• Tidak ada hasil yang ditemukan

Era Reformasi di Indonesia dimulai pada pertengahan tahun 1998, yaitu tepatnya saat Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 dan digantikan oleh Presiden BJ Habibie. Hal yang melatarbelakangi peristiwa ini adalah saat tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998 yang kemudian memicu Kerusuhan Mei 1998 sehari setelahnya, kemudian gerakan mahasiswa pun meluas hampir di seluruh Indonesia. Karena berada di bawah tekanan yang besar baik dari dalam maupun luar negeri, akhirnya Soeharto memilih untuk mengundurkan diri.

Indonesia telah mengalami sebanyak enam kali pergantian Presiden, diantaranya terjadi sebanyak empat kali pada masa Reformasi ini. Dimulai dari Presiden BJ Habibie (1998-1999), Presiden Gus Dur (1999-2001), Presiden Megawati (2001-2004) dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-saat ini).

Pelan namun pasti, waktu berputar dan masa pun berganti, masa Reformasi mendatangkan suatu kebaikan untuk umat Khonghucu pada khususnya dan orang China peranakan pada umumnya. Hal ini dimulai dari mantan Presiden BJ Habibie yang dalam Inpres No. 26/1998 menginstruksikan agar penghentian penggunaan istilah “Pribumi dan Non Pribumi” dalam sebuah perumusan dan penyelenggaraan kebijakan, perencanaan program ataupun pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan.

Kemudian tiba pada giliran pemerintahan yang dipimpin oleh mantan Presiden

Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dimana terjadi hubungan yang baik antara agama Khonghucu dan pemerintahan. Kesadaran akan pengakuan terhadap hak-hak dasar

umat Khonghucu pun mulai dihargai. Gus Dur kemudian membatalkan Inpres No. 14 tahun 1967 serta mencabut Surat Edaran Mendagri No. 477/74054/BA.01.2/4683/95 tahun 1978. Pembatalan Inpres serta SE Mendagri tersebut dituangkan dalam Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 6 tahun 2000. Tetapi lagi-lagi umat Khonghucu harus mengalami kesulitan, pembatalan dan pencabutan kedua surat tersebut, ditafsirkan oleh Departemen Agama (Depag) bukan sebagai pengakuan pemerintah terhadap Khonghucu sebagai agama.

Dengan pembatalan kedua surat tersebut, budaya China seperti barongsai sudah mulai dipertunjukkan kembali. Dilanjutkan dengan Keputusan Menteri Agama No. 13/2001 yang menetapkan Imlek sebagai hari libur dan diteruskan dengan pencabutan larangan penggunaan bahasa China baik lisan maupun tulisan. Kemudian pada masa pemerintahan Megawati melalui Keputusan Presiden No. 19, dikatakan bahwa sejak tahun 2003 Hari Raya Imlek ditetapkan sebagai hari raya Nasional.

Sebuah jalan terbuka kembali, yaitu ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pidato perayaan Imlek 2557 secara nasional di Jakarta Convention Centre (JCC) Hotel Hilton Jakarta, 4 Februari 2006 lalu, mengatakan: Menteri Agama pada tanggal 24 Januari 2006 melalui Surat Menteri Agama No. 12/MA/2006, telah menegaskan bahwa berdasarkan Penpres Nomor 1 tahun 1965 yang kemudian dinyatakan oleh UU Nomor 5 tahun 1969, maka Departemen Agama harus melayani umat Khonghucu sebagai umat penganut agama Khonghucu.

12/MA/2006 tanggal 24 Januari 2006 mengenai penjelasan mengenai status perkawinan menurut agama Khonghucu dan pendidikan agama Khonghucu, Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Surat Edaran Mendagri No. 470/336/SJ mengenai pelayanan administrasi kependudukan penganut agama Khonghucu pada tanggal 24 Februari 2006.

Ditilik dari hal-hal yang telah disebutkan diatas, umat Khonghucu dapat menjalankan ibadah mereka tanpa ada hambatan lagi. Mereka pun dapat merayakan Hari Raya Agama Khonghucu dengan leluasa, sebagaimana agama lain merayakan hari raya mereka.

Jalan yang telah diberikan oleh Presiden Yodhoyono tersebut, telah mempermudah umat Khonghucu untuk mengurus semua keperluan administrasi kependudukan umat Khonghucu yang sempat tertunda dan terhambat, khususnya kasus pencatatan akte perkawinan. Presiden mengatakan, berkaitan dengan ketentuan UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa “Perkawinan adalah sah, jika dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya.” Maka Departemen Agama memperlakukan perkawinan para penganut agama Khonghucu yang dipimpin oleh pendeta Khonghucu adalah sah menurut ketentuan UU Perkawinan. Karena itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta kepada Kantor Catatan Sipil (KCS) di seluruh tanah air, untuk tidak ragu-ragu mencatatkan perkawinan bagi pemeluk agama Khonghucu, begitu pula dengan pencatatan perkawinan pemeluk agama lain.

Sekretaris Presidium Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN) Chandra Setiawan mengungkapkan pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada perayaan Imlek 4 Februari yang lalu telah diikuti dengan Surat Edaran yang dikeluarkan Mendagri pada 24 Februari lalu, bahwa Mendagri memberi waktu hingga 1 April sebagai batas waktu pengaplikasian aturan tersebut. Sehingga paling lambat 1 April seluruh umat Khonghucu telah dapat mencantumkan nama agamanya dalam seluruh berkas kependudukan. Jika masih ada beberapa wilayah dan pejabat yang bersangkutan belum melaksanakan SE Mendagri tersebut, maka akan dikenai sanksi yang berlaku (Iis Zatnika, 1 April Khonghucu Diakui Administrasi Kependudukan, http://www.media-indonesia.com, 26 Maret 2006).

Tetapi sangat disayangkan SE Mendagri tersebut belum dapat berjalan sebagaimana mestinya. Daerah-daerah yang belum menjalankan SE tersebut adalah wilayah Tangerang, Surabaya dan Jakarta Barat (Perkawinan Khonghucu Harus Dicatat: SE Mendagri Belum Dilaksanakan, http://kompas.com, 6 Maret 2006). Banyak sekali alasan yang dikemukakan, seperti belum ada perintah dari Walikota, demikian pula alasan yang dikemukakan oleh pihak KCS Tangerang. Sedangkan SE Mendagri tersebut merupakan suatu amanat dari pemerintah pusat yang harus segera dilaksanakan oleh kalangan para pejabat daerah setempat. Bahkan mereka harus berinisiatif mencari serta mengkopi surat tersebut. Penerapan SE Mendagri yang belum merata di daerah-daerah, mungkin dikarenakan oleh kecepatan dalam menanggapi dan menidaklanjuti surat tersebut berbeda-beda.

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

a) Di masa Reformasi ini terjadi hubungan yang jauh lebih baik antara pemerintah dengan umat Khonghucu. Hal ini dibuktikan dari pencabutan Inpres No. 14/1967 yang selama ini membelenggu seluruh umat Khonghucu. Kemudian diaktifkannya kembali UU No. 1/PNPS/1965 yang memasukkan agama Khonghucu sebagai salah satu agama yang diakui oleh negara Indonesia.

b) Tidak adanya komunikasi yang baik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, serta kurangnya ketegasan sikap dari pemerintah pusat. Karena meskipun pemerintah pusat telah mengeluarkan amanat, tetapi masih ada beberapa pemerintah daerah yang masih belum menjalankan mandat tersebut. Sehingga umat Khonghucu di beberapa daerah tersebut kesulitan untuk mendapatkan Hak Sipil mereka, seperti pencatatan akte perkawinan, KTP dan pendidikan. Untuk Kota Tangerang mengenai masalah pendidikan tidak menemui kesulitan, karena sudah terdapat sekolah yang berlandaskan ajaran Khonghucu, yang disebut dengan sekolah Setia Bhakti.

Dokumen terkait