• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pandangan NU terhadap Wawasan Kebangsaan dan Khilafah Islamiyah Rasa kebangsaan adalah kesadaran berbangsa, yaitu rasa persatuan dan

PANDANGAN NU TERHADAP WAWASAN KEBANGSAAN DAN KHILAFAH ISLAMIYAH

G. Pandangan NU terhadap Wawasan Kebangsaan dan Khilafah Islamiyah Rasa kebangsaan adalah kesadaran berbangsa, yaitu rasa persatuan dan

kesatuan yang lahir secara alamiah karena adanya kebersamaan sosial yang tumbuh dari kebudayaan, sejarah dan aspirasi perjuangan masa lampau, serta kebersamaan dalam menghadapi tantangan sejarah masa kini. Dinamisasi rasa kebangsaan ini dalam mencapai cita-cita bangsa berkembang menjadi wawasan kebangsaan. Rasionalisasi rasa dan wawasan kebangsaan akan melahirkan suatu paham yang disebut nasionalisme kebangsaan atau paham kebangsaan, yaitu pikiran-pikiran yang bersifat nasional, bahwa suatu negara mempunyai ciri khas yaitu rela berkorban demi kepentingan tanah air atau semangat patriotisme. Wawasan kebangsaan mengandung pula tuntutan suatu bangsa untuk mewujudkan jati dirinya serta mengembangkan prilakunya sebagai bangsa yang meyakini nilai-nilai luhur budayanya, yang lahir dan tumbuh subur sebagai penjelmaan kepribadiannya.

116

Sejak K.H. Hasyim Asy’ari pulang dari Timur Tengah kondisi Indonesia masih dalam keadaan terjajah. Sementara khalifah yang berkedudukan di Istanbul Turki sebagai lambang kekuasaan kaum muslimin tidak mampu melindungi negara-negara Islam baik negara-negara-negara-negara Arab, Afrika Utara, Asia Selatan maupun Asia Tenggara dari penjajah negara-negara barat. Puncaknya sistem khilafah yang ketika itu disakralkan oleh kaum muslimin dihapus oleh Kemal Attaturk (Mustafa Kemal) pada tahun 1924. terhapusnya sistem khalifah meresahkan dan menghawatirkan para tokoh agama dan politik di hampir seluruh dunia Islam. Mereka bermaksud menghidupkan kembali sistem khalifah yang sudah dihapus itu.

Para pemimpin-pemimpin negara berkumpul di Kairo yang diprakarsai Raja Fuad I untuk menegakkan kembali sistem khilafah yang dihapus itu sekaligus memilih khalifah. Akan tetapi khilafah tersebut gagal ditegakkan kembali karena beberapa faktor:117

1. Utusan dari negara-negara Islam sudah tidak tertarik pada sistem khilafah yang dinilai tidak berbeda dengan kediktatoran dan kezaliman. Mereka lebih tertarik menegakkan syariat Islam dalam negara yang menganut ideologi nasionalisme dan demokrasi yang ditawarkan Barat.

2. Mereka menilai sudah lebih dari dua abad sistem khalifah tidak mampu melindungi kaum muslimin.

117

Imam Ghazali Said, Syaikh Hasyim Asy’ari antara khilafah dan nasionalisme, Risalah Nahdlatul Ulama, edisi ke- IV, h. 38.

lxxxi

3. Raja Fuad I sebagai pemrakarsa kongres berambisi untuk memegang jabatan khalifah, sementara di internal Mesir Raja Fuad I ditentang Partai Dusturiyin yang di antara pemikirnya adalah Syekh Ali Abdurraziq.

4. Rivalitas untuk jabatan khalifah antara Fuad I dari Mesir dan Raja Abdul Aziz dari Saudi Arabia, yang tidak menghasilkan deklarasi politik apapun.

Menurut Wakil Rais 'Am PBNU Tolhah Hasan, jika periode khilafah telah berakhir, maka kewajiban-kewajiban umat Islam adalah berusaha menemukan sistem baru yang merekonstruksi sistem dan mereaktualisasi nilai-nilai fundamental yang dilakukan pada masa khilafah pertama (musyawarah, keadilan, kejujuran, egaliter dan lain-lain). Oleh sebab itu, yang penting bukanlah mempertahankan kata-kata khalifah atau khilafah, tapi yang dipentingkan adalah subtansi dan isinya, yaitu kepemimpinan yang mencerminkan persatuan dan kesejahteraan bersama.118

Suatu istilah yang populer belakangan ini di kalangan Nahdliyin adalah "transnasionalisme". Istilah ini diperuntukkan bagi ideologi serta gerakan sosial politik dan keagamaan yang lintas negara. Namun dalam konteks NU, istilah "transnasionalisme" mengacu dan merujuk pada ideologi serta gerakan sosial politik dan keagamaan yang tunggal dan mendunia dari Timur Tengah. Maka dari itu, beberapa tahun terakhir NU kian mematangkan pemikiran dan gerakan untuk menghadapi ancaman ideologis dan massal dari kelompok transnasional tersebut.119

118

KH. Tolhah Hasan, Relistiskah Khilafah di Milenium Perubahan?, Risalah Nahdlatul Ulama, edisi ke- IV, h 62.

119

Muhyiddin Abdusshomad, "NU Vis A Vis Transnasionalisme", artikel diakses tanggal 10 Maret 2008 dari http://www.lakpesdam.or.id/index. php?id=185.

Ideologi transnasional dinilai PBNU potensial menghancurkan ideologi negara Pancasila, UUD 1945, dan NKRI. Ketua Umum PBNU, Hasyim Muzadi, menyebut Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin, dan al-Qaeda sebagai bagian dari

international political movement (gerakan politik dunia) yang tak memiliki akar budaya, visi kebangsaan, dan visi keumatan di Indonesia. Menurut Hasyim, organisasi-organisasi tersebut telah menjadikan Islam sebagai ideologi politik. Lebih jauh, Hasyim menengarai bermunculannya tendensi formalisasi agama sebagai indikator dari gerakan mereka. Padahal, tegas Hasyim, yang dilakukan mestinya bukan formalisasi melainkan substansialisasi agama, jika agama diformalkan dalam konteks negara Indonesia hanya akan mengacaukan sistem yang telah ada, karena tidak sesuai dengan kondisi negara Indonesia yang masyarakatnya heterogen.120

Warga Nahdliyyin sejak tahun 2006 sampai sekarang sudah merintis untuk menyadarkan pengangkatan isu Islam transnasional dalam berbagai forum organisasi. Salah satunya yang terakhir adalah Konferensi Wilayah PWNU Jawa Timur, 2-4 November 2007 yang mengangkat bahasan Khilafah Islamiyah dalam Bahtsul Masail NU. Ada tiga fokus persoalan yang diangkat dalam forum ilmiah Konferensi Wilayah PWNU Jawa Timur, 2-4 November 2007 yang mengangkat bahasan Khilafah Islamiyah dalam Bahtsul Masail NU. Pertama, ada tidaknya dalil nash yang mengharuskan pembentukan Khilafah Islamiyah. Kedua, hukum kelompok warga negara Indonesia yang berusaha untuk mengubah bentuk dasar hukum negara. Ketiga,

120

lxxxiii

apakah strategi integralisasi syariah Islam secara subtantif menyalahi prinsip tathbiq

(penerapan) syari'ah menempuh pola tadrij (bertahap). Para ulama NU sepakat bahwa pembentukan Khilafah Islamiyah tidak ada dalil nash yang mengharuskan. Bahkan mengubah bentuk dasar hukum negara bila diperkirakan menimbulkan mafsadah

yang lebih besar hukumnya tidak boleh. Apa yang dilakukan oleh NU dalam rangka mengintegralisasikan syariah dalam hukum nasional, tidak menyalahi prinsip tathbiq

syariah, bahkan dinilai lebih tepat bagi Indonesia yang majemuk ini.121

Dari sini nampak bahwa gerakan Hizbut Tahrir dengan perjuangannya menjadikan Islam sebagai dasar untuk mengatur tata sosial politik masyarakat serta ide dan pemikiran untuk menyatukan kembali dunia Islam dalam satu kepemimpinan khilafah dan membentuk Islam dalam Islamic global village. Sistem khilafah dianggap sebagai trade mark politik Islam yang harus ditegakkan dalam sebuah tata dunia yang tidak dibatasi oleh nasionalitas dan kebangsaan mulai terhimpit. Karena, tidak semua penduduk Indonesia khususnya Islam dapat menerima. Hal tersebut disebabkan karena Islam di Indonesia memiliki corak pemikiran yang beranekaragam, termasuk agama Islam.

Penyebab perbedaan wawasan kebangsaan NU dengan Khilafah Islamiyah adalah perbedaan sejarah. NU lahir karena didorong semangat kebangsaan yang tinggi, yakni didorong dengan adanya kepedulian untuk mempertahankan Islam yang ramah pada nilai budaya setempat, serta menghargai perbedaan agama, tradisi dan

121

Muhyiddin Abdusshomad, "NU Vis A Vis Transnasionalisme", artikel diakses tanggal 10 Maret 2008 dari http://www.lakpesdam.or.id/index. php?id=185.

kepercayaan. Sedangkan konsep Khilafah Islamiyah tidak berdasarkan negara dan bangsa, tetapi negara internasional yang disatukan oleh identitas Islam.

Menurut Said Aqil Siradj, NU tidak ingin mendirikan negara Islam. Said Aqil Siradj menjelaskan pada tahun 1936 NU mengadakan Muktamar di Banjarmasin, dalam muktamar itu dibahas tentang bentuk negara. Para kiai pada waktu itu merujuk pada kitab Buhgyatu al-Mustarsyidin yang menjelaskan bentuk negara damai (daru as-salam). Alasan pokok NU memilih Konsep Dâr as-Salâm adalah Piagam Madinah (Mistaq Madinah) yang di dalamnya berisi tentang perjajian dari berbagai macam suku dan kelompok agama untuk hidup bersama. Bahkan, dalam Piagam Madinah itu tidak ada kata Islam, dan juga tidak ada satupun ayat yang dikutip dari al-Qur'an. Piagam Madinah inilah yang cocok untuk Indonesia, sebab para tokoh pada waktu itu sepakat bahwa negara ini adalah negara kebangsaan, yaitu negara religius yang memberikan ruang terhadap ketuhanan.122 Setelah masa sepeninggal Rasul, model pemerintahan yang dijalankan berbeda-beda di antaranya khalifah, imarah, kesultanan. Islam tidak memberikan ketentuan yang baku tentang sistem pemerintahan, yang penting pemimpinnya adil, jujur dan melayani masyarakatnya dengan baik.

Perbedaan respons ke-Indonesia-an antara NU dan Islam transnasional dalam konteks ini bisa dipahami. Masing-masing memiliki akar sejarahnya sendiri-sendiri. NU berurat akar di Tanah Air, sedangkan Islam transnasional berurat akar di Timur

122

Said Aqil Siradj, Bukan Negara Islam tapi Negara Damai, Risalah Nahdlatul Ulama, edisi ke- IV, h. 28-30.

lxxxv

Tengah. Perbedaan akar sejarah tersebut berimplikasi terhadap pandangan, sikap dan tindakan eksistensi Indonesia. Menjadi hal yang wajar, apabila sense of belonging

NU lebih besar daripada Islam transnasional. Hal itu lantaran, NU mempunyai investasi besar dalam merawat dan membesarkan Indonesia dengan segala dinamika kehidupannya.123

Mengingat pluralnya kenyataan masyarakat Indonesia, maka masyarakat sipil sangat menekankan pentingnya pluralitas dalam kehidupan sosial dan politik, karena itu Nahdlatul Ulama menolak semua bentuk primordialisme, sektarianisme dan fanatisme. Dalam prinsip politik kenegaraan, dengan tegas prinsip primordialisme baik berdasarkan etnis, kelas atau agama ditolak, dan masyarakat sipil lebih mengetengahkan prinsip kewarganegaraan. Dalam prinsip ini semua warga punya kedudukan, hak dan kewajiban yang sama. Dengan demikian, masyarakat sipil dapat menghilangkan diskriminasi dalam habitat sosial. Oleh karena itu, menurut NU yang terpenting adalah pemerintahan harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan menerapkan prinsip-prinsip dasar yang dilakukan Rasulullah saw. dalam memimpin masyarakat yang tertuang dalam Piagam Madinah, serta tercermin dalam pengangkatan dan praktek kepemimpinan Khulafa al-Rasyidun. Prinsip-prinsip dasar tersebut adalah sebagai berikut: 124

123

Muhyiddin Abdusshomad, NU Vis A Vis Transnasionalisme.

124

1. Asy-Syura (musyawarah): pengambilan keputusan dengan mengikutsertakan pihak-pihak yang berkepentingan dalam urusan bersama, baik secara langsung maupun melalui perwakilan. (Ali Imran: 159, Syura: 38).

2. Al-Musawa (kesetaraan/equality): pandangan bahwa setiap orang mempunyai hak dan kedudukan yang sama tanpa adanya diskriminasi karena adanya perbedaan suku, ras, agama, jenis kelamin, kedudukan, kelas sosial dan lain-lain (al-Hujurat: 13).

3. Al-‘Adalah (keadilan/justice): menetapkan suatu keputusan baik berupa hukum, peraturan maupun kebijakan sesuai dengan hakikat kebenaran obyektif tanpa disadari pandangan dan kepentingan subyektif dan tidak bertentangan dengan al-mabadi’ al-khamsah (an-Nisa’: 135, al-Maidah: 8). 4. Al-Hurriyah (kebebasan/freedom): adanya jaminan bagi setiap orang untuk

menyampaikan pendapatnya dengan cara yang baik, bertanggung jawab dan

al-akhlaq al-karimah (at-Taubah 105).

Menurut penulis dari keterangan-keterangan di atas bahwa wawasan kebangsaan adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan bagi generasi penerus bangsa, yang bertugas meneruskan perjuangan-perjuangan orang-orang yang terdahulu dalam rangka membangun suatu negara menjadi negara yang maju, sejahtera dan tentram-damai, serta untuk menjaga dan melestarikan kultur bangsa di era globalisasi ini, agar kultur bangsa yang asli tidak tercampur dengan kultur bangsa luar yang dapat menghilangkan jati diri bangsa. Wawasan kebangsaan Nahdlatul Ulama bukan hanya dari segi toleransinya dalam beragama, tetapi juga kontribusinya pada pembentukan

lxxxvii

identitas suatu bangsa setelah merdeka dari penjajahan. Islam kebangsaan yang dikembangkan NU merupakan langkah maju guna mengakomodasi Islam di satu sisi, dan diskursus kebangsaan di sisi lain.

Dari paparan di atas, bahwa NU sebagai organisasi sosial keagamaan (jam'iyyah diniyah wa-ijtima'iyyah) Islam terbesar di Indonesia memiliki komitmen terhadap perjuangan para ulama-ulama untuk tetap menjaga NKRI dan asas Pancasila. Seperti rekomendasi Munas Alim Ulama dan Konbes NU di Surabaya Juli 2006; meneguhkan kembali Pancasila dan NKRI dilakukan karena ada upaya pengkroposan dan penggrogotan yang melemahkan NKRI, ini dilihat dari menipisnya komitmen ke-Indonesia-an di sebagian kalangan masyarakat, juga berkembang sentiment dan perilaku keagamaan yang ekstrim. Pancasila sebagai kehidupan dasar berbangsa dan bernegara mulai dikesampingkan. Dengan ini NU menegaskan kembali NKRI dengan dasar Pancasila merupakan bentuk final dari jerih payah perjuangan umat Islam Indonesia, sebagaimana diputuskan dalam Munas Alim Ulama NU di Situbondo pada tahun 1983 dan dikukuhkan Muktamar NU ke-27 di Situbondo pada tahun 1984.