• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistem Outsourcing Pada Industri Jasa Perbankan Setelah Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PPU-9/2011

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Sistem Outsourcing Pada Industri Jasa Perbankan Setelah Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PPU-9/2011"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

S K R I P S I

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

090200426

PUTRI SURI RAHMADHANI

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

LEMBAR PENGESAHAN

SISTEM OUTSOURCING PADA INDUSTRI JASA PERBANKAN SETELAH ADANYA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

NOMOR 27/PPU-9/2011

Oleh

090200426

PUTRI SURI RAHMADHANI

Disetujui Oleh

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

NIP. 19750112 200501 2 002 WINDHA, SH. M.Hum

Pembimbing I Pembimbing II

(Prof. Dr. BISMAAR NASUTIAN, SH, MH) (

NIP. 19560329198601 1001 NIP. 19750112200501 2002 WINDHA, SH, M.Hum)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

ABSTRAK

SISTEM OUTSOURCING PADA INDUSTRI JASA PERBANKAN SETELAH ADANYA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

NOMOR 27/PPU-9/2011 * Putri Suri Rahmadhani

** Bismar Nasution *** Windha

Kalangan pekerja dan pengusaha masih berbeda pandang melihat putusan Mahkamah Konstitusi terkait pengujian UU Ketenagakerjaan pada 17 Januari lalu. Guna menghindari kesimpangsiuran lebih jauh, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi mencoba menindaklanjuti putusan MK No 27/PUU-IX/2011 itu melalui Surat Edaran Menteri Nomor B.31/PHIJSK/2012 tentang Outsourcing dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).

Permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimana outsourcing pada jasa perbankan ?Bagaimana perjanjian kerja dengan sistem outsourcing di jasa perbankan ?Bagaimana sistem outsourcing pada jasa industri perbankan setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PPU-9/2011? Metode yang digunakan ini adalah yuridis empiris, yaitu suatu pendekatan yang dilakukan untuk menganalisis tentang sejauh manakah suatu peraturan/perundang-undangan atau hukum berlaku secara efektif dalam masyarakat.

Outsourcing pada jasa perbankan adalah demi meningkatkan ketahanan perbankan dan menjaga bank tetap kuat serta sehat dalam menghadapi persaingan melalui pengelolaan yang lebih transparan dan mengacu pada prinsip tata kelola yang baik. Bank Indonesia kemudian menerbitkan mengenai prinsip kehati-hatian dalam melakukan outcoursing. Kebijakan ini tertuang pada Peraturan Bank Indonesia No.13/25/PBI/2011 tentang Prinsip kehati-hatian bagi Bank Umum yang melakukan penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada pihak lain pada tanggal 9 Desember 2011. Penerbitan PBI outcourcing pada Undang-Undang Ketenagakerjaan. Perjanjian kerja dengan sistem outsourcing di jasa perbankan adalah perjanjian kerja secara tertulis antar perusahaan penerima pekerjaan dengan pekerja yang dipekerjakan, yang dapat didasarkan atas PKWTT atau PKWT, sesuai dengan persyaratan yang berlaku. Apabila ketentuan sebagai badan hukum dan/atau tidak dibuatnya perjanjian secara tertulis tidak dipenuhi, demi hukum status hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan pemberi pekerjaan. Sistem outsourcing pada jasa industri perbankan setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PPU-9/2011, dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 tanggal 17 Januari 2012. Kata Kunci : Sistem Outsourcing, Industri Jasa Perbankan

*Mahasiswa

**Dosen Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum USU

(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat dan rahmat-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan Skripsi ini dengan judul Sistem Outsourcing Pada Industri Jasa Perbankan setelah Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PPU-9/2011. Guna memenuhi persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan di Program Studi S-I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan

Penulis menyadari bahwa yang disajikan dalam penulisan Skripsi ini masih terdapat kekurangan yang harus diperbaiki, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun sehingga dapat menjadi perbaikan di masa akan datang.

Dalam penulisan Skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak baik secara moril dan materil, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum, selaku Pembantu Dekan I, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH., M.Hum, selaku Pembantu Dekan II, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(5)

5. Ibu Windha, SH., M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus sebagai dosen pembimbing II pada penulisan skripsi ini.

6. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., M.H, selaku Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan, petunjuk, nasehat dan saran mulai dari awal sampai akhir sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

7. Bapak Ramli Siregar, SH., M.Hum, selaku Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, petunjuk, nasehat dan saran mulai dari awal sampai akhir sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

8. Seluruh staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

9. Kepada kedua orang tua ayahanda dan ibunda yang telah banyak memberikan dukungan doa dan kasih sayang yang tak pernah putus sampai sekarang.

10.Kepada rekan-rekan mahasiswa/i, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

11.Rekan-rekan diluar kampus yang tidak bisa disebutkan satu persatu

Penulis berharap semoga proposal ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya. Akhirnya penulis mengucapkan banyak terima kasih.

Medan, April 2014 Penulis

090200426

(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

D. Keaslian Penulisan ... 6

E. Metode Penelitian ... 8

F. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II OUTSOURCING PADA INDUSTRI JASA PERBANKAN ... 12

A. Pengertian Outsourcing ... 12

B. Pengaturan Outsourcing ... 18

C. Alasan Penggunaan outsourcing di Jasa Perbankan ... 27

D. Outsourcing pada Jasa Perbankan Indonesia ... 35

BAB III PERJANJIAN KERJA DENGAN SISTEM OURSOURCING DI JASA PERBANKAN ... 41

A. Kegiatan Usaha Bank Umum ... 41

B. Perjanjian Yang Dipakai Dalam Outsourcing ... 44

C. Perjanjian Outsourcing dalam Jasa Perbankan... 48

(7)

BAB IV SISTEM OUTSOURCING PADA INDUSTRI JASA PERBANKAN SETELAH ADANYA PUTUSAN

MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 27/PPU-9/2011 ... 64

A. Putusan Mahkamah Konstitusi No.27/PPU-9/2011 ... 64

B. Pelaksanaan Sistem Outsourcing di Jasa Perbankan ... 74

C. Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Outsourcing Pasaca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PPU-9/2011 ... 90

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 104

A. Kesimpulan ... 104

B. Saran ... 105 DAFTAR PUSTAKA

(8)

ABSTRAK

SISTEM OUTSOURCING PADA INDUSTRI JASA PERBANKAN SETELAH ADANYA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

NOMOR 27/PPU-9/2011 * Putri Suri Rahmadhani

** Bismar Nasution *** Windha

Kalangan pekerja dan pengusaha masih berbeda pandang melihat putusan Mahkamah Konstitusi terkait pengujian UU Ketenagakerjaan pada 17 Januari lalu. Guna menghindari kesimpangsiuran lebih jauh, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi mencoba menindaklanjuti putusan MK No 27/PUU-IX/2011 itu melalui Surat Edaran Menteri Nomor B.31/PHIJSK/2012 tentang Outsourcing dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).

Permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimana outsourcing pada jasa perbankan ?Bagaimana perjanjian kerja dengan sistem outsourcing di jasa perbankan ?Bagaimana sistem outsourcing pada jasa industri perbankan setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PPU-9/2011? Metode yang digunakan ini adalah yuridis empiris, yaitu suatu pendekatan yang dilakukan untuk menganalisis tentang sejauh manakah suatu peraturan/perundang-undangan atau hukum berlaku secara efektif dalam masyarakat.

Outsourcing pada jasa perbankan adalah demi meningkatkan ketahanan perbankan dan menjaga bank tetap kuat serta sehat dalam menghadapi persaingan melalui pengelolaan yang lebih transparan dan mengacu pada prinsip tata kelola yang baik. Bank Indonesia kemudian menerbitkan mengenai prinsip kehati-hatian dalam melakukan outcoursing. Kebijakan ini tertuang pada Peraturan Bank Indonesia No.13/25/PBI/2011 tentang Prinsip kehati-hatian bagi Bank Umum yang melakukan penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada pihak lain pada tanggal 9 Desember 2011. Penerbitan PBI outcourcing pada Undang-Undang Ketenagakerjaan. Perjanjian kerja dengan sistem outsourcing di jasa perbankan adalah perjanjian kerja secara tertulis antar perusahaan penerima pekerjaan dengan pekerja yang dipekerjakan, yang dapat didasarkan atas PKWTT atau PKWT, sesuai dengan persyaratan yang berlaku. Apabila ketentuan sebagai badan hukum dan/atau tidak dibuatnya perjanjian secara tertulis tidak dipenuhi, demi hukum status hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan pemberi pekerjaan. Sistem outsourcing pada jasa industri perbankan setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PPU-9/2011, dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 tanggal 17 Januari 2012. Kata Kunci : Sistem Outsourcing, Industri Jasa Perbankan

*Mahasiswa

**Dosen Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum USU

(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, selanjutnya disebut (UU Perbankan), menyebutkan pengertian bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat banyak.1 Mengacu pada pengertian tersebut, bank merupakan bisnis kepercayaan di mana masyarakat akan menempatkan uangnya pada bank yang menjadi pilihannya, yang memiliki performa dan tingkat kesehatan yang baik.2 Lembaga perbankan sebagai salah satu lembaga keuangan3 memiliki nilai yang sangat strategis dalam kehidupan perekonomian suatu negara. Lembaga ini merupakan perantara pihak-pihak yang mempunyai kelebihan dana (surplus of fund) dengan pihak-pihak yang kekurangan dan memerlukan dana (lack of fund).4

Peranan utama bank sebagi lembaga intermediasi keuangan (financial intermediary) adalah mengalihkan dana (deficitI) di samping menyediakan

jasa-jasa keuangan lainnya. Oleh karena bank berfungsi sebagai lembaga intermediasi

1

Indonesia (a), Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7Tahun 1992 tentang Perbankan. Lembar Negara Nomor 182, Tahun 1998, Tambahan Lembar Negara No.3790, (Selanjutnya disebut sebagai “Undang-Undang Perbankan Pasal 1.

2

Darmadi Sudibyo dan Eko B. Supriyatno,ed., Budaya Kerja Perbankan:Jalan Lurus Menuju Integritas, (Jakarta:LP3ES Indonesia , 2006), hlm.103

3

Husein Umar, Business An Introduction (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), hlm.172

4

(10)

keuangan atau perantara keuangan maka dalam hal ini faktor kepercayaan dari masyarakat atau nasabah merupakan faktor utama dalam menjalankan bisnis perbankan.5 Dalam melakukan fungsi intermediasi, bank harus mengambil risiko dan mempunyai kemampuan untuk dapat mengukur risiko. Dalam industri perbankan masalahnya akan menjadi kompleks karena dua hal utama. Pertama, risiko bank bersifat sistemik, artinya apabila satu bank mengalami masalah, maka bukan hanya pemilik bank saja yang dirugikan, karyawan yang kehilangan pekerjaan dan stakeholder bank lainnya yang akan terkena akibatnya, tetapi masalahnya akan dapat merambat kepada bank lain melalui transaksi pinjam meminjam antar bank. Kedua, bisnis perbankan adalah merupakan bisnis yang bersifat kepercayaan, oleh karena itu, uang para pemilik dana harus dilindungi agar para deposan tidak trauma untuk menyimpan uangnya di bank, yang berpotensi dapat mengakibatkan runtuhnya sistem perbankan. Oleh karena itu di negara manapun pada umumnya industri perbankan dikenal sebagai industri yang paling banyak diatur dan diawasi oleh pemerintah atau bank sentral (most highly regulated industri).6

Perjanjian kerja outsourcing atau alih daya merupakan bagian kapitalisme global dan cenderung merugikan pekerja. Sistem itu disukai kalangan pengusaha karena bisa memangkas berbagai tunjangan yang harus dikeluarkan perusahaan. Sistem outsourcing tidak hanya ada di Indonesia, tetapi di semua negara. Di

5

(11)

mana-mana pada semua negara pada prinsipnya sama, pengusaha menghindari karyawan tetap, dan menghindari hak-hak pekerja.

Pengertian atau definisi dari outsourcing tidak ditemukan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Dalam Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan selanjutnya disebut (UU Ketenagakerjaan) diatur dua bentuk penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain, inilah yang kemudian populer dan dikenal oleh masyarakat sebagai outsourcing dan sekaligus menjadi dasar pelaksanaan

outsourcing di Indonesia. Bentuk penyerahan pekerjaan itu adalah melalui

pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa pekerja/buruh

Kalangan pekerja dan pengusaha masih berbeda pandang melihat putusan Mahkamah Konstitusi selanjutnya disebut (MK) terkait pengujian UU Ketenagakerjaan pada 17 Januari 2012 lalu. Guna menghindari kesimpangsiuran lebih jauh, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi mencoba menindaklanjuti putusan MK No 27/PUU-IX/2011 itu melalui Surat Edaran Menteri Nomor B.31/PHIJSK/2012 tentang Outsourcing dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu selanjutnya disebut (PKWT). MK menegaskan outsourcing adalah kebijakan usaha yang wajar dari suatu perusahaan dalam rangka efisiensi usaha. Akan tetapi pekerja yang melaksanakan pekerjaan dalam perusahaan outsourcing tidak boleh kehilangan hak-haknya yang dilindungi konstitusi. Agar

para pekerja tidak dieksploitasi, Mahkamah menawarkan dua model outsourcing. Meskipun dua model usulan Mahkamah diarahkan untuk melindungi

(12)

pekerjaan yang sifatnya bukan borongan atau tidak selesai dalam sekali waktu tetap diperbolehkan. Inilah yang merisaukan kalangan pekerja dan menilai putusan MK makin melegalkan praktik outsourcing.

Ada tiga hal penting yang dikritik. Pertama, putusan MK mengukuhkan keberadaan outsourcing dalam sistim ketenagakerjaan di Indonesia. Pekerja masih bekerja di perusahaan penyedia (agent) tenaga kerja bukan di perusahaan pengguna tenaga kerja (user). Kalangan serikat pekerja lebih menginginkan outsourcing yang bergerak di bidang penyediaan tenaga kerja (bukan borongan) dihapuskan. Sehingga pekerja bekerja di perusahaan pengguna tenaga kerja secara langsung tanpa outsourcing. Kedua, putusan MK memperkecil jarak benefit yang diperoleh pekerja outsourcing dengan pekerja tetap dengan jenis pekerjaan sama. Meminimalisir diskriminasi penting, sehingga prinsip equal job equal pay dapat diterapkan. Dalam konteks ini, tetap saja pekerja outsourcing sulit beralih posisi menjadi pekerja di perusahaan pengguna tenaga kerja. Ketiga, posisi tawar pekerja outsourcing sangat lemah terutama membentuk serikat buruh. Ketika pekerja ingin menuntut kenyamanan di tempat kerja, pekerja bingung akan menuntut kemana; perusahaan penyedia atau pengguna tenaga kerja.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar di atas maka perumusan masalah dalam penelitian ini diantaranya:

1. Bagaimana outsourcing pada jasa perbankan?

(13)

3. Bagaimana sistem outsourcing pada jasa industri perbankan setelah adanya Putusan MK No. 27/PPU-9/2011?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Dalam penelitian yang dilakukan ini mengindikasikan pada suatu tujuan yang diharapkan mampu dicapai yaitu

a. Untuk mengetahui outsourcing pada jasa perbankan.

b. Untuk mengetahui perjanjian kerja dengan sistem outsourcing di jasa perbankan.

c. Untuk mengetahui sistem outsourcing pada jasa industri perbankan setelah adanya Putusan MK No. 27/PPU-9/2011.

2. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dilakukan dalam penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat yaitu:

a. Manfaat teoritis

1) Diharapkan dapat digunakan bagi pendalaman kajian sehubungan dengan fungsi hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat dan memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan hukum sistem outsourcing pada jasa industri perbankan setelah adanya Putusan MK No. 27/PPU-9/2011 2) Diharapkan dapat memberikan referensi bagi dilakukannya

(14)

b. Manfaat Praktis

1) Diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi kepada pendidikan ilmu hukum mengenai pelaksanaan kaidah-kaidah hukum terutama hukum sistem outsourcing pada jasa industri perbankan setelah adanya Putusan MK No. 27/PPU-9/2011

2) Untuk memberikan sarana tambahan informasi terhadap pihak-pihak pelaku bisnis yang terkait dengan aktivitas outsourcing dan membutuhkan pengetahuan tentang norma hukum yang mengaturnya, sehingga mampu memahami segala aspek-aspek yuridis yang menyangkut dengan sistem outsourcing pada jasa industri perbankan setelah adanya Putusan MK No. 27/PPU-9/2011

3) Memberikan manfaat kepada para praktisi hukum khususnya yang bergerak dalam bidang outsourcing

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan penelusuran dan hasil pengamatan yang telah dilakukan oleh penulis baik di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, penulis menemukan judul antara lain :

1. Hak-hak Pekerja/Buruh dan Praktek Outsourcing menurut UU No. 13 Tahun 2003 ”Outsourcing ditinjau dari KUHPerdata dan Undang-Undang Ketenagakerjaan.

(15)

membahas mengenai klasifikasi pekerjaan utama dan pekerjaan penunjang perusahaan yang merupakan dasar pelaksanaan outsourcing, hubungan hukum antara pekerja/buruh outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa outsourcing, dan penyelesaian sengketa terhadap pekerja/buruh outsourcing yang melanggar aturan kerja pada perusahaan pemberi kerja.

3. Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja/ Buruh dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PWKT) Ditinjau dari Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, diteliti oleh Muhammad Fajrin Pane, NIM 067005017. Penelitian ini membahas mengenai peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan mengatur tentang PKWT, pengaturan PKWT dalam perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja, perlindungan hukum terhadap pekerja/ buruh yang terikat dalam PKWT.

Dalam penelitian skripsi ini penulis mengambil judul tentang Sistem Outsourcing Pada Industri Jasa Perbankan Setelah Adanya Putusan MK No.

(16)

E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Penelitian dengan metode normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.7

Penelitian ini menggunakan pendekatan empiris. Pendekatan yuridis digunakan untuk menganalisis berbagai peraturan perundang-undangan terkait dengan perjanjian perjanjian pengadaan barang dan jasa. Sedangkan pendekatan

empiris digunakan untuk menganalisis hukum yang dilihat sebagai prilaku

masyarakat yang berpola dalam kehidupan masyarakat yang selalu berinteraksi dan berhubungan dalam aspek kemasyarakatan.

Pada penelitian hukum normatif, bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam penelitian digolongkan sebagai sebagai data sekunder. Dengan demikian jenis data yang diperoleh adalah data sekunder. Hal ini terjadi karena sifat dari penelitian yang dilakukan adalah berupa penelitian normatif, sehingga metode kepustakaanlah yang paling sesuai dengan sifat penelitian ini.

8

7

Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: RajaGrafindu Persada, 2001), hlm.13.

8

(17)

2. Data Penelitian

Data penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer digunakan untuk mendukung data sekunder. Adapun data-data tersebut adalah

a. Data sekunder

Data sekunder yaitu data yang mendukung keterangan atau menunjang kelengkapan data primer, dengan mempelajari data sekunder yang berupa bahan-bahan pustaka, peraturan, ketentuanketentuan hukum yang berhubungan dengan permasalahan dan/atau perihal yang diteliti.

b. Data primer

Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari sumbernya yang dalam hal ini diperoleh dengan wawancara, yaitu cara memperoleh Informasi dengan mempertanyakan langsung pada pihak-pihak yang diwawancarai terutama orang-orang yang berwenang, mengetahui dan terkait dengan Sistem Outsourcing Pada Industri Jasa Perbankan Setelah Adanya Putusan MK No. 27/PPU-9/2011. Wawancara lebih banyak dilakukan melalui diskusi/tanya jawab lisan, untuk selanjutnya dianalisis oleh peneliti untuk kepentingan pembahasan lanjutan dan penarikan solusi atas persoalan yang dibahas bagi kepentingan penelitian tersebut.

3. Alat pengumpul data

(18)

digunakan untuk mengumpulkan data yang diperlukan untuk mendukung antara lain :

a. Library Research atau penelitian kepustakaan

Mengadakan penelitian terhadap data-data yang diperoleh dari buku-buku literatur, catatan kuliah, jurnal, majalah-majalah ilmiah yang ada kaitannya dengan skripsi ini dan KUHPerdata digunakan sebagai rujukan dalam pembahasan skripsi ini untuk memperkuat dalil dan fakta penelitian.

b. Field Research atau penelitian lapangan

Pengumpulan data melalui riset dilakukan dengan melakukan wawancara kepada Andi Peneliti Bank Indonesia Cabang Medan yang ada kaitannya dengan pembahasan skripsi ini.

4. Analisis data

Analisis data adalah suatu tahapan yang sangat penting dalam suatu penelitian sehingga akan mendapatkan hasil yang akan mendekati kebenaran yang ada. Dalam penulisan tesis ini digunakan teknik analisis kualitatif, yaitu data yang terkumpul dituangkan dalam bentuk uraian logis dan sistematis, selanjutnya dianalisis untuk memperoleh kejelasan penyelesaian masalah, kemudian ditarik kesimpulan secara induktif.

F. Sistematika Penulisan BAB I PENDAHULUAN

(19)

BAB II OUTSOURCING PADA INDUSTRI JASA PERBANKAN

Pada bab ini akan membahas mengenai pengertian outsourcing, pengaturan outsourcing, alasan penggunaan outsourcing di jasa perbankan dan outsourcing pada jasa perbankan Indonesia

BAB III PERJANJIAN KERJA DENGAN SISTEM OURSOURCING DI JASA PERBANKAN

Pada bagian ini akan membahas kegiatan usaha bank umum, perjanjian yang dipakai dalam outsourcing, perjanjian outsourcing dalam jasa perbankan dan penyelesaian perselisihan outsourcing.

BAB IV SISTEM OUTSOURCING PADA INDUSTRI JASA PERBANKAN SETELAH ADANYA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 27/PPU-9/2011

Pada bab ini akan membahas tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor.27/PPU-9/2011, Pelaksanaan Sistem Outsourcing di Jasa Perbankan dan Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Outsourcing Pasaca-Putusan MK No. 27/PPU-9/2011

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

(20)

E. Pengertian Outsourcing

Outsourcing adalah pendelegasian operasi dan managemen harian dari

suatu proses bisnis kepada pihak luar (perusahaan penyedia jasa outsourcing). Melalui pendelegasian, maka pengelolaan tak lagi dilakukan oleh perusahaan, melainkan dilimpahkan kepada perusahaan jasa outsourcing.9

Outsourcing adalah salah satu hasil samping dari Business Process

Reengineering (BPR). BPR adalah perubahan yang dilakukan secara mendasar

oleh suatu perusahaan dalam proses pengelolaannya, bukan hanya sekedar melakukan perbaikan. BPR adalah pendekatan baru dalam managemen yang bertujuan meningkatkan kinerja, yang sangat berlainan pendekatan lama yaitu continuous improvement process. BPR dilakukan untuk memberikan respons atas

perkembangan ekonomi secara global dan perkembangan teknologi yang demikian cepat sehingga berkembang persaingan yang bersifat global dan berlangsung sangat ketat.10 Menurut Candra Soewondo Outsourcing adalah Pendelegasian operasional dan manajemen harian dari suatu proses bisnis kepada pihak luar (penyedia jasa)11

9

Sehat Damanik, Outsourcing dan Perjanjian Kerja menurut UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (Jakarta : DSS Publishing, 2006), hlm 10

10

Sonhaji, Aspek Hukum Hubungan Kerja Melalui Mekanisme Outsourcing berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Majalah Masalah-Masalah Hukum Vol. 36 No. 2 April-Juni 2007, hlm. 112

(21)

Sedangan menurut Greaver dalam Indrajit Outsourcing adalah tindakan mengalihkan atau menyerahkan aktivitas-aktivitas internal yang terjadi berulang kali dan hak-hak pembuatan keputusan yang dimiliki suatu perusahaan kepada jasa out side providers, sebagaimana yang tercantum dalam perjanjian kontrak12

Di dalam undang-undang tidak menyebutkan secara tegas mengenai istilah outsorcing. Tetapi pengertian outsourcing dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 64

UU Ketenagakerjaan, yang isinya menyatakan bahwa outsourcing adalah suatu perjanjian kerja yang dibuat antara pengusaha dengan tenaga kerja, dimana perusahaan tersebut dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis.13

Pasal 1601 b KUH Perdata, outsourcing disamakan dengan perjanjian pemborongan sehingga pengertian outsourcing adalah suatu perjanjian dimana pemborong mengikat diri untuk membuat suatu kerja tertentu bagi pihak lain yang memborongkan mengikatkan diri untuk memborongkan pekerjaan kepada pihak pemborongan dengan bayaran tertentu.14

Dari pengertian di atas maka dapat ditarik suatu definisi operasional mengenai outsourcing yaitu suatu bentuk perjanjian kerja antara perusahaan pengguna jasa dengan perusahaan penyedia jasa, dimana perusahaan pengguna jasa meminta kepada perusahaan penyedia jasa untuk menyediakan tenaga kerja

12

Indrajit RE dan Richardus Djokopranoto, Proses Bisnis Outsourcing, (Jakarta: Grasindo, 2003) hlm 03.

13

H.Zulkarnain Ibrahim, Praktek Outsourcing Dan Perlindungan Hak-Hak Pekerja, Internet : Simbur Cahaya No. 27 Tahun X Januari 2005, hlm.80

14

(22)

yang diperlukan untuk bekerja di perusahaan pengguna jasa dengan membayar sejumlah uang dan upah atau gaji tetap dibayarkan oleh perusahaan penyedia jasa. Pola perjanjian kerja dalam bentuk outsourcing secara umum adalah ada beberapa pekerjaan kemudian diserahkan ke perusahaan lain yang telah berbadan hukum, dimana perusahaan yang satu tidak berhubungan secara langsung dengan pekerja tetapi hanya kepada perusahaan penyalur atau pengerah tenaga kerja. Pendapat lain menyebutkan bahwa outsourcing adalah pemberian pekerjaan dari satu pihak kepada pihak lain dalam 2 (dua) bentuk, yaitu :

1. Menyerahkan dalam bentuk pekerjaan.

2. Pemberian pekerjaan oleh pihak I dalam bentuk jasa tenaga kerja.

Perjanjian Outsourcing dapat disamakan dengan perjanjian pemborongan pekerjaan. Di bidang ketenagakerjaan, outsourcing dapat diterjemahkan sebagai pemanfaatan tenaga kerja untuk memproduksi atau melaksanakan suatu pekerjaan oleh suatu perusahaan, melalui perusahaan penyedia/pengerah tenaga kerja. Ini berarti ada dua perusahaan yang terlibat, yakni perusahaan yang khusus menyeleksi, melatih dan mempekerjakan tenaga kerja yang menghasilkan suatu produk/jasa tertentu untuk kepentingan perusahaan lainnya. Dengan demikian perusahaan yang kedua tidak mempunyai hubungan kerja langsung dengan tenaga kerja yang bekerja padanya; hubungan hanya melalui perusahaan penyedia tenaga kerja. Outsourcing adalah alternatif dalam melakukan pekerjaan sendiri. Tetapi outsourcing tidak sekedar mengontrakkan secara biasa, tetapi jauh melebihi itu.

(23)

lisan, apabila terjadi perselisihan, serta sebagai syarat untuk adanya perjanjian outsourcing.

Berdasarkan Pasal 65 UU Ketenagakerjaan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Kep. 220/Men/2004 Tahun 2004 tentang bentuk dan syarat-syarat penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain (Kep. 220/Men/X/20040). Bentuk dan isi perjanjian outsourcing adalah sebagai berikut :

1. Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain yang dilaksanakan melalui perjanjian yang didibuat secara tertulis,

2. Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain

Sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut ;

a. Di lakukan secara terpisah dari kegiatan utama baik manajemen maupun kegiatan pelaksanaan pekerjaan,

b. Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak dari pemberi pekerjaan untuk memberikan penjelasan tentang tata cara melaksanakan pekerjaan agar sesuai dengan standar yang di tetapkan oleh perusahaan pemberi pekerjaan,

(24)

d. Tidak menghambat proses produksi secara langsung. Artinya, kegiatan tersebut merupakan kegiatan tambahan yang apabila tidak dilakukan oleh perusahaan pemberi pekerjaan, proses pelaksanaan pekerjaan tetap berjalan sebagaimana biasanya,

e. Perusahaan pemberi pekerjaan yang akan menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaanya kepada perusahaan pemborongan pekerjaan wajib membuat alur kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan,

f. Berdasarkan alur kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan maka perusahaan pemberi pekerjaan menetapkan jenis-jenis pekerjaan yang utama dan penunjang berdasarkan serta melaporkan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat Pasal 6 ayat (2) Kep. 220/Men/2004.

3. Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada Perusahaan lain harus diserahkan kepada perusahaan yang berbadan hukum kecuali (Pasal 3 Kep/Men/X/2004) yaitu :

a. Perusahaan pemborongan pekerjaan yang bergerak di bidang pengadaan barang ;

b. Perusahaan pemborongan pekerjaan yang bergerak di bidang jasa pemeliharaan dan perbaikan serta jasa konsultasi yang dalam melaksanakan pekerjaan tersebut mempekerjakan pekerja/buruh kurang dari 10 (sepuluh) orang.

(25)

perusahaan pemberi pekerjaan, maka penyerahan tersebut dapat diberikan kepada perusahaan pemborong pekerjaan yang bukan berbadan hukum. Dalam hal perusahaan pemborong pekerjaan bukan berbadan hukum sebagaiman dimaksud dalam ayat (3) tidak melaksanakan kewajibanya untuk memenuhi hak-hak pekerja/buruh dalam hubungan kerja maka perusahaan yang berbadan hukum sebagaimana yang diamksud dalam ayat (1) bertanggung jawab dalam memenuhi kewajiban tersebut.

5. Dalam suatu daerah tidak terdapat perusahaan pemborongan pekerjaan yang berbadan hukum atau terdapat perusahaan pemborongan pekerjaan berbadan hukum tetapi tidak memenuhi kualifikasi untuk melaksanakan sebagian pekerjaan dari perusahaan pemberi pekerjaan, penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan dapat diserahka kepada perusahaan pemborong pekejaan yang budan berbadan hukum (Pasal 4 ayat (1) Kep.220/Men/X/2004. 6. Perusahaan penerima pemborongan pekerjaan yang bukan berbadan hukum

sebagaiman dimaksud diatas bertanggung jawab untuk memenuhi hak-hak pekerja/buruh yang terjadi dalam hubungan kerja antara perusahaan yang budan berbada hukum tersebut dengan pekerjaanya/buruhnya dan tanggung jawab tersebut harus dituangkan dalam perjanjian pemboronga pekerjaan antara perusahaan pemberi pekerjaan dan perusahaan pemborong pekerjaan. 7. Hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan pemborongan pekerjaan dalam

(26)

tertentu selanjutnya disebut (PKWTT) dan PKWT tertentu apabila telah memenuhi persyaratan perjanjian karja waktu tertentu, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 59 UU No. tahun 2003 tentang Penyediaan Jasa Pekerja.

F. Pengaturan Outsourcing

UU Ketenagakerjaan sebagai dasar hukum diberlakukannya outsourcing (Alih Daya) di Indonesia, membagi outsourcing menjadi dua bagian, yaitu: pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa pekerja/buruh. Pada perkembangannya dalam draft revisi UU Ketenagakerjaan outsourcing mengenai pemborongan pekerjaan dihapuskan, karena lebih condong ke arah sub contracting pekerjaan dibandingkan dengan tenaga kerja.15

15

Draft Revisi Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, diakses Pelaksanaan outsourcing melibatkan 3 (tiga) pihak yakni perusahaan penyedia tenaga kerja outsourcing, perusahaan pengguna tenaga kerja outsourcing, dan tenaga kerja outsourcing itu sendiri. Oleh karena itu perlu

adanya suatu peraturan agar pihak-pihak yang terlibat tidak ada yang dirugikan khususnya tenaga kerja outsourcing.

(27)

1. Dasar pelaksanaan Outsourcing

Prinsip dasar pelaksanaan outsourcing adalah terjadinya suatu kesepakatan kerjasama antara perusahaan pengguna jasa tenaga kerja dan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja dalam bentuk perjanjian pemborongan pekerjaan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja, dimana perusahaan pengguna tenaga kerja akan membayar suatu jumlah tertentu sesuai kesepakatan atas hasil pekerjaan dari tenaga kerja yang disediakan oleh perusahaan penyedia tenaga kerja.

Sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 64, yang berbunyi sebagai berikut :”Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.”

Dengan demikian outsorcing dapat terlaksana bila sudah ditandatangani suatu perjanjian antara pengguna jasa tenaga kerja dan penyedia jasa tenaga kerja yaitu perjanjian pemborongan kerja atau penyediaan jasa tenaga kerja.

(28)

F.X. Djumialdji, memberikan suatu definisi yaitu: “Pemborongan pekerjaan adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu, si pemborong, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan, sedangkan pihak yang lain, yang memborong, mengikatkan diri untuk membayar suatu harga yang telah ditentukan”.16

2. Syarat-syarat pekerjaan yang dapat diserahkan kepada pihak lain.

Perjanjian pemborongan pekerjaan yang dilakukan oleh perusahaan pengguna tenaga kerja dan perusahaan penyedia tenaga kerja harus dalam bentuk tertulis, sesuai ketentuan Pasal 65 ayat (1) sebagai berikut: “Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis”.

Pada dasarnya tujuan utama suatu perusahaan melakukan outsourcing adalah untuk meningkatkan kemampuan dan keunggulan kompetitif perusahaan agar dapat mempertahankan hidup dan berkembang. Mempertahankan hidup berarti tetap dapat mempertahankan pangsa pasar, sementara berkembang berarti dapat meningkatkan pangsa pasar, dengan tujuan strategis ialah bahwa dengan melakukan outsourcing, perusahaan ingin meningkatkan kemampuannya berkompetisi, atau ingin meningkatkan atau sekurang-kurangnya mempertahankan keunggulan kompetitifnya. Kompetisi antara perusahaan umumnya menyangkut tiga hal, yaitu harga produk, mutu produk dan layanan. Oleh karena itu, pekerjaan harus diserahkan pada pihak yang lebih profesional dan lebih berpengalaman

(29)

daripada perusahaan sendiri dalam melaksanakan jenis pekerjaan yang diserahkan, tidak sekedar pihak ketiga saja.

Namun demikian tidak semua pekerjaan dapat dialihkan dengan cara outsourcing, hanya pekerjaan yang memenuhi syarat-syarat tertentu saja yang

dapat dialihkan kepada perusahaan lain. Perusahaan dalam hal ini dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaannya kepada perusahaan lainnya melalui :

a. Pemborongan pekerjaan; atau b. Penyediaan jasa pekerja.

Pasal 65 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menyebutkan: “Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis”.

Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 65 ayat (2) yaitu:

a) Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;

b) Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;

c) Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; d) Tidak menghambat proses produksi secara langsung.

(30)

bahwa: Kegiatan penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi adalah kegiatan yang berhubungan di luar usaha pokok (core bussiness) suatu perusahaan. Kegiatan tersebut antara lain: usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh catering, usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan), usaha penunjang

di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan pekerja/buruh.

Syarat-syarat pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain diatur juga dalam Pasal 6 Kepmenakertrans No. KEP-220/MEN/X/2004 tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan lain yang bunyinya sebagai berikut :

1. Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada pemborong pekerjaan harus memenuhi syarat :

a. Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama, baik manajemen maupun kegiatan pelaksanaan pekerjaan;

b. Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;

c. Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan;

d. Tidak menghambat proses produksi secara langsung, artinya apabila pekerjaan yang diborong tersebut apabila tidak dilaksanakan, maka kegiatan utama tetap berjalan sebagaimana mestinya.

(31)

3. Perusahaan pemberi pekerjaan menetapkan jenis-jenis pekerjaan yang utama dan menunjang serta melaporkan kepada instansi ketenagakerjaan setempat.

3. Syarat-syarat Perusahaan Penyedia Jasa Tenaga Kerja Outsourcing.

UU Ketenagakerjaan mengatur syarat-syarat perusahaan yang dapat menyediakan tenaga kerja agar kepentingan para pihak yang terlibat dalam perjanjian outsourcing, baik pihak-pihak yang berhubungan maupun terhadap pekerja/buruh yang dipekerjakan tidak ada yang dirugikan terutama tenaga kerja outsourcing yang biasanya berada pada posisi yang lemah. Syarat-syarat tersebut

dalam Pasal 65 UU Ketenagakerjaan disebutkan

1. Perusahaan penyedia tenaga kerja haus berbentuk badan hukum (Pasal 65 ayat (3))

2. Perusahaan penyedia tenaga kerja harus mampu memberikan perlindungan upah dan kesejahteraan, memenuhi syarat-syarat kerja sekurang-kurangnya sama dengan perusahaan pengguna tenaga kerja atau peraturan-perundang-undangan yang berlaku. (Pasal 65 ayat (4)), dengan kata lain perusahaan penyedia tenaga kerja minimal harus memiliki Peraturan Perusahaan yang telah disetujui oleh Departemen Tenaga Kerja.

Pasal 66 UU Ketenagakerjaan antara lain :

1. Ada hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;

(32)

Pasal 59 UU Ketenagakerjaan dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak.

3. Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh. 4. Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan

penyedia pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.

5. Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.

Apabila ketentuan-ketentuan yang telah disebutkan di atas tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.

Syarat-syarat bagi perusahaan pelaksana pekerjaan juga terdapat pada Pasal 3, Pasal 5 Kepmenakertrans No. KEP-220/MEN/2004: Pasal 3 ayat (2) sampai dengan ayat (5) :

1) Penyerahan sebagian pelaksana pekerjaan kepada pemborong harus diserahkan kepada perusahaan yang berbadan hukum.

2) Ketentuan dalam ayat (1) dikecualikan bagi :

(33)

b. Perusahaan pemborong pekerjaan yang bergerak di bidang jasa pemeliharaan dan perbaikan serta jasa konsultasi yang memperkerjakan pekerja/buruh kurang dari 10 (sepuluh) orang.

3) Apabila pemborong yang akan menyerahkan lagi sebagian pekerjaan, maka penyerahan tersebut dapat diberikan kepada perusahaan pemborong pekerjaan yang tidak berbadan hukum.

4) Apabila perusahaan pemborong yang bukan berbadan hukum dimaksud ayat (3) tidak melaksanakan kewajibannya memenuhi hak-hak pekerja/buruh, maka perusahaan yang berbadan hukum dimaksud ayat (1) bertanggung jawab memenuhi kewajiban tersebut.

Pasal 4 berbunyi :

1) Dalam hal disuatu daerah tidak terdapat pemborong pekerjaan berbadan hukum, atau terdapat pemborong pekerjaan berbadan hukum tetapi tidak memenuhi kualifikasi yang ditentukan perusahaan pemberi pekerjaan, maka penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan dapat diserahkan kepada perusahaan pemborong yang tidak berbadan hukum.

2) Perusahaan penerima pemborongan yang tidak berbadan hukum dimaksud ayat (1) bertanggung jawab memenuhi hak-hak pekerja.

3) Tanggung jawab dimaksud ayat (2) harus dituangkan dalam perjanjian pemborongan pekerjaan antara pemberi pekerjaan dengan perusahaan pemborong pekerjaan.

(34)

izin operasional dari instansi ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota sesuai dengan domisili perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh untuk mendapatkan ijin operasional, dengan menyampaikan permohonan dengan melampirkan : a) Copy pengesahan sebagai badan hukum berbentuk Perseroan Terbatas atau

koperasi;

b) Copy anggaran dasar yang di dalamnya memuat kegiatan usaha penyedia jasa pekerja/buruh;

c) Copy SIUP;

d) Copy wajib lapor ketenagakerjaan yang masih berlaku.

Dinas Tenaga Kerja Kota/Kabupaten harus sudah menerbitkan izin operasional terhadap permohonan yang telah memenuhi ketentuan diatas dalam waktu paling lama 30 hari sejak permohonan diterima. Izin operasional bagi perusahaan penyedia tenaga kerja berlaku diseluruh Indonesia untuk jangka waktu 5 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama.

4) Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja.

Menyadari akan pentingnya pekerja bagi perusahaan, dalam dunia outsourcing, baik dalam pemborongan pekerjaan maupun penyediaan jasa

(35)

masalah yang sangat komplek karena akan berkaitan dengan kesehatan kerja, keselamatan kerja, upah, kesejahteraan, dan Jamsostek.

Menurut Soepomo, perlindungan tenaga kerja dibagi menjadi 3 (tiga) macam, yaitu :

1. Perlindungan ekonomis, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk penghasilan yang cukup, termasuk bila tenaga kerja tidak mampu bekerja di luar kehendaknya.

2. Perlindungan sosial, yaitu: perlindungan tenaga kerja dalam bentuk jaminan kesehatan kerja, dan kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi.

3. Perlindungan teknis, yaitu: perlindungan tenaga kerja dalam bentuk keamanan dan keselamatan kerja.17

G. Alasan Penggunaan Outsourcing di Jasa Perbankan

Hubungan ketenagakerjaan dengan sistem outsourching tidak hanya dilakukan oleh perusahaan yang bergerak dalam bidang industri, namun juga perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa seperti perbankan. Salah satu alasan perusahaan melakukan praktek kerja outsourching yaitu, untuk efektifitas dan efisiensi biaya perusahaan.

Dengan diberlakukannya sistem kerja outsourching, berarti perusahaan bisa melakukan efisiensi biaya dengan mempekerjakan tenaga kerja tetap dengan jumlah seminimal mungkin. Hal ini dilakukan agar perusahaan bisa lebih fokus

17

(36)

memberikan kontribusi pada bagian inti perusahaan atau dikenal dengan istilah core business. 18

Dengan berkembangnya zaman, tujuan dari outsourcing tidak lagi hanya untuk membagi risiko ketenagakerjaan saja akan tetapi berubah menjadi lebih kompleks lagi.

Namun praktek kerja outsourching yang dilakukan di Indonesia saat ini sudah mulai keluar dari pengertian yang sesungguhnya. Begitu banyak pekerja outsourching yang dirugikan dengan adanya praktek kerja ini. Meskipun semua

aturan tentang outsourching sudah dijelaskan di dalam UU Ketenagakerjaan, tetapi aturan ini masih sering dilanggar oleh perusahaan. Hal ini menyebabkan terjadinya protes dari para pekerja outsourching yang akhirnya membuat MK melakukan beberapa kali revisi undang-undang demi melindungi hak-hak pekerja.

Bank Indonesia selanjutnya disebut (BI) tetap membolehkan perbankan menggunakan jasa outsourcing, termasuk debt collector. Alasannya, penyusunan Peraturan Bank Indonesia selanjutnya disebut (PBI) ini mengacu pada UU Ketenagakerjaan. BI berharap, regulasi ini menghapus wilayah abu-abu penggunaan tenaga outsourcing di perbankan

(37)

Cobbet kemudian mengindentifikasi alasan penggunaan outsourcing menjadi tiga bagian, yaitu : 19

1. Lima alasan strategis (kesatuan jangka panjang) a. Meningkatkan fokus bisnis perusahaan

b. Mendapatkan akses pada kemampuan kelas dunia20

c. Mempercepat keuntungan dari teknologi baru (re-enginering)21 d. Membagi risiko usaha22

e. Menggunakan sumber-sumber yang ada untuk aktivitas yang lebih strategis

2. Lima taktikal (keuntungan jangka pendek)

a. Mengurangi dan mengendalikan biaya-biaya operasional b. Membuat tersedianya dana-dana modal

c. Menghasilkan pemasukan dana tunai

d. Sumber daya tidak perlu tersedia secara internal e. Pemberdayaan fungsi yang sulit diatur di luar kendali 3. Lima alasan transformasional (perubahan)

a. Membawa solusi baru kepada nasabah lebih cepat b. Reaksi untuk mempersingkat daur hidup produk

c. Mengindentifikasikan ulang hubungan dengan penyedia jasa dan rekan bisnis

19

Chandra Suwondo, Op.Cit., hlm 11-12 20

Richardus Eko Indrajit dan Richardus Djokopranoto, Proses Bisnis Outsourcing, (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2003), hlm 4-5

21

Ibid, hlm 5 22

(38)

d. Mengungguli pesaing

e. Masuk ke pasar-pasar yang baru dengan risiko kecil

Permasalahan praktik sistem kerja kontrak dan outsourcing di Indonesia tentunya berbeda-beda antarperusahaan. Ada perusahaan yang menjalankan sesuai dengan ketentuan dan ada pula yang mencoba mengakali (melanggar) untuk meningkatkan keuntungan. Secara umum, permasalahan terjadi karena perusahaan berusaha untuk membuat/mempertahankan status buruh menjadi kontrak PKWT

dan outsourcing dengan memanfaatkan kelemahan undang-undang, sementara

buruh berusaha untuk menjadi buruh tetap PKWTT dan melihat usaha perusahaan sebagai pelanggaran ketentuan undang-undang.

Alasan perusahaan berusaha menghindari status hubungan kerja tetap antara lain adalah agar:23

1. Perusahaan dapat lebih mudah menghentikan karyawan yang dianggap tidak produktif;

2. Perusahaan tidak perlu membayar biaya pesangon ketika menghentikan karyawan;

3. Perusahaan dapat lebih efisien mengelola karyawannya karena tidak perlu mengurusi berbagai tunjangan karyawan seperti tunjangan kesehatan, THR,

4. Di tengah gejolak ekonomi & politik yang tidak stabil, sangat mudah dan murah jika sewaktu-waktu perlu diperlukan perampingan karyawan

(39)

Beberapa permasalahan biasanya yang terjadi dimana buruh menuding perusahaan telah melanggar ketentuan adalah sebagai berikut:

1. Jenis pekerjaan tertentu yang bisa menggunakan sistem kerja kontrak (PKWT) Jenis pekerjaan yang bisa menggunakan PKWT sesuai ketentuan adalah pekerjaan yang sekali selesai, yang bersifat sementara, atau musiman. Contoh pekerjaan ini adalah proyek konstruksi dimana pekerjaan berakhir setelah proyek jadi. Dalam prakteknya, banyak perusahaan yang menggunakan PKWT juga untuk pekerjaan yang bersifat rutin/tetap.

(40)

bertahun-tahun bekerja di suatu perusahaan tetapi tetap berstatus kontrak.24

Berjalannya sistem kerja kontrak dan outsourcing tentunya bukan karena tanpa alasan. Sebagaimana disebutkan di bagian latar belakang, praktik sistem kerja kontrak dan outsourcing dimulai dengan adanya kebijakan perbaikan iklim investasi. Tujuan awalnya adalah memperbaiki daya saing perusahaan yang tengah dilanda krisis dengan mengurangi cost terkait tenaga kerja.

Dari tujuan awal tersebut, dapat diperkirakan bahwa kebijakan sistem kerja kontrak dan outsourcing akan lebih menguntungkan pihak perusahaan karena itulah tujuan awalnya. Meskipun kemudian muncul pendapat bahwa outsourcing juga diperlukan untuk melindungi buruh dengan menciptakan

lapangan pekerjaan. Oleh karena itu, dampak positif bagi perusahaan adalah penurunan biaya, meningkatnya kemampuan bersaing, dan meningkatnya keuntungan perusahaan. Sedangkan dampak bagi buruh sebagian besar (jika tidak seluruhnya) negatif adalah sebagai berikut:25

1. Tidak ada kepastian pekerjaan

Sesuai dengan jenisnya, PKWT (termasuk PKWT yang berada dalam sistem outsourcing) merupakan pekerjaan sementara sehingga buruh hanya dipekerjakan untuk jangka waktu tertentu saja. Keterbatasan jangka waktu ini menjadi kekhawatiran dan ketidakpastian bagi buruh karena buruh dapat sewaktu-waktu diberhentikan dan harus kembali mencari pekerjaan.

24

(41)

2. Kesejahteraan dan perlindungan kerja kurang

Umumnya, ketentuan mengenai upah dan kesejahteraan untuk buruh kontrak PKWT adalah sesuai dengan kontrak yang dibuat, dimana pembuatan kontrak dilakukan dengan posisi buruh yang lebih lemah dibandingkan perusahaan. Oleh karena itu, umumnya upah/tunjangan yang diterima oleh buruh kontrak lebih rendah dari buruh tetap dan buruh outsourcing lebih rendah dari buruh kontrak. Selain itu, perusahaan juga banyak yang tidak mengikutsertakan karyawan kontrak dan outsourcing-nya dalam program perlindungan sosial (jamsostek).

3. Tidak mendapat kompensasi bila di-PHK

Buruh kontrak tidak berhak mendapatkan kompensasi jika masa kerja telah berakhir atau mengalami PHK (sebelum masa kontrak habis) kecuali ada perjanjiannya. Hal ini berbeda dengan buruh tetap yang berhak mendapat kompensasi (uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang pengganti hak) saat di PHK.

4. Terhambat untuk berserikat

Buruh kontrak dan outsourcing umumnya jarang menjadi anggota serikat buruh karena kekhawatiran kehilangan pekerjaan (karena berstatus outsourcing, takut di PHK, takut tidak diperpanjang kontrak, dilarang perusahaan). Selain itu, hubungan buruh outsourcing adalah dengan perusahaan penyalur dan bukan dengan perusahaan pengguna, sementara serikat buruh basisnya adalah perusahaan dengan siapa buruh membuat perjanjian.

(42)

Perusahaan outsourcing juga mencari keuntungan dengan perannya sebagai penyalur buruh ke perusahaan. Hal ini biasanya dilakukan dengan adanya biaya yang harus dikeluarkan oleh buruh yang ingin disalurkan dan adanya potongan-potongan penghasilan sehingga penghasilan yang diperoleh buruh outsourcing menjadi semakin rendah.

6. Terjadi stratifikasi sosial di perusahaan

Dengan pemberlakuan outsourcing, di perusahaan akan terdapat 3 (tiga) kelompok buruh yakni buruh tetap, buruh kontrak dan buruh outsourcing. Pengelompokan ini pada umumnya ditandai dengan perbedaan warna seragam yang dikenakan dan membawa efek stratifikasi dan jarak sosial di antara buruh tetap, kontrak dan outsourcing yang berimplikasi terhadap solidaritas dan kesadaran bersama sebagai buruh.

7. Terjadi diskriminasi usia dan status perkawinan

Perusahaan cenderung mempekerjakan buruh berusia muda dan untuk perekrutan buruh outsourcing baru mensyaratkan buruh yang berusia 18-24 tahun dan berstatus lajang dengan alasan produktivitas. Memilih buruh berstatus lajang membawa efek semakin sulitnya buruh yang sudah berkeluarga untuk memperoleh pekerjaan dan berpenghasilan.

8. Mematikan karir buruh

(43)

H. Outsourcing pada Jasa Perbankan Indonesia

Seiring dengan berkembangnya dunia usaha dan tingginya tingkat persaingan, mendorong semakin kompleks dan beragamanya kegiatannya usaha bank. Hal ini kemudian menyebabkan bank dituntut untuk berkonsentrasi pada pekerjaan pokoknya dan melaksanakan fungsinya sebagai lembaga intermediasi. Untuk lebih berkonsentrasi pada kegiatan pokoknya tersebut, maka bank melakukan penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan penunjang kepada pihak lain.26

Pada tanggal 9 Desember 2011, Bank Indonesia menerbitkan PBI No 13/25/PBI/2011 tentang prinsip kehati-hatian bagi Bank Umum yang akan melakukan praktek outsourching terhadap karyawannya. Peraturan ini menjadi pedoman bagi praktik outsourcing di industri perbankan nasional. Dalam PBI tersebut, pekerjaan di bank dibedakan dalam dua kelompok berdasarkan sifatnya, yakni pekerjaan pokok dan pekerjaan penunjang. Pekerjaan penunjang inilah yang diperbolehkan untuk di-outsource-kan atau dialih dayakan kepada pihak ketiga. Di dalam aturan itu dijelaskan bahwa praktek kerja outsourching hanya boleh dilakukan untuk bagian-bagian pekerjaan yang bersifat menunjang (non core business) atau kegiatan usaha pendukung usaha bank. 27

26

Bank Indonesia (a) PBI Outcoursing

(44)

Kategori penunjang suatu pekerjaan harus memenuhi tiga kriteria, yakni berisiko rendah, tidak membutuhkan kualifikasi kompetensi perbankan yang tinggi, dan tidak terkait langsung dengan proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi operasional bank. Yang termasuk dalam kategori ini misalnya call center, aktivitas pemasaran (telemarketing, direct sales/ sales representative),

penagihan, jasa kurir, sekuriti, messenger, office boy dan sekretaris. Sedangkan untuk praktek kerja yang bersifat inti (core business) seperti, account officer, analis kredit, customer service, customer relation, teller, pekerjaan pemasaran, analis kelayakan, persetujuan, pencairan, pemantauan, penagihan kredit lancar merupakan bagian yang tidak boleh dilakukan outsourching.28

Salah satu alasan pembentukan aturan PBI ini adalah untuk melindungi hak karyawan outsourching di dunia perbankan. Penerapan peraturan ini dilakukan karena pada kenyataannya banyak dari pekerja outsourching di dunia perbankan saat ini merupakan bagian inti bank, seperti teller dan customer service. Alasan perbankan melakukan outsourching karyawan yaitu, untuk meminimalisir biaya bank. Dengan melakukan outsourching berarti bank bisa meminimalisir pengeluaran karena gaji untuk karyawan outsourching cenderung lebih rendah dibandingkan gaji karyawan tetap. Hal ini tentunya tidak mencerminkan nilai hasil kewajaran atas posisinya dalam bekerja dengan hasil yang didapatkannya.29

Peraturan PBI yang baru ini, merupakan salah satu upaya pemerintah dalam melindungi tenaga kerja yang memiliki posisi yang penting dalam suatu

28

(45)

perbankan. Namun, melalui telaah konsep syariah dalam bekerja, sebenarnya perlindungan terhadap tenaga kerja harus memperhatikan unsur-unsur (maqashid

syariah) dalam mencapai kesejahteraan (mashlahah) tenaga kerjanya. Bukan

sekedar perlindungan terhadap tenaga kerja inti namun juga tenaga kerja yang berasal dari outsourching juga harus diperhatikan. Karena tidak jarang pegawai outsourcing memberikan kontribusi yang cukup banyak bagi perusahaan.

Demi meningkatkan ketahanan perbankan dan menjaga bank tetap kuat serta sehat dalam menghadapi persaingan melalui pengelolaan yang lebih transparan dan mengacu pada prinsip tata kelola yang baik. Bank Indonesia kemudian menerbitkan mengenai prinsip kehati-hatian dalam melakukan outcoursing.30 Kebijakan ini tertuang pada Peraturan Bank Indonesia No.13/25/PBI/2011 tentang Prinsip kehati-hatian bagi Bank Umum yang melakukan penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada pihak lain pada tanggal 9 Desember 2011. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu Bank Indonesia pada Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan (DPNP).31

Latar belakang dari terbitnya PBI outcourcing ini sendiri, sebagaimana tercantum dalam bagian konsiderans adalah Bank Indonesia merasa perlu menetapkan pengaturan mengenai prinsip kehati-hatian bagi bank umum yang melakukan outcoursing, mengingat:

Penerbitan PBI outcourcing pada UU Ketenagakerjaan.

32

30

Bank Indonesia, Ringkasan Eksekutif Ketahanan Perekonomian Indonesia di Tengah Ketidakjelasan Ekonomi Global. Laporan perekonomian Indonesia 2011, hlm 34

31

Wawancara dengan Bapak Andi, Peneliti Bank Indonesia Cabang Medan pada Direktorat Jenderal Penelitian dan Pengaturan Perbankan (DPNP) pada tanggal 11 Oktober 2013

32

(46)

1. Kegiatan usaha bank yang semakin kompleks dan beragam akibat semakin berkembangnya dunia usaha dan ketatnya tingkat persaingan.

2. Diperbolehkannya bank untuk melakukan outcourcing yang tidak lain agar bank dapat lebih focus pada pekerjaan pokoknya dalam rangka melaksanakan fungsi intermediasi dan sejalan dengan perundang-undangan yang berlaku.

PBI outcoursing ini memberikan dasar hukum yang tegas bagi bank untuk dapat melakukan outcoursing, sejalan dengan diperbolehkannya suatu perusahaan ketenagakerjaan. Hal ini sebagaimana bunyi Pasal 2 ayat (1) PBI bahwa “Bank dapat melakukan outcoursing kepada perusahaan penyedia jasa”

Berdasarkan Pasal 66 ayat (1) UU Ketenagakerjaan kegiatan outcoursing hanya diperbolehkan untuk kegiatan jasa penunjang, yang berhubungan di luar usaha pokok (core business) suatu perusahaan atau dugaan kata lain hanya diperbolehkan untuk kegiatan non core.33

Di bidang perbankan sendiri, bank kemudian menterjemahkan kegiatan core dan non core ini dengan persepsi yang berbeda-beda. Melihat hal ini, Bank

Indonesia kemudian merasa perlu untuk memberikan suatu pengaturan khusus bagi perbankan terkait penggunaan tenaga outcoucing agar bank-bank memiliki kesamaan persepsi mengenai pelaksanaan kegiatan outcoucing yang sesuai dengan perbankan. Hal lain yang mendasari penerbitan PBI outcourcing ini ialah, sebagaimana dalam penjelasan umum PBI outcourcing, potensi meningkatnya risiko yang dihadapi bank akibat kegiatan outcourcing. Selain itu, kejelasan atas

(47)

tanggung jawab bank terhadap pekerjaan yang diserahkan kepada pihak lain tersebut, serta aspek perlindungan nasabah menjadi hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Penguatan penerapan prinsip kehati-hatian dan menajemen risiko dalam kegiatan outcourcing yang diiiringi dengan terlindunginya kepentingan nasabah ini diharapkan dapat menjaga integritas sistem perbankan secara khusus dan sistem perbankan secara khusus dan sistem keuangan secara keseluruhan.34

PBI outcourcing merupakan PBI yang memberikan landasan pengaturan

umum bagi bank yang melakukan outcourcing dan memberikan aturan yang lebih ketat jelas dan tegas mengenai kewajiban bank menerapkan prinsip kehati-hatian. Dan manajemen risiko dalam kegiatan outcourcing. Terkait cukupan dari PBI outcourcing ini ialah hubungan antara bank dengan perusahaan penyedia jasa. Di

dalam penjelasan Pasal 3 ayat (1) huruf (a) PBI outcourcing, ditegaskan bahwa PBI ini tidak mengatur mengenai pemborongan pekerjaan yang hasil akhirnya berupa barang atau yang pada umumnya dikenal sebagai pengadaan barang. 35

Bank yang telah melakukan alih daya atas pekerjaan selain pekerjaan yang diperbolehkan wajib melakukan langkah-langkah berikut

PBI ini membagi pengaturan mengenai kegiatan outcourcing dalam perbankan kedalam beberapa bagian, mulai dari ketentuan umum, kegiatan outcourcing itu sendiri, penerapan prinsip kehati-hatian dan manejemen risiko, pelaporan kepada Bank Indonesia serta sanksi yang dikenakan oleh Bank Indonesia apabila bank.

36

34

Bank Indonesia, (a) Op.Cit., Penjelasan Umum PBI Outcourcing 35

Ibid 36

(48)

1. Menghentikan alih daya sejak berakhirnya perjanjian atau paling lama satu tahun sejak diberlakukannya PBI.

2. Dalam hal sisa jangka waktu perjanjian lebih dari satu tahun tetapi tidak lebih dari dua tahun, bank wajib menghentikan alih daya pada saat berakhirnya perjanjian atau dapat memperpanjang perjanjian paling lama dua tahun sejak diberlakukannya PBI.

3. Dalam hal sisa jangka waktu perjanjian lebih dari dua tahun, bank wajib menghentikan perjanjian alih daya paling lama dua tahun sejak diberlakukannya PBI.

(49)

E. Perjanjian Outsourcing dalam Jasa Perbankan

Hubungan kerjasama antara Perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa outsourcing tentunya diikat dengan suatu perjanjian tertulis. Perjanjian dalam outsourcing dapat berbentuk perjanjian pemborongan pekerjaan atau perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh. Perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh para pihak harus memenuhi syarat sah perjanjian seperti yang tercantum dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu:

1. Sepakat, bagi para pihak;

2. Kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu hal tertentu;

4. Sebab yang halal.

Perjanjian dalam outsourcing juga tidak semata-mata hanya mendasarkan pada asas kebebasan berkontrak sesuai Pasal 1338 KUH Perdata, namun juga harus memenuhi ketentuan ketenagakerjaan, yaitu UU Ketenagakerjaan.

Dalam penyediaan jasa pekerja, ada 2 (dua) tahapan perjanjian yang dilalui yaitu:

1. Perjanjian antara perusahaan pemberi pekerjaan dengan perusahaan penyedia pekerja/buruh ;

(50)

pekerja yang dibuat secara tertulis. Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut a. Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;

b. Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan

c. Merupakakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; Tidak menghambat proses produksi secara langsung. Dalam hal penempatan pekerja/buruh maka perusahaan pengguna jasa pekerja akan membayar sejumlah dana (management fee) pada perusahaan penyedia pekerja/buruh.

2. Perjanjian perusahaan penyedia pekerja/buruh dengan karyawan Penyediaan jasa pekerja atau buruh untuk kegiatan penunjang perusahaan hatus memenuhi syarat sebagai berikut :

a. Adanya hubungan kerja antara pekerja atau buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja atau buruh;

b. Perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan dan atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua pihak;

(51)

Dengan adanya 2 (dua) perjanjian tersebut maka walaupun karyawan sehari-hari bekerja di perusahaan pemberi pekerjaan namun ia tetap berstatus sebagai karyawan perusahaan penyedia pekerja. Pemenuhan hak-hak karyawan seperti perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul tetap merupakan tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja.

Perjanjian kerja antara karyawan dengan perusahaan outsourcing dapat berupa PKWT maupun PKWTT. Perjanjian kerja antara karyawan outsourcing dengan perusahaan outsourcing biasanya mengikuti jangka waktu perjanjian kerjasama antara perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa outsourcing. Hal ini dimaksudkan apabila perusahaan pengguna jasa outsourcing hendak mengakhiri kerjasamanya dengan perusahaan outsourcing, maka pada waktu yang bersamaan berakhir pula kontrak kerja antara karyawan dengan perusahaan outsource. Bentuk perjanjian kerja yang lazim digunakan dalam outsourcing adalah PKWT. Bentuk perjanjian kerja ini dipandang cukup fleksibel bagi perusahaan pengguna jasa outsourcing, karena lingkup pekerjaannya yang berubah-ubah sesuai dengan perkembangan perusahaan.

(52)

dari pegawai outsourcing seperti yang dijanjikan terkadang syarat yang dibuat terkesan tidak masuk akal, jadi jangankan melihat perbedaan dari sisi gaji dari level clerk sampai officer manager, clerk dan outsorcing pun berbada tingkat

kesejahteraanya.37

Pengusaha yang memasok penyediaan tenaga kerja kepada perusahaan pemberi kerja untuk melakukan pekerjaan dibawah perintah langsung dari perusahaan pemberi kerja, disebut dengan perusahaan penyedia jasa pekerja. Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja wajib berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi ketenagakerjaan. Apabila tidak dipenuhi ketentuan sebagai Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja, demi hukum status hubungan kerja antara pekerja dan

Bentuk hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan dimakud, diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antar perusahaan penerima pekerjaan dengan pekerja yang dipekerjakan, yang dapat didasarkan atas PKWTT atau PKWT, sesuai dengan persyaratan yang berlaku. Apabila ketentuan sebagai badan hukum dan/atau tidak dibuatnya perjanjian secara tertulis tidak dipenuhi, demi hukum status hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan pemberi pekerjaan. Hal itu, menyebabkan hubungan kerja beralih antara pekerja dengan perusahaan pemberi kerja, dapat berupa waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu, tergantung pada bentuk perjanjian kerjanya semula Pasal 64 dan 65 UU Ketenagakerjaan.

(53)

Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja, beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan pemberi pekerjaan.

Pekerja dari Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi dipersyaratkan:

1. Adanyan hubungan kerja antara pekerja dan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja,

2. Perjanjian kerja dapat berupa PKWT atau PKWTT yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak,

3. Perlindungan upah dan kesejateraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja, dan

4. Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja dan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja, dibuat secara tertulis sesuai ketentuan yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan.

F. Perjanjian yang Dipakai dalam Outsourcing

(54)

atau perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh. Selain diatur dalam KUHP Perdata namun perjanjian kerja outsoercing juga terdapat dalam UU Ketenagakerjaan. Dalam penyediaan jasa pekerja, ada 2 tahapan perjanjian yang dilalui yaitu:

1. Perjanjian antara perusahaan pemberi pekerjaan dengan perusahaan penyedia pekerja/buruh ;

2. Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau perjanjian penyediaan jasa pekerja yang dibuat secara tertulis

Dengan adanya 2 (dua) perjanjian tersebut maka walaupun karyawan sehari-hari bekerja di perusahaan pemberi pekerjaan namun ia tetap berstatus sebagai karyawan perusahaan penyedia pekerja. Pemenuhan hak-hak karyawan seperti perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul tetap merupakan tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja.

Dapat diketahui bahwa macam perjanjian kerja dapat dibagi menjadi 2 yaitu:38

1. Perjanjaian kerja untuk waktu tertentu, yaitu perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusahantuk mengendakan hubungan kerja dalam waktu tertentu untuk pekerjaan tertentu. (selanjutnya disebut dengan PKWT)

2. Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu, yaitu perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hbungan kerja tetap. (selanjutnya disebut dengan PKWTT).

(55)

Bentuk perjanjian kerja yang lazim digunakan dalam outsourcing adalah PKWT. Bentuk perjanjian kerja ini dipandang cukup fleksibel bagi perusahaan pengguna jasa outsourcing, karena lingkup pekerjaannya yang berubah-ubah sesuai dengan perkembangan perusahaan.

Perjanjian kerja antara karyawan outsourcing dengan perusahaan outsourcing biasanya mengikuti jangka waktu perjanjian kerjasama antara

perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa outsourcing. Hal ini dimaksudkan apabila perusahaan pengguna jasa outsourcing hendak mengakhiri kerjasamanya dengan perusahaan outsourcing, maka pada waktu yang bersamaan berakhir pula kontrak kerja antara karyawan dengan perusahaan outsource.

Dari hubungan kerja ini timbul suatu permasalahan hukum, karyawan outsourcing dalam penempatannya pada perusahaan pengguna outsourcing harus

tunduk pada Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang berlaku pada perusahaan pengguna oustourcing tersebut, sementara secara hukum tidak ada hubungan kerja antara keduanyan.

(56)

dalam bentuk perjanjian kerja waktu tertentu maupun perjanjian kerja waktu tidak tertentu.

Apabila ditinjau dari terminologi hakikat pelaksanaan Peraturan Perusahaan, maka peraturan perusahaan dari perusahaan pengguna jasa tidak dapat diterapkan untuk karyawan outsourcing karena tidak adanya hubungan kerja. Hubungan kerja yang terjadi adalah hubungan kerja antara karyawan outsourcing dengan perusahaan outsourcing, sehingga seharusnya karyawan outsourcing menggunakan peraturan perusahaan outsourcing, bukan peraturan perusahaan pengguna jasa pekerja.

G. Kegiatan Usaha Bank Umum

Bank merupakan salah satu lembaga pembiayaan yang mempunyai peranan penting dalam masyarakat. Oleh karena itu hampir setiap orang pasti mengetahui mengenai peranan bank. Peranan bank adalah menghimpun dan menyalurkan dana dari dan ke masyarakat (sebagai lembaga intermediary).

Peran sebagai penghimpun dana, dilakukan bank dengan melayani masyarakat yang ingin menabungkan uangnya di bank. Peran sebagai penyalur dana dilakukan bank dengan melayani masyarakat yang membutuhkan pinjaman uang dari bank, misalnya untuk keperluan modal usaha, keperluan pembangunan, dan keperluan-keperluan lainnya.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian yang dilakukan di pedagang kaki lima kebersihan diri penjamah makanan kebersihan diri (100%), 9 responden yang mengatakan tidak menggunakan

Hasil dari hipotesis 3d ini mendukung penelitian sebelumnya yaitu Botes (2016) yang menyatakan bahwa para lulusan akuntansi tidak memiliki ketrampilan dan atribut yang

3.Hubungan paritas dengan kejadian preeklampsi pada ibu bersalin di RS PKU Muhammdiyah Yogyakarta Tahun 2009 Hasil penelitian kejadian preeklampsia paling banyak

Faktor pekerjaan mempengaruhi pola asuh orang tua pada anak, karena pekerjaan biasanya orang tua akan lebih jarang bertemu dengan anaknya, terebih lagi jika bapak

Pada tahap Perencanaan ini yang sering dikeluhkan oleh Puskesmas Gaya Baru V adalah ada beberapa jenis obat jumlahnya tidak sesuai dengan permintaan.Berdasarkan

Faktor Operasional dan Pemeliharaan Faktor operasional dan pemeliharaan memiliki nilai mean 3,63 (Kriteria Sangat Tinggi), terdapat 3 faktor di dalamnya yaitu menjaga dan

Berdasarkan penelitian tersebut, Tugas Akhir ini membahas tentang estimasi parameter distribusi Log-Normal untuk non-informatif prior dengan menggunakan pendekatan metode

tingkat pendidikan formal, pengetahuan dari tingkat pendidikan profesional berkelanjutan dan pengetahuan dari pengalaman-pengalaman yang diperoleh ketika melakukan