan berbagai konflik dalam sistem pemerintahan.

Adanya dualisme penyelenggaraan pemerintahan lokal antara Pemerintahan Daerah dan Pejabat Pamong Praja (dekonsentrasi), dimana masing-masing pihak berusaha mewujudkan kepentingannya mengakibatkan koordinasi tidak berjalan dengan baik

.

47 Djohermansyah Djohan, dikutip Yohanis Anton Raharusun, op.cit. hlm.147

48 Soetarjo Kartohadikusumo, Kedudukan Pamong Praja, Majalah Swatantra, dikutip Jimly Asshiddiqie, op.cit. hlm.403

(18)

d. Penpres Nomor 6 Tahun 1959 dan Penpres Nomor 5 Tahun 1960

Setelah berlakunya kembali UUD 1945 dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sistem demokrasi berubah dengan jargon demokrasi terpimpin. Hal ini berdampak kepada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 yang berada dibawah bingkai sistem demokrasi liberal, dengan diberlakukannya Penpres Nomor 6 tahun 1959 dan Penpres Nomor 5 Tahun 1960.

Penyusunan Penpres Nomor 6 Tahun 1959 berlangsung dengan cepat dan ditetapkan pada tanggal 1 September 1959 oleh Presiden Soekarno, hal ini dimungkinkan karena merupakan produk eksekutif yang tidak memerlukan persetujuan legislatif (DPR) dengan tujuan menarik kembali kewenangan- kewenangan pusat yang banyak diambil daerah. Tujuan tersebut, dikarenakan Presiden Soekarno menganggap otonomi luas mengancam keutuhan bangsa dan karena itu otonomi harus disesuaikan dengan konsepsi demokrasi terpimpin.49 Dalam Penpres Nomor 6 tidak diatur mengenai Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), karena itu untuk melengkapinya Presiden Soekarno mengeluarkan Penpres Nomor 5 Tahun 1960 tentang DPR-GR (parlemen lokal).

Pemberlakuan kedua Penpres ini, menurut The Liang Gie, merubah tujuan desentralisasi dari demokrasi kepencapaian stabilitas dan efesiensi pemerintahan di daerah. Kedua Penpres ini merubah asas-asas pemerintahan

49 Yohanis Anton Raharusun, op.cit, hlm.160

(19)

daerah dari arah desentralisasi ke sentralisasi. Prajudi menyebutkan, kedua penpres ini memakai sistem “dualisme fungsional” yaitu sebagai organ pusat dan organ daerah.50

Penetapan Presiden (penpres) Nomor 6 Tahun 1959 bermaksud memulihkan dan bahkan memperkokoh kewibawaan Kepala Daerah sebagai alat pemerintah pusat dengan diberi kedudukan dan fungsi rangkap dekonsentrasi dan sekaligus desentralisasi. Dengan kedudukan dan fungsi rangkap tersebut persoalan di daerah diharapkan dapat ditanggulangi oleh setiap Kepala Daerah, sehingga Kepala Daerah dapat exist sebagai perpanjangan tangan kepemimpinan nasional.51

Penpres Nomor 6 Tahun 1959 menimbulkan reaksi hebat dikalangan partai-partai politik, karena kekuasaan mereka dalam penyelenggaraan otonomi daerah dipreteli. Penpres tersebut oleh partai-partai politik dinilai sebagai suatu langkah mundur penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia karena telah menggusur demokrasi pemerintahan dengan sentralisasi kekuasaan oleh pemerintah pusat untuk mengatur pemerintahan daerah.52 Dikatakan demikian karena:

a. Pemilihan Kepala Daerah tidak di pilih secara langsung oleh rakyat, akan tetapi diajukan oleh DPRD kepada Presiden. Bahkan pemerintah pusat dapat mengangkat Kepala Daerah di luar calon yang diajukan oleh DPRD.

50 Jimly Asshiddiqie, op.cit. hlm.404 51 Ibid. hlm.404

52 Yohanis Anton Raharusun, op.cit. hlm.151

(20)

b. Pertanggung jawaban Kepala Daerah kepada Pemerintah Pusat bukan kepada DPRD selaku wakil rakyat (Kedaulatan tidak lagi berada ditangan rakyat).

c. Kepala Daerah dapat menangguhkan atau membatalkan keputusan DPRD.

d. Kedudukan Kepala Daerah selaku alat pusat sekaligus alat daerah sehingga memungkinkan terjadinya tindakan sewenang-wenang oleh Kepala Daerah selaku penguasa tunggal.

Bila dilihat dari sisi bobot kekuasaan, terlihat jelas dalam pelaksanaan Penpres Nomor 6 Tahun 1959 dan Penpres Nomor 5 Tahun 1960, bobot kekuasaan kembali dipegang oleh pemerintah pusat, berbeda dengan Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1957 di mana bobot kekuasaan lebih pada pemerintahan daerah.

e. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965

Pada tanggal 3 Desember 1960, MPRS53 mengeluarkan TAP No.II/MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Sementara Tahapan Pertama 1961-1969. Salah satu isinya mangamanatkan untuk membentuk satu Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah sesuai dengan kegotongroyongan demokrasi terpimpin dalam rangka

53 MPRS di bentuk Presiden Soekarno dengan Penpres Nomor 2 Tahun 1959 yang keanggotaannya terdiri dari semua anggota DPR-GR ditambah utusan daerah dan wakil-wakil golongan.

(21)

Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang mencakup segala pokok-pokok (unsur) yang progresif dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1957, Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959, Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1960 dan Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun 1960 jo Penetapan Presiden Nomor 7 Tahun 1965.

Untuk menindaklanjuti TAP MPR tersebut, Presiden Soekarno menetapkan Keppres Nomor 514 Tahun 1961 (diubah dengan Keppres Nomor 54 Tahun 1961) membentuk Panitia Negara Urusan Desentralisasi dan Otonomi Daerah dengan tugas memberikan usul kepada pemerintah tentang pokok-pokok pengaturan pemerintahan daerah.54 Atas tugas tersebut, Panitia Negara menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah yang akhirnya dapat disetujui oleh DPR-GR dan ditetapkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 1 September 1965.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah terdiri dari IX Bab dan 90 Pasal. Undang-Undang ini menggantikan posisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 dan melanjutkan ide Penpres Nomor 6 Tahun 1959, bahkan dapat dikatakan bahwa ketentuan- ketentuan dalam Penpres Nomor 6 Tahun 1959 dan Penpres Nomor 5 tahun 1960 seluruhnya diadopsi kedalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965.55

54 Yohanis Anton Raharusun, op.cit, hlm.154

55 Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, Jakarta, 2003. Lihat pula Jimly Asshiddiqie, op.cit.

hlm.405

(22)

Acuan konsep yang dianut dalam Undang-Undang ini adalah konsep demokrasi terpimpin dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana ditegaskan dalam penjelasan umum, misinya adalah uniformitas landasan bagi pembentukan dan penyusunan pemerintahan daerah, mengakhiri kelemahan demokrasi liberal dan membagi habis wilayah negara dalam tingkatan daerah otonom.

Dikarenakan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 seluruhnya mengadopsi Penpres Nomor 6 Tahun 1959 dan Penpres Nomor 5 Tahun 1960, bobot kekuasaan masih dikuasai oleh pusat. Namun ada beberapa hal positif dalam undang-undang ini dalam pengembangan otonomi daerah, antara lain:

a. Susunan DPRD mencerminkan kegotongroyongan nasional revolusioner yang terdiri atas partai-partai dan golongan karya, dimana DPRD dipimpin oleh ketuanya sendiri bersama-sama dengan wakil-wakil ketua. (pasal 7- pasal 9).

b. Sumber pendapatan daerah ditambah tidak saja dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan daerah, pajak negara yang diserahkan, subsidi, dan sumbangan seperti di atur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, tetapi juga dari bea dan cukai, hasil perusahaan negara dan ganjaran, dan diperbolehkannya daerah melakukan pinjaman untuk menjalankan aktivitas pemerintahan. Adanya tambahan pendapatan daerah tersebut, memudahkan daerah dalam menjalankan pemerintahan di daerah (Pasal 69-pasal 73)

(23)

c. Diberikannya hak Petisi kepada DPRD untuk membela kepentingan daerah dan masyarakat di hadapan pemerintah pusat untuk mencegah kesewenang-wenangan pemerintah atasan (pasal 55).

2. Otonomi Daerah di Era Orde Baru

Periode orde baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto berjalan cukup panjang selama 32 tahun sejak tahun 1966 hingga 1998. Pada era ini ditetapkan Undang-Undang Pemerintahan Daerah melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, dan terus bertahan hingga jatuhnya rezim orde baru melalui reformasi di Indonesia. Kebijakan pelaksanaan otonomi daerah selama pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah berjalan dengan dimensi yang amat berbeda dibandingkan dengan era sebelumnya. Secara kontekstual, selama penerapan Undang-Undang tersebut diperkenalkan dimensi baru menyangkut otonomi daerah, yaitu otonomi yang nyata dan bertanggung jawab.

Sebagai Undang-Undang produk orde baru yang pada prinsipnya mengutamakan pembangunan ekonomi, dimensi perundangan ini tidak bisa lepas dari kebijakan pembangunan ekonomi yang berasaskan trilogy pembangunan, yaitu stabilitas yang semakin mantap, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, dan pemerataan kegiatan pembangunan dan hasil-hasilnya, sebagaimana tertuang di dalam penjelasan umum angka 1 huruf i “Tujuan pemberian otonomi kepada

(24)

daerah adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan di daerah, terutama dalam pelaksanaan pembangunan dan pelayanan terhadap masyarakat serta untuk meningkatkan pembinaan kestabilan politik dan kesatuan bangsa”.

Menurut J. Kaloh:

Pengaruh yang cukup signifikan dari trilogi pembangunan tersebut adalah pelaksanaan otonomi yang diarahkan untuk terbentuknya stabilitas pemerintahan daerah, yang ciri-cirinya meliputi:

a. Konsentrasi kekuasaan terletak di lembaga eksekutif (Kepala Daerah).

b. Dihapusnya lembaga BPH (Badan Pelaksana Harian) sebagai perwakilan parpol di dalam Pemerintahan Daerah.

c. Tidak dilaksanakannya hak angket DPRD yang dapat mengganggu keutuhan Kepala Daerah.

d. Kepala Daerah tidak bertanggung jawab kepada DPRD, tetapi secara hierarki kepada Presiden.

e. Kepala Daerah hanya memberi keterangan kepada DPRD tentang pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan sekali dalam setahun.56 Penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dianut dalam Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1974 bertitik tolak pada 3 (tiga) prinsip dasar, yaitu desentralisasi berupa penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah atau daerah tingkat atasnya kepada daerah, sehingga menjadi urusan rumah tangganya, Dekonsentrasi berupa pelimpahan wewenang dari pemerintah atau kepala wilayah atau kepala instansi vertikal tingkat atasnya kepada pejabat-pejabat di daerah, dan tugas pembantuan (medebewind) berupa penyerahan tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada pemerintah daerah oleh pemerintah atau pemerintah daerah tingkat atasnya dengan kewajiban

56 J. Kaloh, op.cit, hlm.23

(25)

mempertanggung jawabkan kepada yang memberi tugas (Pasal 1 huruf d UU Nomor 5 Tahun 1974).

Ketiga prinsip dasar tersebut pada dasarnya mengatur hubungan kekuasaan pusat dan daerah dalam bobot yang seimbang dalam arti kekuasaan yang dimiliki pusat dan daerah berada dalam titik keseimbangan (balance power sharing). Pada masa itu muncul istilah “Pusat adalah pusatnya daerah dan daerah adalah daerahnya pusat”. Ini berarti bahwa antara Pusat dan Daerah saling komplementer, saling memerlukan, dan bukan dalam posisi saling berhadapan.57

Dalam pelaksanaannya, ketiga prinsip dasar tersebut tidak berjalan dengan serasi, karena semakin besar dan dominannya pelaksanaan asas dekonsentrasi yang mencerminkan sentralistiknya pemerintahan dengan menarik kembali urusan-urusan daerah menjadi urusan dekonsentrasi tanpa melalui prosedur yang ditetapkan, dan penempatan aparat dekonsentrasi yang semakin banyak di daerah.

Hal ini menyebabkan ruang gerak daerah menjadi terbatas, malahan kegiatan dekonsentrasi yang seharusnya dibiayai pemerintah pusat dalam pelaksanaannya dibiayai oleh daerah (APBD) yang menambah beban bagi keuangan daerah.58

Kuntjorojakti, menggambarkan desentralisasi pada periode itu sebagai gerak pendulum dari satu kutub ke kutub lainnya. Kehidupan desentralisasi pada masa orde baru cenderung berayun diantara dua kutub, dari kutub desentralisasi dan sisitem demokrasi ke kutub sentralisasi dan autokrasi tetapi lebih berat ke sentralisasi dan autokrasi. 59

57 J. Kaloh, op.cit, hlm.65 58 Ibid, hal.25

59 Jimly Asshiddiqie, op.cit. hlm.407

(26)

Selama era orde baru, ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat semakin eskalatif, sehingga dapat disimpulkan bahwa salah satu kelemahan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 adalah tidak konsisten dan konsekuennya pelaksanaan Undang-Undang tersebut, terutama terjadinya deviasi dan distorsi terhadap pelaksanaan desentralisasi dan dekonsentrasi dikarenakan keinginan pemerintah pusat dalam menjaga stabilitas negara, sehingga menciptakan sentralistik pemerintahan oleh pemerintah pusat.

Keadaan tersebut mengakibatkan dominasi pemerintah pusat semakin besar yang menyebabkan ketergantungan daerah ke pusat otomatis menjadi semakin besar pula. Untuk menjaga stabilitas negara, pemerintah orde baru lebih mengedepankan peran militer, dimana peran militer yang sangat besar bahkan di daerah-daerah mengakibatkan masyarakat tidak dapat menggunakan hak-haknya dalam menyatakan pendapat.

3. Otonomi Daerah di Era Reformasi

Reformasi besar-besaran yang terjadi di Indonesia pada akhir tahun 1998 mengakibatkan lengsernya rezim orde baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Euforia reformasi yang menggulirkan dinamika perubahan, ikut menumbuh kembangkan kesadaran masyarakat di daerah-daerah, khususnya elit- elit politik daerah untuk menuntut hak dan kewenangan dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah secara demokratis, yang selama masa orde baru selalu

(27)

dikekang dan diekploitasi oleh Pemerintah Pusat. Isu yang dikembangkan oleh elit-elit politik daerah adalah pembagian kekuasaan/kewenangan yang seimbang antara pemerintah pusat dan daerah, termasuk perimbangan terhadap eksploitasi sumber daya alam yang selama masa orde baru di monopoli pemerintah pusat.

Ketika reformasi dicetuskan, salah satu tuntutan penting reformasi yang disuarakan oleh masyarakat di daerah adalah agar terselenggaranya otonomi daerah secara komprehensif menyentuh rasa keadilan, terutama menyangkut aspek politik, pemerintahan, dan ekonomi. Hal ini oleh berbagai kalangan dan para pakar pemerintahan, politik, dan ekonomi dianggap sebagai masalah utama ketidakpuasan sebagian besar rakyat di daerah. Manifestasi terselenggaranya otonomi daerah adalah terwujudnya pemerintahan daerah yang mampu menjawab berbagai permasalahan masyarakat di daerah, baik menyangkut aspek administrasi pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan.60

Reformasi bidang politik dan pemerintahan daerah telah melahirkan agenda dan kesepakatan nasional, yang ditandai dengan diterbitkannya TAP MPR No. XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka NKRI. Tap MPR inilah yang menjadi semangat dan landasan awal pengaturan pemerintahan daerah setelah reformasi, melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.

60 J.Kaloh, op.cit.hlm.69

(28)

a. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 di bentuk sebagai jawaban terhadap situasi krisis setelah bergulirnya reformasi dengan adanya tuntutan dari masyarakat dan elit-elit politik lokal yang menyerukan perubahan dalam sistem pemerintahan daerah. Undang-Undang ini melakukan perubahan mendasar dalam pola penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, dimana daerah diberi kewenangan yang luas untuk mengurus dan mengatur rumah tangga daerah dengan desentralisasi dan otonomi seluas-luasnya yang di titik beratkan pada Kabupatan dan Kota.

Pemberian otonomi yang luas diharapkan mampu mencegah terjadinya disintegrasi bangsa, menciptakan keadilan, demokrasi, dan pemberdayaan masyarakat demi terciptanya kesejahteraan masyarakat yang lebih baik.

Namun pada kenyataannya, euforia berlebihan yang timbul setelah sekian lama di kekang mengakibatkan munculnya “raja-raja kecil” di daerah.

Kenyataan tersebut pada dasarnya dikarenakan oleh 3 (tiga) hal, yaitu:

1. Tidak ada hubungan hierarkis antara Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Kelemahan sentral dalam pengaturan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah mengenai hubungan Provinsi dan Kabupaten/Kota. Provinsi selain sebagai daerah otonom juga sebagai wilayah administrasi yang melaksanakan tugas-tugas dekonsentrasi sebagai perpanjangan tangan wilayah administrasi pemerintah. Selaku perpanjangan tangan pemerintah,

(29)

Provinsi diharapkan dapat menjadi sarana pengikat dalam menjaga keutuhan negara kesatuan, menyelesaikan masalah lintas daerah Kabupaten/Kota, dan berbagai tugas yang belum dapat dilaksanakan Kabupaten/Kota. Namun dalam Pasal 4 ayat (2) dinyatakan bahwa Provinsi dan Kabupaten/Kota tidak mempunyai hubungan hierarkis. Hal ini mangakibatkan Kabupaten/Kota tidak lagi atau kurang menghormati Gubernur sebagai wakil pemerintahan di daerah. Keadaan demikian menyulitkan Gubernur dalam mengkoordinir Bupati/Walikota dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan, yang mengakibatkan kesulitan besar dalam keterpaduan penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan umum, dan proses pembangunan daerah.

2. Kepala Daerah di pilih oleh DPRD.

Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tidak dipilih secara langsung oleh rakyat, akan tetapi di pilih oleh DPRD sehingga menimbulkan manufer dan deal-deal politik oleh partai-partai politik yang ada untuk mengukuhkan kekuasaannya.

3. Kesalahan persepsi dalam menafsirkan makna desentralisasi.

Terjadinya kesalahan persepsi para pejabat di daerah dalam menafsirkan makna desentralisasi dan otonomi daerah yang didistorsikan sekedar sebagai penyerahan atau pelimpahan kewenangan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, tanpa memahami bahwa membesarnya kewenangan daerah harus diikuti dengan membesarnya tanggung jawab

(30)

penyelenggaraan pemerintahan dalam mensejahterakan dan memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat.

Tidak adanya hubungan hierarkis antara Provinsi dan Kabupaten/Kota, pemilihan Kepala Daerah yang di pilih oleh DPRD, serta kesalahan persepsi para Pejabat daerah dalam menafsirkan makna desentralisasi dan otonomi daerah, mengakibatkan timbulnya raja-raja kecil yang lebih mementingkan untuk memperkaya diri sendiri dan kelompoknya tanpa memikirkan tujuan utama penyelenggaraan pemerintahan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat demi terciptanya kesejahteraan masyarakat yang lebih baik.

b. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.

Dalam rangka mengatasi kesulitan-kesulitan yang timbul sebagai akibat kelemahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, sekaligus untuk menyesuaikan pengaturan pemerintahan daerah terhadap Amandemen UUD 1945,61 dibentuklah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Beberapa perubahan mendasar yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, antara lain soal hubungan antara pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota, pemilihan Kepala Daerah, dan pemberhentian Kepala Daerah.

61 UD 1945 telah mengalami 4 (empat) kali perubahan, yaitu Perubahan Pertama yang ditetapkan tanggal 19 Oktober 1999 hasil Sidang Umum MPR tahun 1999, Perubahan Kedua yang ditetapkan tanggal 18 Agustus 2000 hasil Sidang Tahunan MPR tahun 2000, Perubahan Ketiga yang ditetapkan tanggal 9 November 2001 hasil Sidang Tahunan MPR tahun 2001, Perubahan Keempat yang ditetapkan pada tanggal 10 Agustus 2002 hasil Sidang Tahunan MPR tahun 2002.

(31)

Dalam pengaturan hubungan antara pemerintah pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota, sifat hubungan hierarkis dihidupkan kembali yang di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 ditiadakan. Dengan dihidupkannya hubungan hierarkis, diharapkan Gubernur dapat mengkoordinir Bupati/Walikota dalam melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengatur pula dalam Pasal 24 ayat (5), dimana Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di pilih secara langsung oleh rakyat daerah yang bersangkutan. Dalam proses pelantikan, Gubernur memiliki fungsi yang cukup penting, dimana Gubernur mengajukan pasangan Bupati/Wakil Bupati atau Walikota/Wakil Walikota terpilih yang diusulkan DPRD untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan kepada Menteri Dalam Negeri (Pasal 109).

Terhadap pemberhentian Kepala Daerah, dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dinyatakan bahwa pemberhentian Kepala Daerah dilakukan melalui prosedur “impeachment” ke Mahkamah Agung. Apabila DPRD menganggap Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah melanggar sumpah/janji jabatan dan/atau tidak melaksanakan kewajibannya, maka dapat diusulkan pemberhentiannya dengan terlebih dahulu diajukan Ke Mahkamah Agung untuk memperoleh pembuktian secara hukum. Hal ini berbeda dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, dimana DPRD dapat memutuskan pemberhentian Kepala Daerah dalam hal melanggar aturan yang telah ditentukan dengan disahkan oleh Presiden (Pasal 49).

(32)

B. Bentuk-Bentuk Otonomi Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pasal 18 UUD 1945 menyatakan:

Ayat (1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah-daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.

Ayat (2) menyatakan bahwa Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

Perkataan Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi, kabupaten dan kota pada ayat (1) menunjukkan pembagian dan susunan daerah-daerah. Sedangkan perkataan mengatur dan mengurus sendiri pada ayat (2) menunjukkan adanya otonomi, dimana otonomi berasal dari perkataan “auto”

dan “nomos”. Auto atau “oto” berarti sendiri sedangkan “nomos” berarti mengatur, sehingga otonomi sama maknanya mengatur rumah tangga sendiri.62 Dari kedua hal tersebut dapat ditarik kesimpulan adanya bentuk otonomi yang diberlakukan secara umum di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Selain bentuk otonomi umum yang diberlakukan pada sebagian besar daerah (wilayah) Negara Kesatuan Republik Indonesia, juga diatur bentuk otonomi lain, yaitu bentuk otonomi istimewa dan bentuk otonomi khusus sebagaimana tercantum dalam Pasal 18B UUD 1945, dimana Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.

62 Jimly Asshiddiqie, op.cit. hlm.424

(33)

Bentuk otonomi istimewa dan otonomi khusus telah diberlakukan di beberapa daerah, antara lain Yogyakarta dengan sebutan Daerah Istimewa Yogyakarta, Aceh dengan Otonomi Khusus Aceh, dan Papua dengan Otonomi Khusus Papua. Selain itu Aceh juga mendapatkan status Istimewa dengan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh.

Status daerah khusus dan daerah istimewa masih menjadi pertanyaan hingga saat ini, dikarenakan tidak adanya kriteria dalam UUD 1945 yang menjadi dasar suatu daerah diberikan status daerah khusus atau daerah istimewa. Keadaan demikian seakan menghambat daerah-daerah untuk mendapatkan status daerah istimewa atau daerah khusus, dan bahkan menimbulkan keinginan bagi daerah- daerah untuk mencari dan menentukan kriteria sendiri agar daerahnya dapat dijadikan daerah istimewa atau daerah khusus.

Keinginan daerah-daerah tertentu untuk mendapatkan status khusus telah didengungkan, seperti halnya provinsi riau dan Bali. Di Bali kegiatan seminar dan diskusi yang membahas otonomi khusus Provinsi Bali sudah sering dilakukan, bahkan DPRD Provinsi Bali telah membentuk Pansus yang bertugas menyusun Naskah Akademis dan draft rancangan undang-undangnya.

Untuk itu, perlu kiranya dibangun pemikiran-pemikiran bagi penentuan kriteria daerah otonomi khusus dan otonomi istimewa, sehingga tidak membingungkan dan menimbulkan kecemburuan bagi daerah, serta tidak

(34)

menimbulkan anggapan bahwa untuk mendapatkan status otonomi khusus harus melalui pemberontakan bersenjata.

UUD 1945 tidak mengatur lembaga negara mana yang berwenang melakukan tafsiran (advisory opinion) terhadap ketentuan UUD yang dirasa kurang jelas. Berhubung adanya kekosongan norma (limten van normen/vacuum of norm) tentang lembaga negara yang berwenang menafsirkan UUD, maka tafsiran atas kekhususan atau keistimewaan itu akan dilakukan oleh Pemerintah dan pada akhirnya oleh DPRD melalui mekanisme pengajuan Rancangan Undang-Undang.

Mengingat bahwa keputusan akhir berada ditangan DPR sebagai lembaga politik, tentunya diharapkan spirit politis yang ada pada lembaga tersebut dapat diadaptasikan pada terwujudnya sebuah undang-undang otonomi khusus atau otonomi istimewa yang adil dan obyektif, dan bukan ditafsirkan sesuai dengan kepentingan politik yang sempit. Dalam kaitan ini, perlu di ingat etika politik dan hukum dalam sebuah adagium “politc legibus non leges politic adaptande” atau

“politic are to adapted to the law and not the law adapted to politic”.63

1. Otonomi Umum

Secara harfiah, tidak ada penyebutan otonomi umum baik dalam UUD 1945 maupun dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, kecuali

63 Dodi Riyadmadji, Otonomi Khusus Bali, Jurnal Otonomi Daerah, Vol. VII, 3 Agustus- September 2007.

(35)

penyebutan otonomi daerah. Dikatakan Otonomi umum karena merupakan otonomi yang diberikan dan diberlakukan pada sebagian besar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam satu pengaturan, kecuali pada daerah-daerah yang diberikan status istimewa atau khusus. Hal ini hanya untuk membedakan atau untuk mengklasifikasikan bentuk-bentuk otonomi yang berlaku di Indonesia.

Penerapan otonomi umum pada sebagian besar daerah di Indonesia, merupakan refleksi dan peyerahan manajemen pemerintahan (a transfer of management) yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah.

Penyerahan manajemen pemerintahan tersebut, diharapkan dapat membuka peluang kemandirian daerah untuk mengembangkan daerahnya sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh suatu daerah.

Landasan dasar pelaksanaan otonomi umum adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri rumah tangganya sesuai kewenangan yang diberikan. Hal-hal yang diatur antara lain Pembentukan Daerah dan Kawasan Khusus, Pembagian Urusan Pemerintahan, Penyelenggaraan Pemerintahan, Kepegawaian Daerah, Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah, Perencanaan Pembangunan Daerah, Keuangan Daerah, Kerja Sama dan Penyelesaian Perselisihan, Kawasan Perkotaan, Desa, Pembinaan dan Pengawasan, dan Pertimbangan dalam Kebijakan Otonomi Daerah.

(36)

2. Otonomi Istimewa

Otonomi istimewa merupakan otonomi yang diberikan pada suatu daerah tertentu untuk menjalankan pemerintahan dengan hak-hak istimewa.

Pada dasarnya otonomi yang dilaksanakan sama dengan otonomi umum, hanya diberikan kewenangan istimewa dalam menyelenggarakan hal-hal tertentu, seperti Provinsi Aceh yang melaksanakan syari’at Islam, Pendidikan Agama, Adat Istiadat dan Peran Ulama dalam pemerintahan, atau Provinsi Yogyakarta dengan tetap dijalankannya Kesultanan Yogyakarta.

Apabila kita merunut sejarah Republik Indonesia, ada beberapa tonggak sejarah yang menjadi tanda keistimewaan yogyakarta, yaitu pertama adalah ketika Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia sejak tahun 1946 sampai dengan 1949, kedua terkait peran keraton dalam kehidupan masyarakat dan pemerintahan di Yogyakarta, dimana Sultan tidak saja bertugas mengayomi rakyat tetapi sekaligus sebagai

“Kalifatullah Sayyidin Panatagama” (pemimpin spiritual keagamaan).64 Lain halnya dengan Provinsi Aceh, keistimewaan pelaksanaan syariat islam diberikan terkait dengan karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi, yang bersumber dari pandangan hidup berlandaskan Syari’at Islam dan melahirkan budaya Islam yang kuat, sehingga Aceh menjadi salah satu daerah modal bagi perjuangan

64 Arifin yacob, Jurnal Otonomi Daerah, Vol.VII, 3 Agustus-September 2007.

(37)

dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.65

Otonomi istimewa yang diberikan kepada Provinsi Yogyakarta dan Aceh terdapat perbedaan dalam sisi pengakuan keistimewaan, dimana pengakuan keistimewaan Yogyakarta dilakukan secara sukarela oleh Pemerintah, sedangkan Aceh melalui manufer politik terkait persoalan gerakan separatis di Aceh.

3. Otonomi Khusus

Seperti halnya otonomi istimewa, Otonomi khusus merupakan otonomi yang diberikan pada suatu daerah tertentu untuk menjalankan pemerintahan (mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri) dengan pemberian hak-hak khusus yang derajat kemandiriannya lebih tinggi dibandingkan daerah-daerah lainnya.

Menurut Kausar AS:

Indonesia sebagai Negara Bangsa (nation state), mewadahi banyak keragaman budaya yang tumbuh di dalam masyarakat. Setiap keragaman budaya yang tumbuh di Indonesia terbentuk melalui proses sejarah yang sangat panjang yang kemudian melembaga dan diyakini oleh masyarakatnya. Termasuk didalamnya adalah lembaga-lembaga yang berupa institusi pemerintahan yang bercorak khusus di setiap daerah. Oleh karena itu UUD 1945 sebagai konstitusi NKRI mengakui keberadaan dan menghormati satuan-satuan Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa.66

65 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh.

66 Kausar AS, Jurnal Otonomi Daerah, Vol. VII,No.3, Agustus-September 2007

(38)

Otonomi khusus dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, hanya diberikan kepada 2 (dua) daerah, yaitu Provinsi Aceh dengan Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2001 yang kemudian dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 dan Provinsi Papua dengan Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2001.

Adanya hak-hak khusus, membedakan sistem pemerintahan daerah yang dijalankan dibandingkan daerah lainnya. Perbedaan tersebut antara lain, seperti di Aceh di bentuk lembaga peradilan sendiri yang bernama Mahkamah Syari’ah, adanya Lembaga Wali Nanggroe67 yang merupakan kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat, adanya Lembaga Mukim untuk penyelesaian adat di desa yang membawahi sekurangnya 3 (tiga) desa, adanya partai politik lokal, Pemerintah Aceh dapat mengadakan hubungan kerja sama dengan lembaga atau badan di luar negeri,68 keikutsertaan Pemerintahan Aceh dalam persetujuan internasional yang berkaitan dengan Pemerintahan Aceh, Pendanaan Pelaksanaan otonomi khusus, tambahan dana perimbangan dan hak-hak lain-lainnya.

Bila ditinjau pemberian otonomi khusus terhadap Provinsi Aceh dan Provinsi Papua, terdapat perbedaan mendasar dari perolehan status otonomi

67 Rancangan Qanun (perda) Lembaga ini masih dalam pembahasan yang sengit, dimana elit- elit politik lokal menginginkan Wali Nanggroe tidak hanya sebagai pemimpin adat tetapi juga lembaga yang dapat memberhentikan Gubernur dan membubarkan Parlemen. Hal ini di tentang keras oleh pihak Eksekutif karena bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006.

68 Dalam hal Pemerintah Aceh melakukan kerja sama dengan lembaga atau badan di luar negeri, dalam naskah kerja sama dicantumkan frasa Pemerintah Aceh sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(39)

khusus tersebut, dimana sifat otonomi khusus untuk Papua didasarkan pada konsekuensi politis yang lebih merupakan tindakan sepihak dari Pemerintah Pusat untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di Papua, sedangkan untuk Aceh konsekuensi politis diberikan berdasarkan kesepakatan dari Nota Kesepahaman (MoU) antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki (Finlandia).

Perolehan otonomi khusus dalam konteks internasional pada umumnya didasarkan pada suatu perjuangan untuk memperoleh status politik dalam suatu negara yang telah merdeka. Hukum Internasional memang secara khusus membatasi hak untuk menentukan nasib sendiri dalam suatu negara pada 3 (tiga) kategori, yaitu:

1. Masyarakat yang berada dibawah penguasaan (penjajahan) dari negara lain;

2. Masyarakat yang berada dibawah pendudukan pemerintahan asing; dan 3. Masyarakat yang masih tertindas oleh suatu pemerintahan yang otoriter.69

Otonomi khusus dalam hukum internasional telah diakui sebagai salah satu jalan untuk menghindari proses disintegrasi dari suatu negara. Oleh karenanya, hukum internasional memberikan penghormatan terhadap perlindungan dari suatu kelompok bangsa atau etnis untuk mempertahankan

69 Pasal 1 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik.

(40)

identitasnya. Salah satu keuntungan dari penerapan otonomi khusus adalah sebagai sarana penyelesaian konflik.

Perkembangan dari prinsip-prinsip otonomi ini sebagai hasil dari perkembangan hukum internasional secara umum, berdasarkan perlindungan terhadap hak asasi manusia yang secara langsung berdampak pada pemajuan standar umum bagi kepercayaan terhadap demokrasi, dan partisipasi rakyat dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, politik, dan hukum dari suatu negara.

Adanya otonomi dalam suatu negara (a self governing intra state region) sebagai mekanisme penyelesaian konflik adalah suatu tindakan pilihan bagi penyelesaian konflik internal, sehingga memaksa pemerintah pusat untuk menciptakan daerah otonomi khusus sebagai suatu intra state region with unique level of local self government.

C. Otonomi Khusus Provinsi Aceh

1. Otonomi Khusus Provinsi Aceh dalam Konsep Negara Kesatuan

Negara kesatuan merupakan landasan batas dari isi pengertian otonomi, dimana dikembangkan berbagai peraturan (rules) yang mengatur mekanisme keseimbangan antara otonomi pada satu sisi dan kesatuan bangsa dalam sisi yang lain. Didalam negara kesatuan, tanggung jawab pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan pada prinsipnya tetap berada di tangan pemerintah pusat. Namun,

(41)

dikarenakan sistem pemerintahan di Indonesia menganut prinsip desentralisasi kekuasaan, maka terdapat tugas-tugas tertentu bahkan tugas-tugas istimewa dan khusus yang diurus oleh pemerintahan lokal sendiri. Hal ini pada dasarnya akan menimbulkan hubungan timbal balik yang melahirkan hubungan kewenangan dan pengawasan.

Menurut Mahfud MD:

Negara Kesatuan adalah negara yang kekuasaannya di pencar ke daerah- daerah melalui pemberian otonomi atau pemberian wewenang kepada daerah-daerah untuk mengurus dan mengatur rumah tangga mereka sendiri melalui desentralisasi atau melalui dekonsentrasi. Ini berarti daerah-daerah otonom mendapat hak yang datang dari, dan diberikan oleh Pemerintah Pusat berdasarkan konstitusi dan undang-undang.70

Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 mengemukakan “oleh karena negara Indonesia itu suatu “eenheidstaat” maka Indonesia tidak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat staat juga……….”. Hal ini menunjukkan bahwa bentuk negara Indonesia sebagai negara kesatuan tidak mentolerir adanya negara dalam negara, sehingga dalam pelaksanaan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, tidak ada mutu rancang bangun suatu pemerintahan daerah yang memiliki sifat-sifat sebagai suatu negara sendiri.

Dalam sidang paripurna DPR RI, Selasa (11/7/2006), secara bulat seluruh fraksi DPR menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Pemerintah Aceh (RUU PA) menjadi Undang-Undang. Dengan persetujuan itu, “berakhir” sudah tarik-menarik perumusan substansi Undang-Undang Pemerintahan Aceh. Banyak

70.Mahfud MD,op.cit. hlm. 68

(42)

kalangan berpendapat, persetujuan RUU Pemerintahan Aceh menjadi babak baru praktik otonomi daerah di Indonesia . Bagi Provinsi Aceh sendiri, penyelesaian RUU Pemerintahan Aceh memberi tantangan dalam membangun kehidupan politik dan ekonomi yang lebih baik guna menciptakan kesejahteraan seluruh masyarakat Aceh.

Meski memberi harapan untuk membangun kehidupan lebih baik, ada kalangan tidak puas dengan substansi Undang-Undang Pemerintahan Aceh.

Sebagian ketidakpuasan itu dipicu kekhawatiran, Undang-Undang Pemerintahan Aceh akan meluruhkan bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Jika dirunut, salah satu isu sentral yang mencuat terkait negara kesatuan saat itu, ada pendapat hasil perundingan Helsinki akan menjadi jalan kemerdekaan bagi Aceh. Contoh yang sering dikemukakan, hasil perundingan Helsinki tidak eksplisit menyebut UUD 1945 dan NKRI.71

Kecemasan itu menjadi catatan khusus penyusun RUU Pemerintahan Aceh, sehingga perlu tepat dirumuskan posisi Aceh dalam NKRI. Hasil rumusan RUU Pemerintahan Aceh terbaca dalam BAB I Ketentuan Umum, Pasal 1 angka 2, yaitu:

Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip NKRI berdasar UUD 1945.

71 Koran Kompas, 23 Agustus 2005.

(43)

Pasal 1 angka 4 RUU Pemerintahan Aceh menguatkan rumusan itu:

Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi dalam sistem NKRI berdasar UUD 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang dilaksanakan Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing- masing”.

Jika dibaca cermat, rumusan Pasal 1 angka 2 dan angka 4 RUU Pemerintahan Aceh merupakan titik temu antara prinsip negara kesatuan dan hasil perundingan Helsinki. Frasa terbuka “bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat” dikunci dengan frasa “sesuai peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip NKRI berdasarkan UUD 1945″.

Tidak hanya terbatas pada meletakkan otonomi khusus Provinsi Aceh dalam bingkai NKRI, Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Pemerintahan Aceh menggariskan, Pemerintahan Aceh dan Kabupaten/Kota berwenang mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pusat. Dalam hal ini, kewenangan pusat meliputi urusan pemerintahan yang bersifat nasional, politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter, fiskal nasional, dan bidang agama.

Dengan demikian, tidak perlu ada kekhawatiran otonomi khusus Provinsi Aceh akan meruntuhkan NKRI. Apalagi, UUD 1945 melandasi pelaksanaan prinsip desentralisasi yang tidak simetris (asymetrical decentralization) antara satu daerah dengan daerah lain. Prinsip itu ditemukan dalam Pasal 18 UUD 1945.

(44)

Adanya bentuk otonomi khusus dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, bukanlah mengandung pengertian diterapkannya sistem federal dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pemberian otonomi khusus bagi Provinsi Aceh pada dasarnya merupakan pengakuan terhadap kekhususan daerah Aceh sebagai sub sistem pemerintahan secara nasional.

Konsekuensi logis otonomi khusus dalam Negara Kesatuan berarti sebagai sub sistem dalam sistem pemerintahan nasional dengan pola hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah, dimana adanya bentuk pengawasan (controlling) dan keselarasan pembangunan yang diletakkan dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945 sebagai satu kesatuan organisasi (badan hukum publik) yang tunggal.

2. Sejarah Otonomi Khusus Provinsi Aceh.

Secara garis besar, Provinsi Aceh terdiri dari 23 (dua puluh tiga) Kabupaten/Kota, dengan titik koordinat 2 – 6 Lintang Utara dan 95 – 98 Bujur Timur dengan luas wilayah + 57.365,57 KM dan jumlah penduduk 4.384.077 (empat juta tiga ratus delapan puluh empat ribu tujuh puluh tujuh) jiwa. Daerah Aceh mempunyai batas-batas :

a. sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka;

b. sebelah selatan berbatasan dengan Provinsi Sumatera Utara;

c. sebelah timur berbatasan dengan Selat Malaka; dan

(45)

d. sebelah barat berbatasan dengan Samudera Indonesia.72

Sejarah panjang keberadaan masyarakat Aceh dibumi nusantara, memperlihatkan bahwa kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di daerah Aceh telah mampu menata kehidupan kemasyarakatan yang unik, egaliter dan berkesinambungan dalam menyikapi kehidupan duniawi dan ukhrawi.

Sebuah semboyan kehidupan bermasyarakat telah menjadi pegangan umum masyarakat Aceh, yakni “Adat bak po teumeureuhom, Hukom bak Syiah Kuala, Qanun bak Putro Phang, Reusam bak Laksamana“ yang bila diartikan “ Adat dari Sultan (pemimpin), Hukum dari Ulama, Peraturan dari Putri Pahang (mahkamah Rakyat), Diplomasi dan etika dari Panglima”.73 Hal ini masih dapat diartikulasikan dalam persfpektif modern bernegara serta mengatur pemerintahan yang demokratis dan bertanggungjawab dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, di Aceh terbentuk gerakan perlawanan menghadapi tentara Belanda (membonceng sekutu) yang ingin berkuasa kembali di Republik Indonesia, yaitu dengan menghimpun segala organisasi berbasis kekuatan rakyat, untuk dilatih sebagai pasukan keamanan guna mengantisipasi pasukan Belanda yang akan masuk ke Aceh dibawah pimpinan Tengku Muhammad Daod Bereueh sebagai Gubernur militer di Aceh, Langkat dan Tanah Karo.

72 Aceh Dalam Angka 2008, Pemerintah Aceh.

73 Muhammad Umar, Peradaban Aceh, JKMA, hlm.76

(46)

Disebabkan Aceh tidak dapat diduduki Belanda, maka keberadaan Negara Republik Indonesia masih diakui oleh dunia Internasional. Pada awalnya setelah penyerahan kekuasaan dari Belanda kepada Republik Indonesia tahun 1949, Aceh adalah sebagai salah satu Provinsi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, tetapi pada tahun 1950 Provinsi Aceh disatukan dengan Provinsi Sumatera Utara dan dijadikan Keresidenan Aceh.

Bagi pejuang Aceh, dengan dijadikannya Aceh sebagai Karesidenan, para pejuang tersebut merasa kecewa kepada pemerintah Republik Indonesia dan juga pelaksanaan Syariat Islam yang dijanjikan tidak pernah direalisasikan oleh Pemerintah Pusat. Maka pada tahun 1953 dibawah pimpinan Tengku Muhammad Daod Bereueh mengumumkan bahwa Aceh sebagai Negara Bagian dari Republik Indonesia, yaitu Negara Bahagian Aceh, dengan nama Darul Islam (DI) dan tentaranya diberi nama Tentara Islam Indonesia (TII) yang dikenal dengan pemberontakan DI-TII.74

Pada tahun 1959, Pemerintah Pusat mengutus Mr. Hardi untuk melakukan perundingan dengan Tengku Muhammad Daod Bereueh yang terkenal dengan nama MISI HARDI. Perundingan tersebut mengambil kesepakatan, antara lain:

1. Aceh diberikan keistimewaan di bidang Agama dan menjalankan Syariat Islam;

2. Keistimewaan di bidang Pendidikan;dan

74 Muhammad Umar, op.cit, hlm.63

Referensi

Dokumen terkait

Lingkungan kerja dalam suatu perusahaan sangat penting untuk diperhatikan manajemen. Meskipun lingkungan kerja tidak melaksnakan proses produksi dalam suatu

Pengadaan bahan baku, jika melihat kinerja penjamin mutu, merupakan tanggung jawab dari quality control, yaitu pada bagian produksi. Baik atau buruknya bahan baku

Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, antara lain: bagaimana membangkitkan feature subspaces pada ensemble feature selection yang sesuai untuk klasifikasi dokumen teks,

Dosen Program Magister Ilmu Administrasi Negara Fisip Unmul Samarinda.. mutasi, promosi, pengawasan, Kondisi lingkungan, kerjasama, hubungan antar pegawai, dan ruang

Kota Depok (mewakili daerah kuadran II) Kota Depok memiliki sektor basis pada Sektor listrik, gas, dan air bersih; Sektor bangunan; Sektor perdagangan, hotel, dan restoran;

Pembuatan Motion Graphic ini berdasarkan penelitian terhadap target audiens serta hasil dari wawancara kepada ahli dalam bidang penyakit leptospirosis, kemudian

FOURTH NATIONAL PROGRAM FOR COMMUNITY EMPOWERMENT IN RURAL AREA (PNPM IV) (P122810).. Operation Name: FOURTH NATIONAL PROGRAM

banyak digunakan perusahaan dalam melatih tenaga kerjanya. Para karyawan mempelajari pekerjaan sambil mengerjakannya secara langsung. Kebanyakan perusahaan menggunakan