• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : LANDASAN TEORI

2.1.6 Pajak Hiburan

Pajak hiburan merupakan salah satu dari jenis pajak daerah. Pajak hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan. Pajak hiburan dalam Siahaan (2008: 297) dapat pula diartikan sebagai pungutan daerah atas penyelenggaraan hiburan. Pengenaan pajak hiburan tidak mutlak ada pada seluruh daerah kabupaten atau kota yang ada di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan kewenangan yang diberikan kepada Pemerintah Kabupaten/atau Kota. Mengingat kondisi kabupaten dan kota di Indonesia tidak sama, termasuk dalam hal jenis hiburan yang diselengarakan, maka untuk dapat diterapkan pada suatu daerah kabupaten/ kota pemerintah

daerah setempat harus mengeluarkan peraturan daerah tentang pajak hiburan yang akan menjadi landasan hukum operasional dalam teknis pelaksanaan pengenaan dan pemungutan pajak hiburan di daerah kabupaten atau kota yang bersangkutan. 2.1.6.1 Objek Pajak Hiburan

Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 17 Tahun 2010, objek pajak hiburan adalah jasa penyelanggaraan hiburan dengan dipungut bayaran. Dengan demikian objek pajak hiburan meliputi:

a. Pertunjukan film; b. Pertunjukan kesenian; c. Pertunjukan pagelaran;

d. Penyelenggaraan diskotik, musik hidup, karaoke, klab malam, ruang musik, balai gita, pub, ruang selesa musik, klub eksekutif, dan sejenisnya;

e. Permainan bilyar dan sejenisnya;

f. Permainan ketangkasan, termasuk mesin keping dan sejenisnya; g. Panti pijat, mandi uap;

h. Pertandingan olahraga;

i. Penyelenggaraan tempat-tempat wisata, taman rekreasi, seluncur, kolam pemancingan, pasar malam, sirkus, komedi putar yang digerakkan dengan peralatan elektronik, kereta pesiar, dan sejenisnya; serta

Penyelenggaraan hiburan yang dikenakan pajak dalam (Siahaan, 2008: 301) adalah penyelenggaraan hiburan yang memungut bayaran. Umumnya setiap penyelengara hiburan harus mendapat izin tertulis dari Bupati/Walikota, kecuali untuk wilayah DKI Jakarta diberikan oleh Gubernur. Pengajuan izin harus diajukan secara tertulis sesuai dengan tata cara yang ditetapkan oleh kepala daerah. Izin penyelenggara hiburan diberikan untuk jangka waktu tertentu dan dapat diperpanjang. Izin tersebut tidak dapat dipindahtangankan, kecuali atas seizin kepala daerah. Hal ini terkait juga dengan kewajiban perpajakan, yaitu penyelenggara hiburan tersebut merupakan wajib pajak yang harus memenuhi kewajiban perpajakan di bidang pajak hiburan.

2.1.6.2 Bukan Objek Pajak Hiburan

Pada pajak hiburan dalam Siahaan (2008: 301), tidak semua penyelenggaraan hiburan dikenakan pajak. Ada beberapa pengecualian yang tidak termasuk objek pajak yaitu penyelenggaraan hiburan yang tidak dipungut bayaran, seperti hiburan yang diselenggarakan dalam rangka pernikahan, upacara adat, dan kegiatan keagamaan.

2.1.6.3 Subjek dan Wajib Pajak Hiburan

Pada pajak hiburan, subjek pajak dalam Siahaan (2008: 301-302) adalah orang pribadi atau badan yang menonton dan atau menikmati hiburan. Secara sederhana subjek pajak adalah konsumen yang menikmati hiburan, sementara itu wajib pajak adalah orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan hiburan. Dengan demikian, subjek pajak dan wajib pajak pada pajak hiburan tidak sama.

Konsumen yang menikmati pelayanan tempat hiburan merupakan subjek pajak yang membayar (menanggung) pajak sementara penyelenggara hiburan bertindak sebagai wajib pajak yang diberi kewenangan untuk memungut pajak dari konsumen (subjek pajak).

Dalam menjalankan kewajiban perpajakannya wajib pajak dapat diwakili oleh pihak tertentu yang diperkenankan oleh undang-undang dan peraturan daerah tentang pajak hiburan. Wakil wajib pajak bertanggung jawab secara pribadi dan atau secara tanggung renteng atas pembayaran pajak terutang. Selain itu, wajib pajak dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya.

2.1.6.4 Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Perhitungan Pajak Hiburan 1. Dasar pengenaan pajak hiburan

Dasar pengenaan pajak hiburan dalam Siahaan (2008: 302) adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar untuk menonton dan atau menikmati hiburan. Pengertian yang seharusnya dibayar termasuk pemberian potongan harga dan tiket cuma-cuma.

2. Tarif pajak hiburan

Tarif pajak hiburan dalam Siahaan (2008: 302) ditetapkan paling tinggi sebesar tiga puluh lima persen dan ditetapkan dengan peraturan daerah. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan keleluasaan kepada pemerintah kabupaten/kota untuk menetapkan tarif pajak yang dipandang sesuai dengan kondisi masing-masing daerah kabupaten/kota. Dengan demikian, setiap daerah kabupaten/kota diberi kewenangan untuk

menetapkan besarnya tarif pajak yang mungkin berbeda dengan kabupaten/kota lainnya asalkan tidak lebih dari tiga puluh lima persen. Untuk mendukung pengembangan kesenian tradisional, hiburan berupa kesenian tradisional umumnya dikenakan tarif pajak yang lebih rendah dari hiburan lainnya.

Oleh karena objek pajak hiburan meliputi berbagai jenis hiburan, pemerintah kabupaten/kota juga harus menetapkan tarif pajak untuk masing-masing jenis hiburan, yang biasanya berbeda antar jenis hiburan. Misalnya, suatu pemerintah daerah kota menetapkan besarnya tarif pajak hiburan untuk setiap jenis hiburan sebagaimana berikut ini dalam Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pajak Daerah:

a. Pagelaran musik dan busana sebesar 20%; b. Kontes kecantikan dan binaraga sebesar 20%; c. Diskotik dan klab malam sebesar 60%; d. Karaoke sebesar 40%;

e. Permainan ketangkasan sebesar 10%; f. Sirkus, akrobat, dan sulap sebesar 10%;

g. Panti pijat, refleksi, dan mandi uap atau spa sebesar 35%; h. Tontonan film sebesar 10%;

i. Pameran sebesar 5%;

j. Permainan bola sodok (bilyar) sebesar 20%; k. Permainan golf dan bola gelinding sebesar 20%;

l. Pacuan kuda, balapan kendaraan motor sebesar 10%; m. Pusat kebugaran (fitness center) sebesar 10%;

n. Pertandingan olahraga, termasuk futsal, sepak bola, bola voli, bola basket dan sejenisnya sebesar 7%.

3. Cara Perhitungan Pajak Hiburan

Besarnya pokok pajak hiburan dalam Siahaan (2008: 304-305) yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan dasar pengenaan pajak. Secara umum perhitungan pajak hiburan adalah sesuai dengan rumus sebagai berikut:

Pajak Terutang = Tarif Pajak x Dasar Pengenaan Pajak

= Tarif Pajak x Jumlah Pembayaran untuk

Menonton/atau Menikmati Hiburan

Terdapat beberapa jenis hiburan yang dapat dipungut pajak hiburan (Mahmudi, 2010: 24), antara lain bioskop, pertunjukan, konser musik, dan sebagainya. Basis pajak hiburan sebagai dasar pengenaan pajak adalah omzet penjualan tiket. Besarnya pajak hiburan adalah jumlah omzet penjualan tiket dikalikan tarif pajak. Langkah-langkah menghitung pajak hiburan hampir sama dengan pajak restoran, yaitu:

1. Mengidentifikasikan objek pajak hiburan.

3. Melakukan observasi untuk memperoleh data omzet penjualan tiket, tingkat kunjungan, jumlah kursi tersedia, frekuensi pertunjukan, harga tiket masuk, dan sebagainya.

4. Menghitung perkiraan omzet penjualan. 5. Menghitung potensi pajak restoran

2.1.7 Teori yang Mendukung Pemungutan Pajak

Beberapa teori yang mendasari pemungutan pajak adalah: (Rahmawati, 2012:131-132)

1. Teori Asuransi

Negara melindungi keselamatan jiwa, harta benda, dan hak-hak rakyatnya. Oleh karena itu rakyat harus membayar pajak yang diibaratkan sebagai suatu premi asuransi karena memperoleh jaminan perlindungan tersebut.

2. Teori Kepentingan

Pembagian beban pajak kepada rakyatnya didasarkan pada kepentingan (misalnya perlindungan) masing-masing orang. Semakin besar kepentingan seseorang terhadap negara, makin tinggi pajak yang harus dibayar.

3. Teori Daya Pikul

Beban pajak untuk semua orang harus sama beratnya, artinya pajak harus dibayar sesuai dengan daya pikul masing-masing orang. Untuk mengukur daya pikul dapat digunakan 2 pendekatan, yaitu:

a. Pendekatan obyektif, dengan melihat besarnya penghasilan atau kekayaan yang dimiliki oleh seseorang.

b. Pendekatan subyektif, dengan memperhatikan besarnya kebutuhan materil yang harus dipenuhi.

4. Teori Bakti

Dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada hubungan rakyat dengan negaranya. Sebagai warga negara yang berbakti, rakyat harus selalu menyadari bahwa pembayaran pajak adalah sebagai suatu kewajiban.

5. Teori Asas Daya Beli

Dasar keadilan terletak pada akibat pemungutan pajak. Maksudnya memungut pajak berarti menarik daya beli dari rumah tangga masyarakat untuk rumah tangga negara. Selanjutnya negara akan menyalurkannya kembali ke masyarakat dalam bentuk pemeliharaan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian kepentingan seluruh masyarakat lebih diutamakan.

2.1.8 Syarat Pemungutan Pajak

Pemungutan pajak hendaknya dilakukan secara proporsional, agar tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan dalam pemungutannya. Pemungutan pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: (Halim, 2004: 132)

1. Syarat Keadilan

Pemungutan pajak harus sesuai dengan tujuan hukum mencapai keadilan undang-undang dan pelaksanaan pemungutannya harus adil. Adil dalam perundang-undangan diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Sedang adil dalam pelaksanaan pemungutannya yakni dengan memberi hak bagi wajib untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak.

2. Syarat Yuridis

Pemungutan pajak harus didasarkan pada undang-undang. Hal ini memberi jaminan hukum untuk menyatakan keadilan baik bagi negara maupun bagi warganya.

3. Syarat Ekonomis

Pemungutan pajak tidak sampai mengganggu perekonomian khususnya pada kegiatan perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuah perekonomian masyarakat.

4. Syarat Finansial

Pemungutan pajak harus efisien dan didasarkan pada fungsi budgeter dalam artian biaya pemungutan pajak harus ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutan.

5. Syarat pemungutan pajak harus sederhana

Sistem pemungutan pajak yang sederhana memudahkan dalam mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.

Dokumen terkait