• Tidak ada hasil yang ditemukan

Artinya: “ (Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram

C. Pada Kehidupan Peribadatan

Hakikat dari menghafal al-Qur’ān bukanlah terletak pada kemampuan menguasai tetapi pada mengamalkannya. Karena menghafal itu sendiri merupakan dasar untuk memiliki pengetahuan yang akan dipraktekan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mengamalkannya tentu saja seorang penghafal al-Qur’ān harus membekali dirinya dengan referensi yang cukup berdasarkan dalil-dalil al-Qur’ān. Dalil-dalil ini nantinya membantu informan menentukan mana yang baik dan mana yang tidak, perbuatan apa yang wajib dilakukan dan perbuatan apa yang patut dihindari. Pengetahuan ini selanjutnya terinternalisasi dan menjadi nilai personal yang mengarahkan individu dan membuat individu peka terhadap berbagai situasi yang dihadapinya. Karena hal itu memudahkan informan untuk membuat penilaian atau situasi atau peristiwa, mampu mengendalikan diri, dan tidak berlebihan dalam menyikapi sesuatu.13

Sikap yang muncul selanjutnya adalah mampu menahan diri dari apa-apa yang dilarang oleh agama seperti menghindari perkataan yang tidak baik, membatasi diri untuk urusan duniawi, menjaga makanan dan minuman yang di konsumsi. Informan yang ditemui oleh penulis juga condong pada

13

Lisya Chairani, M.A.Subandi, Psikologi Santri Penghafal al-Qur’ān (Yogyakarta: Penerbit: Pustaka Pelajar, 2010) , hal.258.

perilaku yang dianjurkan oleh agama seperti melakukan shalat tepat waktu, melakukan amalan-amalan sunnah seperti (berpuasa hari senin dan kamis, shalat sunnah Qabliah dan Ba’diah, shalat tahajud, shalat dhuha), berperilaku hormat kepada yang lebih tua dan menyayanyi yang lebih muda. Disiplin dalam menjalankan kewajibannya baik sebagai mahasiswa dan juga sebagai penghafal

al-Qur’ān.

Menghafal al-Qur’ān bukanlah aktifitas kognitif semata melainkan sangat di pengaruhi oleh hal-hal di luar proses masuknya informasi ke otak. Dalam berinteraksi dengan kitab suci harus berdasarkan keimanan. Keimanan inilah yang nantinya akan melahirkan daya mantra dan intuisi tentang kehadiran Tuhan dalam diri seseorang. Salah satu pernyataan aspek keimanan adalah dengan meniatkan setiap tindakan dan perbuatan semata-mata untuk memperoleh ridha Allah SWT. Oleh karena itu kelurusan niat menjadi aspek motivasional spiritual yang penting dalam upaya ini.

Niat yang menyimpang seringkali dirasakan responden mempengaruhi kemampuannya dalam memanggil kembali informasi yang telah masuk ke otak dan tidak jarang pula para penghafal merasa menjadi sulit berkonsentrasi. Untuk mengatasi hal ini biasanya penghafal akan segera melakukan introspeksi diri dan kembali meluruskan niatnya. Upaya-upaya batin yang biasa dilakukan adalah melakukan puasa sunnah dan beberapa amalan shalat sunnah seperti shalat hajat dan tahajjud. Dalam perspektif sufisme, membaca al-Qur’ān dapat di pandang sebagai salah satu bentuk teknik pembersihan diri, termasuk di dalamnya kontrol diri. Maka wajar saja pada fase tertentu remaja penghafal al-Qur’ān ini pada

akhirnya dapat merasakan adanya makna pada proses menghafal al-Qur’ān. Pemaknaan dan pengalaman spiritual inilah yang mengantarkan remaja-remaja penghafal al-Qur’ān dapat merasakan kehadiran yang maha kuasa dan merasa dijaga langsung oleh Allah SWT.14

Berikut merupakan dampak yang dirasakan oleh para responden. Pertama, M. Irfan Apri Syahrial bahwasannya setelah ia menghafal al-Qur’ān ada beberapa dampak positif yang Ia rasakan di antaranya banyak keberkahan yang datang dalam kehidupan sehari-hari seperti di hindarkan dari kecelakaan, dimudahkan rezekinya dan disukai banyak teman. Sementara itu Rizkiyah, merasakan kalau hatinya menjadi tenang, dan merasa di permudah dalam kehidupannya. Sedangkan Hafidza merasa semakin mudah memperoleh harta “dari arah mana pun”, makin mudah dalam membaca dan mentadaburi al-Qur’ān, jadi di hormati dan di hargai sama orang lain, dan disamping itu semua mendapat pahala dari Allah SWT.

Nurul mengaku bahwa dampak yang dirasakan mungkin lebih ke keinginannya yaitu menjadi pribadi yang lebih baik dan menjadi pribadi yang

Qur’āni. Listatik berkata, ia bisa menemukan ketenangan dan ketentraman dalam

hidup. Sedangkan Arinal Bellamy bercerita bahwa Ia merasa lebih dekat dengan Allah SWT, menjadi orang yang selalu ingat akan Allah, setelah itu hati menjadi tenang, dan juga mempunyai tanggung jawab yang besar untuk menjaganya

14

Lisya Chairani, M.A.Subandi, Psikologi Santri penghafal al-Qur’ān (Yogyakarta, Penerbit: Pustaka Pelajar, 2010), hal.260.

kembali. Yang terakhir Ahmad Mahfudz berkata “aktifitas sehari-hari saya serasa lebih mudah ketimbang sebelum saya menghafalkan al-Qur’ān”.

Kemudian ketika ditanya mengenai sejak kapan masing-masing memulai atau mengawali niatnya untuk menjadi seorang penghafal al-Qur’ān yang nantinya memiliki tanggung jawab yang besar untuk menjaga hafalan mereka. Maka bermacam-macam pula jawaban mereka sepertiini: Pertama, Ahmad Mahfudz menjawab sepertiini, “Saya menempuh 15 juz selama satu setengah tahun. Namun karena ada beberapa kendala jadi saya tidak melanjutkan untuk menambah hafalan dan memilih hanya muraja’ah dulu.

Kedua, Arinal Ballamy menjawab “Saya mulai menghafal semenjak kelas 1 (satu) Madrasa Aliyah. Ketiga, Hafidzah “Sejak kelas 6 (enam) Sekolah Dasar saya sudah menghafal. Keempat, Listatik “sejakkelas 3 (tiga) Madrasah Aliyah”. Kelima, Rizkiyah sama seperti Arinal yakni sejak kelas 1 (satu) Madrasah Aliyah. Keenam, Irfan “saya menghafal semenjak kelas 1 Aliyah”, ketujuh, Nurul “saya mulai menghafal ketika kelas 2 aliyah”.

Namun tidak bisa dipastikan bahwa semua responden bisa menahan diri untuk tidak bisa menghindar dari hhal yang tidak diperbolehkan dalam

al-Qur’an seperti ketika ditanya mengenai apakah mereka pernah melaksanakan

perbuatan yang di larang dalam al-Qur’an? Maka seperti ini jawaban dari masing-masing: Ahmad Mahfudz menjawab “pernah, yaitu: “pacaran”. Sedangkan Hafidzah, Arinal Bellamy dan Listatik memberikan jawaban yang sama yakni “pernah, yaitu berbohong”. Sementara itu lain halnya dengan Rizkiyah yang

dan berusaha menaati perintah al-Qur’an”. Yang terakhir adalah Irfan yang

menjawab “sering, yaitu berbohong karena terpaksa”.

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa semua informan bisa menemukan ketenangan dan ketentraman jiwa setelah mereka menghafal

al-Qur’an, menemukan hal-hal yang tidak mereka dapat sebelumnya misalkan ilmu

mereka menjadi lebih bertambah, mendapatkan rezeki yang tak terduga sebelumnya, dan merasa lebih di permudah dalam semua urusan.

Selanjutnya kita bisa melihat bahwa mereka memulai hafalan rata-rata ketika sedang duduk di Bangku Madrasah Aliyah (MA) namun ada juga yang menghafal sejak kelas 6 SD. Tetapi seperti yang sudah diketahui bahwa mereka juga belum bisa meninggalkan dosa-dosa kecil setelah menghafal yakni masih ada yang berpacaran dan ada juga yang berbohong namun terdapat salah satu diantara mereka juga yang selalu berusaha untuk menjauhi perbuatan-perbuatan tersebut dan berusaha meneladani perintah Allah dalam al-Qur’an.

Dokumen terkait