DI KOTA SERANG
SKRIPSI
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial pada Konsentrasi Manajemen Publik Program Studi Ilmu Administrasi Negara
Oleh:
Pratiwi
NIM 6661100212
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
perjuangannya melawan kegagalan…
Pratiwi
Skripsi ini Aku persembahkan untuk
Pratiwi. NIM 6661100212. Analisis Kepatuhan Administrasi Pajak Bagi Wajib Pajak Hiburan di Kota Serang. Program Studi Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Pembimbing I: Ipah Ema Jumiati, S.IP., M.Si dan Pembimbing II: Rahmawati, S.Sos., M.Si
Kata Kunci : Pajak Hiburan
Pratiwi. NIM 6661100212. Obedience Analysis of Tax Administration For Entertainment Tax Obligatory at Serang City. Public Administration Department, Social and Political Faculty. Sultan Ageng Tirtayasa University. Advisor I: Ipah Ema Jumiati, S.IP., M.Si and Advisor II: Rahmawati, S.Sos., M.Si
Keyword : Entertainment Tax
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T yang telah
memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada penulis kemudian solawat serta
salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad S.A.W yang telah mengiringi
doa dan harapan penulis guna terselesaikannya skripsi yang berjudul Analisis
Kepatuhan Administrasi Pajak bagi Wajib Pajak Hiburan di Kota Serang.
Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar
Sarjana Strata satu (S1) Ilmu Sosial dan Ilmu Politik pada konsentrasi Manajemen
Publik program studi Ilmu Administrasi Negara.
Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan dan bantuan berbagai
pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih
atas segala dukungan, waktu, tenaga serta ilmu pengetahuan yang telah diberikan.
Terutama penulis ucapkan dengan tulus kepada kedua orangtua yaitu Ayah dan
Ibu yang senantiasa memberikan kasih sayang yang tulus kepada penulis, tak
pernah habis untuk memanjatkan doa, memberikan nasehat serta motivasi kepada
penulis. Kemudian, penulis juga berterimakasih kepada semua pihak diantaranya
kepada:
1. Bapak Prof DR. H. Sholeh Hidayat, M.Pd., sebagai Rektor Universitas Sultan
Ageng Tirtayasa;
2. Bapak Dr. Agus Sjafari, M.Si., sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa;
5. Bapak Gandung Ismanto, S.Sos., MM sebagai Wakil Dekan III Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa sekaligus dosen
pembimbing akademik atas dorongan motivasi, waktu luang, dan ilmu
pengetahuannya kepada penulis dan telah membimbing serta memberikan
arahan dalam pemilihan judul skripsi;
6. Ibu Rina Yulianti, S.IP., M.Si., sebagai Ketua Program Studi Ilmu
Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan
Ageng Tirtayasa;
7. Ibu Rahmawati, S.Sos., M.Si sebagai Sekretaris Program Ilmu Administrasi
Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa, sekaligus sebagai dosen pembimbing II atas bimbingannya dan
waktu luang serta ilmu pengetahuannya kepada penulis dalam proses
penyelesaian skripsi ini;
8. Ibu Ipah Ema Jumiati, S.IP., M.Si.,sebagai dosen pembimbing I skripsi atas
bimbingan dan waktu luang serta ilmu pengetahuannya kepada penulis dalam
proses penyelesaian skripsi ini;
9. Seluruh dosen Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa atas segala
bantuan informasi selama perkuliahan;
11.Seluruh pegawai Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah khususnya Bapak
Rachmatullah, S.Sos,. M.Si sebagai Kepala Seksi Pendaftaran dan Pendataan
Pajak Daerah yang telah berkenaan memberikan informasi, data, dan
ketersediaan waktu dalam proses pengambilan data untuk penulis;
12.Seluruh pegawai Badan Pelayanan Terpadu dan Penanaman Modal Kota
Serang khususnya Bapak Rudi Mulyana, S.T yang telah berkenaan
memberikan informasi, data, dan ketersediaan waktu dalam proses
pengambilan data untuk penulis
13.Seluruh pegawai Satuan Polisi Pamong Praja Kota Serang khususnya Bapak
H. Tb. Yassin, S.Sos., M.Si sebagai Kepala Bidang Trantib Polisi Pamong
Praja yang telah berkenaan memberikan informasi, data, dan ketersediaan
waktu dalam proses pengambilan data untuk penulis;
14.Seluruh pengelola tempat hiburan di Kota Serang yang telah memberikan
informasi, data, dan ketersediaan waktu terkait fokus yang sedang penulis
teliti;
15.Adik-adikku tersayang, yaitu Destiyana dan M. Ari Syahrial yang senantiasa
selalu menghibur, serta doa yang selalu dipanjatkan untuk penulis hingga saat
17.Para sahabat Emma Marlini, Ivan Setiawan, Astri Permatasari, Kanari
Gemilang, Rachmawati Dwi Maharani, Dwi Mayangsari, Muhammad Fajar
Kurniawan, Faizal Setyahadi teman-teman selama kuliah. Terimakasih atas
empat tahun yang mengesankan ini. Terimakasih atas semua suka duka yang
akan selalu menjadi kisah yang tidak terlupakan serta yang selalu memberikan
dukungan dan kebahagiaan.
18.Teman-teman tercintaku yang senantiasa memotivasi dan memberikan
keceriaan yaitu Ayu, Ngkay, Noki, Meong, Siti, Uung, Dewi, Onya, Ndes, dan
teman-teman lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan sehingga
penulis mengharapkan kritik serta saran yang membangun. Penulis berharap
semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan ilmu pengetahuan untuk kita
khususnya dalam hal perpajakan.
Serang, Oktober 2014
Penulis
LEMBAR ORISINALITAS
LEMBAR PERSETUJUAN
LEMBAR PENGESAHAN
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
ABSTRAK
KATA PENGANTAR ………i
DAFTAR ISI ………v
DAFTAR TABEL ………ix
DAFTAR GAMBAR ………xi
DAFTAR BAGAN ………...……xii
BAB I : PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang………...1
1.2Identifikasi Masalah……….11
1.3Batasan Masalah………...…11
1.4Rumusan Masalah...11
1.5Tujuan Penelitian………...12
1.6Manfaat Penelitian………...……12
1.6.1 Secara Teoritis……….12
1.6.2 Secara Praktis………..12
2.1.2.1 Definisi Pajak………...19
2.1.2.2 Wajib Pajak………21
2.1.3 Kepatuhan Perpajakan……….…22
2.1.3.1 Definisi Kepatuhan……….……22
2.1.3.2 Teori Kepatuhan Wajib Pajak………23
2.1.3.3 Pentingnya Kepatuhan Perpajakan……….…26
2.1.3.4 Ketidakpatuhan Wajib Pajak……….…….27
2.1.3.5 Batasan dan Persyaratan sebagai Wajib Pajak Patuh……….28
2.1.3.6 Manfaat Predikat Wajib Pajak Patuh……….29
2.1.4 Pendapatan Asli Daerah………..30
2.1.4.1 Siklus Manajemen Pendapatan Daerah………..30
2.1.4.2 Sumber-sumber Pendapatan Daerah………..33
2.1.5 Pajak Daerah………...…34
2.1.6 Pajak Hiburan………..35
2.1.6.1 Objek Pajak Hiburan………..36
2.1.6.2 Bukan Objek Pajak Hiburan………..…….37
2.1.6.3 Subjek dan Wajib Pajak Hiburan………..….37
2.1.9 Fungsi Pajak………....44
2.1.10 Sistem Pemungutan Pajak……….44
2.1.11 Kaidah Hukum Pajak………...…….45
2.2 Penelitian Terdahulu………...….46
2.3 Kerangka Pemikiran……….48
2.4 Asumsi Dasar Penelitian………..51
BAB III : METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Pendekatan dan Metode Penelitian………..52
3.2 Ruang Lingkup/ atau Fokus Penelitian………....52
3.3 Lokasi Penelitian………..52
3.4 Variabel Penelitian………...53
3.4.1 Definisi Konsep………..53
3.4.2 Definisi Operasional………53
3.5 Instrumen Penelitian……….54
3.6 Informan Penelitian………..55
3.7 Teknik Pengumpulan dan Analisis Data………..57
3.7.1 Teknik Pengumpulan Data………..57
3.7.2 Teknik Analisis Data………...…60
4.1.1 Gambaran Umum Kota Serang………...65
4.1.2 Gambaran Umum Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah (DPKD) Kota Serang………...…71
4.2 Deskripsi Data Penelitian……….89
4.2.1 Daftar Informan Penelitian………..…89
4.2.2 Deskripsi Data……….91
4.3 Deskripsi Hasil Penelitian………93
4.3.1 Analisis Kepatuhan Administrasi Pajak bagi Wajib Pajak Hiburan di Kota Serang………..……93
4.3.1.1 Aspek Yuridis………94
4.3.1.2 Aspek Psikologis………..…116
4.3.1.3 Aspek Sosiologis………..123
4.4 Pembahasan………139
4.4.1 Analisa Tentang Fokus Penelitian……….139
BAB V : PENUTUP 5.1 Kesimpulan………162
5.2 Saran……….…..163
DAFTAR PUSTAKA ……….….xiii
LAMPIRAN
Tabel 1.1 Data Wajib Pajak Hiburan Tahun 2014………...5
Tabel 1.2 Data Tempat Hiburan yang Tidak Terdaftar di Kota Serang Tahun 2014………..7
Tabel 1.3 Realisasi Penerimaan Pendapatan Pajak Hiburan Bulan Oktober-Desember Tahun Anggaran 2013………..…….10
Tabel 3.1 Informan Penelitian………....56
Tabel 3.2 Pedoman Wawancara………...58
Tabel 3.3 Jadwal Penelitian………64
Tabel 4.1 Daftar Nama Kelurahan Di Kota Serang Tahun 2014………...…66
Tabel 4.2 Daftar Informan………..90
Tabel 4.3 Data Wajib Pajak Hiburan di Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah...100
Tabel 4.4 Realisasi Penerimaan Pajak Hiburan………...…126
Tabel 4.5 Data Wajib Pajak Hiburan di Kota Serang………..……141
Tabel 4.6 Objek Pajak Tidak Terdata sebagai Wajib Pajak Hiburan di Kota Serang………..….142
Tabel 4.7 Daftar Nama Gym/Fitness Center di Kota Serang………...…143
Tabel 4.8 Realisasi Penerimaan Pajak Hiburan………...151
Tabel 4.9 Potensial Pajak Penerimaan dari Wajib Pajak Terdata………153
Bagan 2.1 Kerangka Pemikiran……….….50
1.1 Latar Belakang
Pada umumnya kota merupakan tempat pemukiman yang relatif besar,
penduduknya padat dan menetap dari individu-individu yang secara sosial-heterogen,
oleh karena itu jika pemukimannya semakin besar maka penduduknya akan semakin
padat dan semakin heterogen pula penduduknya. Kota juga merupakan pusat dari
segala kegiatan perekonomian, sehingga kota dijadikan sebagai daerah penyerap
investasi oleh pemerintah kota guna menambah pendapatan daerah. Selain menambah
pendapatan daerah adanya investasi-investasi tersebut juga membuka peluang usaha
untuk penduduk kota sehingga mengurangi adanya pengangguran
(http://eprints.uny.ac.id/ diakses pada tanggal 28 september 2013).
Jika dilihat dari hal tersebut, sama halnya dengan Kota Serang Provinsi
Banten dimana Kota Serang masih berusia 7 (tujuh) tahun yaitu sejak tahun 2007.
Kota Serang merupakan wilayah pemekaran dari Kabupaten Serang berdasarkan dari
adanya otonomi daerah. Berdasarkan Undang-Undang nomor 32 Tahun 2007 tentang
tujuan pemekaran Kota Serang sebagai pemicu kemajuan di Provinsi Banten. Pada
Di Kota ini, masyarakat berlomba-lomba untuk membuka peluang usaha yang
dapat membantu masyarakat itu sendiri dalam masalah perekonomiannya.
Bermacam-macam usaha yang dilakukan seperti menjadi pedagang kaki lima,
membuka restoran dan usaha lainnya. Dalam hal ini masyarakat tidak dapat
seenaknya membuka usaha karena setiap kegiatan usaha yang akan dilakukan harus
memiliki izin telebih dahulu. Dari perizinan usaha inilah, daerah dapat melegalkan
setiap usaha yang digeluti masyarakat. Perizinan usaha ini banyak macamnya salah
satunya ialah perizinan usaha tempat hiburan.
Mengenai perizinan usaha, Kota Serang tidak memiliki Peraturan Daerah
Perizinan Usaha Tempat Hiburan akan tetapi Kota Serang hanya memiliki Keputusan
Walikota Serang Nomor : 502/ Kep. 47- Org/ 2010 Tentang Pelimpahan Sebagian
Kewenangan Penyelenggaraan Pelayanan Perizinan Kepada Badan Pelayanan
Terpadu dan Penanaman Modal di Kota Serang yang menjadi dasar hukum perizinan
usaha di Kota Serang. Menurut hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan
Kasie Pendataan Badan Pelayanan Terpadu dan Penanaman Modal bahwa tidak
adanya Peraturan Daerah perizinan usaha tempat hiburan secara spesifik hanya
sebatas Keputusan Walikota saja dikarenakan keterbatasan, pembahasannya yang
rumit, biayanya tinggi karena Kota Serang baru berdiri dengan anggaran yang sangat
minim. Keinginan kota sendiri sebenarnya ingin ditingkatkan dari Keputusan
Walikota menjadi Peraturan Daerah tetapi banyak keterbatasan dan kriteria yang
Kemudian, mengenai perizinan usaha tempat hiburan di Kota Serang hal ini
disesuaikan dengan adanya visi dari Walikota Serang itu sendiri yang mana visi
tersebut adalah menjadikan Kota Serang yang madani. Selain hal tersebut
bertentangan dengan visi dari Walikota, hal ini juga bertentangan dengan masyarakat
Kota Serang itu sendiri yang terbilang masih religius. Sehingga, perizinan usaha
tempat hiburan ini banyak mengundang kontroversi karena masih ada saja
masyarakat yang memandang tempat hiburan ini akan berdampak negatif baik itu
moral maupun budaya Kota Serang itu sendiri. Berdasarkan data yang peneliti
dapatkan dari Banten Pos diakses pada tanggal 28 September 2013 pukul 19.13 WIB
bahwa Sebenarnya Rancangan Peraturan Daerah mengenai izin hiburan tersebut,
sudah masuk dalam 15 prolegda tahun ini, tapi yang dibahasnya hanya 13 Raperda,
untuk izin tempat hiburan ditunda. Karena semua fraksi masih belum secara bersama
menerima pembahasan Raperda ini. Selain itu, masih ada penolakan dari masyarakat.
Di kota-kota lain pun sudah banyak tempat hiburan seperti di Provinsi Banten
sendiri yaitu di Kota Cilegon dan Kota Tangerang. Banyak sekali tempat hiburan baik
itu tempat hiburan anak-anak maupun hiburan malam yang biasanya disajikan di
dalam hotel-hotel berbintang. Demikian halnya dengan di Kota Serang, karena
membuka usaha tempat hiburan memang cukup menjanjikan. Dilihat dari segi
peminatnya cukup banyak yang meminati tempat hiburan alasannya karena untuk
refresh otak yang sudah penat dengan pekerjaan dan ada pula yang hanya sekedar untuk menghabiskan waktu bermain dengan teman-temannya serta tempat hiburan
merupakan salah satu investasi pemerintah daerah untuk menambah pendapatan asli
daerah melalui pajak hiburannya.
Pajak hiburan merupakan salah satu Pendapatan Asli daerah. Tempat hiburan
termasuk ke dalam pajak hiburan. Pajak hiburan ini banyak jenisnya yaitu yang telah
tertera di dalam Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 17 Tahun 2010 tentang pajak
daerah. Dimana disebutkan dalam pasal 15 bahwa objek pajak hiburan yaitu meliputi:
1. Tontonan film;
2. Pagelaran kesenian, musik, tari, dan busana;
3. Kontes kecantikan, binaraga, dan sejenisnya;
4. Pameran;
5. Diskotik, karaoke, klab malam, dan sejenisnya;
6. Sirkus, akrobat, dan sulap;
7. Permainan bilyar, golf, dan boling;
8. Pacuan kuda, kendaraan bermotor, dan permainan ketangkasan;
9. Panti pijat, refleksi, mandi uap/ spa, dan pusat kebugaran (fitness center); dan 10.Pertandingan olahraga termasuk futsal, sepak bola, bola voli, bola basket dan
sejenisnya.
Menyinggung masalah pajak hiburan, di Kota Serang Peraturan Daerah
mengenai pajak hiburan yang spesifik itu sendiri belum ada. Berdasarkan hasil
wawancara peneliti dengan Kepala Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah bahwa yang
dimaksud belum ada Peraturan Daerah mengenai pajak hiburan di sini yaitu tidak
bangunannya, aspek jam buka hingga tutupnya tempat hiburan, jenis makanan dan
minuman yang boleh diperjual-belikan, dan lain-lain.
Walaupun dengan tidak adanya Peraturan Daerah tentang perizinan usaha
tempat hiburan dan Peraturan Daerah tentang pajak hiburan secara spesifik, tidak
dapat dipungkiri bahwa sudah banyak tempat hiburan yang berdiri di Kota Serang ini.
Adapun data yang didapat peneliti dari Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah (DPKD)
Kota Serang adalah seperti tertera pada tabel 1.1 berikut:
Tabel 1.1
Data Wajib Pajak Hiburan Tahun 2014
No. Nama tempat hiburan Kecamatan Objek Pajak
1. Celebrity Salon & Aerobic Serang Pusat Kebugaran
2. Sanggar Senam Azalia Serang Pusat Kebugaran
3. Jurassic Island Serang Permainan ketangkasan
3. Matahari Graha Fantasi Time Zone (MOS) PT Serang Permainan ketangkasan
4. Zona 2000 Serang Permainan ketangkasan
6. Merdeka Serang I AC Serang Permainan ketangkasan
7. Sundindo Primaland PT. Cipocok Jaya Taman rekreasi
8. Mutiara Water Park Cipocok Jaya Taman Rekreasi
9. CV. Nur Alfan Serang Permainan bilyar
10. Mall Serang Bilyard Serang Permainan bilyar
11. Pelantha Bilyard Serang Permainan bilyar
12. Pelita Bilyard Serang Permainan bilyar
13. Royal Bilyard Serang Permainan bilyar
14. Radar Banten Arena Futsal Serang Pertandingan olahraga
15. Flamengo Futsal Serang Pertandingan olahraga
16. CIA Futsal Serang Pertandingan olahraga
17. Yumaga Sport Centre Serang Pertandingan olahraga
18. Wangsa Jaya Futsal Serang Pertandingan olahraga
19. One Futsal Cipocok Jaya Pertandingan olahraga
20. Tribens Futsal Walantaka Pertandingan olahraga
Berdasarkan data yang peneliti peroleh dari Dinas Pengelolaan Keuangan
Daerah Kota Serang, bahwa terdapat kurang lebih 20 (dua puluh) tempat hiburan
yang telah menjadi wajib pajak dan yang artinya dari data tersebut pula dapat
diketahui banyaknya tempat hiburan yang ada di Kota Serang. Dari pajak hiburan
tersebut, secara tidak langsung para investorpun telah membantu pemerintah untuk
membangun pembangunan daerah. Memang sangat menguntungkan bagi para
investor yang berinvestasi di Kota Serang ini, dikarenakan beberapa faktor yakni di
Kota Serang ini masih banyak lahan usaha yang dapat dibangun sehingga para
investor berlomba-lomba untuk membuka usaha terutama usaha tempat hiburan ini.
Terlebih lagi Kota Serang yang baru menjadi kota ini membutuhkan banyak sekali
pendapatan yang mesti didapat sehingga pemerintah harus gencar-gencarnya
mendatangkan investor dan meyakinkan investor untuk berinvestasi di sini.
Dilihat dari faktor tersebut, peneliti kurang yakin akan data yang peneliti
dapatkan dari Dinas Pengelolaan Daerah Kota Serang tersebut sehingga peneliti
melakukan observasi langsung ke seluruh daerah di Kota Serang. Dari observasi
awal yang peneliti lakukan, ternyata peneliti menemukan beberapa tempat hiburan
yang tidak terdaftar namanya di data Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah Kota
Serang. Adapun data yang peneliti temukan di lapangan adalah seperti yang tertera
Tabel 1.2
Data Tempat Hiburan yang Tidak Terdaftar di Kota Serang Tahun 2014
No Nama Tempat Hiburan Kecamatan Jenis objek hiburan
1. Waterbom tembong jaya Cipocok Taman rekreasi
2. Oktav Karaoke Cipocok Karaoke
3. Olala Resto Cipocok Karaoke
4. Savana karaoke Serang Karaoke
5. Karaoke roberta Serang Karaoke
6. Nagurata Serang Karaoke
7. D’Wiza Cafe dan Karaoke Serang Karaoke
8. Fn- one bilyard and Karaoke Serang Karaoke dan bilyar
9. Rau sport center Serang Pertandingan olahraga
10. Mas futsal Serang Pertandingan olahraga
11. RTC Futsal Serang Pertandingan olahraga
12. Faiz futsal Kasemen Pertandingan olahraga
13. Bintang futsal Serang Pertandingan olahraga
14. Futsal Kenewae Serang Pertandingan olahraga
15. Sunny Salon dan spa Serang Spa
16. Sehati salon dan spa Serang Spa
17. Rossy’s spa Serang Spa
18. Diva Salon dan spa Serang Spa
19. Sari salon Serang Spa
20. Puspita gym Serang Pusat kebugaran
21. Rossy’s Gym & fitness Serang Pusat kebugaran
22. Royal Gym Serang Pusat kebugaran
23. La-sherly gym Serang Pusat kebugaran
Sumber: Hasil Observasi Peneliti, 2014
Berdasarkan data yang peneliti temukan di Lapangan, masih banyaknya
tempat hiburan yang tidak tertera sebagai wajib pajak dan kemungkinan Dinas
Pengelolaan Keuangan Daerah tidak memungut pajak ke tempat hiburan tersebut.
adalah sebanding dengan data yang peneliti dapatkan dari Dinas Pengelolaan
Keuangan Daerah.
Dari data di atas, peneliti kemudian melakukan wawancara ke salah satu
pengelola tempat hiburan yaitu tempat karaoke. Menurut pengakuan Pengelola
Karaoke di Kota Serang pada tanggal 03 Oktober 2013, di tempat karaoke ini hanya
memiliki Surat Izin Usaha dari kecamatan saja. Tempat ini membuka dua usaha
sekaligus di dalamnya yakni karaoke dan restoran. Pengelola tempat karaoke ini
mengakalinya dengan membuka restoran di dalamnya walaupun hanya terdapat
makanan-makanan kecil saja seperti kentang goreng dan minuman bersoda lainnya.
Sebenarnya restoran ini hanya untuk menutupi tempat karaoke yang ada, agar tempat
karaoke ini hanya menjadi fasilitas dari restoran padahal kenyataannya adalah
sebaliknya. Itupun karena usulan dari Dinas terkait dan pajak yang dikenakan tempat
karaoke ini hanya pajak restoran serta tarif pajak yang dikenakan sebesar 10% dari
pendapatan mereka setiap bulan.
Pada observasi selanjutnya tertanggal 04 Oktober 2013, peneliti
mewawancarai ke jenis tempat hiburan lainnya yaitu futsal. Mengenai pengenaan tarif
pajak dari futsal itu sendiri yaitu sebesar 7% dari pendapatan. Peneliti menemukan
bahwa ada tempat futsal yang terdata di Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah itu
pajak yang dikenakan yaitu flat setiap bulannya, bukan berdasarkan tarif yang ditentukan di dalam Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 17 Tahun 2010. Peneliti
ini bahwa tarif pajak yang dikenakan yaitu hanya sebesar Rp.750.000,- dan rutin
setiap bulannya.
Kemudian sama halnya dengan wajib pajak futsal, peneliti mewawancarai
pengelola tempat hiburan lainnya di Kota Serang, yaitu Billyard. Menurut pengakuan pengelola tempat hiburan ini pada tanggal 05 Oktober, pengelola mengaku bahwa
mengenai izin usaha tempat ini memang tidak memiliki izin usaha tempat hiburan,
hanya saja seperti tempat hiburan lainnya hanya memiliki izin usaha dari kecamatan
saja. Mengenai tarif pajak, tempat ini dikenakan sebesar Rp.2.000.000 (dua juta
rupiah) setiap bulannya bukan berdasarkan penghasilan yang didapat. Pengelola
tempat hiburan billyard ini mengemukakan bahwa perizinan usaha dan pajak di Kota Serang ini terutama pada tempat hiburan ini masih abu-abu karena tidak ada
kepastian hukum dan tarif yang mesti dibayar.
Dari permasalahan di atas, peneliti mendapatkan realisasi penerimaan
pendapatan mengenai pajak hiburan dari Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah Kota
Serang dari bulan Oktober sampai dengan bulan Desember pada Tahun Anggaran
Tabel 1.3
Realisasi Penerimaan Pendapatan Pajak Hiburan Bulan Oktober – Desember Tahun Anggaran 2013
No Jenis tempat hiburan pajak Tarif
(%) Realisasi (Rp) Target (Rp)
1. Permainan bilyard 20 10.700.000,- 40.200.000,-
2. Permainan ketangkasan 10 60.528.487,- 177.000.000,-
3. Pusat kebugaran 10 1.872.000,- 10.000.000,-
4. Pertandingan olahraga 7 11.730.688,- 50.000.000,-
5. Taman rekreasi 10 31.758.350,- 202.000.000,-
6. Karaoke 40 - -
7. Pagelaran
musik/tarian/busana 20 - 3.000.000,-
JUMLAH 116. 589.525,- 482.200.000,-
Sumber: Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah Kota Serang, 2013
Berdasarkan data tabel yang peneliti dapatkan di atas, bisa dilihat bahwa di
setiap jenis tempat hiburan tidak ada yang mencapai target yang diharapkan.
Dikarenakan permasalahan yang tadi sudah peneliti jabarkan di atas. Adapun pada
poin 6 mengenai jenis hiburan karaoke tidak ada realisasi bahkan target yang dicapai,
itu dikarenakan Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah tidak memungut pajak jenis
hiburan tersebut mereka hanya memungut pajak dari restorannya saja karena
Peraturan Daerah mengenai perizinan tempat hiburan seperti karaoke, rumah
bernyanyi dan semacamnya itu belum ada. Seharusnya daerah masih bisa
mendapatkan pendapatan yang lebih dari realisasi yang telah diterima, tetapi karena
masih banyaknya tempat hiburan yang tidak terdata sebagai wajib pajak hiburan
maka banyak pula pendapatan yang tidak masuk ke dalam pendapatan asli daerah
yang mana dari pendapatan tersebut dapat membantu daerah untuk melakukan
Berdasarkan permasalahan yang peneliti temukan di atas, bahwa masih
banyaknya wajib pajak terutama pajak hiburan yang masih belum patuh akan
kewajiban dalam membayar pajak. Dari hal tersebut, maka peneliti mengambil judul
mengenai “Analisis Kepatuhan Administrasi Pajak bagi Wajib Pajak Hiburan di
Kota Serang”.
1.2 Identifikasi Masalah
Dari latar belakang di atas, dapat didefinisikan sebagai suatu pernyataan yang
dijadikan sebagai sebuah identifiksasi masalah yaitu:
1. Perbandingan data DPKD dan peneliti, banyak tempat hiburan yang tidak
terdata;
2. Penentuan jenis pajak yang dikenakan tidak sesuai;
3. Penetapan standar tarif pajak yang dikenakan tidak sesuai.
1.3 Batasan Masalah
Dalam pembatasan masalah ini, peneliti hanya melakukan penelitian tentang
analisis kepatuhan administrasi pajak bagi wajib pajak hiburan di Kota Serang.
1.4 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, identifikasi serta batasan masalah di atas, maka
rumusan masalah dari penelitian ini yaitu bagaimana kepatuhan administrasi pajak
1.5 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui kepatuhan administrasi
pajak bagi wajib pajak hiburan di Kota Serang.
1.6 Manfaat Penelitian
1.6.1 Secara Teoritis
a. Menambah ilmu pengetahuan melalui penelitian yang dilaksanakan
sehingga memberikan kontribusi pemikiran bagi pengembangan ilmu
administrasi negara di ranah manajemen publik khususnya mengenai
perpajakan.
b. Dapat dijadikan sebagai acuan untuk pengembangan ilmu administrasi
khususnya perpajakan. Dalam artian setiap hasil yang didapatkan dari
penelitian ini bisa kita kembangkan menjadi suatu ilmu yang terkonsep
dan nantinya dapat dijadikan sebagai bahan acuan untuk penelitian
selanjutnya.
1.6.2 Secara Praktis
a. Bagi Peneliti
Memberikan kesempatan peneliti untuk mengaplikasikan ilmu
administrasi perpajakan dan teori perpajakan yang telah dipelajari selama
b. Bagi Instansi
Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat memberikan saran dan
masukan kepada Instansi dalam mengoptimalkan kinerja sesuai dengan
peraturan daerah.
c. Bagi Pengelola Tempat Hiburan
Diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai
pentingnya membayar pajak khususnya pajak hiburan guna pembangunan
2.1 Deskripsi Teori
Deskripsi teori adalah mengkaji berbagai teori yang relevan dengan
permasalahan yang sedang peneliti kaji, kemudian menyusunnya secara teratur
dan rapi yang digunakan untuk merumuskan fenomena permasalahan. teori itu
sendiri merupakan alur logika atau penalaran, yang merupakan seperangkat
konsep, definisi, dan proposisi yang disusun secara sistematis. Secara umum teori
mempunyai tiga fungsi yaitu untuk menjelaskan (explanation), meramalkan
(prediction), dan pengendalian (control) suatu gejala.
Dalam penelitian ini, peneliti mengkaji mengenai pajak daerah yang
berupa pajak hiburan. Dimana pajak hiburan merupakan Pendapatan Asli Daerah.
Dari hasil kajian maka peneliti bisa melihat bagaimana kepatuhan wajib pajak
untuk meningkatkan pendapatan daerah. untuk itu harus ada teori yang relevan
2.1.1 Administrasi Perpajakan
Administrasi pajak (Ismawan, 2001:82) mengemukakan bahwa prinsip
administrasi pajak yang diterima secara luas menyatakan bahwa tujuan yang ingin
dicapai adalah kepatuhan sukarela. Kepatuhan sukarela merupakan tulang
punggung sistem self assessment dimana wajib pajak bertanggung jawab menetapkan sendiri kewajiban pajaknya dan kemudian secara akurat dan tepat
waktu membayar dan melaporkan pajak tersebut. Kepatuhan sebagai fondasi self assessment dapat dicapai apabila elemen-elemen kunci telah diterapkan secara efektif. Elemen-elemen kunci (Ismawan, 2001:83) tersebut adalah sebagai berikut:
a. Program pelayanan yang baik kepada wajib pajak.
b. Prosedur yang sederhana dan memudahkan wajib pajak.
c. Program pemantauan kepatuhan dan verifikasi yang efektif.
d. Pemantapan law enforcement secara tegas dan adil.
Administrasi perpajakan memiliki peran penting dalam rangka menunjang
keberhasilan suatu kebijakan perpajakan yang telah diambil. Administrasi pajak
adalah segala urusan administrasi sebagai salah satu instrumen pelaksanaan di
bidang perpajakan dalam rangka menjalankan fungsi pelayanan masyarakat,
pengawasan masyarakat dalam rangka pelaksanaan kewajiban perpajakan, dan
pembinaan dari pelaksanaan pengawasan dimaksud (Gunadi, 2005:2).
Dalam administrasi perpajakan memiliki tahapan-tahapan yang harus
dimiliki yaitu tahapan-tahapan dalam administrasi perpajakan mencakup
1. Melakukan Pendataan/Identifikasi Subjek dan/atau Objek Pajak. Pada
tahap pertama ini yang perlu dilakukan adalah mengidentifikasi subjek
atau objek dari masing-masing jenis pajak yang akan dipungut. Tahap ini
perlu dilakukan karena pada tahap inilah jumlah subjek atau objek dari
suatu pajak ditentukan. Pengidentifikasian objek dan subjek pajak
terutama perlu dilakukan terhadap jenis-jenis pajak yang objeknya relatif
lebih mudah untuk dilakukan.
2. Pemeriksaan Wajib dan Objek Pajak. Untuk mengetahui wajib pajak yang
belum memenuhi kewajibannya dibutuhkan sistem pencatatan yang baik,
dalam arti kelalaian pajak dapat segera diketahui dari pencatatan tersebut
sehingga dapat dilakukan pemeriksaan silang dengan jenis-jenis pajak
daerah yang lain. Jadi setelah mendata subjek dan objek pajak tersebut,
maka dilakukanlah penilaian oleh petugas pemeriksaan dinas luar terhadap
keberadaan subjek dan objek pajak yang telah teridentifikasi tersebut.
Pemeriksaan ini sangat diperlukan sebagai sarana untuk memperkirakan
jumlah pendapatan yang akan diterima dari suatu objek pajak tertentu dan
juga sebagai sarana untuk melakukan penetapan pajak terutang bagi objek
pajak yang tidak terdata dengan baik.
3. Penetapan Nilai Pajak Terutang. Penetapan nilai pajak terutang lebih
mudah dilakukan terhadap subjek dan objek pajak yang telah terdata
dengan baik. Oleh karena itu, penetapan nilai pajak terutang juga harus
memperhatikan aturan-aturan objek yang berlaku misalnya dengan nilai
terutang akan sangat membantu jika tarif yang berlaku ialah tarif
advolerem, yakni penetapan tarif dengan presentase tertentu dari nilai objek pajak. Kesederhanaan perhitungan dan tingkat kepastian yang tinggi
terhadap nilai pajak terutang akan dapat menutup ruang gerak bagi fiskus
untuk melakukan korupsi dan kolusi.
4. Melakukan Penagihan atau Penerimaan Setoran Pajak. Tahap ini
merupakan tahap dimana instansi yang berwenang melakukan pemungutan
pajak atau menerima setoran pajak dari wajib pajak sesuai dengan
besarnya nilai pajak terutang yang harus dibayar. Sesuai dengan
perkembangan yang terjadi dalam sistem perpajakan, aktivitas penagihan
pajak telah bergeser menjadi pelayanan terhadap wajib pajak yang
melakukan penyetoran pajak. Demikian pula, setoran pajak terutang tidak
perlu lagi harus dilakukan di kantor-kantor pelayanan pajak yang
disediakan oleh Pemerintah Daerah melainkan dapat dilakukan di berbagai
tempat. Namun demikian, kemungkinan masih diperlukannya cara
penagihan secara langsung oleh petugas pajak juga masih tinggi karena
pajak-pajak tertentu masih sulit untuk menerapkan self assessment system
secara penuh.
Suatu administrasi perpajakan dapat dikatakan sukses apabila mencapai
sasaran yang diharapkan dalam menghasilkan penerimaan pajak yang optimal
dikarenakanan administrasi perpajakannya mampu dengan efektif melaksanakan
sistem perpajakan suatu negara. Dalam (Gunadi, 2003: 3) administrasi pajak
1. Wajib pajak yang tidak terdaftar (unregistered taxpayers). Dengan administrasi pajak yang efektif akan mampu mendeteksi dan menindak
dengan sanksi tegas bagi masyarakat yang telah memenuhi ketentuan
menjadi wajib pajak akan tetapi belum terdaftar. Penambahan jumlah
wajib pajak akan meningkatkan jumlah penerimaan pajak.
2. Wajib pajak yang tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan dan
Masa (SPT dan SPM). Administrasi perpajakan efektif akan dapat
mengetahui penyebab wajib pajak tidak menyampaikan SPT melalui
pemeriksaan pajak. Masalah ini biasa muncul pada pajak yang
menggunakan sistem self-assessment.
3. Penyelundupan pajak (tax evaders). Penyelundup pajak adalah wajib pajak yang melaporkan/membuat jumlah pajaknya lebih kecil dari yang
seharusnya.
4. Penunggak Pajak. Wajib pajak yang tidak menyetorkan pajak terhutangnya
cukup lama sampai melewati batas waktu yang ditetapkan. Upaya
pencairan tunggakan pajak dapat dilakukan melalui pelaksanaan tindakan
penagihan secara intensif dalam set administrasi pajak yang baik akan
2.1.2 Pajak
2.1.2.1 Definisi Pajak
Secara sederhana pengertian pajak Menurut Peraturan Daerah Kota Serang
Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah bab I Ketentuan Umum Pasal 1
bahwa:
“Pajak daerah yang selanjutnya disebut pajak, adalah kontribusi wajib pajak kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Pajak daerah adalah kontribusi dari para wajib pajak kepada daerah yang
bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang serta wajib pajak tidak
mendapatkan imbalan secara langsung, dan dari pajak tersebut digunakan untuk
keperluan daerah untuk kemakmuran rakyat itu sendiri.
Adapun menurut Adriani dalam (Zain, 2008:10) menyatakan bahwa pajak
adalah:
“…..iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan umum (undang-undang) yang tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.”
Pajak adalah iuran dari masyarakat (wajib pajak) kepada negara yang
bersifat memaksa dalam peraturan umum yang digukanakan untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran umum dan para wajib pajak tidak mendapat prestasi
Adapun menurut Ray, Herschel & Horace dalam (Mohammad Zain,
2008:11) menyatakan bahwa pajak adalah:
“….suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan.”
Pajak adalah pengalihan sumber dari para pengusaha kepada pemerintah
yang bersifat wajib bukan dikarenakan pengusaha tersebut telah melanggar
hukum tetapi berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan oleh negara agar
pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya dan pengusaha tersebut tidak
mendapat imbalan yang langsung dari pengalihan sumber tersebut.
Sedangkan, definsi pajak menurut Somawirata dalam (Rahmawati,
2012:130) ialah:
“….iuran yang ditentukan secara sepihak oleh penguasa dan pihak lain diimbangi dengan jasa istimewa untuk membiayai pengeluaran negara, pemungutannya digunakan untuk kepentingan umum.”
Pajak adalah iuran yang ditentukan secara sepihak yaitu dari pihak
pemerintah kepada para wajib pajak (masyarakat) untuk membiayai pengeluaran
negara serta digunakan untuk kepentingan bersama. Berdasarkan definisi-definisi
diatas, dapat peneliti simpulkan bahwa pajak adalah iuran wajib dari rakyat untuk
negara yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang guna membiayai
2.1.2.2 Wajib pajak
Wajib pajak adalah orang pribadi atau badan meliputi pembayar
pajak,pemotong pajak,dan pemungut pajak yang mempunyai hak dan kewajiban
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk
melakukan kewajiban perpajakan termasuk pemungut pajak dan pemotong pajak
tertentu (pasal 1 butir 2 UU KUP). Yang wajib mempunyai NPWP adalah wajib
pajak (subyek pajak penghasilan).
Jadi orang atau badan yang bertempat tinggal di Indonesia, yang menerima
atau memperoleh penghasilan bagi perorangan yang jumlahnya setahun
melampaui batas pajak yaitu yang mempunyai penghasilan melebihi penghasilan
Tidak Kena Pajak wajib mempunyai NPWP walaupun kepadanya belum atau
tidak di kenakan pajak atau belum atau tidak di berikan Surat Ketetapan Pajak.
Kewajiban dari wajib pajak yang utama adalah membayar pajak sendiri
dan memungut atau memotong pajak orang lain dan kemudian menyetorkannya
kepada negara melalui bank atau kantor pos. Wajib pajak di kelompokkan
menjadi:
1. Wajib pajak orang pribadi
2. Wajib pajak badan
3. Wajib pajak pemotong/pemungut
Adanya kewajiban pajak subyektif,yaitu di mulai pada saat :
a. Orang pribadi tersebut di lahirkan;
b. Berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam 12 bulan,atau berniat untuk
c. Badan yang didirikan atau berkedudukan di Indonesia;
d. Warisan yang belum di bagi dalam satu kesatuan, menggantikan yang
berhak;
e. Subyek pajak luar negeri,orang pribadi tidak tinggal di Indonesia kurang
dari 183 hari dalam 12 bulan;
f. Bentuk usaha tetap (BUT) atau badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia.
2.1.3 Kepatuhan Perpajakan
2.1.3.1 Definisi Kepatuhan
Secara sederhana, menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia dikutip dalam
(Rahayu, 2010: 138) menyatakan bahwa:
“Istilah kepatuhan berarti tunduk atau patuh pada ajaran atau aturan. Dalam perpajakan kita dapat memberi pengertian bahwa kepatuhan perpajakan merupakan ketaatan, tunduk dan patuh serta melaksanakan ketentuan perpajakan.”
Adapun menurut Milgram dikutip dalam (Chaizi Nasucha, 2004: 130)
Kepatuhan pada otoritas atau aturan-aturan.
Sedangkan, menurut Sapri Nurmantu (2003), bahwa kepatuhan perpajakan
dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi semua
kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya. Ada dua macam
1. Kepatuhan formal
Kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi
kewajiban secara formal sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang
perpajakan.
2. Kepatuhan material
Kepatuhan material adalah suatu keadaan dimana wajib pajak secara
substantive atau hakekatnya memenuhi semua ketentuan material
perpajakan, yakni sesuai isi dan jiwa undang-undang perpajakan.
Kepatuhan material dapat juga meliputi kepatuhan formal.
Berdasarkan definisi-definisi yang dikemukakan oleh para ahli maka dapat
disimpulkan bahwa kepatuhan perpajakan adalah dimana wajib pajak taat untuk
membayar kewajibannya sebagai wajib pajak terhadap hukum dan peraturan
sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Undang-undang.
2.1.3.2 Teori Kepatuhan Wajib Pajak
Adapun beberapa Teori kepatuhan yang dikemukakan oleh para ahli
adalah sebagai berikut:
Menurut Nasucha (2004: 148- 149) kepatuhan terdiri dari:
a. Aspek yuridis, yaitu kepatuhan wajib pajak dilihat dari ketaatan terhadap
prosedur administrasi perpajakan yang ada.
b. Aspek psikologis, yaitu kepatuhan wajib pajak dilihat dari persepsi wajib
c. Aspek sosiologis, yaitu kepatuhan wajib pajak dilihat dari aspek sosial
sistem perpajakan.
Kemudian, menurut Erard dan Feinstein dalam Nasucha (2004: 141)
dalam kepatuhan pajak dilihat dari teori psikologi, yaitu
a. Rasa bersalah dan rasa malu
Dalam melakukan kewajiban perpajakannya, wajib pajak mengantisipasi
rasa bersalah ketika memikirkan penggelapan pajak dan lolos dari deteksi
dan perasaan malu ketika memikirkan penggelapan pajak dan kemudian
tertangkap.
b. Kewajaran dan keadilan beban pajak
Sistem perpajakan yang tidak adil mendorong wajib pajak untuk
merasionalisasi penggelapan pajak dan keadilan beban pajak mereka tidak
berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan mereka.
c. Kepuasan terhadap pelayanan pemerintah
Kepatuhan akan meningkat jika wajib pajak merasa bahwa mereka akan
menerima manfaat dari pengeluaran negara yang dibiayai dari pajak yang
mereka bayarkan.
Sedangkan dilihat dari perspektif hukum menurut Soekanto dalam
(Nasucha, 2004: 132) kepatuhan dapat mengandung empat proses utama berikut
ini:
umumnya terjadi melalui proses sosialisasi sehingga orang mengetahui
dan mematuhi kaidah-kaidah hukum tersebut.
b. Habituation, yaitu sikap lanjut dari proses sosialisasi diatas. Dimana dilakukan suatu sikap dan perilaku yang terus-menerus dilakukan secara
berulang-ulang sehingga menjadi suatu kebiasaan.
c. Utility, yaitu orang cenderung untuk berbuat sesuatu karena merasakan memperoleh manfaat dari sikap yang dilakukannya. Orang akan mematuhi
hukum karena merasakan kegunaan hukum untuk menciptakan keadaan
yang diharapkan.
d. Group identification, yaitu kepatuhan hukum didasarkan pada kebutuhan untuk mengadakan identifikasi dengan kelompok sosialnya. Kepatuhan
terhadap hukum dianggap merupakan saran yang paling tepat untuk
mengadakan identifikasi tersebut.
Kemudian sedangkan, Kepatuhan perpajakan yang dikemukakan oleh
Nowak sebagai ”suatu iklim” kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban
perpajakan tercermin dalam situasi dalam (Rahayu, 2010: 138 ) sebagai berikut:
a. Wajib pajak paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan
peraturan perundang- undangan perpajakan.
b. Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas.
c. Menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar.
2.1.3.3 Pentingnya Kepatuhan Perpajakan
Masalah kepatuhan wajib pajak adalah masalah penting di seluruh dunia,
baik bagi negara maju maupun di negara berkembang (Rahayu, 2010: 140).
Karena jika wajib pajak tidak patuh maka akan menimbulkan keinginan untuk
melakukan tindakan penghindaran, pengelakan, penyelundupan, dan pelalaian
pajak. Yang pada akhirnya tindakan tersebut akan menyebabkan penerimaan
pajak negara akan berkurang.
Kepatuhan wajib pajak dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kondisi
sistem administrasi perpajakan suatu negara, pelayanan pada wajib pajak,
penegakan hukum perpajakan, pemeriksaan pajak, dan tarif pajak. Wajib pajak
akan patuh (karena tekanan) karena mereka berfikir adanya sanksi berat akibat
tindakan ilegal dalam usahanya untuk menyelundupkan pajak. Tindakan
pemberian sanksi tersebut terjadi jika wajib pajak terdeteksi dengan administrasi
yang baik dan terintegrasi serta melalui aktivitas pemeriksaan oleh aparat pajak
yang berkompeten dan memiliki integritas tinggi, melakukan tindakan tax evasion. Penurunan tarif pajak juga akan mempengaruhi motivasi wajib pajak membayar pajak. Dengan tarif pajak yang rendah otomatis pajak yang dibayarpun
tidak banyak.
Kesadaran dan kepatuhan memenuhi kewajiban perpajakan tidak hanya
tergantung kepada masalah-masalah teknis saja yang menyangkut metode
pemungutan, tarif pajak, teknis pemeriksaan, penyidikan, penerapan sanksi
sebagai perwujudan pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan
negara dalam hal membayar pajak. Disamping itu juga tergantung pada kemauan
wajib pajak juga, sampai sejauh mana wajib pajak tersebut akan mematuhi
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Membayar pajak bukanlah merupakan tindakan yang semudah dan
sesederhana membayar untuk mendapatkan sesuatu (konsumsi) bagi masyarakat,
tetapi di dalam pelaksanaannya penuh dengan hal yang bersifat emosional. Pada
dasarnya tidak seorangpun yang menikmati kegiatan membayar pajak seperti
menikmati kegiatan berbelanja. Disamping itu potensi bertahan untuk tidak
membayar pajak sudah menjadi taxpayers behavior.
2.1.3.4 Ketidakpatuhan Wajib Pajak
Penyebab wajib pajak tidak patuh dalam (Rahayu, 2010: 149) adalah
bervariasi, sebab utama adalah fitrahnya penghasilan yang diperoleh wajib pajak
yang utama ditujukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada saat telah
memenuhi ketentuan perpajakan timbul kewajiban pembayaran pajak kepada
negara. Pada umumnya kepentingan pribadi yang selalu dimenangkan.
Sebab yang lain adalah wajib pajak kurang sadar tentang kewajiban
bernegara, tidak patuh pada peraturan, kurang menghargai hukum, tingginya tarif
pajak dan kondisi lingkungan seperti kestabilan pemerintahan, dan penghamburan
keuangan negara yang berasal dari pajak. Disamping itu menurut Engel dalam
(Rahayu, 2010:149), beberapa hal yang berhubungan dengan tax evasion di
pelaksanaan sistem administrasi perpajakan), tax audit (pemeriksaan pajak),
imposed penalties (sanksi hukum), dan tax amenities (pengampunan pajak). Upaya-upaya pemerintah di seluruh dunia untuk mengurangi tax evasion
telah lama diadakan. (Nurmantu: 2003) untuk indonesia pada tahun 1972 melalui
SGATAR (Study Group on Asian Tax Administration and Research) telah
disidangkan di Jakarta dengan salah satu tema utama adalah Some Aspect of Income Tax Avoidance or Evation. Upaya untuk mengurangi tax evasion lebih dini pada tingkat yang lebih mengglobal telah diadakan oleh IFA pada tahun 1980
di Paris dengan tema yang lunak yakni The Dialogue between the tax administration and the taxpayer up to the filling of the tax return.
Ketidakpatuhan secara bersamaan dapat menimbulkan upaya
menghindarkan pajak secara melawan hukum atau tax evasion. Perilaku wajib pajak yang tidak sepenuhnya memenuhi kewajiban perpajakannya oleh Herber
(Nurmantu, 2003) dibedakan menjadi tiga yakni tax evasion, tax avoidance dan
tax delinquency.
2.1.3.5 Batasan dan Persyaratan sebagai Wajib Pajak Patuh
Secara umum, kepatuhan dalam (Hutagaol, 2007: 306-308) dapat
dibedakan atas dua yaitu: kepatuhan formal dan kepatuhan material. Kepatuhan
formal merefleksikan pemenuhan kewajiban penyetoran dan pelaporan pajak
sesuai jadwal yang ditentukan. Sedangkan kepatuhan material lebih menekankan
Pengertian wajib pajak patuh diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 544/ KMK. 04/ 2000 sebagaiman diubah dengan Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 235/ KMK. 03/ 2003. Persyaratan wajib pajak patuh dibedakan
antara wajib pajak yang laporan keuangannya telah diaudit oleh akuntan publik
atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dengan yang
laporan keuangannya tidak diaudit.
Bagi wajib pajak yang laporan keuangannya tidak diaudit, dapat
mengajukan secara tertulis sebagai wajib pajak patuh paling lambat tiga bulan
sebelum tahun buku berakhir, dan dalam jangka waktu dua tahun pajak terakhir
memenuhi persyaratan berikut:
a. Menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2000 (selanjutnya disebut dengan UU KUP);
b. Dalam hal terhadap pajak pernah dilakukan pemeriksaan (tax audit), koreksi pada pemeriksaan yang terakhir untuk masing-masing jenis pajak yang
terutang paling banyak 10%.
2.1.3.6 Manfaat Predikat Wajib Pajak Patuh
(Rahayu, 2010: 142) menyatakan bahwa wajib pajak patuh adalah wajib
pajak yang sadar pajak, paham hak dan kewajiban perpajakannya dan diharapkan
peduli pajak yaitu melaksanakan kewajiban perpajakan dengan benar dan paham
sebagai suatu pemberian penghargaan bagi wajib pajak sudah pasti akan memberi
motifasi dan detterent effect yang positif bagi wajib pajak yang lain untuk menjadi wajib pajak patuh. Wajib pajak yang berpredikat patuh dalam pemenuhan
kewajiban perpajakannya tentunya akan mendapat kemudahan dan fasilitas yang
lebih dibandingkan dengan pemberian pelayanan pada wajib pajak yang belum
atau tidak patuh.
2.1.4 Pendapatan Asli Daerah
Terdapat tiga pilar utama dalam menopang keberhasilan manajemen
keuangan publik (Mahmudi, 2010:14), yaitu: manajemen pendapatan, manajemen
belanja, dan manajemen pembiayaan. Pengetahuan dan keahlian tentang
manajemen pendapatan bagi sektor publik sangat penting karena besar kecilnya
pendapatan akan menentukan kualitas pelaksanaan pemerintahan, tingkat
kemampuan pemerintah dalam penyediaan pelayanan publik serta keberhasilan
pelaksanaan program, dan kegiatan pembangunan. Pemerintah dituntut untuk
cerdas dalam menghasilkan dan mengelola sumber-sumber pendapatan tidak
sekedar pandai membelanjakan dan menghabiskan anggaran.
2.1.4.1 Siklus Manajemen Pendapatan Daerah
Tahapan siklus manajemen pendapatan daerah adalah identifikasi sumber,
1. Identifikasi Sumber Pendapatan
Pada tahap identifikasi, kegiatan yang dilakukan berupa pendataan
sumber-sumber pendapatan termasuk menghitung potensi pendapatan.
Identifikasi pendapatan pemerintah meliputi:
a. Pendataan objek pajak, subjek pajak, dan wajib pajak;
b. Pendataan objek retribusi, subjek retribusi, dan wajib retribusi;
c. Pendataan sumber penerimaan bukan pajak;
d. Pendataan lain-lain pendapatan yang sah;
e. Pendataan potensi pendapatan untuk masing-masing jenis pendapatan.
2. Adminstrasi Pendapatan
Administrasi pendapatan sangat penting dalam siklus manajemen
pendapatan sebab tahap ini akan menjadi dasar untuk melakukan koleksi
pendapatan. Pada tahap administrasi pendapatan, kegiatan yang dilakukan
meliputi:
a. Penetapan wajib pajak dan retribusi;
b. Penentuan jumlah pajak dan retribusi;
c. Penetapan Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah dan Nomor Pokok
Wajib Retribusi;
d. Penerbitan Surat Ketetapan Wajib Pajak dan Surat Ketetapan
Retribusi.
3. Koleksi pendapatan
Tahap koleksi pendapatan meliputi penarikan, pemungutan, penagihan,
dan retribusi daerah, dana perimbangan dari pemerintah pusat, maupun
sumber lainnya. Khusus untuk pemungutan pajak daerah dan retribusi
daerah dapat digunakan beberapa sistem, antara lain:
a. Self assessment system
b. Official assessment system
c. Joint Collection
4. Pencatatan (Akuntansi) Pendapatan
Setelah dilakukan pengumpulan pendapatan, tahap berikutnya adalah
pencatatan pendapatan ke dalam sistem akuntansi. Pada prinsipnya setiap
penerimaan pendapatan harus segera disetor ke rekening kas umum daerah
pada hari itu juga atau paling lambat sehari setelah dterimanya pendapatan
tersebut. Untuk menampung seluruh sumber pendapatan perlu dibuat satu
rekening tunggal, dalam hal ini rekening kas umum daerah. tujuan
pembuatan satu pintu untuk pemasukan pendapatan adalah untuk
memudahkan pengendalian dan pengawasan pendapatan. Selanjutnya
penerimaan pendapatan tersebut dibukukan dalam buku akuntansi, berupa
jurnal penerimaan kas, buku pembantu, buku kas besar, dan buku besar
penerimaan per rincian objek pendapatan. Kemudian, buku catatan
akuntansi teresbut akan diringkas dan dilaporkan dalam laporan keuangan
pemerintah daerah yaitu laporan realisasi anggaran, neraca, dan Laporan
5. Alokasi Pendapatan
Tahap terakhir siklus manajemen pendapatan adalah alokasi pendapatan,
yaitu pengambilan keputusan untuk menggunakan dana yang ada untuk
membiayai pengeluaran daerah yang dilakukan. Pengeluaran daerah
meliputi pengeluaran belanja, yaitu belanja operasi, dan belanja modal.
Maupun untuk pembiayaan pengeluaran yang meliputi pembentukan
cadangan, penyertaan modal daerah, pembayaran utang, dan pemberian
pinjaman daerah.
2.1.4.2 Sumber-sumber Pendapatan Daerah
Pemerintah daerah dengan payung hukum, peraturan perundangan berhak
memungut pajak daerah dan retribusi daerah. Bahkan pemerintah dapat memaksa
wajib pajak untuk membayar pajak dan memberikan sanksi apabila tidak patuh
pajak. Oleh karenanya, pendapatan di Pemerintah daerah relatif stabil. Meskipun
demikian, pemerintah daerah perlu melakukan manajemen pendapatan secara baik
agar diperoleh pendapatan secara optimal.
Menurut Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah;
dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah telah menetapkan sumber-sumber penerimaan
daerah, sebagai berikut:
1. PAD (Pendapatan Asli Daerah)
a. Pajak Daerah
c. Bagian laba pengelolaan aset daerah yang dipisahkan
d. Lain-lain PAD yang sah
2. Transfer Pemerintah Pusat
a. Bagi hasil pajak
b. Bagi hasil sumber daya alam
c. Dana Alokasi Umum
d. Dana Alokasi Khusus
e. Dana Otonomi Khusus
f. Dana penyesuaian
2.1.5 Pajak Daerah
Pajak daerah merupakan salah satu dari Pendapatan Asli Daerah. (Zain,
2008:13), menyatakan bahwa pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan
oleh orang pribadi atau badan kepala daerah tanpa imbalan langsung yang
seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan
daerah dan pembangunan daerah.
Pajak Daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau
badan kepala daerah tanpa imbalan langsung dan dapat dipaksakan berdasarkan
perundang-undangan yang berlaku guna membiaya pembangunan daerah.
Pajak Daerah terbagi menjadi dua yaitu:
1. Pajak Propinsi, yang mana terdiri dari:
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
d. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air
Pemukiman
2. Pajak Kabupaten/ atau Kota, yang mana terdiri dari:
a. Pajak Hotel
b. Pajak Restoran
c. Pajak Hiburan
d. Pajak Reklame
e. Pajak Penerangan Jalan
f. Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C
g. Pajak Parkir
h. Pajak Lain-lain
2.1.6 Pajak Hiburan
Pajak hiburan merupakan salah satu dari jenis pajak daerah. Pajak hiburan
adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan. Pajak hiburan dalam Siahaan (2008:
297) dapat pula diartikan sebagai pungutan daerah atas penyelenggaraan hiburan.
Pengenaan pajak hiburan tidak mutlak ada pada seluruh daerah kabupaten atau
kota yang ada di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan kewenangan yang diberikan
kepada Pemerintah Kabupaten/atau Kota. Mengingat kondisi kabupaten dan kota
di Indonesia tidak sama, termasuk dalam hal jenis hiburan yang diselengarakan,
daerah setempat harus mengeluarkan peraturan daerah tentang pajak hiburan yang
akan menjadi landasan hukum operasional dalam teknis pelaksanaan pengenaan
dan pemungutan pajak hiburan di daerah kabupaten atau kota yang bersangkutan.
2.1.6.1 Objek Pajak Hiburan
Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 17 Tahun 2010, objek pajak hiburan
adalah jasa penyelanggaraan hiburan dengan dipungut bayaran. Dengan demikian
objek pajak hiburan meliputi:
a. Pertunjukan film;
b. Pertunjukan kesenian;
c. Pertunjukan pagelaran;
d. Penyelenggaraan diskotik, musik hidup, karaoke, klab malam, ruang
musik, balai gita, pub, ruang selesa musik, klub eksekutif, dan
sejenisnya;
e. Permainan bilyar dan sejenisnya;
f. Permainan ketangkasan, termasuk mesin keping dan sejenisnya;
g. Panti pijat, mandi uap;
h. Pertandingan olahraga;
i. Penyelenggaraan tempat-tempat wisata, taman rekreasi, seluncur,
kolam pemancingan, pasar malam, sirkus, komedi putar yang
digerakkan dengan peralatan elektronik, kereta pesiar, dan sejenisnya;
serta
Penyelenggaraan hiburan yang dikenakan pajak dalam (Siahaan, 2008:
301) adalah penyelenggaraan hiburan yang memungut bayaran. Umumnya setiap
penyelengara hiburan harus mendapat izin tertulis dari Bupati/Walikota, kecuali
untuk wilayah DKI Jakarta diberikan oleh Gubernur. Pengajuan izin harus
diajukan secara tertulis sesuai dengan tata cara yang ditetapkan oleh kepala
daerah. Izin penyelenggara hiburan diberikan untuk jangka waktu tertentu dan
dapat diperpanjang. Izin tersebut tidak dapat dipindahtangankan, kecuali atas
seizin kepala daerah. Hal ini terkait juga dengan kewajiban perpajakan, yaitu
penyelenggara hiburan tersebut merupakan wajib pajak yang harus memenuhi
kewajiban perpajakan di bidang pajak hiburan.
2.1.6.2 Bukan Objek Pajak Hiburan
Pada pajak hiburan dalam Siahaan (2008: 301), tidak semua
penyelenggaraan hiburan dikenakan pajak. Ada beberapa pengecualian yang tidak
termasuk objek pajak yaitu penyelenggaraan hiburan yang tidak dipungut bayaran,
seperti hiburan yang diselenggarakan dalam rangka pernikahan, upacara adat, dan
kegiatan keagamaan.
2.1.6.3 Subjek dan Wajib Pajak Hiburan
Pada pajak hiburan, subjek pajak dalam Siahaan (2008: 301-302) adalah
orang pribadi atau badan yang menonton dan atau menikmati hiburan. Secara
sederhana subjek pajak adalah konsumen yang menikmati hiburan, sementara itu
wajib pajak adalah orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan hiburan.
Konsumen yang menikmati pelayanan tempat hiburan merupakan subjek pajak
yang membayar (menanggung) pajak sementara penyelenggara hiburan bertindak
sebagai wajib pajak yang diberi kewenangan untuk memungut pajak dari
konsumen (subjek pajak).
Dalam menjalankan kewajiban perpajakannya wajib pajak dapat diwakili
oleh pihak tertentu yang diperkenankan oleh undang-undang dan peraturan daerah
tentang pajak hiburan. Wakil wajib pajak bertanggung jawab secara pribadi dan
atau secara tanggung renteng atas pembayaran pajak terutang. Selain itu, wajib
pajak dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk
menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya.
2.1.6.4 Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Perhitungan Pajak Hiburan
1. Dasar pengenaan pajak hiburan
Dasar pengenaan pajak hiburan dalam Siahaan (2008: 302) adalah
jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar untuk menonton dan
atau menikmati hiburan. Pengertian yang seharusnya dibayar termasuk
pemberian potongan harga dan tiket cuma-cuma.
2. Tarif pajak hiburan
Tarif pajak hiburan dalam Siahaan (2008: 302) ditetapkan paling
tinggi sebesar tiga puluh lima persen dan ditetapkan dengan peraturan
daerah. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan keleluasaan kepada
pemerintah kabupaten/kota untuk menetapkan tarif pajak yang dipandang
sesuai dengan kondisi masing-masing daerah kabupaten/kota. Dengan
menetapkan besarnya tarif pajak yang mungkin berbeda dengan
kabupaten/kota lainnya asalkan tidak lebih dari tiga puluh lima persen.
Untuk mendukung pengembangan kesenian tradisional, hiburan berupa
kesenian tradisional umumnya dikenakan tarif pajak yang lebih rendah
dari hiburan lainnya.
Oleh karena objek pajak hiburan meliputi berbagai jenis hiburan,
pemerintah kabupaten/kota juga harus menetapkan tarif pajak untuk
masing-masing jenis hiburan, yang biasanya berbeda antar jenis hiburan.
Misalnya, suatu pemerintah daerah kota menetapkan besarnya tarif pajak
hiburan untuk setiap jenis hiburan sebagaimana berikut ini dalam
Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pajak
Daerah:
a. Pagelaran musik dan busana sebesar 20%;
b. Kontes kecantikan dan binaraga sebesar 20%;
c. Diskotik dan klab malam sebesar 60%;
d. Karaoke sebesar 40%;
e. Permainan ketangkasan sebesar 10%;
f. Sirkus, akrobat, dan sulap sebesar 10%;
g. Panti pijat, refleksi, dan mandi uap atau spa sebesar 35%;
h. Tontonan film sebesar 10%;
i. Pameran sebesar 5%;
j. Permainan bola sodok (bilyar) sebesar 20%;
l. Pacuan kuda, balapan kendaraan motor sebesar 10%;
m. Pusat kebugaran (fitness center) sebesar 10%;
n. Pertandingan olahraga, termasuk futsal, sepak bola, bola voli, bola
basket dan sejenisnya sebesar 7%.
3. Cara Perhitungan Pajak Hiburan
Besarnya pokok pajak hiburan dalam Siahaan (2008: 304-305)
yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan dasar
pengenaan pajak. Secara umum perhitungan pajak hiburan adalah sesuai
dengan rumus sebagai berikut:
Pajak Terutang = Tarif Pajak x Dasar Pengenaan Pajak
= Tarif Pajak x Jumlah Pembayaran untuk
Menonton/atau Menikmati Hiburan
Terdapat beberapa jenis hiburan yang dapat dipungut pajak hiburan
(Mahmudi, 2010: 24), antara lain bioskop, pertunjukan, konser musik, dan
sebagainya. Basis pajak hiburan sebagai dasar pengenaan pajak adalah omzet
penjualan tiket. Besarnya pajak hiburan adalah jumlah omzet penjualan tiket
dikalikan tarif pajak. Langkah-langkah menghitung pajak hiburan hampir sama
dengan pajak restoran, yaitu:
1. Mengidentifikasikan objek pajak hiburan.
3. Melakukan observasi untuk memperoleh data omzet penjualan tiket,
tingkat kunjungan, jumlah kursi tersedia, frekuensi pertunjukan, harga
tiket masuk, dan sebagainya.
4. Menghitung perkiraan omzet penjualan.
5. Menghitung potensi pajak restoran
2.1.7 Teori yang Mendukung Pemungutan Pajak
Beberapa teori yang mendasari pemungutan pajak adalah: (Rahmawati,
2012:131-132)
1. Teori Asuransi
Negara melindungi keselamatan jiwa, harta benda, dan hak-hak
rakyatnya. Oleh karena itu rakyat harus membayar pajak yang
diibaratkan sebagai suatu premi asuransi karena memperoleh jaminan
perlindungan tersebut.
2. Teori Kepentingan
Pembagian beban pajak kepada rakyatnya didasarkan pada
kepentingan (misalnya perlindungan) masing-masing orang. Semakin
besar kepentingan seseorang terhadap negara, makin tinggi pajak yang
harus dibayar.
3. Teori Daya Pikul
Beban pajak untuk semua orang harus sama beratnya, artinya pajak
harus dibayar sesuai dengan daya pikul masing-masing orang. Untuk
a. Pendekatan obyektif, dengan melihat besarnya penghasilan atau
kekayaan yang dimiliki oleh seseorang.
b. Pendekatan subyektif, dengan memperhatikan besarnya kebutuhan
materil yang harus dipenuhi.
4. Teori Bakti
Dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada hubungan rakyat
dengan negaranya. Sebagai warga negara yang berbakti, rakyat harus
selalu menyadari bahwa pembayaran pajak adalah sebagai suatu
kewajiban.
5. Teori Asas Daya Beli
Dasar keadilan terletak pada akibat pemungutan pajak. Maksudnya
memungut pajak berarti menarik daya beli dari rumah tangga
masyarakat untuk rumah tangga negara. Selanjutnya negara akan
menyalurkannya kembali ke masyarakat dalam bentuk pemeliharaan
kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian kepentingan seluruh
masyarakat lebih diutamakan.
2.1.8 Syarat Pemungutan Pajak
Pemungutan pajak hendaknya dilakukan secara proporsional, agar tidak
menimbulkan hambatan atau perlawanan dalam pemungutannya. Pemungutan