• Tidak ada hasil yang ditemukan

PAJAK PERTAMBAHAN NILAI 1 Pengertian Umum

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) termasuk sebagai salah satu cara pemungutan pajak atas konsumsi masyarakat. Dengan berlakunya UU No. 8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Barang dan Jasa serta Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tersebut menggantikan Pajak Penjualan.

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang berlaku saat ini berdasarkan UU Nomor 18 tahun 2000, tentang perubahan kedua atas UU No. 8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Peraturan lainnya yang bersifat mendasar adalah Peraturn pemerintah Nomor 143 tahun 2000 sebagai peraturan pelaksanaan Undang Undang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tersebut.

a. Merupakan pajak tidak langsung

Sifat ini memberikan suatu konsekuensi yuridis bahwa antara Pemikul Beban Pajak (destinataris pajak) dengan Penanggungjawab atas pembayaran pajak ke kas negara pada pihak yang berbeda. Pemikul beban pajak secara nyata berkedudukan sebagai pembeli Barang Kena Pajak (BKP) atau penerima Barang Kena Pajak (BKP), sedangkan penanggungjawab atas pembayaran pajak ke kas negara adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang bertindak selaku penjual Barang Kena Pajak (BKP).

b. Merupakan pajak obyektif

Yang dimaksud dengan pajak obyektif adalah suatu jenis pajak yang saat timbulnya kewajiban pajak ditentukan oleh faktor obyektif, yaitu adanya keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum yang dapat dikenakan yang disebut juga dengan nama obyek pajak. Sebagai pajak obyektif, timbulnya kewajiban untuk membayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ditentukan oleh adanya obyek pajak. Kondisi subyek pajak tidak ikut menentukan.

3. Penyerahan Kena Pajak

a. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dikenakan atas:

1. Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) di dalam daerah Pabean 2. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam daerah Pabean

3. Impor Barang Kena Pajak (BKP) 4. Ekspor Barang Kena Pajak (BKP)

5. Pemanfaatan Barang Kena Pajak (BKP) tidak berwujud dari luar daerah Pabean di dalam daerah Pabean

6. Pemanfaatan Barang Kena Pajak (BKP) dari luar daerah Pabean di dalam daerah Pabean.

b. Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) adalah:

1. Penyerahan hak atas Barang Kena Pajak (BKP) karena suatu perjanjian 2. Pengalihan BKP karena suatu perjanjian leasing dan perjanjian sewa beli 3. Penyerahan BKP kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang 4. Pemakaian sendiri dan atau pemberian cuma-Cuma

5. persediaan BKP dan aktiva yang masih tersisa saat pembubaran perusahaan.

6. Penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan penyerahan antar cabang 7. Penyerahan BKP secara konsinyasi

c. Tidak termasuk penyerahan Barang Kena Pajak dalah: 1. Penyerahan BKP kepada makelar

2. Penyerahan BKP untuk jaminan hutang piutang

3. Penyerahan pusat ke cabang atau sebaliknya dan penyerahan antar cabang bagi pengusaha yang mendapat ijin pemusatan.

4. Obyek Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Obyek Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dapat berupa barang atau jasa dengan ketentuan: a. Barang

Merupakan barang berwujud yang menurut sifat dan hukumnya dapat berupa barang bergerak dan barang tidak bergerak maupun barang tidak berwujud.

Sedangkan Barang Kena Pajak adalah barang bergerak, barang tidak bergerak atau barang tidak berwujud yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Pada prinsipnya semua barang adalah Barang Kena Pajak (BKP), kecuali ditentukan lain.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 144 tahun 2000 mengatur tentang jenis barang yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebagai berikut:

1) Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya.

2) Barang-barang kebutuhan pokok yang meliputi beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium.

3) Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung dan sejenisnya baik yang dikonsumsi ditempat maupun tidak, tidak termasuk makanan yang diserahkan oleh katering.

4) Uang, emas batangan dan surat berharga.

b. Jasa

Merupakan setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas, atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai.

Termasuk dalam pengertian jasa adalah kegiatan untuk menghasilkan barang sesuai pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk pemesan. Dalam pengertian jasa antara lain termasuk jasa borongan, jasa persewaan, jasa hiburan, biro perjalanan dan lain sebagainya.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 144 tahun 2000 mengatur tentang jenis jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebagai berikut:

1. Jasa dibidang pelayanan kesehatan medik

2. Jasa dibidang pelayanan sosial, kecuali yang bersifat komersial 3. Jasa pengiriman surat dan perangko

4. jasa dibidang perbankan, asuransi dan sewa guan usaha dengan hak opsi 5. Jasa dibidang keagamaan

6. Jasa dibidang pendidikan yang meliputi pendidikan umum, kejujuran profesional dan kursus-kursus

7. Jasa dibidang kesenian yang telah dikenakan pajak

8. Jasa dibidang penyiaran adalah jasa penyiaran radio dan televisi yang bersifat iklan dan tidak dibiayai oleh sponsir yang bertujuan komersial

9. Jasa komersial angkutan umum di darat dan air baik yang dilakukan oleh swasta atau pemerintah

10. Jasa dibidang tenaga kerja termasuk jasa penyediaan jasa penyelenggaraan latihan bagi tenaga kerja

11. Jasa dibidang perhotelan meliputi jasa persewaan kamarserta fasilitas yang terkait dengan kegiatan perhotelan untuk tamu, dan jasa persewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel

12. Jasa yang disediakan pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum.

5. Subyek Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Subyek Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang menyangkut pengertian pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam lingkungan perusahaan atau pekerjanya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah Pabean, melakukan usaha jasa atau memanfaatkan jasa dari luar daerah Pabean.

Pengusaha dapat berbentuk usaha perseorangan atau badang yang dapat berupa Perseroan Terbatas (PT), Perseroan Komanditer (CV), Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan nama dan bentuk apapun, persekutuan, perseroan atau perkumpulan lainnya, firma, kongsi, perkumpulan koperasi, yayasan, lembaga, Bentuk Usaha Tetap (BUT) dan bentuk usaha lainnya.

Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah pengusaha sebagaimana dimaksud diatas yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (PKP) dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 552/KMK.04/2000, tidak termasuk pengertian Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah pengusaha kecil yang selama tahun buku: a. Melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto tidak lebih dari

Rp. 360.000.000,- (tiga ratus enam puluh juta rupiah), atau

b. Melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto tidak lebih dari Rp. 180.000.000,- (seratus delapan puluh juta rupiah), atau

c. Melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak:

1) tidak lebih dari Rp. 360.000.000,- jika penyerahan Barang Kena Pajak lebih dari 50% dari seluruh peredaran

2) tidak lebih dari Rp. 180.000.000,- jika penyerahan Jasa Kena Pajak lebih dari 50% dari seluruh peredaran.

Catatan: Jumlah peredaran bruto tersebut diatas sejak tahun 2004 telah mengalami perubahan menjadi Rp. 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah) untuk Barang Kena Pajak (BKP) dan Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) untuk Jasa Kena Pajak (JKP).

Pengusaha kecil wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) apabila sampai dengan satu bulan dalam tahun buku, jumlah peredaran brutonya telah melewati ketentuan tersebut diatas yaitu selambat-lambatnya pada akhir bulan berikutnya. Pengusaha Kena Pajak (PKP) atau pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak memiliki kewajiban untuk memungut, menyetor dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sekaligus memiliki hak untuk mengkredit pajak masukan, kompensasi atau restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Sebaliknya pengusaha kecil dilarang untuk memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

6. Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dengan tarif 10% (sepuluh persen). 7. Mekanisme Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Setiap Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak diwajibkan memungut Pajak Keluaran (output tax) yang terutang.

Pada saat Pengusaha Kena Pajak tersebut diatas membeli Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dari Pengusaha Kena Pajak yang lain, juga membayar pajak yang terhutang, yaitu yang disebut juga Pajak Masukan (input tax).

Pada akhir Masa Pajak, Pajak Masukan (PM) tersebut dikreditkan dengan Pajak Keluaran (PK) sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam hal jumlah Pajak Keluaran (PK) lebih besar dari Pajak Masukan (PM), maka kekurangannya dibayar ke Kas Negara selambat-lambatnya tanggal 15 setelah akhir masa yang bersangkutan.

Apabila Pajak Keluaran (PK) sama dengan Pajak Masukan (PM), maka akan menghasilkan angka nol, sehingga Pajak Pertambahan Nilai (PPN) nihil.

Apabila Pajak Keluaran (PK) lebih kecil dibandingkan dengan Pajak Masukan (PM), maka akan menghasilkan angka negatif, sehingga dinamakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Lebih Bayar, atas kelebihan bayar tersebut dapat dikompensasi ke bulan berikutnya atau restitusi (diminta kembali).

PK > PM

Kurang Bayar

PK = PM

Nihil

Dokumen terkait