• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.2. Kajian Teoritis

2.2.4 Pajak dalam Prespektif Islam

Pajak dibenarkan jika dipungut dengan cara yang adil dan sah dan digunakan dengan adil dan sah pula. Dalam hal perpajakan, Abu Yusuf telah meletakkan prinsip-prinsip canons of taxation yaitu kesanggupan membayar, pemberian waktu yang longgar bagi pembayar pajak, dan sentralisasi pembuatan keputusan dalam administrasi pajak (Subandi: 2010).

Dalam Subandi (2010), studi komparatif tentang pemikiran Abu Yusuf dalam kitab ini menunjukkan bahwa berabad-berabad sebelum adanya kajian yang sistematis mengenai keuangan publik di Barat, Abu yusuf telah berbicara tentang kemampuan dan kemudahan para pembayar pajak dalam pemungutan pajak. Ia

juga menekankan pentingnya pengembangan infrastruktur dan menyarankan berbagai proyek kesejahteraan umum. Untuk mengimplementasikan berbagai kebijakan ekonomi di atas, negara membutuhkan administrasi yang efisien dan jujur serta disiplin moral yang tegas dan rasa tanggung jawab dalam menunjuk para pejabatnya. Ia juga berpendapat bahwa perlakuan yang adil dan jujur terhadap para pembayar pajak tanpa penindasan memiliki dampak yang sangat bermanfaat bagi pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan pendapatan pajak.

Pajak-pajak yang dikumpulkan dari nonmuslim berupa ghanimah, fai,

jizyah dan upeti atau amwal al-masalih. Ghanimah atau harta rampasan perang

adalah pajak atau harta yang disita setelah atau selama perang. Fai adalah kepemilikan yang diperoleh tanpa melalui peperangan. Jizyah dikumpulkan dari kaum nonmuslim sebagai imbalan dari dua keuntungan yaitu pembebasan tentara militer dan perlindungan hak-hak sebagai penduduk. Selain itu, dalam Al-Kharaj, Abu Yusuf dalam (Huda dan Muti, 2011:76) menjelaskan pos-pos penerimaan negara dengan pembagiannya sebagai berikut:

1. Perpajakan dan ghanimah, berisi pembahasan tentang rampasan perang (ghanimah) termasuk bidang kelautan dengan segala kekayaan yang ada di dalamnya, serta pertambangan dan harta yang terpendam (rikaz). Berikutnya tentang fai’ dan kharaj, tentang pajak tanah atau pertanian. Selain itu tentang

usyur perdagangan, dan jizyah.

2. Kepemilikan umum. Kepemilikan umum harus dikembalikan kepada rakyat, baik berupa harta yang dibagikan langsung, maupun berupa pelayanan negara yang dibiayai dari penjualannya. Aset milik negara yang menjadi sumber

pendapatan, diantaranya sungai dan perairan, tanah pertanian yang sebelumnya di bawah kekuasaan Persia, idle asset berupa tanah mati yang tidak difungsikan denganbaik dan tanah milik pemerintah yang disewakan. 3. Sedekah. Sedekah yang dimaksud yaitu zakat. Pembahasan mengenai zakat

yaitu zakat binatang ternak, namun ada sumber pendapatan lain yang disimpan dalam pos zakat, seperti pertanian yang dijelaskan bersamaan dengan penjelasan pajak pertanian (kharaj), zakat perdagangan bersamaan dengan

usyur (bea cukai).

Untuk kemaslahatan rakyat ini, ia mengelolah zakat, infak, sedekah yang berasal dari kaum muslimin, ghanimah harta rampasan perang dan jizyah dari warga negara nonmuslim, sebagai sumber pendapatan Baitul Mal. Konsep Baitul

Mal sendiri pertama kali dicetuskan pada masa kepemimpinan Rasulullah SAW.

Konsep Baitul Mal dewasa ini diterapkan di Indonesia yaitu pengumpulan APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) yang sebagian besar dari pendapatan pajak. Pengumpulan pajak juga menggunakan konsep pengumpulan dana yang nantinya akan dipergunakan untuk kepentingan publik. Sistem ekonomi dimana menjamin kepentingan umum dan juga mengedepankan keadilan untuk kemaslahatan umat serta menjamin kekayaan tidak terkumpul hanya kepada satu kelompok saja, tetapi tersebar ke seluruh masyarakat. Seperti yang telah dituangkan dalam Al Quran Surat Al-Hasyr: 7, Allah berfitrman:

ۚ ْمُكْنِم َنْيَ بِءاَيِنْغَْلْا ةَلوُد َنوُكَي َل ْيَك ...

Artinya:

“ ....agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu”(Q.S. Al-Hasyr: 7).

Quraish Shihab menafsirkan bahwa harta penduduk kampung yang Allah serahkan kepada Rasul-Nya tanpa mencepatkan kuda atau unta adalah milik Allah, Rasul-Nya, kerabat Nabi, anak yatim, orang miskin, dan ibn sabîl (musafir di jalan Allah). Hal itu dimaksudkan agar harta tidak hanya berputar di kalangan orang kaya di antara kalian saja. Hukum- hukum yang dibawa oleh Rasulullah itu harus kalian pegang, dan larangan yang ia sampaikan harus kalian tinggalkan. Hindarkanlah diri kalian dari murka Allah. Sesungguhnya Allah benar-benar kejam siksa-Nya.

Pajak sebagai pendapatan negara yang dipungut oleh pemerintah juga digunakan untuk kepentingan umum. Pajak yang dipungut pada tia-tiap individu, walaupun tidak mendapat balas jasa secara langsung, namun pendapatan dari pajak dijunakan untuk pembangunan infrastruktur dan pembiayaan pemerintahan lainnya. Itu artinya pajak dikumpulkan oleh pemerintah dalam rangka memberi manfaat kepada masyarakat. Hal ini sejalan dengan konsep pajak untuk kemaslahatan bersama seperti yang dijelaskan dalam surat Al Hasyr ayat 7.

Ayat al Quran lain yang juga menjelaskan tentang kemaslahatan umat adalah An Nur : 49. ALLAH berfirman :

َنيِنِعْذُم ِهْيَلِإ وُتْأَيا قَحْلا ُمُهَل ْنُكَي ْنِإَو

Arti n ya :

“Tetapi jika keputusan itu untuk (kemaslahatan) mereka, mereka datang kepada rasul dengan patuh.”

Adapun jika mereka tahu bahwa kebenaran ada di pihak mereka, dengan segera mereka mendatangi Rasul agar memutuskan perkara di antara mereka dan lawan mereka. Penjelasan ayat ini adalah apabila suatu permasalahan untuk kemaslahatan umat hendaknya diputuskan dengan seksama agar tidak mendatangkan kemudharatan yang lebih besar.

Selanjutnya, Al-Mawardi dalam Subandi (2010) berpendapat bahwa negara bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara serta merealisasikan kesejahteraan perkembangan ekonomi secara umum. Sebagai konsekuensinya, negara harus memiliki sumber-sumber keuangan yang dapat membiayai pelaksanaan tanggungjawabnya tersebut. Negara harus menyediakan infrastruktur yang diperlukan bagi perkembangan ekonomi dan kesejahteraan umum. Menurutnya jika hidup di kota menjadi tidak mungkin karena tidak berfungsinya fasilitas sumber air minum atau rusaknya tembok kota, negara bertanggung jawab untuk memperbaikinya, dan jika tidak memiliki dana, negara harus menemukan jalan untuk memperolehnya. Al-Mawardi menegaskan bahwa negara wajib mengatur dan membiayai pembelanjaan yang dibutuhkan oleh layanan publik karena setiap individu tidak mungkin membiayai jenis layanan semacam itu. Dengan demikian, layanan publik merupakan kewajiban sosial (fardh kifayah) dan harus bersandar pada kepentingan umum. Pernyataan Al-Mawardi ini semakin mempertegas pendapat para pemikir muslim sebelumnya yang menyatakan bahwa untuk pengadaan proyek dalam kerangka pemenuhan kepentingan umum, negara dapat menggunakan dana Baitul Mal atau

membebankan kepada individu-individu yang memiliki sumber keuangan yang memadai.

Dalam Islam telah dijelaskan masalah pajak itu sendiri, sebagaimana firman Allah pada Surat At-Taubah: 41 sebagaimana berikut:

ْمُكِلََٰذ ۚ ِهَّللا ِليِبَس يِف ْمُكِسُفْ نَأَو ْمُكِلاَوْمَأِب لاَقِثَواوُدِهاَجَو اوُرِفْناا فاَفِخ

َنوُمَلْعَ ت ْمُتْنُك ْنِإ ْمُكَل رْ يَخ

Artinya:

“Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.

Dari ayat ini kita dapat melihat pajak sebagai media untuk berjihad melalui harta yang dimiliki. Walaupun di dalam islam tidak ada ketentuan tentang pajak, dan selama pajak digunakan untuk kemaslahatan umat maka membayar pajak memiliki manfaat. Hal ini juga dalam rangka memenuhi kewajiban untuk patuh terhadap pemimpin dalam hal ini adalah pemerintah. Ayat al Quran yang menjelaskan tentang kewajiban patuh kepada Allah SWT, Rasul dan amirul mukminin tertuang dalam An Nisa 59, Allah berfirman :

ِرْمَْلْا ُأَوويِل وُعيِطَأَوا َلوُسَّرلا وُعيِطَأا َهَّللا َنيِذَّلاوُنَمآا اَه يَأ اَي

ْنِإ ِلوُسَّرلاَو ُهو دُرَفَلِإىِهَّللا ءْيَش ْمُتْعَزاَنَ تِفي ْنِإَف ۖ ْمُكْنِم

ُنَسْحَأَو ليِوْأَتا رْ يَخ َكِلََٰذ ۖ ِمْوَ يْلاَوِر ِخ ْلْا ِهَّللاِب َنوُنِمْؤُ ت ْمُتْنُك

Artinya :

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Wahai orang-orang yang beriman kepada ajaran yang dibawa Muhammad, taatilah Allah, rasul-rasul- Nya dan penguasa umat Islam yang mengurus urusan kalian dengan menegakkan kebenaran, keadilan dan melaksanakan syariat. Jika terjadi perselisihan di antara kalian, kembalikanlah kepada al-Qur'ân dan sunnah Rasul-Nya agar kalian mengetahui hukumnya. Karena, Allah telah menurunkan al-Qur'ân kepada kalian yang telah dijelaskan oleh Rasul-Nya. Di dalamnya terdapat hukum tentang apa yang kalian perselisihkan. Ini adalah konsekuensi keimanan kalian kepada Allah dan hari kiamat. Al-Qur'ân itu merupakan kebaikan bagi kalian, karena, dengan al-Qur'ân itu, kalian dapat berlaku adil dalam memutuskan perkara-perkara yang kalian perselisihkan. Selain itu, akibat yang akan kalian terima setelah memutuskan perkara dengan al-Qur'ân, adalah yang terbaik, karena mencegah perselisihan yang menjurus kepada pertengkaran dan kesesatan.

Ayat ini menjelaskan bahwa sebagai rakyat, harus mematuhi keputusan pemimpinnya meskipun dirasa berat, dikarenakan Allah mengetahui perkara-perkara yang baik bagi hamba-Nya. Rakyat wajib menaati pemimpinnya sebatas pemimpin tidak menyuruh kepada keburukan dan perbuatan menyekutukan Allah.

Menurut Al Ghazali dalam Suhendi (2010: 236), dalam pemanfaatan pendapatan negara, negara bersikap fleksibel yang berlandaskan kesejahteraan. Ia

mengusulkan bahwa pengeluaran publik dapat memberikan kebaikan sosial yang lebih banyak, penguasa dapat memungut pajak baru. Ia menjelaskan bahwa kerugian yang diderita orang karena membayar pajak lebih kecil apabila dibandingkan dengan kerugian yang muncul akibat risiko yang mungkin timbul terhadap jiwa dan harta mereka jika negara tidak dapat menjamin kelayakan penyelanggaranya.

Dilihat dari pendapat lainnya, menurut pendapat Ibnu Khaldun (Suhendi: 2010), jika pajak yang dipungut terlalu rendah maka pemerintahan tidak akan dapat menjalankan fungsinya, sebaliknya jika pajak terlalu tinggi tekanan fiskal menjadi terlalu kuat sehingga laba para pedagang dan produsen menurun dan hilangnya insentif mereka untuk bekerja.

Jenis pajak sudah bermacam-macam. Dapat dikatakan bahwa sekarang tidak ada cela untuk tidak membayar pajak. Pada zaman Rasulullah SAW membayar pajak (jizyah) wajib bagi masyarakat nonmuslim sebagai jaminan atas keamanan yang diberikan. Sedangkan untuk kaum muslim sendiri, pengumpulan dana terletak pada infaq, zakat dan sadaqah. Pajak yang ditarik pada masa cendekiawan ekonomi Muslim juga terletak pada pajak pertanian, itupun ada berbagai syarat yang harus dipenuhi untuk menarik pajak kepada rakyat agar tidak membebani rakyat. Hal ini sangat berkebalikan dengan kondisi sekarang. Pajak tidak hanya ditarik dari sektor pertanian saja tetapi dari segala macam jual beli barang kena pajak, penghasilan, pajak tanah dan masih banyak jenisnya. Kembali lagi pada pengertian pajak itu sendiri yaitu pajak adalah pungutan yang memaksa, sehingga mau tak mau rakyat harus taat kepada peraturan yang telah ditetapkan

oleh negara. Dalam rangka pemenuhan kebutuhan APBN yang semakin besar maka pemerintah lebih gencar mencari sumber dana dari pajak daripada sektor pemasukan lain.

Setiap muslim wajib menaati pemimpinnya selama pemimpin itu masih dalam kategori muslim dan selama pemerintahannya tidak memerintah dengan suatu kemaksiatan Adapun jika pemerintah memerintahkan rakyatnya dengan suatu kemaksiatan maka rakyat (kaum muslim) dilarang keras oleh Allah dan Rasul untuk menaatinya. Termasuk dalam ini adalah kewajiban membayar pajak dan sejenisnya.

Apabila penguasa memaksa atau menggunakan kekuatannya untuk memungut pajak dari kaum muslimin, maka kaum muslimin tidak boleh melakukan perlawanan atau pembrontakan demi untuk menghindari kemudharatan yang lebih besar. Dan jika harta mereka diambil secara paksa sebagai pajak, maka berlaku bagi mereka hukum orang yang terpaksa melakukan sesuatu yang haram dan tidak dianggap sebagai dosa.

Di dalam sebuah hadist, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

ِفوُرْعَمْلا

ىِف ُةَعاَّطلا اَمَّنِإ ِهَّللا ىِفِةَيِصْعَم َةَعاَط َل

Artinya:

“Tidak ada ketaatan dalam melakukan kemaksiatan kepada Allah, karena sesungguhnya kewajiban taat itu hanya dalam hal yang ma’ruf (baik) saja.” (HR. Bukhari no.6830, dan Muslim III/1469 no.1840).

Apabila penguasa memaksa atau menggunakan kekuatannya untuk memungut pajak dari kaum muslimin, maka kaum muslimin tidak boleh melakukan perlawanan atau pembrontakan demi untuk menghindari

kemudharatan yang lebih besar. Dan jika harta mereka diambil secara paksa oleh penguasa sebagai pajak, maka berlaku bagi mereka hukum orang yang secara terpaksa melakukan sesuatu yang haram dan tidak dianggap sebagai dosa.

Dokumen terkait