KARAKTERISTIK DENDENG DAGING GILING PADA PENCUCIAN (LEACHING) DAN JENIS DAGING
YANG BERBEDA
S U H A R Y A N T O
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Karakteristik Dendeng Daging
Giling pada Pencucian (Leaching) dan Jenis Daging yang Berbeda adalah karya
saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum pernah diajukan
dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juli 2007
Suharyanto
NRP D051050021
SUHARYANTO. The Characteristics of Dendeng Giling (from Minced Meat) at Different Washing (Leaching) Methods and Meat Kinds. Under supervision of RUDY PRIYANTO and EDDIE GURNADI
Dendeng is typical Indonesian intermediate moisture meat product comprising of dendeng sayat (from sliced meat) and dendeng giling (from minced meat) with 2 mm thickness. This research was conducted to study the effect of leaching methods and kinds of meat on the proximate, physic and organoleptic characteristics of dendeng giling (from minced meat). The experimental design used a completely randomized factorial design (3 X 3) with three replications. The first factor was leaching methods with 3 levels (no washing, washed in 1.5 x 1.5 x1.5 cm sizes and washed in minced meat). The second factor was kind of meat: Horse, Lamb and Beef. The results of this research indicated that neither interaction effect between leaching and kind of meat nor effect of leaching were significant on the proximate, peroxide value (PV) and physics characteristics of
dendeng dough and raw dendeng (P>0.05). Kind of meat influenced significantly on the fat and PV, rendement, pH, and toughness (P<0.01). The fat content and PV of dendeng dough and raw lamb dendeng were significant higher than others (P<0.01). The dendeng from horse meat was higher than others in rendement value and lower in pH and toughness value (P<0.01). Leaching methods markedly increased “L” and “b” values of hunter color notation (P<0.01). Organoleptic properties were characterized by there were significantly different preferences in color of raw dendeng due to leaching method while other attributes had no different preferences both raw and fried dendeng.
Keywords: meat, leaching, dendeng, chemical, physical and organoleptics characteristics
SUHARYANTO. Karakteristik Dendeng Daging Giling pada Pencucian (Leaching) dan Jenis Daging yang Berbeda. Dibawah Bimbingan RUDY PRIYANTO dan EDDIE GURNADI
Daging merupakan bahan makanan yang memiliki nilai gizi yang relatif lengkap dan seimbang tetapi mudah mengalami kerusakan (perishable). Pengolahan merupakan upaya mempertahankan dan meningkatkan nilai produk baik dari segi nutrisi, daya tahan, palatabilitas maupun ekonomi serta diversifikasi produk makanan.
Salah satu produk olahan daging yang cukup populer bagi masyarakat Indonesia adalah dendeng, yaitu suatu lempengan daging baik dalam bentuk daging sayat maupun digiling dengan ketebalan 2-3 mm yang telah ditambahkan garam, gula dan bumbu-bumbu yang kemudian dikeringkan.
Selain daging sapi, jenis daging dari ternak lain yang dapat dijadikan bahan pembuatan dendeng adalah daging kuda dan ruminansia kecil (kambing dan domba). Daging kuda dan ruminansia kecil belum banyak digunakan dalam pembuatan produk-produk olahan daging. Hal ini mungkin karena jenis daging tersebut memiliki flavor yang khas yang kurang disukai (off-flavor) oleh konsumen.
Upaya untuk mengurangi efek flavor yang khas dan warna gelap pada daging tersebut di atas adalah dengan melakukan pencucian air dingin (leaching). Pada mulanya teknologi ini diterapkan pada pebuatan surimi di Jepang, yaitu produk makanan dari daging ikan yang telah dipisahkan dari tulang-tulangnya kemudian digiling secara mekanik dan dicuci dengan menggunakan air dingin beberapa kali. Tujuannya adalah untuk memisahkan daging dari bahan yang larut dalam air, lemak, darah (pigmen-pigmen); untuk memperbaiki flavor dan warna serta meningkatkan kekuatan gel.
Pencucian biasanya dilakukan hingga beberapa kali dan ini berdampak pada hilangnya sebagian nutrisi seperti protein sarkoplasmik. Oleh karenanya diperlukan pencucian yang meminimalkan hilangnya protein, yaitu dengan mencuci sekali selama 1 menit.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik kimia, sidik dan organoleptik dendeng daging giling. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap pola faktorial (3 X 3) dengan 3 kali ulangan. Faktor pertama adalah pencucian dengan 3 taraf (tanpa dicuci, dicuci pada kominusi 1.5 X 1.5 1.5 cm dan dicuci pada keadaan digiling). Faktor kedua adalah jenis daging: Kuda, Domba dan Sapi.
Daging yang telah diperoleh kemudian dipisahkan dari lemak dan jaringan ikat dan kemudian dikelompokkan berdasarkan perlakuan. Pencucian dilakukan satu kali dengan menggunakan air dingin bersuhu 5-10 oC dengan perbandingan air dengan daging sebesar 3:1. Setelah dicuci, daging diperas dengan menggunakan kain kasa. Kemudian daging yang telah digiling dan dicuci sesuai perlakuan, dicampurkan dengan garam sendawa (0.3%) dan diperam (curing) semalam. Setelah curing maka ditambahkan bahan-bahan yaitu, garam (3%), gula
(0.3%) dan asam jawa (0.1%) yang dihitung berdasarkan berat daging giling yang akan dibuat dendeng.
Setelah dendeng dibuat maka dikeringkan di dalam oven dengan suhu 80oC selama 4.5 jam kemudian dilakukan analisis kimia, fisik dan organoleptik. Sebelumnya adonan dendeng dilakukan analisis proksimat.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengaruh interaksi antara pencucian dan jenis daging maupun faktor pencuciannya tidak berpengaruh nyata terhadap komposisi proksimat, bilangan peroksida (BP) dan karakteristik fisik adonan dan dendeng mentah (P>0.05). Jenis daging berpengaruh sangat nyata terhadap kadar lemak. Kadar lemak adonan dan dendeng mentah dan BP dendeng mentah asal daging domba secara nyata lebih tinggi dari yang lainnya (P<0.01). Dendeng dari daging kuda memiliki rendemen yang lebih tinggi dibanding yang lainnya dan nilai pH serta kekerasan yang lebih rendah (P<0.01). Pencucian secara nyata meningkatkan nilai “L”, dan “b” dendeng (P<0,01). Sifat-sifat organoleptik dicirikan oleh adanya perbedaan nyata preferensi panelis terhadap warna dendeng akibat pencucian sementara pada atribut lainnya menunjukkan tidak berbeda nyata baik pada dendeng mentah maupun dendeng goreng.
Kata kunci: daging, leaching, dendeng, karakteristik kimiawi, fisik, dan organoleptik
©
Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2007
Hak Cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak
fotokopi, mikrofilm dan sebagainya
PADA PENCUCIAN (LEACHING) DAN JENIS DAGING YANG BERBEDA
S U H A R Y A N T O
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana IPB
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
B O G O R 2007
Judul Tesis : Karakteristik Dendeng Daging Giling pada Pencucian (Leaching) dan Jenis Daging yang Berbeda
Nama : Suharyanto
NIM : D051050021
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Rudy Priyanto Ketua
Prof. Dr. H. R. Eddie Gurnadi, M.Sc Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Ternak
Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal ujian: 28 Juni 2007 Tanggal lulus:
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala
karunia-Nya sehingga penelitian berikut karya ilmiah ini berhasil diselesaikan.
Tema yang dipilih pada penelitian yang dilaksanakan dari bulan Februari-April
2007 di Laboratorium Ruminansia Besar Fapet IPB dan Laboratorium Biokimia
Pangan dan Gizi Fateta IPB adalah karakteristik dendeng dengan Judul
Karakteristik Dendeng Daging Giling pada Pencucian (Leaching) dan Jenis
Daging yang Berbeda.
Pemilihan tema ini didasari pada perlunya pengolahan daging untuk
meningkatkan masa simpan, nilai nutrisi, ekonomi dan diversifikasi produk
daging. Hal ini penting karena daging merupakan bahan makanan yang rentan
terhadap kerusakan meskipun mengandung gizi yang tinggi. Selama ini daging
yang sering digunakan untuk dendeng adalah daging sapi meskipun daging
ruminansia kecil dan kuda dapat diaplikasikan. Belum dimanfaatkannya daging
kuda dan ruminansia kecil secara optimal ini karena adanya flavor (off-flavour)
yang kurang disukai dari kedua jenis daging tersebut. Salah satu cara yang
dianggap dapat mengurangi efek off-flavour adalah dengan melakukan pencucian.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak
Dr. Ir. Rudy Priyanto dan Bapak Prof. Dr. H. R. Eddie Gurnadi, M.Sc selaku
pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan selama
penulis melakukan penelitian hingga penulisan tesis ini. Penulis juga
menyampaikan terima kasih kepada Ibu Dr. Ir. Henny Nuraini, M.Si selaku
penguji luar komisi yang telah memberikan saran demi perbaikan tesis ini.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan dan
adik-adik yang telah membantu penelitian ini: Ika, Diah, Alik, Jarmuji, Sukisno, Arfin,
Taufik, Arfan, Ema, Risa dan khususnya Santy yang telah menyediakan waktu,
tempat dan beberapa peralatan untuk penelitian. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada Ibu, mertua dan seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih
sayangnya. Last but not least, terima kasih kepada Istriku, Eny Handayani, S.Pt,
atas kerelaan waktunya, kesabaran, doa dan motivasinya demi selesainya studi ini.
Bogor, Juli 2007
Suharyanto
Penulis dilahirkan di Talang Padang pada tanggal 2 Juni 1973 dari ayah
Sudarso dan ibu Sarni. Penulis merupakan anak pertama dari tujuh bersaudara.
Pada tahun 1983, penulis lulus dari SDN 4 Sri Bhawono Lampung
Tengah. Tahun 1988 penulis lulus dari SMPN Sri Bhawono Lampung Tengah.
Kemudian tahun 1991 lulus dari SMAN Ketahun Bengkulu Utara. Pada Tahun
1992 penulis diterima menjadi mahasiswa pada Program Studi Produksi Ternak
Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu melalui jalur Ujian Masuk Perguruan
Tinggi Negeri (UMPTN).
Selama menempuh pendidikan di Universitas Bengkulu, penulis aktif
menjadi Ketua Umum Himpunan Profesi Mahasiswa Peternakan (Hipromater)
periode 1994/1995, pengurus Senat Mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas
Bengkulu periode 1995/1996. Penulis juga menjadi asisten matakuliah Fisiologi
Ternak Dasar pada tahun ajaran 1994/1995 – 1996/1997. Pada tahun 1996 penulis
menjadi pemenang II Mahasiswa Berprestasi Utama tingkat Universitas Bengkulu
dan sebagai juara I Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI) bidang IPA tingkat
Perguruan Tinggi se-Bengkulu. Selain itu, penulis juga aktif menulis ilmiah
populer di media lokal dan nasional bidang peternakan.
Penulis dinyatakan lulus sebagai Sarjana Peternakan pada ujian skripsi
yang dilaksanakan pada tanggal 3 Juni 1997. Setelah tamat penulis bekerja
sebagai fasilitator dan konsultan usaha kecil, menengah dan koperasi di beberapa
lembaga; sebagai penulis lepas dan ilmiah populer, hingga akhirnya pada
Desember 2002, penulis diterima sebagai staf pengajar pada Program Studi
Produksi ternak Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu melalui seleksi
penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil. Pada tahun 2005, penulis melanjutkan
studi pada Program Studi Ilmu Ternak Sekolah Pascasarjana IPB dan aktif sebagai
Sekretaris Umum Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Ilmu Ternak
(HIWACANA-PTK) 2005/2006.
KARAKTERISTIK DENDENG DAGING GILING PADA PENCUCIAN (LEACHING) DAN JENIS DAGING
YANG BERBEDA
S U H A R Y A N T O
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Karakteristik Dendeng Daging
Giling pada Pencucian (Leaching) dan Jenis Daging yang Berbeda adalah karya
saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum pernah diajukan
dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juli 2007
Suharyanto
NRP D051050021
SUHARYANTO. The Characteristics of Dendeng Giling (from Minced Meat) at Different Washing (Leaching) Methods and Meat Kinds. Under supervision of RUDY PRIYANTO and EDDIE GURNADI
Dendeng is typical Indonesian intermediate moisture meat product comprising of dendeng sayat (from sliced meat) and dendeng giling (from minced meat) with 2 mm thickness. This research was conducted to study the effect of leaching methods and kinds of meat on the proximate, physic and organoleptic characteristics of dendeng giling (from minced meat). The experimental design used a completely randomized factorial design (3 X 3) with three replications. The first factor was leaching methods with 3 levels (no washing, washed in 1.5 x 1.5 x1.5 cm sizes and washed in minced meat). The second factor was kind of meat: Horse, Lamb and Beef. The results of this research indicated that neither interaction effect between leaching and kind of meat nor effect of leaching were significant on the proximate, peroxide value (PV) and physics characteristics of
dendeng dough and raw dendeng (P>0.05). Kind of meat influenced significantly on the fat and PV, rendement, pH, and toughness (P<0.01). The fat content and PV of dendeng dough and raw lamb dendeng were significant higher than others (P<0.01). The dendeng from horse meat was higher than others in rendement value and lower in pH and toughness value (P<0.01). Leaching methods markedly increased “L” and “b” values of hunter color notation (P<0.01). Organoleptic properties were characterized by there were significantly different preferences in color of raw dendeng due to leaching method while other attributes had no different preferences both raw and fried dendeng.
Keywords: meat, leaching, dendeng, chemical, physical and organoleptics characteristics
SUHARYANTO. Karakteristik Dendeng Daging Giling pada Pencucian (Leaching) dan Jenis Daging yang Berbeda. Dibawah Bimbingan RUDY PRIYANTO dan EDDIE GURNADI
Daging merupakan bahan makanan yang memiliki nilai gizi yang relatif lengkap dan seimbang tetapi mudah mengalami kerusakan (perishable). Pengolahan merupakan upaya mempertahankan dan meningkatkan nilai produk baik dari segi nutrisi, daya tahan, palatabilitas maupun ekonomi serta diversifikasi produk makanan.
Salah satu produk olahan daging yang cukup populer bagi masyarakat Indonesia adalah dendeng, yaitu suatu lempengan daging baik dalam bentuk daging sayat maupun digiling dengan ketebalan 2-3 mm yang telah ditambahkan garam, gula dan bumbu-bumbu yang kemudian dikeringkan.
Selain daging sapi, jenis daging dari ternak lain yang dapat dijadikan bahan pembuatan dendeng adalah daging kuda dan ruminansia kecil (kambing dan domba). Daging kuda dan ruminansia kecil belum banyak digunakan dalam pembuatan produk-produk olahan daging. Hal ini mungkin karena jenis daging tersebut memiliki flavor yang khas yang kurang disukai (off-flavor) oleh konsumen.
Upaya untuk mengurangi efek flavor yang khas dan warna gelap pada daging tersebut di atas adalah dengan melakukan pencucian air dingin (leaching). Pada mulanya teknologi ini diterapkan pada pebuatan surimi di Jepang, yaitu produk makanan dari daging ikan yang telah dipisahkan dari tulang-tulangnya kemudian digiling secara mekanik dan dicuci dengan menggunakan air dingin beberapa kali. Tujuannya adalah untuk memisahkan daging dari bahan yang larut dalam air, lemak, darah (pigmen-pigmen); untuk memperbaiki flavor dan warna serta meningkatkan kekuatan gel.
Pencucian biasanya dilakukan hingga beberapa kali dan ini berdampak pada hilangnya sebagian nutrisi seperti protein sarkoplasmik. Oleh karenanya diperlukan pencucian yang meminimalkan hilangnya protein, yaitu dengan mencuci sekali selama 1 menit.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik kimia, sidik dan organoleptik dendeng daging giling. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap pola faktorial (3 X 3) dengan 3 kali ulangan. Faktor pertama adalah pencucian dengan 3 taraf (tanpa dicuci, dicuci pada kominusi 1.5 X 1.5 1.5 cm dan dicuci pada keadaan digiling). Faktor kedua adalah jenis daging: Kuda, Domba dan Sapi.
Daging yang telah diperoleh kemudian dipisahkan dari lemak dan jaringan ikat dan kemudian dikelompokkan berdasarkan perlakuan. Pencucian dilakukan satu kali dengan menggunakan air dingin bersuhu 5-10 oC dengan perbandingan air dengan daging sebesar 3:1. Setelah dicuci, daging diperas dengan menggunakan kain kasa. Kemudian daging yang telah digiling dan dicuci sesuai perlakuan, dicampurkan dengan garam sendawa (0.3%) dan diperam (curing) semalam. Setelah curing maka ditambahkan bahan-bahan yaitu, garam (3%), gula
(0.3%) dan asam jawa (0.1%) yang dihitung berdasarkan berat daging giling yang akan dibuat dendeng.
Setelah dendeng dibuat maka dikeringkan di dalam oven dengan suhu 80oC selama 4.5 jam kemudian dilakukan analisis kimia, fisik dan organoleptik. Sebelumnya adonan dendeng dilakukan analisis proksimat.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengaruh interaksi antara pencucian dan jenis daging maupun faktor pencuciannya tidak berpengaruh nyata terhadap komposisi proksimat, bilangan peroksida (BP) dan karakteristik fisik adonan dan dendeng mentah (P>0.05). Jenis daging berpengaruh sangat nyata terhadap kadar lemak. Kadar lemak adonan dan dendeng mentah dan BP dendeng mentah asal daging domba secara nyata lebih tinggi dari yang lainnya (P<0.01). Dendeng dari daging kuda memiliki rendemen yang lebih tinggi dibanding yang lainnya dan nilai pH serta kekerasan yang lebih rendah (P<0.01). Pencucian secara nyata meningkatkan nilai “L”, dan “b” dendeng (P<0,01). Sifat-sifat organoleptik dicirikan oleh adanya perbedaan nyata preferensi panelis terhadap warna dendeng akibat pencucian sementara pada atribut lainnya menunjukkan tidak berbeda nyata baik pada dendeng mentah maupun dendeng goreng.
Kata kunci: daging, leaching, dendeng, karakteristik kimiawi, fisik, dan organoleptik
©
Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2007
Hak Cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak
fotokopi, mikrofilm dan sebagainya
PADA PENCUCIAN (LEACHING) DAN JENIS DAGING YANG BERBEDA
S U H A R Y A N T O
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana IPB
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
B O G O R 2007
Judul Tesis : Karakteristik Dendeng Daging Giling pada Pencucian (Leaching) dan Jenis Daging yang Berbeda
Nama : Suharyanto
NIM : D051050021
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Rudy Priyanto Ketua
Prof. Dr. H. R. Eddie Gurnadi, M.Sc Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Ternak
Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal ujian: 28 Juni 2007 Tanggal lulus:
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala
karunia-Nya sehingga penelitian berikut karya ilmiah ini berhasil diselesaikan.
Tema yang dipilih pada penelitian yang dilaksanakan dari bulan Februari-April
2007 di Laboratorium Ruminansia Besar Fapet IPB dan Laboratorium Biokimia
Pangan dan Gizi Fateta IPB adalah karakteristik dendeng dengan Judul
Karakteristik Dendeng Daging Giling pada Pencucian (Leaching) dan Jenis
Daging yang Berbeda.
Pemilihan tema ini didasari pada perlunya pengolahan daging untuk
meningkatkan masa simpan, nilai nutrisi, ekonomi dan diversifikasi produk
daging. Hal ini penting karena daging merupakan bahan makanan yang rentan
terhadap kerusakan meskipun mengandung gizi yang tinggi. Selama ini daging
yang sering digunakan untuk dendeng adalah daging sapi meskipun daging
ruminansia kecil dan kuda dapat diaplikasikan. Belum dimanfaatkannya daging
kuda dan ruminansia kecil secara optimal ini karena adanya flavor (off-flavour)
yang kurang disukai dari kedua jenis daging tersebut. Salah satu cara yang
dianggap dapat mengurangi efek off-flavour adalah dengan melakukan pencucian.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak
Dr. Ir. Rudy Priyanto dan Bapak Prof. Dr. H. R. Eddie Gurnadi, M.Sc selaku
pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan selama
penulis melakukan penelitian hingga penulisan tesis ini. Penulis juga
menyampaikan terima kasih kepada Ibu Dr. Ir. Henny Nuraini, M.Si selaku
penguji luar komisi yang telah memberikan saran demi perbaikan tesis ini.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan dan
adik-adik yang telah membantu penelitian ini: Ika, Diah, Alik, Jarmuji, Sukisno, Arfin,
Taufik, Arfan, Ema, Risa dan khususnya Santy yang telah menyediakan waktu,
tempat dan beberapa peralatan untuk penelitian. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada Ibu, mertua dan seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih
sayangnya. Last but not least, terima kasih kepada Istriku, Eny Handayani, S.Pt,
atas kerelaan waktunya, kesabaran, doa dan motivasinya demi selesainya studi ini.
Bogor, Juli 2007
Suharyanto
Penulis dilahirkan di Talang Padang pada tanggal 2 Juni 1973 dari ayah
Sudarso dan ibu Sarni. Penulis merupakan anak pertama dari tujuh bersaudara.
Pada tahun 1983, penulis lulus dari SDN 4 Sri Bhawono Lampung
Tengah. Tahun 1988 penulis lulus dari SMPN Sri Bhawono Lampung Tengah.
Kemudian tahun 1991 lulus dari SMAN Ketahun Bengkulu Utara. Pada Tahun
1992 penulis diterima menjadi mahasiswa pada Program Studi Produksi Ternak
Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu melalui jalur Ujian Masuk Perguruan
Tinggi Negeri (UMPTN).
Selama menempuh pendidikan di Universitas Bengkulu, penulis aktif
menjadi Ketua Umum Himpunan Profesi Mahasiswa Peternakan (Hipromater)
periode 1994/1995, pengurus Senat Mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas
Bengkulu periode 1995/1996. Penulis juga menjadi asisten matakuliah Fisiologi
Ternak Dasar pada tahun ajaran 1994/1995 – 1996/1997. Pada tahun 1996 penulis
menjadi pemenang II Mahasiswa Berprestasi Utama tingkat Universitas Bengkulu
dan sebagai juara I Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI) bidang IPA tingkat
Perguruan Tinggi se-Bengkulu. Selain itu, penulis juga aktif menulis ilmiah
populer di media lokal dan nasional bidang peternakan.
Penulis dinyatakan lulus sebagai Sarjana Peternakan pada ujian skripsi
yang dilaksanakan pada tanggal 3 Juni 1997. Setelah tamat penulis bekerja
sebagai fasilitator dan konsultan usaha kecil, menengah dan koperasi di beberapa
lembaga; sebagai penulis lepas dan ilmiah populer, hingga akhirnya pada
Desember 2002, penulis diterima sebagai staf pengajar pada Program Studi
Produksi ternak Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu melalui seleksi
penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil. Pada tahun 2005, penulis melanjutkan
studi pada Program Studi Ilmu Ternak Sekolah Pascasarjana IPB dan aktif sebagai
Sekretaris Umum Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Ilmu Ternak
(HIWACANA-PTK) 2005/2006.
Halaman
DAFTAR TABEL... xiii
DAFTAR GAMBAR ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN... xv
Definisi Daging ... 6
Kimia Daging ... 6
Dendeng ... 8
Bahan Tambahan Pembuat Dendeng ... 10
Warna Daging dan Dendeng ... 11
Flavor Daging dan Dendeng ... 15
Flavor ... 15
Flavor Daging ... 16
Oksidasi pada Dendeng... 18
Pengeringan... 20
Pencucian (Leaching)... 21
METODE PENELITIAN Rancangan Percobaan dan Model Penelitian ... 23
Bahan dan Prinsip Pembuatan Dendeng ... 23
Variabel Pengamatan dan Pengukurannya... 25
Variabel Fisik ... 25
Variabel Kimiawi ... 26
Variabel Organoleptik... 28
Analisa Data ... 28
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Kimia Adonan Dendeng... 30
Kadar Air... 30
Kadar Abu ... 31
Kadar Protein ... 32
Kadar Lemak... 34
Kadar Air... 37 Kadar Abu ... 38 Kadar Protein ... 39 Kadar Lemak... 41 Bilangan Peroksida ... 42 Karakteristik Fisik Dendeng ... 44 Rendemen... 44 Nilai pH Dendeng ... 46 Kekerasan... 47 Aktivitas Air (Aw) ... 49 Warna Objektif Dendeng ... 51 Karakteristik Organoleptik Dendeng ... 55 Warna ... 55 Tekstur ... 56 Aroma... 57 Rasa ... 59 Keempukan ... 60
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan ... 61 Saran... 61
DAFTAR PUSTAKA ... 62
LAMPIRAN... 69
Halaman 1. Karakteristik mutu dendeng menurut SNI 01-2908-1992... 9
2. Nilai rataan karakteristik kimia adonan dendeng... 30
3. Nilai rataan karakteristik kimia dendeng ... 36
4. Nilai rataan beberapa karakteristik fisik dendeng... 44
5. Nilai rataan warna dendeng... 51
6. Hasil uji hedonik dendeng berdasarkan modus pada tiap level pencucian ... 55
7. Hasil uji hedonik dendeng berdasarkan modus pada tiap jenis daging... 55
Halaman 1. Organisasi dan struktur otot ... 4
2. Irisan memanjang miofilamen otot (Wick dan Marriott 1999)... 5
3. Perkembangan warna daging berdasarkan status Fe (Wilson 1981)... 12
4. Reaksi kimia perkembangan warna daging curing (Aberle et al. 2001) ... 14
5. Reaksi oksidasi pada lemak ... 19
6. Skema alur pembuatan dendeng daging giling ... 24
Halaman 1. Analisis varian air adonan dendeng ... 69
2. Analisis varian abu adonan dendeng... 69
3. Analisis varian protein adonan dendeng ... 69
4. Analisis varian lemak adonan dendeng... 70
5. Uji lanjut DNMRT lemak adonan dendeng ... 70
6. Analisis varian air dendeng... 70
7. Analisis varian abu dendeng ... 71
8. Analisis varian protein dendeng... 71
9. Analisis varian lemak dendeng ... 71
10. Uji lanjut DNMRT lemak dendeng... 72
11. Analisis varian bilangan peroksida dendeng... 72
12. Uji lanjut DNMRT bilangan peroksida dendeng ... 72
13. Analisis varian rendemen dendeng ... 72
14. Uji lanjut DNMRT rendemen dendeng... 73
15. Analisis varian pH dendeng ... 73
16. Uji lanjut DNMRT pH dendeng... 73
17. Analisis varian kekerasan dendeng ... 74
18. Uji lanjut DNMRT kekerasan dendeng... 74
19. Analisis varian kekerasan dendeng ... 74
20. Analisis varian derajat kecerahan (”L”) dendeng ... 75
21. Uji lanjut DNMRT derajat kecerahan (”L”) dendeng... 75
22. Analisis varian derajat kemerahan (”a”) dendeng... 75
23. Analisis varian derajat kekuningan (”b”) dendeng ... 76
24. Uji lanjut DNMRT derajat kekuningan (”b”) dendeng... 76
25. Uji Kruskal Wallis dendeng mentah berdasarkan faktor Leaching... 76
26. Uji Kruskal Wallis dendeng mentah berdasarkan faktor Daging... 77
27. Uji Kruskal Wallis dendeng goreng berdasarkan faktor Leaching... 77
28. Uji Kruskal Wallis dendeng goreng berdasarkan faktor Daging ... 78
Latar Belakang
Daging merupakan bahan makanan yang memiliki nilai gizi yang relatif
lengkap dan seimbang. Akan tetapi, daging juga merupakan bahan yang mudah
mengalami kerusakan (perishable). Oleh karenanya diperlukan upaya agar daging
dapat bertahan lebih lama lagi. Pengolahan merupakan upaya mempertahankan
atau bahkan meningkatkan nilai produk baik dari segi nutrisi, daya tahan,
palatabilitas maupun ekonomi. Pengolahan juga merupakan sarana melakukan
diversifikasi produk makanan.
Salah satu produk olahan daging yang cukup populer bagi masyarakat
Indonesia adalah dendeng, yaitu suatu lempengan daging baik digiling maupun
tidak dengan ketebalan 2-3 mm yang telah ditambahkan garam, gula dan
bumbu-bumbu yang kemudian dikeringkan. Garam yang digunakan biasanya antara 2-3%
dari berat bahan, sedangkan penambahan gula belum ada standar dan biasanya
disesuaikan dengan selera. Namun demikian, penambahan gula sering
dimaksudkan untuk mengurangi efek pengerasan dari garam, memperbaiki aroma
dan tekstur. Secara fisik akan mengurangi penguapan sehingga daging kelihatan
lebih basah dan lembut. Teknik ini merupakan campuran antara penggaraman dan
pengeringan.
Dendeng yang sudah lazim dibuat adalah dengan menggunakan daging
sapi. Padahal dendeng dapat dibuat dari berbagai jenis daging. Pemanfaatan
daging lain untuk dendeng dapat meningkatkan diversifikasi produk jenis daging,
meningkatkan penyediaan daging untuk konsumsi dan dapat mendorong dinamika
peternakan selain sapi yang pada gilirannya mampu mensuplai sumber protein
hewani secara memadai.
Jenis daging lain yang dapat dijadikan bahan pembuatan dendeng adalah
daging kuda dan domba serta kambing. Ternak kuda sebenarnya potensial sebagai
sumber daging, setidaknya dapat dilihat dari populasi ternak ini yang cukup
banyak, yaitu 386 708 ekor pada tahun 2005 dengan tingkat produksi pada tahun
2005 sebesar 1.59 ribu ton. Populasi ternak domba hingga tahun 2005 adalah
populasi ternak kambing sebesar 13 409 277 ekor dengan tingkat produksi sebesar
50.6 ribu ton pada tahun 2005 (Deptan 2007). Akan tetapi, di Indonesia, daging
ruminansia kecil dan kuda belum banyak digunakan dalam pembuatan
produk-produk olahan daging. Hal ini mungkin karena kuda memiliki flavor yang khas
yang kurang disukai oleh konsumen dan kebanyakan kuda digunakan untuk
tenaga kerja sehingga pemotongannya pada umur tua dan ini menyebabkan
dagingnya berwarna merah gelap. Menurut Suryaningsih (2006) senyawa yang
menentukan flavor daging kuda adalah kelompok karboksilat jenis asam
9-oktadekanoat. Menurut Agawati (2003) bahwa sosis yang berasal dari daging
kuda memiliki warna yang lebih gelap sehingga kurang disukai dibandingkan
dengan sosis daging sapi.
Demikian halnya dengan domba dan kambing. Ternak domba juga
memiliki flavor yang khas yang membuat konsumen kurang menyukainya.
Padahal flavor sangat berpengaruh pada kesukaan konsumen. Hingga saat ini
daging domba sering dianggap memiliki flavor yang kurang menyenangkan, yaitu
bau prengus yang merupakan khas domba (muttony) dan tidak dijumpai pada
ternak lain. Senyawa yang bertanggung jawab terhadap flavor khas domba ini
merupakan asam lemak jenuh bercabang metil, metiloktanoat dan
4-metilnonanoat (Young & Braggins 1998 dan Suryaningsih 2006).
Upaya untuk mengurangi efek flavor yang khas dan warna gelap pada
daging tersebut di atas adalah dengan melakukan pencucian air dingin (leaching).
Tujuannya adalah untuk memisahkan lemak, darah, pigmen-pigmen, garam-garam
anorganik, protein, enzim yang larut dalam air dan kontaminan. Pada mulanya
teknologi ini diterapkan pada pembuatan surimi di Jepang, yaitu produk makanan
dari daging ikan yang telah dipisahkan dari tulang-tulangnya kemudian digiling
secara mekanik dan dicuci dengan menggunakan air dingin beberapa kali. Surimi
kemudian dapat digunakan untuk membuat produk-produk olahan semisal bakso,
kamaboko, sosis dan lain-lain.
Pencucian dapat meningkatkan kesukaan konsumen terhadap aroma, rasa
dan warna pada pasta nikumi kuda dan sapi. Akan tetapi pencucian juga dapat
menurunkan nilai gizi pada daging yang dibuat. Oleh karenanya disarankan untuk
rasa, warna dan sifat oles yang baik tanpa mengurangi kandungan nutrisinya
(Mega 2005).
Pemanfaatan daging kuda dan domba menjadi dendeng merupakan usaha
yang penting untuk dikembangkan karena dengan teknologi dendeng maka dapat
memperpanjang masa simpan daging sekaligus diharapkan dapat meningkatkan
penerimaan terhadap daging kuda dan domba berkenaan dengan flavor asal
daging tersebut melalui teknologi pencucian.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh pencucian (leaching)
terhadap sifat fisik, kimiawi dan organoleptik dendeng daging kuda, domba dan
sapi.
Hipotesis Hipotesis (H1) pada penelitian ini adalah:
1. Terdapat perbedaan nyata pada karakteristik dendeng akibat pengaruh
pencucian (leaching) jenis daging.
Otot dan Daging Struktur Otot
Unit struktural jaringan otot skeletal merupakan sel yang sangat khusus
disebut dengan serabut otot atau myofiber atau sel otot (muscle cell). Sel otot ini
panjang searah dengan panjang otot itu sendiri. Membran sel otot ini disebut
dengan sarkolema (Gambar 1). Di sepanjang sarkolema akan mengalami
invaginasi secara periodik searah panjangnya sel membentuk suatu jaringan
tranversus tubulus (T-system atau T-tubulus). Sitoplasmanya disebut dengan
sarkoplasma (sarcoplasm). Inti sel otot skeletal banyak sekali (Aberle et al. 2001).
Satu sel otot dilingkupi oleh jaringan ikat disebut dengan endomisium.
Kumpulan dari beberapa sel otot (serabut otot) diikat oleh jaringan disebut dengan
perimisium dan membentuk berkas otot (muscle bundle). Sekumpulan berkas otot
diikat oleh jaringan epimisium membentuk otot (gambar 1).
Di dalam sel otot terdapat suatu organela unik yang disebut dengan
miofibril yang terdiri atas dua filamen atau miofilamen, yaitu filamen tebal dan
filamen tipis. Filamen tebal ini komponen utamanya adalah protein miosin dan
filamen tipis komponen utamanya protein aktin.
Gambaran secara memanjang dari fotomikrograf menunjukkan bahwa
sepanjang miofibril merupakan segmen antara gelap dan terang dan ini
mencerminkan dari segmen dari dua filamen (tebal/miosin dan tipis/aktin). Dua
miofilamen ini bukanlah terpisah, tetapi menjadi satu menyusun suatu segmen
yang berbeda dimana masing-masing ujungnya menyambung secara tumpang
tindih atau saling mengisi.
Filamen aktin, karena tipis sehingga bersifat refraktif terhadap cahaya
sehingga disebut dengan isotropik. Area isotropik ini disebut dengan pita I (I
band). Sebaliknya dengan filamen miosin, karena tebal maka kurang refraktif dan
gelap sehingga disebut anisotropik. Area anisotropik ini disebut dengan pita A (A
band). Pita A lebih rapat dan gelap dibandingkan pita I, tetapi keduanya
sama-sama terbelah menjadi dua seksi oleh suatu garis yang memiliki kerapatan lebih
dibandingkan dengan 2 belahannya. Garis pembelah yang lebih tebal pada pita I
disebut dengan garis Z dan garis pembelah pita A disebut dengan zona H. Di
tengah-tengah zona H terdapat garis yang disebut dengan garis M. Panjang antara
satu garis Z ke garis Z di sebelahnya disebut dengan satu sarkomer. Jadi satu
sarkomer terdapat 2 paruh pita I yang mengapit satu pita A (Aberle et al. 2001)
(Gambar 2).
Definisi Daging
Daging diperoleh setelah otot berubah melalui proses penyembelihan atau
ternak dimatikan. Selama dan segera setelah penyembelihan ternak otot
mengalami perubahan-perubahan yang mempengaruhi sifat-sifat dan kualitas
daging. Dengan demikian, daging didefinisikan sebagai semua jaringan tubuh
hewan dan produk hasil olahannya yang sesuai untuk dikonsumsi (Aberle et al.
2001). Daging harus tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang
mengkonsumsinya. Termasuk ke dalam definisi daging di atas adalah organ-organ
seperti hati, ginjal, otak, paru-paru, jantung, limfa, pankreas dan jaringan otot
(Soeparno 1992).
Daging tersusun atas berbagai macam jaringan tubuh seperti jaringan
adiposa, jaringan ikat, jaringan saraf, jaringan epitel dan jaringan otot. Jaringan
otot merupakan komponen terbesar dari daging sehingga pembahasan mengenai
daging lebih banyak mempelajari sifat dari jaringan otot ini, khususnya otot
sekeletal. Namun demikian yang sering dijadikan pembahasan tentang daging
adalah hanya urat daging (jaringan otot skeletal) yang dikonversikan menjadi
daging setelah hewan dipotong. Bila merujuk pada SNI 01-3947-1995 dan SNI
01-3948-1995 maka daging sapi/kerbau dan kambing/domba dideskripsikan
sebagai urat daging yang melekat pada kerangka, kecuali urat daging pada bagian
bibir, hidung dan telinga yang berasal dari sapi/kerbau yang sehat waktu dipotong.
Sementara untuk daging kuda belum dicantumkan dalam Standar Nasional
Indonesia (SNI).
Kimia Daging
Menurut Lawrie (1991), komposisi kimia daging terdiri atas air 56-72%,
protein 15-22%, lemak 5-34%, dan substansi bukan protein terlarut 3.5% yang
meliputi karbohidarat, garam organik, substansi nitrogen terlarut, mineral dan
vitamin. Sedangkan menurut Aberle et al. (2001) bahwa daging mengandung 70%
air, 19% protein, 5% lemak, 3.5% zat-zat non protein, dan mineral serta
bahan-bahan lain 2.5%. Namun demikian, masing-masing spesies dan umur serta kondisi
ternak memiliki komposisi kimia yang berbeda-beda. Paleari et al. (2003)
melaporkan bahwa masing-masing spesies memiliki karakteristik kimia yang
Sebagai sumber protein, daging mengandung protein terbesar kedua
setelah komponen air. Secara umum protein pada otot atau daging terbagi menjadi
3 kelompok berdasarkan sifat kelarutannya, yaitu protein sarkoplasmik (30%),
protein miofibrilar (55%) dan protein stromal atau jaringan ikat otot (15%).
Protein sarkoplasmik bersifat larut dalam air dan larutan garam encer terdapat
pada sarkoplasma. Protein miofibrilar merupakan protein yang mengandung
struktur miofibril dan bersifat larut dalam larutan garam dengan konsentrasi 1.5%
lebih. Protein stromal merupakan penyusun utama pada jaringan ikat yang tidak
larut dalam larutan garam tetapi dapat larut dalam perlakuan alkali atau asam
(Xiong 2000).
Protein sarkoplamik meliputi gliseraldehida, aldose, enolase, kreatin
kinase, laktat dehidrogenase, piruvat kinase, fosforilase, mioglobin, calpain,
chatepsin, protein ekstraseluler dan membran-membran protein. Protein
miofibrilar sebanyak terdiri atas miosin, aktin, troponin, tropomiosin, M-protein,
C-protein, titin, nebulin dan desmin. Miosin merupakan komponen terbanyak
dalam miofibril dan larut ke dalam larutan dengan kekuatan ion yang tinggi (lebih
besar dari 0.3 M). Miosin memiliki sifat fungsional penting pada daging, yaitu (a)
bersifat enzim dengan aktivitas ATP-ase, (b) miosin membentuk kompleks
dengan aktin dan (c) miosin membentuk agregrat dengan sesamanya membentuk
filamen (Zayas 1997; Xiong 2000).
Protein stromal meliputi kolagen, elastin dan retikulin. Protein ini
mempengaruhi kualitas daging secara langsung, yaitu dengan (Zayas 1997):
1. Menurunkan keempukan daging dan ini tergantung dengan banyaknya protein
stromal dan derajat cross-linking sesama protein stromal.
2. Karena sifat asalnya yang tidak larut dalam air maka mempengaruhi kapasitas
emulsi daging.
3. Menurunkan daya mengikat air daging karena rendahnya kandungan asam
amino hidrofilik dan bermuatan.
4. Dapat menurunkan nilai nutrisi daging.
Kelarutan protein otot merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
sifat retensi air pada otot dan pada akhirnya mempengaruhi kualitas daging. Ikatan
fisik dan kimia pada protein otot berpengaruh pada sifat struktural dan tekstur
protein otot. Terdapat korelasi antara struktur protein dan kelarutannya dan ini
terkait dengan keempukan atau kekerasan daging selama pengolahan dan
Komponen kimia lain yang cukup penting pada daging adalah lemak.
Meskipun dalam jumlah yang relatif sedikit, tetapi ini merupakan 3 terbesar
komponen kimia pada daging. Lemak pada daging sangat memiliki peran baik
menguntungkan maupun merugikan. Salah satu hal yang merugikan adalah
adanya oksidasi pada lemak daging dan ini berpengaruh pada produk olahan
daging.
Lemak merupakan sumber energi yang penting karena jumlah energi yang
dihasilkan bisa dua kali lipat dari yang dihasilkan oleh protein dan karbohidrat.
Lemak pada daging pada umumnya berupa trigliserida. Komposisi trigliserida
pada lemak hewan sangat nyata menentukan kelembutan dan kekasaran
penampakan daging. Komposisi asam lemak pada masing-masing spesies
berbeda-beda dan ini juga mempengaruhi sifat lemak yang juga berbeda-beda
pada masing-masing spesies. Jumlah asam lemak jenuh pada domba, sapi dan
babi masing-masing adalah 53%, 45% dan 40% sedangkan asam lemak tak
jenuhnya masing-masing adalah 47%, 55% dan 60% (Warriss 2000).
Dendeng
Dendeng merupakan produk awetan melalui kombinasi pengolahan,
pengeringan dan beberapa diantaranya curing, yang sangat populer di kalangan
masyarakat Indonesia. Dendeng yang biasanya dibuat adalah dari daging sapi,
tetapi pada dasarnya dapat dibuat dari daging-daging yang lainnya. Menurut SNI
01-2908-1992, yang dimaksud dengan dendeng sapi adalah produk makanan
berbentuk lempengan yang terbuat dari irisan atau gilingan daging sapi segar
berasal dari sapi sehat yang telah diberi bumbu dan dikeringkan.
Dendeng dibuat dalam bentuk lempengan-lempengan daging baik daging
yang disayat maupun digiling kemudian dibentuk menjadi lempengan-lempengan
dengan tebal kira-kira 2-3 mm. Selanjutnya direndam ke dalam campuran garam,
gula kelapa, dan bumbu-bumbu selama lebih kurang 1-6 jam atau bahkan sampai
12 jam. Setelah itu dikeringkan. Jika dendeng itu berbentuk daging giling maka
daging giling dicampurkan dengan garam, gula dan bumbu-bumbu secara merata
kemudian didiamkan selama beberapa jam. Proses pembuatan ini belum
dibakukan jadi masih bersifat sesuai dengan selera dalam hal komposisi bumbu
dan prosesnya oleh si pembuat dan biasanya disesuaikan dengan kebiasaan makan
Meskipun merupakan proses pengeringan, dendeng dikelompokkan ke
dalam produk daging semi basah (intermediate moisture). Bahan pangan semi
basah mengandung kadar air antara 15-50% dan aktivitas air (Aw) 0.60-0.92
(Huang dan Nip 2001), tidak memerlukan penyimpanan dingin, stabil dalam suhu
kamar dan perkembangbiakan mikroorganisma terhambat serta aktivitas airnya
(Aw) 0.60-0.80 (Purnomo 1996). Sedangkan menurut Salguero et al. (1994),
aktivitas air bahan semi basah berkisar antara 0.60-0.91 dan dalam pemasarannya
tidak memerlukan pendinginan sehingga memudahkan dalam hal proses produksi.
Menurut Huang dan Nip (2001) bahwa dendeng sayat dibuat hingga
aktivitas airnya antara 0.52-0.67 dan dendeng giling 0.62-0.66. Karakteristik
proksimatnya adalah pH 5.6, kadar air 26%, protein 35%, lemak 10%, garam 8%
dan gula 35% (berdasarkan berat kering). Sementara menurut Purnomo (1996)
bahwa dendeng yang beredar di pasaran pada umumnya mengandung air
9.9-35.5%, kadar gula 20-52%, kadar garam 0.4-0.6%, kadar lemak 1.0-17.4%, serat
kasar 0.4-15.5% dan aktivitas airnya 0.40-0.50. Namun demikian bila mengacu
pada SNI 01-2908-1992 bahwa standar dendeng sapi disusun berdasarkan survai
di daerah-daerah produksi dendeng sapi di Jawa Tengah dan Nusa Tenggara
Barat. Hasil survai ini kemudian disusun suatu syarat mutu, yakni meliputi mutu I
dan mutu II sebagai berikut.
Tabel 1. Karakteristik mutu dendeng menurut SNI 01-2908-1992
Syarat Karakteristik
Mutu I Mutu II Warna dan bau Khas dendeng
sapi
Khas dendeng sapi Kadar air, (bobot/bobot), maksimal 12 12 Kadar Protein, % (Bobot/bobot kering),
min
30 25
Abu tidak larut asam, % (bobot/bobot kering) maks
1 1
Benda asing, % (bobot/bobot kering) maks 1 1 Kapang dan serangga Tidak tampak Tidak tampak
Keadaan daging mempengaruhi hasil dendeng yang dibuat. Ruiz-Rumirez
et al. (2005) melaporkan bahwa daging yang permukaannya kasar memiliki hasil
olahan asinan kering yang lebih keras. Menurut Serra et al. (2005) dan
berkorelasi dengan kandungan air dan aktivitas air. Ini menunjukkan bahwa kadar
air bahan mentah tidak menentukan terhadap kekerasan dan tekstur produk
olahan.
Bahan Tambahan Pembuat Dendeng
Bahan tambahan utama untuk pembuatan dendeng adalah garam dapur
(NaCl), gula dan bumbu-bumbu yang biasanya terdiri atas rempah-rempah,
ketumbar, lengkuas, bawang putih, asam dan lain-lain. Penggunaan bahan-bahan
tersebut di atas belum ada standarnya sehingga penggunaannya disesuaikan
dengan selera dan kebiasaan makan masyarakat setempat. Namun demikian,
garam dapur biasanya digunakan sebanyak 2-3% dari berat bahan.
Beberapa jenis dendeng dibuat dengan menggunakan teknik curing
terlebih dahulu, yaitu dengan menambahkan nitrit (garam sendawa) pada daging
bahan dendeng. Nitrit berperan dalam meningkatkan warna merah pada daging
sehingga diperoleh dendeng yang berwarna merah. Selain itu nitrit dapat berfungsi
sebagai antimikroorganisme sehingga dapat meningkatkan keawetan bahan
daging.
Menurut Purnomo (1997) bahwa garam memiliki peran sebagai pemberi
rasa, pelarut protein dan meningkatkan daya ikat protein otot. Disamping itu
mempengaruhi aktifitas air bahan makanan. Selanjutnya Purnomo (1997)
menjelaskan mekanisme garam sebagai bahan pengawet pada makanan: garam
yang terionisasi setiap ionnya menarik molekul-molekul air di sekitarnya dan
proses ini disebut hidrasi ion. Pada proses penggaraman ini akan terjadi proses
osmosis, yaitu air di dalam jaringan bahan akan ditarik keluar oleh larutan garam
di luar, sedangkan ion Na dan Cl masuk ke dalam bahan. Faktor-faktor yang
mempengaruhi kecepatan masuknya garam pada proses penggaraman adalah
konsentrasi garam, kemurnian garam, jenis dan ukuran serta bentu bahan yang
akan digarami, daya simpan yang dikehendaki dan cara pengolahannya.
Gula yang sering digunakan dalam pembuatan dendeng adalah gula merah,
yaitu gula yang dibuat dari nira pohon kelapa (cocos nucifera). Nira kelapa
banyak mengandung gula sukrosa dan hanya sedikit gula pereduksi glukosa dan
10.8-13.5% berat keringnya serta mengandung fruktosa 2.92-9.00%, glukosa
3.00-8.96% dan sukrosa antara 70.52-78.97% (Purnomo 1997).
Pada dendeng, gula menyebabkan penampakan menjadi lebih lembut
dengan mengurangi efek pengerasan dari garam melalui pencegahan penguapan
air sehingga dendeng menjadi tidak begitu kering, memodifikasi rasa,
memperbaiki aroma, warna dan tekstur dendeng (Soeparno 1992). Gula juga
menyebabkan air sel-sel bakteri tertarik keluar menembus membran dan mengalir
ke dalam larutan gula (osmosis) dan menyebabkan sel-sel mikroba mengalami
plasmolisis dan pertumbuhannya terhambat (Winarno et al. 1984).
Dalam praktiknya, penambahan gula belum ada standar sehingga
masing-masing pembuat dendeng menyesuaikan dengan selera dan kebiasannya.
Demikian halnya dengan bumbu-bumbu yang lain. Bumbu-bumbu lebih bersifat
sebagai pembentuk flavor yang khas dan cita rasa produk. Hal ini karena pada
umumnya bumbu-bumbu tersebut bersifat aromatik yang tinggi dan banyak
mengandung minyak atsiri esensial (Purnomo 1997). Namun demikian,
bumbu-bumbu dan turunannya dapat juga berperan sebagai penghambat pertumbuhan
bakteri, kapang, fungi dan mikrobial-mikrobial yang bersifat toksik (Souza et al.
2005). Hal ini juga terlihat pada bawang putih dan bawang merah dan
senyawa-senyawa turunannya mampu memperbaiki warna daging, meminimalkan oksidasi
lemak (antioksidan) dan meningkatkan keamanan daging akibat ulah mikrobia
(Soeparno 1992; Yin & Cheng 2003; Sallam et al. 2004; Benkeblia 2005).
Warna Daging dan Dendeng
Kualitas daging merupakan ukuran dari sifat-sifat yang terlihat dan ternilai
oleh konsumen (Kauffman dan Marsh 1987). Bagi konsumen, penilaian kualitas
daging ini biasanya langsung dengan menggunakan faktor-faktor sensoris sebagai
wujud tingkat kesukaan terhadap daging. Cross (1987) menyebutkan bahwa
faktor-faktor sensoris yang dimaksudkan adalah warna, keempukan, juiceness,
flavor dan aroma. Tetapi yang biasanya menjadi parameter utama dan pertama
bagi konsumen dalam memilih dan membeli daging adalah faktor warna (Fox
1987) dan secara kritis digunakan oleh konsumen untuk menerima atau menolak
Warna itu sendiri merupakan sifat fisik dan organoleptik suatu bahan
pangan yang ditentukan oleh 4 (empat) hal yaitu adanya sinar yang menerangi
suatu benda, sifat absorbsi dan refleksi spektral dari benda yang disinari, kondisi
lingkungan benda dan kondisi subjek yang melihat benda (Soekarto 1990).
Secara fisik, warna merupakan manifestasi dari fenomena fisik berupa
sinar gelombang elektromagnetik (Soekarto 1990). Sedangkan secara
organoleptik, warna merupakan refleksi cahaya pada permukaan suatu bahan yang
ditangkap oleh indra penglihatan dan ditransmisikan dalam sistem syaraf.
Menurut Aberle et al. (2001) bahwa warna daging merupakan total kesan yang
terlihat oleh mata dan dipengaruhi oleh berbagai kondisi penglihatan.
Pembentuk utama warna daging adalah terdiri atas 2 macam pigmen, yaitu
pigmen daging disebut dengan mioglobin dan pigmen darah yang disebut dengan
hemoglobin. Pigmen ini menyerap panjang gelombang cahaya tertentu dan
merefleksikannya lalu ditangkap oleh mata (Aberle et al. 2001). Mioglobin dan
hemoglobin masing-masing mengandung bagian protein yang disebut dengan
globin dan bagian lagi yang terikat pada globin adalah heme (hematin). Heme ini
mengandung satu atom Fe yang dapat berstatus tereduksi (ferrous/Fe2+) yang
menyebabkan daging berwarna merah ungu, teroksidasi (ferric/Fe3+) yang
menyebabkan daging berwarna coklat, atau Fe ini dapat berpasangan dengan
oksigen (oksimioglobin/ Fe2+) yang menyebabkan daging berwarna merah cerah.
Banyaknya oksimioglobin maupun metmioglobin tergantung pada konsentrasi
oksigen yang ada (Wilson 1981). Akumulasi metmioglobin pada permukaan
daging selama penyimpanan menyebabkan kerusakan pada warna daging (Bekhit
et al. 2007). Secara skematik, perubahan warna daging berdasarkan status Fe
terdapat pada gambar 3.
Mioglobin (Mb) (Fe2+) (Merah ungu)
Metmioglobin (MMb) (Fe3+) (Coklat)
Oksimioglobin (MbO) (Fe2+) (Merah cerah)
Pada daging olahan, warna yang dibentuk merupakan hasil dari berbagai
proses dan reaksi yang sangat kompleks. Beberapa yang turut mempengaruh
warna daging olahan adalah suhu, pengeringan, bahan tambahan dan prosesnya itu
sendiri. Purnomo (1996) menyatakan bahwa dendeng mempunyai warna coklat
gelap yang disebabkan oleh adanya pigmen coklat (melanoidin) yang dihasilkan
oleh reaksi pencoklatan non enzimatis, karamelisasi dan mungkin juga karena
pengaruh warna gula kelapa baik selama proses pembuatan maupun penyimpanan.
Menurut Bailey (1998) bahwa reaksi pencoklatan non enzimatis ini dipicu karena
proses pengeringan yang menyebabkan reaksi antara gula pereduksi dengan asam
amino. Pencoklatan non enzimatis sering ditemukan pada bahan makanan semi
basah.
Terbentuknya warna coklat pada reaksi maillard melibatkan beberapa
tahap perkembangan. Pertama adalah reaksi kondensasi gugus amino dengan
gugus karbonil gula pereduksi (reaksi karbonilamino) yang menghasilkan
N-Substituted Glycosilamin (bentuk siklikasi dari basa Schiff’s). Tahap kedua
adalah Amadori Rearrangement. Tahap ini merupakan reaksi isomerisasi dari
N-Substituted Glycosilamin yang menghasilkan 1-amino-deoxy-2-ketosa. Pada
tahap selanjutnya, 1-amino-deoxy-2-ketosa (dan turunan-turunannya) bereaksi
mengarah pada pembentukan warna dan flavor melalui 3 jalur, yaitu jalur
pembentukan redukton dikarbonil dalam kondisi basa, jalur pembentukan furfural
dalam kondisi asam dan jalur degradasi strecker. Degradasi strecker tidak
berperan dalam pembentukan warna secara langsung melainkan memberikan
prekursor-prekursor pada pembentukan warna. Degradasi Strecker lebih
bertanggung jawab pada pembentukan flavor melalui penyediaan aldehida. Warna
coklat terbentuk bila produk-produk furfural, redukton dan degradasi strecker
bereaksi dengan senyawa-senyawa amino (Eskin et al. 1971; Wong 1989).
Pada daging curing, perkembangan warna terkait dengan peranan nitrit
dalam memfiksasi warna merah. Nitrit yang banyak berperan adalah dalam bentuk
N2O3 dan hanya sekitar 1% dalam bentuk HNO2. N2O3 bereaksi dengan adanya
redukton-redukton (Rd) baik eksogen maupun endogen daging berubah menjadi
NO. Selanjutnya NO dapat berperan dalam perkembangan warna daging yang
membentuk NOMb (Nitrosomioglobin) yang berwarna merah ungu pada daging
mentah dan merah pink bila dimasak, yaitu dengan membentuk
nitrosilhemokromagen (Aberle et al. 2001). Pada makanan daging semi basah
nitrit berperan menjaga produk tetap berwarna pink setelah pemasakan dengan
tetap mempertahankan Fe tetap dalam keadaan Fe2+ sekaligus menghambat
Warmed Over Flavor (Youssef et al. 2001).
Flavor Daging dan Dendeng Flavor
Flavor merupakan aspek sensoris penting atas semua sifat daya terima
produk makanan, yang biasanya melibatkan berbagai aspek seperti bau, rasa,
tekstur, temperatur dan pH (Lawrie 1991; Belitz dan Grosch 1999). Karakteristik
flavor daging merupakan suatu produk dari senyawa-senyawa volatil dan non
volatil (Huang dan Ho 2001) dimana senyawa-senyawa volatil bertanggung jawab
terhadap bau dan senyawa-senyawa nonvolatil pada suhu kamar bertanggung
jawab terhadap terbentuknya rasa (Belitz dan Grosch 1999). Meskipun tidak
menimbulkan sensasi bau, komponen nonvolatil berperan sebagai media untuk
komponen volatil dan membantu menahan penguapan volatil (Winarno 2002).
Selanjutnya Meilgaard et al. (1999) menyebutkan bahwa bau yang ditimbulkan
dari bahan atau produk makanan disebut dengan aroma dan bau yang ditimbulkan
dari produk-produk parfum atau kosmetik disebut dengan fragrance. Namun
demikian, sensasi flavor biasanya merupakan kombinasi antara rasa dan aroma.
Persepsi rasa merupakan kombinasi faktor-faktor yang sulit dipisahkan.
Secara fisiologis, persepsi ini melibatkan 4 (empat) sensasi rasa dasar, yaitu asin,
manis, asam dan pahit yang terdeteksi oleh saraf permukaan lidah (Lawrie 1991;
Belitz dan Grosch 1999; Aberle et al. 2001). Menurut MacLeod (1998) bahwa
rasa asin banyak disebabkan kehadiran garam-garam anorganik, garam sodium
glutamat dan aspartat. Rasa manis banyak disumbangkan oleh kehadiran glukosa,
fruktosa, ribosa, dan beberapa asam L-amino seperti glisin, alanin, serin, treonin,
lisin, sistein, meteonin, asparagin, glutamin dan hidroksiprolin. Rasa asam
disebabkan oleh asam aspartat, asam glutamat, histidin dan asparagin
bersama-sama dengan asam suksinat, laktat, inosinat, ortho-fosforat dan asam pirolidon
karboksilat. Sedangkan rasa pahit disebabkan oleh adanya senayawa-senyawa
yang diturunkan oleh hipoksantin bersama-sama dengan anserin, karnosin dan
beberapa peptida dan L-asam amino yang juga menyumbang pada rasa manis
seperti histidin, argini, lisin, metionin, valin, leusin, isoleusin, fenilalanin,
triptofan, tirosin, asparagin dan glutamin.
Masyarakat Jepang mengenal sensasi rasa yang lain disebut dengan
(MSG) dan 5-nucleotides berupa 5-inosinate (Inosine monophosphate/IMP) dan
5-guanylate (guanosine monophosphate/GMP). Selain itu digunakan juga istilah
savoury, beefy atau brothy untuk mendeskripsikan sensasi rasa umami (Maga
1998).
Sedangkan aroma terdeteksi bila senyawa volatil menstimulasi saraf yang
berakhir pada saluran pernafasan (Aberle et al. 2001). Pada sapi, senyawa volatil
ini dihasilkan dari komponen prekursor nonvolatil saat pemasakan. Reaksi utama
yang terjadi adalah (a) oksidasi/degradasi lipida, (b) degradasi termal dan
intereaksi antara protein, peptida, asam-asam amino, gula dan ribonukleotida dan
(c) degradasi panas terhadap tiamin (MacLeod 1998).
Flavor Daging
Flavor daging alami terbentuk melalui sistem prekursor dengan adanya
pemanasan. Proses pemanasan menyebabkan terbentuknya berbagai senyawa
sekunder dan tersier yang dapat berinteraksi lebih lanjut membentuk
senyawa-senyawa volatil pembentuk flavor. Prekursor utama pembentuk senyawa-senyawa flavor
daging dapat dikelompokkan menjadi (1) komponen yang terlarut dalam air
seperti asam-asam amino, peptida-peptida, nukleosida, karbohidrat (seperti
gula-gula bebas dan gula-gula fosfat), vitamin (misalnya Tiamin) dan lain-lain dan (2)
komponen lipida (Mottram 1998a). Huang dan Ho (2001) merinci lagi bahwa
prokursor-prekursor pembentuk senyawa aroma daging adalah Inosin Monofosfat
(IMP), Tiamin, Alin dan Deoksialin, Aldehida dari degradasi strecker, Pirolin,
Aldehida-aldehida lemak dan produk-produk degradasi karbohidrat.
Flavor daging yang terbentuk oleh pemecahan termal atas lemak, protein
dan karbohidrat merupakan prekursor utama untuk menghasilkan aroma melalui
proses termal (Huang dan Ho 2001). Senyawa-senyawa volatil yang dipercaya
sebagai penyumbang utama pada aroma dibuat oleh senyawa-senyawa sulfur
asiklik, heterosiklik yang mengandung nitrogen, oksigen dan/atau sulfur dan
senyawa-senyawa volatil yang mengandung karbonil (Shahidi 1998). Reaksi
utama selama proses pemasakan yang menyebabkan timbulnya aroma volatil
adalah reaksi pencoklatan non enzimatis maillard dan degradasi lemak (Mottram
1998b). Meskipun demikian, menurut Aberle et al. (2001), jaringan otot yang
daripada otot yang mengandung persediaan energi rendah. Ini dibuktikan dengan
adanya Inosine Monophosphat (IMP) dan hypoxanthine yang meningkatkan
flavor atau aroma, dimana IMP dan hypoxanthine diproduksi melalui pemecahan
ATP.
Pada daging mentah, flavor yang dihasilkan sangat kecil (lemah) dan
hanya memiliki rasa amis seperti darah (Mottram 1998a) tetapi mengandung
banyak reservoir nonvolatil sebagai prekursor flavor daging masak (Huang dan
Ho 2001). Pemasakan atau pemanasan dapat meningkatkan flavor sehingga
diperoleh flavor khas daging. Karakteristik aroma tengantung pada jenis daging
dan metode pengolahan yang diterapkan pada daging seperti pemanggangan,
pemanasan, penguapan ataupun perebusan (Bellitz dan Grosch 1999). Pengolahan
daging misalnya di-curing atau diasap menimbulkan karakteristik flavor pada
produk. Interaksi antara nitrit dengan daging/otot biasanya akan menghambat
pembentukan senyawa-senyawa volatil yang bersifat off-flavor oleh karenanya
menyebabkan flavor memiliki karakteristik yang lebih disukai (Shahidi 1998).
Pemasakan dengan cara dipanggang dan dibakar menyebabkan senyawa-senyawa
heterosiklik pembentuk aroma khas lebih banyak daripada direbus (Huang dan Ho
2001). Hingga batas-batas tertentu, konsentrasi total Fe, metmioglobin dan asam
lemak mempengaruhi flavor, terutama pada flavor livery pada sapi (Yancey et al.
2006).
Karakteristik flavor berkaitan dengan jenis ternak/daging biasanya
dihasilkan dari prekursor-prekursor lipida. Contohnya adalah aldehida, senyawa
hasil degradasi lipida, yang sangat menentukan karakteristik daging suatu
sepesies. Pada daging domba senyawa ini berupa asam lemak jenuh bercabang
metil, 4-metiloktanoat dan 4-metilnonanoat, yang bertanggung jawab terhadap
flavor khas domba (muttony) yang tidak dijumpai pada daging lain (Young dan
Braggins 1998, Duckett dan Kuber 2001 dan Suryaningsih 2006). Pada daging
sapi aroma khasnya banyak ditentukan oleh senyawa yang mempunyai aroma
seperti daging sapi, tallow. Telah ditemukan sebanyak 880 komponen volatil
aroma daging sapi masak tetapi hanya sekitar 25 macam saja yang memiliki bau
meaty dan senyawa yang bertanggung jawab terhadap karakteristik aroma meaty
(MacLeod 1998). Kemungkinan juga senyawa golongan karboksilat jenis asam
oktadekanoat dan ester metil yang menentukan flavor khas daging sapi
(Suryaningsih 2006). Sedangkan yang berperan terhadap aroma panggang suatu
daging adalah senyawa-senyawa heterosiklik, seperti pirazin dan tiazol yang
terbentuk dari tahap akhir reaksi maillard (Mottram 1998a). Sementara pada
daging kuda, senyawa yang menentukan flavor daging adalah kelompok
karboksilat jenis asam 9-oktadekanoat (Suryaningsih 2006).
Pengolahan daging juga telah mempengaruhi komponen volatil flavor
daging. Hasil penelitian Suryaningsih (2006) menunjukkan bahwa komponen
volatil daging sapi yang teridentifikasi sebanyak 133 yang terdiri atas keton (2),
alkohol (36), karboksilat (90) dan aldehida (5). Setelah diolah menjadi nikumi,
komponen volatilnya menurun menjadi 62 komponen, yaitu keton (7), alkohol (3)
karboksilat (29) dan aldehida (6) serta komponen-komponen lainnya (17).
Komponen volatil daging domba yang teridentifikasi sebanyak 141 komponen
yang terdiri atas keton (19), alkohol (39), furan (21), karboksilat (40), piridins (4),
hidrokarbon (2), pirols (1) dan lainnya (15). Setelah diolah menjadi nikumi
komponen volatilnya menjadi 97 yang terdiri atas aldehida (31), keton (5), furan
(3), alkohol (2), karboksilat (20) dan komponen lainnya (36). Sedangkan pada
daging kuda ditemukan 148 komponen volatil yang meliputi karboksilat (108),
alkohol (20), keton (7), aldehida (4), hidrokarbon (3) dan lainnya (6). Setelah
diolah menjadi nikumi terdapat 114 komponen volatil yang terdiri atas aldehida
(54), karboksilat (16), keton (5), alkohol (4) dan lainnya (35).
Oksidasi pada Dendeng
Oksidasi lemak dapat terjadi bila ada lemak tak jenuh yang kontak dengan
oksigen. Hasil oksidasi adalah ketengikan pada produk dan ini menurunkan
kualitas produk. Oksidasi dimulai dengan pembentukan peroksida dan
hidroperoksida. Tahapan-tahapan oksidasi dimulai dengan tahap inisiasi,
propagasi dan terminasi (Gambar 5). Tahap inisiasi merupakan suatu reaksi
pembebasan atom H yang terikat pada atom C terdekat dari C yang berikatan
rangkap suatu asam lemak tak jenuh. Pada tahap ini dihasilkan suatu radikal
Tahap kedua adalah propagasi, yaitu reaksi antara radikal bebas dengan oksigen
membentuk radikal peroksida. Selanjutnya radikal peroksida bereaksi dengan
asam lemak tak jenuh dan menghasilkan hidroperoksida dan radikal bebas. Proses
ini terus berulang selama faktor yang menentukan oksidasi masih tersedia. Tahap
yang ketiga adalah terminasi. Reaksi ini merupakan reaksi akhir dengan
membentuk produk non radikal (Wong 1989; Erickson 2002).
INISIASI : RH R* + H Energi
Asam lemak tak jenuh
Radikal bebas
PROPAGASI : R* + O2 ROO*
Radikal peroksida
ROO* + RH ROOH + R* Hidroperoksida
TERMINASI : ROO* + ROO*
ROO* + R* ROOR
R* + R*
Gambar 5. Reaksi oksidasi pada lemak
Hidroperoksida merupakan produk antara pada proses oksidasi dan
bersifat netral atau belum mempengaruhi flavor produk. Menurut Skibted et al.
(1998), hidroperoksida murni relatif stabil, tetapi transisi ion logam dan senyawa
heme mengkatalisa hidroperoksida baik melalui oksidasi maupun reduksi. Pada
proses oksidasi lebih lanjut, hidroperoksida akan mengalami dekomposisi menjadi
senyawa-senyawa volatil berbobot molekul rendah seperti aldehida, keton,
alkohol, hidrokarbon dan ester. Senyawa-senyawa ini yang bertangung jawab
terhadap ketengikan pada daging dan produk-produk oksidasi lainnnya.
Komposisi ini tergantung dari profil asam lemak daging.
Menurut Purnomo (1996), faktor-faktor yang mempengaruhi proses
oksidasi lemak meliputi aktivitas air, NaCl, logam, rempah-rempah, hemoprotein
dan bentuk dari lemak tersebut. Aktivitas air yang meningkat akan diikuti dengan
rendah (2-3%) maka daging menjadi lebih peka terhadap oksidasi. Hal ini
disebabkan karena ikut meningkatnya katalis logam. NaCl 2% memperlihatkan
adanya peningkatan oksidasi pada kalengan sardin dibandingkan dengan yang
tidak diberi garam, tetapi dengan pemberian NaCl di atas 3% dapat menghambat
oksidasi lemak. Menurut Kateren (1986), logam dengan valensi 2 memiliki
potensi besar untuk meningkatkan oksidasi lemak. Purnomo (1996) melaporkan
bahwa pada daging yang mengalami pemanasan mudah mengalami oksidasi
karena pemanasan menyebabkan denaturasi protein sehingga melepaskan Fe yang
bersifat prooksidan.
Menurut Kateren (1986), bentuk lemak atau minyak menentukan tingkat
oksidasi. Lemak lebih mudah teroksidasi daripada minyak. Hal ini kemungkinan
disebabkan oleh radikal ROO* dalam fase padat akan berdifusi lebih lambat
sehingga lebih siap bereaksi dengan substrat lanjutan proses propagasi, sedangkan
radikal dalam bentuk minyak akan cepat mengalami terminasi dengan radikal
yang lain. Selain bentuk lemak, tingkat kejenuhan dari lemak menentukan tingkat
oksidasi lemak itu sendiri. Lemak yang banyak mengandung asam lemak
berikatan rangkap (semakin tidak jenuh) maka semakin mudah mengalami
oksidasi.
Pengeringan
Pembuatan dendeng merupakan kombinasi antara pengolahan dan
pengeringan. Pengeringan dapat dilakukan di bawah sinar matahari atau
menggunakan alat pengering. Prinsip pengeringan merupakan kombinasi
teknik-teknik pengawetan yang menurut Buckle et al. (1985) menyangkut beberapa hal
sebagai berikut:
1. Pembatasan air dengan pengeringan.
2. Penggunaan garam dan gula untuk mengendalikan kegiatan air lebih lanjut
dan berfungsi sebagai penghambat selektif terhadap kegiatan enzim dan
mikroorganisma.
3. Penggunaan bumbu-bumbu untuk membatasi perkembangan mikroorganisma
Winarno et al. (1984) menyebutkan bahwa pengeringan merupakan suatu
cara mengeluarkan sebagian besar air dari suatu bahan dengan cara menguapkan
air tersebut dengan menggunakan energi panas. Menurut Pakowski et al. (2004),
selama proses pengeringan daging asin mengalami proses difusi secara simultan
antara air dan garam. Menurut Gou et al. (2003), nilai difusifitas daging yang
diberi garam lebih sensitif dibandingkan dengan yang tidak diberi garam.
Difusifitas ini paralel dengan arah serat daging dimana nilainya ditentukan oleh
temperatur dan kadar garam. Bila temperatur naik atau kadar garam menurun
maka nilai difusinya meningkat, tetapi bila temperatur rendah maka kadar garam
kurang menentukan nilai difusinya.
Pengeringan menyebabkan berkurangnya kandungan air daging sehingga
menyebabkan kandungan bahan-bahan lain seperti protein, karbohidrat dan lemak
dalam konsentrasi yang lebih tinggi. Selama proses pengeringan, terutama bila
menggunakan suhu tinggi dapat menyebabkan hilangnya tiamin dan vitamin C
sedangkan riboflafin dan niasinnya hilang sedikit (Purnomo 1997). Pengeringan
juga dapat menyebabkan bahan menjadi berwarna coklat akibat reaksi
pencoklatan non enzimatis antara gula pereduksi dengan asam amino sehingga
menurunkan nilai proteinnya (Winarno et al. 1984). Selama pengeringan,
senyawa-senyawa flavor yang bersifat volatil akan mudah terbuang selama proses
pengeringan. Hilanganya air juga menyebabkan senyawa-senyawa volatil akan
ikut lepas dari bahan sehingga daging kering memiliki senyawa-senyawa flavor
yang telah berkurang. Berkurangnya flavor ini semakin kompleks dengan adanya
reaksi pencoklatan non enzimatis yang juga menyebabkan berkurangnya flavor
asal (Heldman dan Hartel 1998).
Pencucian (Leaching)
Prosedur pencucian sebenarnya merupakan tahapan penting yang harus
dilalui pada pembuatan surimi, yaitu suatu produk antara pengolahan ikan dimana
daging ikan biasanya diolah melalui penggilingan terlebih dahulu. Tujuannya
adalah untuk memisahkan daging dari bahan yang larut dalam air, lemak, darah
(pigmen-pigmen); untuk memperbaiki flavor dan warna serta meningkatkan
kekuatan gel (Toyoda et al. 1992). Pencucian ini selain dapat membersihkan