• Tidak ada hasil yang ditemukan

Orde Baru yang berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998, dapat dikatakan sebagai masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Dimana kepentingan nomor satu dari penguasa Orde Baru semasa itu adalah menjaga “Kelestarian Kekuasaan” yang baru saja digenggamnya (Tan Swie Ling, Akar Masalah Umat Khonghucu Indonesia. http://www.budaya-tionghoa.org, 26 Oktober 2006).

Untuk itu, Presiden Soeharto memulai Orde Baru dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan-kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari

jalan yang ditempuh oleh Soekarno pada masa akhir jabatannya dengan dalih demi keamanan kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara. Warga China peranakan juga dilarang mengekspresikan diri mereka melalui budaya-budaya tradisi yang dimiliki. Sejak tahun 1967, warga China peranakan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, hal ini secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka.

Pemerintah memandang budaya, adat dan agama yang berasal dari China merupakan suatu penghambat bagi pembauran etnik ke dalam budaya nasional Indonesia, yang dimaksudkan dengan budaya, adat dan agama dari China tersebut adalah: kesenian Barongsai, hari raya Imlek, agama Khonghucu, Bahasa China itu sendiri dan lain-lain. Pemerintah juga mengkhawatirkan adanya campur tangan komunis China untuk menguasai Indonesia. Karena itu pemerintah mengeluarkan Inpres No. 14 tahun 1967 yang isinya tentang larangan adanya adat, budaya dan kepercayaan berbau China aktif di Indonesia serta larangan pembangunan klenteng. Kebijakan pemerintah ini diperkuat lagi dengan keputusan Sidang Kabinet yang memutuskan Khonghucu bukan agama. Keputusan ini dikembangkan lagi dengan dikeluarkannya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/74054/BA.01.2/4683/95 tanggal 18 November 1978 perihal Petunjuk Pengisian Kolom Agama, yang antara lain menyatakan bahwa hanya ada lima agama yang diakui oleh negara Indonesia, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha.

persoalan yang cukup hangat untuk diperbincangkan. Pemerintah tetap kukuh pada pendiriannya bahwa Khonghucu itu bukanlah agama. Sehingga pada masa ini umat Khonghucu dilarang untuk beribadat.

Berhubung masa Orde Baru ini lahir dari runtuhnya Orde Lama yang dipersepsikan dengan bertulangpunggungkan PKI, maka PKI dikualifikasikan sebagai “Musuh Negara dan Bangsa Indonesia”. Demi menjaga stabilitas keamanan bangsa dan negara Indonesia, para pemimpin Orde Baru melakukan berbagai pembersihan terhadap “Musuh Negara dan Bangsa Indonesia” tersebut. Dalam rangka pembersihan ini, Bung Karno beserta para pendukungnya terkena getahnya, hingga meninggal dalam status sebagai Tahanan Politik. Tidak hanya Bung Karno, bahkan Pemerintah Republik Rakyat China (RRC) beserta pendukung utamanya, Partai Komunis China juga terkena getahnya.

Pemerintah masa Orde Baru menganggap Republik Rakyat China (RRC) terus-menerus membela PKI, hal ini membuat emosi dan kemarahan Orde Baru menjadi tak terkendali. Sehingga mengakibatkan seluruh WNI etnik China terkena ampasnya juga. Hal ini semata-mata karena orang China peranakan Indonesia memiliki kesamaan etnik, yaitu China, yang kemudian seenaknya dianggap berpotensi untuk menjadi kaki tangan komunis China, yang dapat menguasai negara Indonesia. Dengan kata lain, orang-orang China itu berambisi untuk menjadi penguasa dunia. Dengan adanya argumentasi semacam itu, tentu saja dapat membuat pemerintah Orde Baru beranggapan bahwa orang-orang China dengan budaya Khonghucu dan komunisme itu

dapat membahayakan bangsa Indonesia.

Pengkaitan antara Khonghucu dengan komunisme yang sudah ada di Indonesia sejak terjadinya peristiwa G30S/PKI itulah yang menyebabkan negara secara tidak adil memperkosa HAM umat Khonghucu khususnya dan orang China peranakan Indonesia pada umumnya. Terlihat dengan jelas bahwa pada masa Orde Baru ini terdapat banyak sekali pembatasan ruang gerak umat Khonghucu, dengan dilarangnya pembangunan klenteng, secara tidak langsung hal itu menghambat umat Khonghucu dalam melaksanakan ibadahnya dengan Tian (Tuhan Yang Maha Esa) yang diyakininya. Kemudian bagaimana dengan UU No. 1/PNPS/1965 yang pernah dikeluarkan oleh Presiden Soekarno pada masa pemerintahannya? Sebenarnya tidak pernah ada peraturan yang secara khusus ditetapkan untuk menghapus atau menghilangkan kebijakan tersebut. Tetapi entah mengapa UU No. 1/PNPS/1965 tersebut seperti menghilang ditelan bumi begitu saja.

Tetapi perlu adanya klarifikasi disini, bahwa persamaan diantara dua ajaran yang berbeda itu tidak bisa dianggap sebagai suatu yang identik, begitu pula hubungan antara agama Khonghucu dengan komunisme. Ajaran Khonghucu sudah berkembang di bumi ini kurang lebih 5 abad Sebelum Masehi, sedangkan ajaran komunisme baru ada pada pertengahan abad 19. Agama Khonghucu merupakan suatu ajaran tentang kebajikan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dan pada masa dinasti Han pernah dijadikan sebagai agama dan falsafah negara. Sebaliknya paham komunisme tidak mengenal adanya kepercayaan akan suatu agama. Demikian pula tidak perlu

dikaitkan lagi dengan RRC yang berpaham komunis ini, karena negara komunis tidak ada kepercayaan akan suatu agama, semua agama di RRC dianggap sebagai filsafat hidup. Tetapi RRC tidak melarang warganya untuk memilih dan memeluk suatu agama. Jadi perlu ditekankan sekali lagi bahwa antara Khonghucu dan komunisme itu tidak ada hubungan sama sekali, yang ada hanyalah sama-sama sebuah produk sejarah dari negeri tirai bambu yang terjadi pada zaman yang berbeda.

Dengan adanya pengkaitan antara Khonghucu dengan komunisme yang ada di Indonesia sejak terjadinya peristiwa G30S/PKI telah mendatangkan suatu musibah yang besar bagi semua orang China peranakan Indonesia pada umumnya dan umat Khonghucu khususnya, yang kemudian menyebabkan negara secara tidak adil memperkosa HAM, salah satunya adalah Hak Sipil mereka. Terlihat dengan jelas bahwa pada masa Orde Baru ini terdapat banyak sekali pembatasan ruang gerak umat Khonghucu, terutama pelayanan administrasi yang seharusnya didapatkan oleh mereka menjadi sedikit dibatasi.

Mulai adanya undang-undang yang mengatur tentang perkawinan terjadi pada masa Soeharto, yakni dengan dikeluarkannya UU No. 1/1974. Demi mengikuti peraturan yang ada, lembaga Khonghucu pun mulai menyusun Hukum Perkawinan dan Pedoman Pelaksanaan Upacaranya yang disesuaikan dengan Undang-Undang RI No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang dilakukan melalui Musyawarah Nasional III pada tahun 1975 di Tangerang.

saja pencatatan akte perkawinan umat Khonghucu tidak dapat terlaksana sebagaimana mestinya. Kasus penolakan pencatatan perkawinan yang dilakukan secara agama Khonghucu oleh KCS tetap terjadi, terutama di Kabupaten Bogor, Jawa Barat dengan alasan Khonghucu bukanlah agama yang diakui oleh pemerintah Indonesia. Padahal Presiden Soeharto pernah berkata “Kita tidak memilih-milih agama-agama yang ada menjadi agama-agama resmi dan agama-agama tidak resmi, agama-agama diakui dan agama-agama yang tidak diakui” (Suara Pembaruan, 28 Maret 1989).

Hal ini berlangsung dalam waktu yang cukup lama (30 tahun lebih), tidak sedikit umat Khonghucu yang dipersulit. Terutama mengenai masalah perkawinan, sudah menjadi kewajiban KCS untuk mencatatkan perkawinan yang dilakukan oleh umat Khonghucu, karena hal ini sesuai dengan yang tertuang dalam Pasal 2 UU No. 1/1974, yang menyebutkan “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut Peraturan Perundangan yang berlaku”. Selain itu berdasarkan Pasal 2 PP No. 9 tahun 1975 berbunyi “Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan menurut agamanya dan kepercayannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan pada KCS sebagaimana dimaksud dalam berbagai macam perundangan mengenai pencatatan perkawinan.”

Dalam praktek, setiap orang yang tidak mencatatkan perkawinannya pasti dianggap tidak sah, sehingga keturunan mereka pun dianggap tidak sah. Dapat digambarkan betapa sulit menyatukan peraturan perkawinan dalam suatu hukum nasional, yang dikarenakan keanekaragaman budaya, adat istiadat, agama, aliran

kepercayaan dan pengakuan hak-hak asasi manusia yang mewarnai kehidupan mereka di tanah air Indonesia.

Kelemahan pemerintah dalam mencampuri urusan sah tidaknya suatu perkawinan, yang dalam pelaksanaanya kadang-kadang dilakukan oleh golongan tertentu dirasakan mempersulit pencatatan yang dapat membuka peluang negatif untuk hidup bersama tanpa nikah, sehingga menimbulkan problema sosial baru. Tugas pemerintah seharusnya adalah hanya mencatat dan mengesahkan perkawinan mereka tanpa harus mempersulit.

Salah satu contoh perlakuan yang kurang adil pada masa Orde Baru yang dialami umat Khonghucu dalam pencatatan perkawinan di KCS adalah pasangan Budi Wijaya dan Lany Guito. Pernikahan mereka berlangsung di rumah ibadah Boen Bio Surabaya pada tanggal 23 Juli 1995, yang dilakukan dengan harapan perkawinan mereka ini mendatangkan kebahagiaan. Tetapi sangat disayangkan kenyataan berkata sebaliknya, perkawinan mereka ditolak di KCS dengan alasan Khonghucu itu bukanlah agama yang diakui dan dibina oleh Departemen Agama. KCS mengusulkan dua alternatif, yaitu: pertama, mengganti surat nikah dengan agama lain dan mengaku beragama salah satu agama resmi pemerintah. Kedua, MAKIN (Majelis Agama Khonghucu Indonesia) Boen Bio yang mengeluarkan surat nikah dengan cara menghilangkan kata agama di dalam stempel MAKIN. Hal ini tentu saja ditolak oleh Budi dan Lany, karena bertentangan dengan hati nurani mereka sebagai umat Khonghucu yang taat (Budi Wijaya dalam: Hak Asasi Beragama dan Perkawinan

Khonghucu, 1998: 16-17).

Banyak sekali usaha yang telah dilakuan Budi untuk dapat mendaftarkan perkawinannya di KCS, tetapi selalu mengalami jalan buntu. Kemudian Budi dan Lany menggunakan jalur hukum untuk menyelesaikan masalah mereka tersebut dengan bantuan seorang pengacara, yaitu Bapak Trimoelja D. Soerjadi SH, seorang tokoh humanis dan termasuk pengacara senior di Surabaya unuk memasukkan gugatan ke PTUN (Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara). Meskipun sudah melayangkan gugatan beberapa kali, hasilnya masih saja tetap mengecewakan (Budi Wijaya dalam: Hak Asasi Beragama dan Perkawinan Khonghucu, 1998: 21).

Akhirnya Menteri Kehakiman dalam rapat kerja dengan Komisi Tiga DPR RI mengatakan bahwa pemerintah sedang mengkaji tiga alternatif untuk memecahkan persoalan tersebut. Pertama, menyatakan Khonghucu sebagai salah satu agama yang diakui. Kedua, melakukan pranata pencatatan semata-mata sebagai catatan administratif atau laporan bahwa telah terjadi perkawinan. Ketiga, dibuatkan pencatatan khusus bagi mereka yang tidak menikah menurut agama yang diakui (Kompas, 18 September 1996).

Kemudian Depdagri melaui surat No. 474.2/704/UMPEM tanggal 30 Mei 2001 yang didasari surat Menag No. 178K/TUN/1997 tanggal 30 Maret 2000 perkara Kasasi Budi Wijaya dan Lany Guito dikabulkan dalam kasasi, MA memerintahkan Kantor Catatan Sipil Kotamadya Surabaya untuk mencatat perkawinan tersebut secara agama Khonghucu karena putusan tersebut memiliki kekuatan hukum yang tetap dan wajib

ditaati oleh pemerintah dan masyarakat (Anly Cenggana, Jaminan Konstitusi Agama Khonghucu, http://www.harianbatampos.com, 7 Maret 2006).

Demikian pula dengan pencatatan Khonghucu sebagai agama di dalam KTP (Kartu Tanda Penduduk) mulai dihilangkan yang dimulai di DKI Jakarta pada tahun 1978. Terdapat dua alternatif yang dapat dilakukan umat Khonghucu, yaitu umat Khonghucu harus memilih salah satu dari lima agama yang diakui oleh negara, dan kedua, umat Khonghucu harus rela kalau pada kolom agama mereka diisi dengan tanda (-) atau kurung buka garis pendek mendatar kurung tutup saja. (Tjandra R. Muljadi dalam: Hak Asasi Beragama dan Perkawinan Khonghucu, 1998: 83). Dengan kata lain, mereka dianggap sebagai seorang komunis yang tidak memiliki agama.

Tidak sedikit umat Khonghucu yang harus dengan terpaksa mengisi kolom agama mereka dengan lima agama yang diakui oleh pemerintah, yaitu Islam, Katolik, Kristen, Hindu dan Budha. Sebagian besar agama yang dicantumkan dalam KTP mereka adalah agama Budha. Sungguh ironis sekali memang, agama mereka cuma sekedar agama di KTP saja. Kenyataannya mereka tidak meyakini dan mengerti tentang agama yang dicatatkan dalam KTP mereka.

Hal ini dilakukan karena seluruh umat Khonghucu merasa mereka adalah Warga Negara Indonesia (WNI) yang baik dan memiliki hak yang sama pula dengan yang lain, hanya saja hak mereka sedikit dibatasi. Selain itu mereka takut jika sensus penduduk tidak mendata mereka sebagai WNI.

Khonghucu di sekolah-sekolah, yaitu sejak dikeluarkannya Kurikulum Pendidikan Dasar dan Lanjutan tahun 1975. Mengakibatkan para siswa umat Khonghucu mulai dari tahun 1977 dipaksa mengikuti pelajaran agama lain demi tuntutan kurikulum yang berlaku. Hal ini dikaitkan dengan Inpres 14/1967 yang menyatakan bahwa segala kegiatan yang berhubungan dengan budaya China dilarang, hal ini menyebabkan umat Khonghucu tidak dapat merayakan hari suci mereka, yang kemudian mengakibatkan agama Khonghucu bukan lagi sebagai salah satu agama yang dianut oleh Negara Indonesia sebagaimana seperti yang tercantum dalam UU No. 1/ PNPS/ 1965.

Meskipun dilarang di dunia pendidikan formal di Indonesia, namun pada kenyataannya di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta ajaran Khonghucu dijadikan sebagai salah satu mata kuliah agama. Mata kuliah yang diberikan unversitas tertua di Indonesia ini, memang diberikan khusus untuk mahasiswa/i yang memeluk agama Khonghucu sejak tahun 1997. Lain halnya dengan di Bogor, ada beberapa sekolah negeri yang menyerahkan pelajaran agama Khonghucu tersebut pada MAKIN setempat. Ujian dilakukan oleh MAKIN kemudian nilainya diserahkan pada sekolah masing-masing. Di luar Pulau Jawa pun mata kuliah Khonghucu masih diterapkan di Universitas lain, seperti di Universitas Bung Hatta Padang dan beberapa universitas di Jambi (Suara Indonesia, 15 November 1997).

Selain itu, di Kota Tangerang sendiri terdapat sebuah sekolah yang berlandaskan pada ajaran Khonghucu dan diambil dari nama nabi Khongcu itu sendiri, yaitu TK “Confucius” yang didirikan pada tahun 1973. Seiring dengan perubahan

waktu adanya harapan dan kebutuhan masyarakat agar disediakan gedung sekolah lain selain TK itu sendiri. Kemudian pada tahun 1974 didirikanlah gedung sekolah untuk tingkat sekolah dasar, tetapi karena situasi politik yang kurang baik pada saat itu, untuk pendirian sekolah tingkat dasar tersebut diganti dengan nama SD Setia Bhakti. Kemudian berlanjut pada SLTP Setia Bhakti (tahun 1978), SMK Setia Bhakti (tahun 1999) dan SMU “Unggul“ Setia Bhakti (tahun 2003). Tenaga pengajar agama Khonghucu itu sendiri, didapatkan melalui pihak MAKIN Tangerang.

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

a) Hubungan pemerintah Orde Baru dengan masyarakat Indonesia yang beragama Khonghucu tidaklah berjalan dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari Inpres No. 14 tahun 1967 yang isinya tentang larangan adanya adat, budaya dan kepercayaan berbau China aktif di Indonesia serta larangan pembangunan klenteng. Kebijakan pemerintah ini diperkuat lagi dengan keputusan Sidang Kabinet yang memutuskan Khonghucu bukan agama. Keputusan ini dikembangkan lagi dengan dikeluarkannya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/74054/BA.01.2/4683/95 tanggal 18 November 1978 perihal Petunjuk Pengisian Kolom Agama, yang antara lain menyatakan bahwa hanya ada lima agama yang diakui oleh negara Indonesia, yaitu: Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha.

pemerintahannya, hanya mementingkan kekuasaan yang telah diraihnya pada saat itu. Hal ini dapat dilihat dari peraturan-peraturan yang telah dikeluarkan diatas, tanpa memperdulikan UU No.1/PNPS/1965 yang pernah dikeluarkan oleh pemerintahan Orde Lama. Pemerintah Orde Baru tanpa dasar hukum yang kuat menghilangkan UU No. 1/PNPS/1965 tersebut. Hal ini dilakukan dengan dalih untuk melindungi negara Indonesia dari serangan komunis, dimana orang peranakan China pada saat itu terkena imbasnya dan dianggap sebagai kaki tangan komunis. Karenanya ruang lingkup mereka menjadi terbatas, termasuk penganut agama Khonghucu. Perlu ditekankan sekali lagi, bahwa UU No. 1/PNPS/1965 tersebut kenyataannya tidak pernah dihapuskan.

c) Dengan adanya Inpres No. 14 tahun 1967 dan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/74054/BA.01.2/4683/95 tersebut, tentu saja mempengaruhi pencatatan akte perkawinan, KTP dan pendidikan umat Khonghucu. Pencatatan akte perkawinan khususnya, prosedurnya menjadi lebih sulit, karena adanya UU No. 1/1974 tentang perkawinan.

d) Meskipun pendidikan agama Khonghucu mengalami masalah, tetapi di Kota Tangerang itu sendiri pada masa itu terdapat sebuah sekolah yang berlandaskan pada ajaran Khonghucu. Sekolah ini tidak mengalami persoalan meskipun keberadaannya sudah ada sejak Orde Baru.

Dokumen terkait