• Tidak ada hasil yang ditemukan

Seiring dengan berkembangnya dunia usaha dan tingginya tingkat persaingan, mendorong semakin kompleks dan beragamanya kegiatannya usaha bank. Hal ini kemudian menyebabkan bank dituntut untuk berkonsentrasi pada pekerjaan pokoknya dan melaksanakan fungsinya sebagai lembaga intermediasi. Untuk lebih berkonsentrasi pada kegiatan pokoknya tersebut, maka bank melakukan penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan penunjang kepada pihak lain.26

Pada tanggal 9 Desember 2011, Bank Indonesia menerbitkan PBI No 13/25/PBI/2011 tentang prinsip kehati-hatian bagi Bank Umum yang akan melakukan praktek outsourching terhadap karyawannya. Peraturan ini menjadi pedoman bagi praktik outsourcing di industri perbankan nasional. Dalam PBI tersebut, pekerjaan di bank dibedakan dalam dua kelompok berdasarkan sifatnya, yakni pekerjaan pokok dan pekerjaan penunjang. Pekerjaan penunjang inilah yang diperbolehkan untuk di-outsource-kan atau dialih dayakan kepada pihak ketiga. Di dalam aturan itu dijelaskan bahwa praktek kerja outsourching hanya boleh dilakukan untuk bagian-bagian pekerjaan yang bersifat menunjang (non core business) atau kegiatan usaha pendukung usaha bank. 27

26

Bank Indonesia (a) PBI Outcoursing

Kategori penunjang suatu pekerjaan harus memenuhi tiga kriteria, yakni berisiko rendah, tidak membutuhkan kualifikasi kompetensi perbankan yang tinggi, dan tidak terkait langsung dengan proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi operasional bank. Yang termasuk dalam kategori ini misalnya call center, aktivitas pemasaran (telemarketing, direct sales/ sales representative), penagihan, jasa kurir, sekuriti, messenger, office boy dan sekretaris. Sedangkan untuk praktek kerja yang bersifat inti (core business) seperti, account officer, analis kredit, customer service, customer relation, teller, pekerjaan pemasaran, analis kelayakan, persetujuan, pencairan, pemantauan, penagihan kredit lancar merupakan bagian yang tidak boleh dilakukan outsourching.28

Salah satu alasan pembentukan aturan PBI ini adalah untuk melindungi hak karyawan outsourching di dunia perbankan. Penerapan peraturan ini dilakukan karena pada kenyataannya banyak dari pekerja outsourching di dunia perbankan saat ini merupakan bagian inti bank, seperti teller dan customer service. Alasan perbankan melakukan outsourching karyawan yaitu, untuk meminimalisir biaya bank. Dengan melakukan outsourching berarti bank bisa meminimalisir pengeluaran karena gaji untuk karyawan outsourching cenderung lebih rendah dibandingkan gaji karyawan tetap. Hal ini tentunya tidak mencerminkan nilai hasil kewajaran atas posisinya dalam bekerja dengan hasil yang didapatkannya.29

Peraturan PBI yang baru ini, merupakan salah satu upaya pemerintah dalam melindungi tenaga kerja yang memiliki posisi yang penting dalam suatu

28

perbankan. Namun, melalui telaah konsep syariah dalam bekerja, sebenarnya perlindungan terhadap tenaga kerja harus memperhatikan unsur-unsur (maqashid

syariah) dalam mencapai kesejahteraan (mashlahah) tenaga kerjanya. Bukan

sekedar perlindungan terhadap tenaga kerja inti namun juga tenaga kerja yang berasal dari outsourching juga harus diperhatikan. Karena tidak jarang pegawai outsourcing memberikan kontribusi yang cukup banyak bagi perusahaan.

Demi meningkatkan ketahanan perbankan dan menjaga bank tetap kuat serta sehat dalam menghadapi persaingan melalui pengelolaan yang lebih transparan dan mengacu pada prinsip tata kelola yang baik. Bank Indonesia kemudian menerbitkan mengenai prinsip kehati-hatian dalam melakukan outcoursing.30 Kebijakan ini tertuang pada Peraturan Bank Indonesia No.13/25/PBI/2011 tentang Prinsip kehati-hatian bagi Bank Umum yang melakukan penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada pihak lain pada tanggal 9 Desember 2011. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu Bank Indonesia pada Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan (DPNP).31

Latar belakang dari terbitnya PBI outcourcing ini sendiri, sebagaimana tercantum dalam bagian konsiderans adalah Bank Indonesia merasa perlu menetapkan pengaturan mengenai prinsip kehati-hatian bagi bank umum yang melakukan outcoursing, mengingat:

Penerbitan PBI outcourcing pada UU Ketenagakerjaan.

32

30

Bank Indonesia, Ringkasan Eksekutif Ketahanan Perekonomian Indonesia di Tengah Ketidakjelasan Ekonomi Global. Laporan perekonomian Indonesia 2011, hlm 34

31

Wawancara dengan Bapak Andi, Peneliti Bank Indonesia Cabang Medan pada Direktorat Jenderal Penelitian dan Pengaturan Perbankan (DPNP) pada tanggal 11 Oktober 2013

32

1. Kegiatan usaha bank yang semakin kompleks dan beragam akibat semakin berkembangnya dunia usaha dan ketatnya tingkat persaingan.

2. Diperbolehkannya bank untuk melakukan outcourcing yang tidak lain agar bank dapat lebih focus pada pekerjaan pokoknya dalam rangka melaksanakan fungsi intermediasi dan sejalan dengan perundang-undangan yang berlaku.

PBI outcoursing ini memberikan dasar hukum yang tegas bagi bank untuk dapat melakukan outcoursing, sejalan dengan diperbolehkannya suatu perusahaan ketenagakerjaan. Hal ini sebagaimana bunyi Pasal 2 ayat (1) PBI bahwa “Bank dapat melakukan outcoursing kepada perusahaan penyedia jasa”

Berdasarkan Pasal 66 ayat (1) UU Ketenagakerjaan kegiatan outcoursing hanya diperbolehkan untuk kegiatan jasa penunjang, yang berhubungan di luar usaha pokok (core business) suatu perusahaan atau dugaan kata lain hanya diperbolehkan untuk kegiatan non core.33

Di bidang perbankan sendiri, bank kemudian menterjemahkan kegiatan core dan non core ini dengan persepsi yang berbeda-beda. Melihat hal ini, Bank Indonesia kemudian merasa perlu untuk memberikan suatu pengaturan khusus bagi perbankan terkait penggunaan tenaga outcoucing agar bank-bank memiliki kesamaan persepsi mengenai pelaksanaan kegiatan outcoucing yang sesuai dengan perbankan. Hal lain yang mendasari penerbitan PBI outcourcing ini ialah, sebagaimana dalam penjelasan umum PBI outcourcing, potensi meningkatnya risiko yang dihadapi bank akibat kegiatan outcourcing. Selain itu, kejelasan atas

tanggung jawab bank terhadap pekerjaan yang diserahkan kepada pihak lain tersebut, serta aspek perlindungan nasabah menjadi hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Penguatan penerapan prinsip kehati-hatian dan menajemen risiko dalam kegiatan outcourcing yang diiiringi dengan terlindunginya kepentingan nasabah ini diharapkan dapat menjaga integritas sistem perbankan secara khusus dan sistem perbankan secara khusus dan sistem keuangan secara keseluruhan.34

PBI outcourcing merupakan PBI yang memberikan landasan pengaturan

umum bagi bank yang melakukan outcourcing dan memberikan aturan yang lebih ketat jelas dan tegas mengenai kewajiban bank menerapkan prinsip kehati-hatian. Dan manajemen risiko dalam kegiatan outcourcing. Terkait cukupan dari PBI outcourcing ini ialah hubungan antara bank dengan perusahaan penyedia jasa. Di dalam penjelasan Pasal 3 ayat (1) huruf (a) PBI outcourcing, ditegaskan bahwa PBI ini tidak mengatur mengenai pemborongan pekerjaan yang hasil akhirnya berupa barang atau yang pada umumnya dikenal sebagai pengadaan barang. 35

Bank yang telah melakukan alih daya atas pekerjaan selain pekerjaan yang diperbolehkan wajib melakukan langkah-langkah berikut

PBI ini membagi pengaturan mengenai kegiatan outcourcing dalam perbankan kedalam beberapa bagian, mulai dari ketentuan umum, kegiatan outcourcing itu sendiri, penerapan prinsip kehati-hatian dan manejemen risiko, pelaporan kepada Bank Indonesia serta sanksi yang dikenakan oleh Bank Indonesia apabila bank.

36

34

Bank Indonesia, (a) Op.Cit., Penjelasan Umum PBI Outcourcing 35

Ibid 36

tanggal 27 Januari 2014

1. Menghentikan alih daya sejak berakhirnya perjanjian atau paling lama satu tahun sejak diberlakukannya PBI.

2. Dalam hal sisa jangka waktu perjanjian lebih dari satu tahun tetapi tidak lebih dari dua tahun, bank wajib menghentikan alih daya pada saat berakhirnya perjanjian atau dapat memperpanjang perjanjian paling lama dua tahun sejak diberlakukannya PBI.

3. Dalam hal sisa jangka waktu perjanjian lebih dari dua tahun, bank wajib menghentikan perjanjian alih daya paling lama dua tahun sejak diberlakukannya PBI.

4. Menyusun dan menyampaikan laporan rencana aksi (action plan) dalam rangka penyesuaian alih daya sebagaimana dimaksud pada poin-poin di atas