• Tidak ada hasil yang ditemukan

PADA PENCUCIAN (LEACHING) DAN JENIS DAGING YANG BERBEDA

© Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2007 Hak Cipta dilindung

PADA PENCUCIAN (LEACHING) DAN JENIS DAGING YANG BERBEDA

S U H A R Y A N T O

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana IPB

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

B O G O R 2007

Judul Tesis : Karakteristik Dendeng Daging Giling pada Pencucian (Leaching) dan Jenis Daging yang Berbeda

Nama : Suharyanto NIM : D051050021

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Rudy Priyanto Ketua

Prof. Dr. H. R. Eddie Gurnadi, M.Sc Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Ternak

Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

Tanggal ujian: 28 Juni 2007 Tanggal lulus:

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penelitian berikut karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih pada penelitian yang dilaksanakan dari bulan Februari-April 2007 di Laboratorium Ruminansia Besar Fapet IPB dan Laboratorium Biokimia Pangan dan Gizi Fateta IPB adalah karakteristik dendeng dengan Judul Karakteristik Dendeng Daging Giling pada Pencucian (Leaching) dan Jenis Daging yang Berbeda.

Pemilihan tema ini didasari pada perlunya pengolahan daging untuk meningkatkan masa simpan, nilai nutrisi, ekonomi dan diversifikasi produk daging. Hal ini penting karena daging merupakan bahan makanan yang rentan terhadap kerusakan meskipun mengandung gizi yang tinggi. Selama ini daging yang sering digunakan untuk dendeng adalah daging sapi meskipun daging ruminansia kecil dan kuda dapat diaplikasikan. Belum dimanfaatkannya daging kuda dan ruminansia kecil secara optimal ini karena adanya flavor (off-flavour) yang kurang disukai dari kedua jenis daging tersebut. Salah satu cara yang dianggap dapat mengurangi efek off-flavour adalah dengan melakukan pencucian.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Rudy Priyanto dan Bapak Prof. Dr. H. R. Eddie Gurnadi, M.Sc selaku pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan selama penulis melakukan penelitian hingga penulisan tesis ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Ibu Dr. Ir. Henny Nuraini, M.Si selaku penguji luar komisi yang telah memberikan saran demi perbaikan tesis ini.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan dan adik- adik yang telah membantu penelitian ini: Ika, Diah, Alik, Jarmuji, Sukisno, Arfin, Taufik, Arfan, Ema, Risa dan khususnya Santy yang telah menyediakan waktu, tempat dan beberapa peralatan untuk penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ibu, mertua dan seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Last but not least, terima kasih kepada Istriku, Eny Handayani, S.Pt, atas kerelaan waktunya, kesabaran, doa dan motivasinya demi selesainya studi ini.

Bogor, Juli 2007

Suharyanto

Penulis dilahirkan di Talang Padang pada tanggal 2 Juni 1973 dari ayah Sudarso dan ibu Sarni. Penulis merupakan anak pertama dari tujuh bersaudara.

Pada tahun 1983, penulis lulus dari SDN 4 Sri Bhawono Lampung Tengah. Tahun 1988 penulis lulus dari SMPN Sri Bhawono Lampung Tengah. Kemudian tahun 1991 lulus dari SMAN Ketahun Bengkulu Utara. Pada Tahun 1992 penulis diterima menjadi mahasiswa pada Program Studi Produksi Ternak Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN).

Selama menempuh pendidikan di Universitas Bengkulu, penulis aktif menjadi Ketua Umum Himpunan Profesi Mahasiswa Peternakan (Hipromater) periode 1994/1995, pengurus Senat Mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu periode 1995/1996. Penulis juga menjadi asisten matakuliah Fisiologi Ternak Dasar pada tahun ajaran 1994/1995 – 1996/1997. Pada tahun 1996 penulis menjadi pemenang II Mahasiswa Berprestasi Utama tingkat Universitas Bengkulu dan sebagai juara I Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI) bidang IPA tingkat Perguruan Tinggi se-Bengkulu. Selain itu, penulis juga aktif menulis ilmiah populer di media lokal dan nasional bidang peternakan.

Penulis dinyatakan lulus sebagai Sarjana Peternakan pada ujian skripsi yang dilaksanakan pada tanggal 3 Juni 1997. Setelah tamat penulis bekerja sebagai fasilitator dan konsultan usaha kecil, menengah dan koperasi di beberapa lembaga; sebagai penulis lepas dan ilmiah populer, hingga akhirnya pada Desember 2002, penulis diterima sebagai staf pengajar pada Program Studi Produksi ternak Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu melalui seleksi penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil. Pada tahun 2005, penulis melanjutkan studi pada Program Studi Ilmu Ternak Sekolah Pascasarjana IPB dan aktif sebagai Sekretaris Umum Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Ilmu Ternak (HIWACANA-PTK) 2005/2006.

Halaman DAFTAR TABEL... xiii DAFTAR GAMBAR ... xiv DAFTAR LAMPIRAN... xv PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1 Tujuan ... 3 Hipotesis... 3 TINJAUAN PUSTAKA

Otot dan Daging ... 4 Struktur Otot ... 4 Definisi Daging ... 6 Kimia Daging ... 6 Dendeng ... 8 Bahan Tambahan Pembuat Dendeng ... 10 Warna Daging dan Dendeng ... 11 Flavor Daging dan Dendeng ... 15 Flavor ... 15 Flavor Daging ... 16 Oksidasi pada Dendeng... 18 Pengeringan... 20 Pencucian (Leaching)... 21 METODE PENELITIAN

Rancangan Percobaan dan Model Penelitian ... 23 Bahan dan Prinsip Pembuatan Dendeng ... 23 Variabel Pengamatan dan Pengukurannya... 25 Variabel Fisik ... 25 Variabel Kimiawi ... 26 Variabel Organoleptik... 28 Analisa Data ... 28 HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Kimia Adonan Dendeng... 30 Kadar Air... 30 Kadar Abu ... 31 Kadar Protein ... 32 Kadar Lemak... 34

Kadar Air... 37 Kadar Abu ... 38 Kadar Protein ... 39 Kadar Lemak... 41 Bilangan Peroksida ... 42 Karakteristik Fisik Dendeng ... 44 Rendemen... 44 Nilai pH Dendeng ... 46 Kekerasan... 47 Aktivitas Air (Aw) ... 49 Warna Objektif Dendeng ... 51 Karakteristik Organoleptik Dendeng ... 55 Warna ... 55 Tekstur ... 56 Aroma... 57 Rasa ... 59 Keempukan ... 60 KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan ... 61 Saran... 61 DAFTAR PUSTAKA ... 62 LAMPIRAN... 69

Halaman 1. Karakteristik mutu dendeng menurut SNI 01-2908-1992... 9 2. Nilai rataan karakteristik kimia adonan dendeng... 30 3. Nilai rataan karakteristik kimia dendeng ... 36 4. Nilai rataan beberapa karakteristik fisik dendeng... 44 5. Nilai rataan warna dendeng... 51 6. Hasil uji hedonik dendeng berdasarkan modus pada tiap level pencucian ... 55 7. Hasil uji hedonik dendeng berdasarkan modus pada tiap jenis daging... 55

Halaman 1. Organisasi dan struktur otot ... 4 2. Irisan memanjang miofilamen otot (Wick dan Marriott 1999)... 5 3. Perkembangan warna daging berdasarkan status Fe (Wilson 1981)... 12 4. Reaksi kimia perkembangan warna daging curing (Aberle et al. 2001) ... 14 5. Reaksi oksidasi pada lemak ... 19 6. Skema alur pembuatan dendeng daging giling ... 24

Halaman 1. Analisis varian air adonan dendeng ... 69 2. Analisis varian abu adonan dendeng... 69 3. Analisis varian protein adonan dendeng ... 69 4. Analisis varian lemak adonan dendeng... 70 5. Uji lanjut DNMRT lemak adonan dendeng ... 70 6. Analisis varian air dendeng... 70 7. Analisis varian abu dendeng ... 71 8. Analisis varian protein dendeng... 71 9. Analisis varian lemak dendeng ... 71 10. Uji lanjut DNMRT lemak dendeng... 72 11. Analisis varian bilangan peroksida dendeng... 72 12. Uji lanjut DNMRT bilangan peroksida dendeng ... 72 13. Analisis varian rendemen dendeng ... 72 14. Uji lanjut DNMRT rendemen dendeng... 73 15. Analisis varian pH dendeng ... 73 16. Uji lanjut DNMRT pH dendeng... 73 17. Analisis varian kekerasan dendeng ... 74 18. Uji lanjut DNMRT kekerasan dendeng... 74 19. Analisis varian kekerasan dendeng ... 74 20. Analisis varian derajat kecerahan (”L”) dendeng ... 75 21. Uji lanjut DNMRT derajat kecerahan (”L”) dendeng... 75 22. Analisis varian derajat kemerahan (”a”) dendeng... 75 23. Analisis varian derajat kekuningan (”b”) dendeng ... 76 24. Uji lanjut DNMRT derajat kekuningan (”b”) dendeng... 76 25. Uji Kruskal Wallis dendeng mentah berdasarkan faktor Leaching... 76 26. Uji Kruskal Wallis dendeng mentah berdasarkan faktor Daging... 77 27. Uji Kruskal Wallis dendeng goreng berdasarkan faktor Leaching... 77 28. Uji Kruskal Wallis dendeng goreng berdasarkan faktor Daging ... 78

Latar Belakang

Daging merupakan bahan makanan yang memiliki nilai gizi yang relatif lengkap dan seimbang. Akan tetapi, daging juga merupakan bahan yang mudah mengalami kerusakan (perishable). Oleh karenanya diperlukan upaya agar daging dapat bertahan lebih lama lagi. Pengolahan merupakan upaya mempertahankan atau bahkan meningkatkan nilai produk baik dari segi nutrisi, daya tahan, palatabilitas maupun ekonomi. Pengolahan juga merupakan sarana melakukan diversifikasi produk makanan.

Salah satu produk olahan daging yang cukup populer bagi masyarakat Indonesia adalah dendeng, yaitu suatu lempengan daging baik digiling maupun tidak dengan ketebalan 2-3 mm yang telah ditambahkan garam, gula dan bumbu- bumbu yang kemudian dikeringkan. Garam yang digunakan biasanya antara 2-3% dari berat bahan, sedangkan penambahan gula belum ada standar dan biasanya disesuaikan dengan selera. Namun demikian, penambahan gula sering dimaksudkan untuk mengurangi efek pengerasan dari garam, memperbaiki aroma dan tekstur. Secara fisik akan mengurangi penguapan sehingga daging kelihatan lebih basah dan lembut. Teknik ini merupakan campuran antara penggaraman dan pengeringan.

Dendeng yang sudah lazim dibuat adalah dengan menggunakan daging sapi. Padahal dendeng dapat dibuat dari berbagai jenis daging. Pemanfaatan daging lain untuk dendeng dapat meningkatkan diversifikasi produk jenis daging, meningkatkan penyediaan daging untuk konsumsi dan dapat mendorong dinamika peternakan selain sapi yang pada gilirannya mampu mensuplai sumber protein hewani secara memadai.

Jenis daging lain yang dapat dijadikan bahan pembuatan dendeng adalah daging kuda dan domba serta kambing. Ternak kuda sebenarnya potensial sebagai sumber daging, setidaknya dapat dilihat dari populasi ternak ini yang cukup banyak, yaitu 386 708 ekor pada tahun 2005 dengan tingkat produksi pada tahun 2005 sebesar 1.59 ribu ton. Populasi ternak domba hingga tahun 2005 adalah sebesar 8 327 022 ekor dengan tingkat produksi sebesar 47.30 ribu ton dan

populasi ternak kambing sebesar 13 409 277 ekor dengan tingkat produksi sebesar 50.6 ribu ton pada tahun 2005 (Deptan 2007). Akan tetapi, di Indonesia, daging ruminansia kecil dan kuda belum banyak digunakan dalam pembuatan produk- produk olahan daging. Hal ini mungkin karena kuda memiliki flavor yang khas yang kurang disukai oleh konsumen dan kebanyakan kuda digunakan untuk tenaga kerja sehingga pemotongannya pada umur tua dan ini menyebabkan dagingnya berwarna merah gelap. Menurut Suryaningsih (2006) senyawa yang menentukan flavor daging kuda adalah kelompok karboksilat jenis asam 9- oktadekanoat. Menurut Agawati (2003) bahwa sosis yang berasal dari daging kuda memiliki warna yang lebih gelap sehingga kurang disukai dibandingkan dengan sosis daging sapi.

Demikian halnya dengan domba dan kambing. Ternak domba juga memiliki flavor yang khas yang membuat konsumen kurang menyukainya. Padahal flavor sangat berpengaruh pada kesukaan konsumen. Hingga saat ini daging domba sering dianggap memiliki flavor yang kurang menyenangkan, yaitu bau prengus yang merupakan khas domba (muttony) dan tidak dijumpai pada ternak lain. Senyawa yang bertanggung jawab terhadap flavor khas domba ini merupakan asam lemak jenuh bercabang metil, 4-metiloktanoat dan 4- metilnonanoat (Young & Braggins 1998 dan Suryaningsih 2006).

Upaya untuk mengurangi efek flavor yang khas dan warna gelap pada daging tersebut di atas adalah dengan melakukan pencucian air dingin (leaching). Tujuannya adalah untuk memisahkan lemak, darah, pigmen-pigmen, garam-garam anorganik, protein, enzim yang larut dalam air dan kontaminan. Pada mulanya teknologi ini diterapkan pada pembuatan surimi di Jepang, yaitu produk makanan dari daging ikan yang telah dipisahkan dari tulang-tulangnya kemudian digiling secara mekanik dan dicuci dengan menggunakan air dingin beberapa kali. Surimi kemudian dapat digunakan untuk membuat produk-produk olahan semisal bakso, kamaboko, sosis dan lain-lain.

Pencucian dapat meningkatkan kesukaan konsumen terhadap aroma, rasa dan warna pada pasta nikumi kuda dan sapi. Akan tetapi pencucian juga dapat menurunkan nilai gizi pada daging yang dibuat. Oleh karenanya disarankan untuk melakukan pencucian sebanyak 3 (tiga) kali yang dianggap memberikan aroma,

rasa, warna dan sifat oles yang baik tanpa mengurangi kandungan nutrisinya (Mega 2005).

Pemanfaatan daging kuda dan domba menjadi dendeng merupakan usaha yang penting untuk dikembangkan karena dengan teknologi dendeng maka dapat memperpanjang masa simpan daging sekaligus diharapkan dapat meningkatkan penerimaan terhadap daging kuda dan domba berkenaan dengan flavor asal daging tersebut melalui teknologi pencucian.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh pencucian (leaching) terhadap sifat fisik, kimiawi dan organoleptik dendeng daging kuda, domba dan sapi.

Hipotesis Hipotesis (H1) pada penelitian ini adalah:

1. Terdapat perbedaan nyata pada karakteristik dendeng akibat pengaruh pencucian (leaching) jenis daging.

Otot dan Daging Struktur Otot

Unit struktural jaringan otot skeletal merupakan sel yang sangat khusus disebut dengan serabut otot atau myofiber atau sel otot (muscle cell). Sel otot ini panjang searah dengan panjang otot itu sendiri. Membran sel otot ini disebut dengan sarkolema (Gambar 1). Di sepanjang sarkolema akan mengalami invaginasi secara periodik searah panjangnya sel membentuk suatu jaringan

tranversus tubulus (T-system atau T-tubulus). Sitoplasmanya disebut dengan sarkoplasma (sarcoplasm). Inti sel otot skeletal banyak sekali (Aberle et al. 2001).

Satu sel otot dilingkupi oleh jaringan ikat disebut dengan endomisium. Kumpulan dari beberapa sel otot (serabut otot) diikat oleh jaringan disebut dengan perimisium dan membentuk berkas otot (muscle bundle). Sekumpulan berkas otot diikat oleh jaringan epimisium membentuk otot (gambar 1).

Di dalam sel otot terdapat suatu organela unik yang disebut dengan miofibril yang terdiri atas dua filamen atau miofilamen, yaitu filamen tebal dan filamen tipis. Filamen tebal ini komponen utamanya adalah protein miosin dan filamen tipis komponen utamanya protein aktin.

Gambaran secara memanjang dari fotomikrograf menunjukkan bahwa sepanjang miofibril merupakan segmen antara gelap dan terang dan ini mencerminkan dari segmen dari dua filamen (tebal/miosin dan tipis/aktin). Dua miofilamen ini bukanlah terpisah, tetapi menjadi satu menyusun suatu segmen yang berbeda dimana masing-masing ujungnya menyambung secara tumpang tindih atau saling mengisi.

Filamen aktin, karena tipis sehingga bersifat refraktif terhadap cahaya sehingga disebut dengan isotropik. Area isotropik ini disebut dengan pita I (I

band). Sebaliknya dengan filamen miosin, karena tebal maka kurang refraktif dan gelap sehingga disebut anisotropik. Area anisotropik ini disebut dengan pita A (A

band). Pita A lebih rapat dan gelap dibandingkan pita I, tetapi keduanya sama- sama terbelah menjadi dua seksi oleh suatu garis yang memiliki kerapatan lebih dibandingkan dengan 2 belahannya. Garis pembelah yang lebih tebal pada pita I disebut dengan garis Z dan garis pembelah pita A disebut dengan zona H. Di tengah-tengah zona H terdapat garis yang disebut dengan garis M. Panjang antara satu garis Z ke garis Z di sebelahnya disebut dengan satu sarkomer. Jadi satu sarkomer terdapat 2 paruh pita I yang mengapit satu pita A (Aberle et al. 2001) (Gambar 2).

Definisi Daging

Daging diperoleh setelah otot berubah melalui proses penyembelihan atau ternak dimatikan. Selama dan segera setelah penyembelihan ternak otot mengalami perubahan-perubahan yang mempengaruhi sifat-sifat dan kualitas daging. Dengan demikian, daging didefinisikan sebagai semua jaringan tubuh hewan dan produk hasil olahannya yang sesuai untuk dikonsumsi (Aberle et al. 2001). Daging harus tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang mengkonsumsinya. Termasuk ke dalam definisi daging di atas adalah organ-organ seperti hati, ginjal, otak, paru-paru, jantung, limfa, pankreas dan jaringan otot (Soeparno 1992).

Daging tersusun atas berbagai macam jaringan tubuh seperti jaringan adiposa, jaringan ikat, jaringan saraf, jaringan epitel dan jaringan otot. Jaringan otot merupakan komponen terbesar dari daging sehingga pembahasan mengenai daging lebih banyak mempelajari sifat dari jaringan otot ini, khususnya otot sekeletal. Namun demikian yang sering dijadikan pembahasan tentang daging adalah hanya urat daging (jaringan otot skeletal) yang dikonversikan menjadi daging setelah hewan dipotong. Bila merujuk pada SNI 01-3947-1995 dan SNI 01-3948-1995 maka daging sapi/kerbau dan kambing/domba dideskripsikan sebagai urat daging yang melekat pada kerangka, kecuali urat daging pada bagian bibir, hidung dan telinga yang berasal dari sapi/kerbau yang sehat waktu dipotong. Sementara untuk daging kuda belum dicantumkan dalam Standar Nasional Indonesia (SNI).

Kimia Daging

Menurut Lawrie (1991), komposisi kimia daging terdiri atas air 56-72%, protein 15-22%, lemak 5-34%, dan substansi bukan protein terlarut 3.5% yang meliputi karbohidarat, garam organik, substansi nitrogen terlarut, mineral dan vitamin. Sedangkan menurut Aberle et al. (2001) bahwa daging mengandung 70% air, 19% protein, 5% lemak, 3.5% zat-zat non protein, dan mineral serta bahan- bahan lain 2.5%. Namun demikian, masing-masing spesies dan umur serta kondisi ternak memiliki komposisi kimia yang berbeda-beda. Paleari et al. (2003) melaporkan bahwa masing-masing spesies memiliki karakteristik kimia yang berbeda beda.

Sebagai sumber protein, daging mengandung protein terbesar kedua setelah komponen air. Secara umum protein pada otot atau daging terbagi menjadi 3 kelompok berdasarkan sifat kelarutannya, yaitu protein sarkoplasmik (30%), protein miofibrilar (55%) dan protein stromal atau jaringan ikat otot (15%). Protein sarkoplasmik bersifat larut dalam air dan larutan garam encer terdapat pada sarkoplasma. Protein miofibrilar merupakan protein yang mengandung struktur miofibril dan bersifat larut dalam larutan garam dengan konsentrasi 1.5% lebih. Protein stromal merupakan penyusun utama pada jaringan ikat yang tidak larut dalam larutan garam tetapi dapat larut dalam perlakuan alkali atau asam (Xiong 2000).

Protein sarkoplamik meliputi gliseraldehida, aldose, enolase, kreatin kinase, laktat dehidrogenase, piruvat kinase, fosforilase, mioglobin, calpain, chatepsin, protein ekstraseluler dan membran-membran protein. Protein miofibrilar sebanyak terdiri atas miosin, aktin, troponin, tropomiosin, M-protein, C-protein, titin, nebulin dan desmin. Miosin merupakan komponen terbanyak dalam miofibril dan larut ke dalam larutan dengan kekuatan ion yang tinggi (lebih besar dari 0.3 M). Miosin memiliki sifat fungsional penting pada daging, yaitu (a) bersifat enzim dengan aktivitas ATP-ase, (b) miosin membentuk kompleks dengan aktin dan (c) miosin membentuk agregrat dengan sesamanya membentuk filamen (Zayas 1997; Xiong 2000).

Protein stromal meliputi kolagen, elastin dan retikulin. Protein ini mempengaruhi kualitas daging secara langsung, yaitu dengan (Zayas 1997):

1. Menurunkan keempukan daging dan ini tergantung dengan banyaknya protein stromal dan derajat cross-linking sesama protein stromal.

2. Karena sifat asalnya yang tidak larut dalam air maka mempengaruhi kapasitas emulsi daging.

3. Menurunkan daya mengikat air daging karena rendahnya kandungan asam amino hidrofilik dan bermuatan.

4. Dapat menurunkan nilai nutrisi daging.

Kelarutan protein otot merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi sifat retensi air pada otot dan pada akhirnya mempengaruhi kualitas daging. Ikatan fisik dan kimia pada protein otot berpengaruh pada sifat struktural dan tekstur protein otot. Terdapat korelasi antara struktur protein dan kelarutannya dan ini terkait dengan keempukan atau kekerasan daging selama pengolahan dan penyimpanan (Zayas 1997).

Komponen kimia lain yang cukup penting pada daging adalah lemak. Meskipun dalam jumlah yang relatif sedikit, tetapi ini merupakan 3 terbesar komponen kimia pada daging. Lemak pada daging sangat memiliki peran baik menguntungkan maupun merugikan. Salah satu hal yang merugikan adalah adanya oksidasi pada lemak daging dan ini berpengaruh pada produk olahan daging.

Lemak merupakan sumber energi yang penting karena jumlah energi yang dihasilkan bisa dua kali lipat dari yang dihasilkan oleh protein dan karbohidrat. Lemak pada daging pada umumnya berupa trigliserida. Komposisi trigliserida pada lemak hewan sangat nyata menentukan kelembutan dan kekasaran penampakan daging. Komposisi asam lemak pada masing-masing spesies berbeda-beda dan ini juga mempengaruhi sifat lemak yang juga berbeda-beda pada masing-masing spesies. Jumlah asam lemak jenuh pada domba, sapi dan babi masing-masing adalah 53%, 45% dan 40% sedangkan asam lemak tak jenuhnya masing-masing adalah 47%, 55% dan 60% (Warriss 2000).

Dendeng

Dendeng merupakan produk awetan melalui kombinasi pengolahan, pengeringan dan beberapa diantaranya curing, yang sangat populer di kalangan masyarakat Indonesia. Dendeng yang biasanya dibuat adalah dari daging sapi, tetapi pada dasarnya dapat dibuat dari daging-daging yang lainnya. Menurut SNI 01-2908-1992, yang dimaksud dengan dendeng sapi adalah produk makanan berbentuk lempengan yang terbuat dari irisan atau gilingan daging sapi segar berasal dari sapi sehat yang telah diberi bumbu dan dikeringkan.

Dendeng dibuat dalam bentuk lempengan-lempengan daging baik daging yang disayat maupun digiling kemudian dibentuk menjadi lempengan-lempengan dengan tebal kira-kira 2-3 mm. Selanjutnya direndam ke dalam campuran garam, gula kelapa, dan bumbu-bumbu selama lebih kurang 1-6 jam atau bahkan sampai 12 jam. Setelah itu dikeringkan. Jika dendeng itu berbentuk daging giling maka daging giling dicampurkan dengan garam, gula dan bumbu-bumbu secara merata kemudian didiamkan selama beberapa jam. Proses pembuatan ini belum dibakukan jadi masih bersifat sesuai dengan selera dalam hal komposisi bumbu dan prosesnya oleh si pembuat dan biasanya disesuaikan dengan kebiasaan makan dari masyarakat di daerah di mana produk itu dibuat.

Meskipun merupakan proses pengeringan, dendeng dikelompokkan ke dalam produk daging semi basah (intermediate moisture). Bahan pangan semi basah mengandung kadar air antara 15-50% dan aktivitas air (Aw) 0.60-0.92 (Huang dan Nip 2001), tidak memerlukan penyimpanan dingin, stabil dalam suhu kamar dan perkembangbiakan mikroorganisma terhambat serta aktivitas airnya (Aw) 0.60-0.80 (Purnomo 1996). Sedangkan menurut Salguero et al. (1994), aktivitas air bahan semi basah berkisar antara 0.60-0.91 dan dalam pemasarannya tidak memerlukan pendinginan sehingga memudahkan dalam hal proses produksi.

Menurut Huang dan Nip (2001) bahwa dendeng sayat dibuat hingga aktivitas airnya antara 0.52-0.67 dan dendeng giling 0.62-0.66. Karakteristik proksimatnya adalah pH 5.6, kadar air 26%, protein 35%, lemak 10%, garam 8% dan gula 35% (berdasarkan berat kering). Sementara menurut Purnomo (1996) bahwa dendeng yang beredar di pasaran pada umumnya mengandung air 9.9- 35.5%, kadar gula 20-52%, kadar garam 0.4-0.6%, kadar lemak 1.0-17.4%, serat kasar 0.4-15.5% dan aktivitas airnya 0.40-0.50. Namun demikian bila mengacu pada SNI 01-2908-1992 bahwa standar dendeng sapi disusun berdasarkan survai di daerah-daerah produksi dendeng sapi di Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Barat. Hasil survai ini kemudian disusun suatu syarat mutu, yakni meliputi mutu I dan mutu II sebagai berikut.

Tabel 1. Karakteristik mutu dendeng menurut SNI 01-2908-1992 Syarat Karakteristik

Mutu I Mutu II Warna dan bau Khas dendeng

sapi

Khas dendeng sapi Kadar air, (bobot/bobot), maksimal 12 12 Kadar Protein, % (Bobot/bobot kering),

min

30 25 Abu tidak larut asam, % (bobot/bobot

kering) maks

1 1 Benda asing, % (bobot/bobot kering) maks 1 1

Kapang dan serangga Tidak tampak Tidak tampak Keadaan daging mempengaruhi hasil dendeng yang dibuat. Ruiz-Rumirez

et al. (2005) melaporkan bahwa daging yang permukaannya kasar memiliki hasil olahan asinan kering yang lebih keras. Menurut Serra et al. (2005) dan Ruiz-

Dokumen terkait