• Tidak ada hasil yang ditemukan

Paradigma Pemikiran tentang Islam dan Politik

WAWASAN KEBANGSAAN DAN KHILAFAH ISLAMIYAH

B. Paradigma Pemikiran tentang Islam dan Politik

Politik merupakan salah satu dimensi dari sekian banyak dimensi ajaran Islam. Islam tidak hanya merupakan sistem kepercayaan dan sistem ibadah, tetapi juga sistem kemasyarakatan. Sebagai salah satu bagian dari aspek kemasyarakatan, politik yang diungkapkan dalam bentuk garis besar atau prinsip-prinsip umum saja,

61

M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1997), Cet. Ke-4, h. 334-335.

62

Ginanjar Kartasasmita, Pembangunan Untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan (Jakarta: Pustaka Cidesindo, 1996).

xlix

menimbulkan perbedaan interpretasi yang mengakibatkan beragamnya pemikiran dan aksi politik. Hal ini kemudian menjadi bahan perdebatan yang tak berkesudahan di kalangan para pemikir muslim. Menurut Mumtaz Ahmad, masalah-masalah yang mendapat sorotan tajam antara lain berkaitan dengan hakikat, karakteristik serta ruang lingkup suatu negara Islam dan sistem politik Islam yang khas.63

Sementara menurut John L. Esposito, tidak adanya model yang konkrit tentang apa yang disebut sebagai “Negara Islam” menjurus pada kebingungan dan ketidak-sepakatan. Kebingungan tersebut menurut Esposito disebabkan oleh empat faktor: (1) Negara yang didirikan oleh Nabi Muhammad Saw. di Madinah yang dipandang ideal ternyata tidak memberikan suatu model terperinci; (2) Pelaksanaan Khilafah pada Bani Ummayyah dan Bani Abbasiyyah hanya memberikan suatu kerangka mengenai lembaga-lembaga politik dan perpajakan; (3) Pembahasan mengenai rumusan ideal (hukum Islam dan teori politik) hanya menghasilkan rumusan idealis dan teoritis dari suatu masyarakat yang utopian; dan (4) Hubungan agama dan negara dari masa ke masa menjadi subjek bagi keragaman interpretasi. 64

Walaupun demikian, upaya untuk mencari rumusan ideal tentang negara dalam Islam terus diupayakan oleh para pemikir Islam. Menurut Dien Syamsuddin, bahwa upaya pencarian konsep ini mengandung dua maksud, yaitu: pertama, untuk menemukan idealitas Islam tentang negara yang menekankan pada aspek teoritis dan

63

Mumtaz Ahmad, (ed.), Masalah-masalah Teori Politik Islam, Alih Bahasa: Ena Hadi, (Bandung: Mizan, 1996), Cet. Ke-3, h. 15.

64

formal. Pandangan ini bermaksud untuk mencoba menjawab pertanyaan tentang bagaimana bentuk dari negara Islam. Menurut Dien, pendekatan ini berawal dari asumsi bahwa Islam memiliki konsep tertentu tentang negara. Kedua, untuk melakukan idealisasi dari perspektif Islam terhadap proses penyelenggaraan negara yang menekankan pada aspek praksis dan subtansial. Pandangan ini bermaksud untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana isi negara menurut Islam. Pendekatan ini didasarkan pada anggapan bahwa Islam tidak membawa konsep tertentu tentang negara, tetapi hanya menawarkan prinsip-prinsip dasar berupa etika dan moral.65

Hal yang hampir sama juga dikemukakan oleh Bahtiar Effendy. Menurut Bahtiar, bahwa pandangan tentang bentuk negara dalam Islam mengerucut pada dua spektrum pemikiran. Pada spektrum pemikiran yang pertama, terdapat kalangan yang beranggapan bahwa Islam harus menjadi dasar negara; bahwa syari’ah harus diterima sebagai konstitusi negara; bahwa kedaulatan politik ada di tangan Tuhan; bahwa gagasan tentang negara bangsa (nation state) bertentangan dengan konsep ummah

(komunitas Islam) yang tidak mengenal batasan-batasan politik dan kedaerahan, dan bahwa aplikasi prinsip syura berbeda dengan gagasan demokrasi yang dikenal dalam diskursus politik modern dewasa ini. Sementara spektrum pemikiran yang kedua, beberapa kalangan intelektual muslim berpendapat bahwa Islam tidak meletakkan

65

M. Dien Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, (Jakarta: Logos, 2001), Cet. Ke-1, h. 12.

li

suatu pola baku tentang teori negara (sistem politik Islam) yang harus dijalankan oleh umat.66

Dua hal pemikiran di atas selalu tarik-menarik. Di satu sisi sebuah tantangan realitas politik harus dijawab, sebaliknya di sisi lain sebuah tantangan idealitas agama yang harus dipahami juga sedang mencari jawaban. Subtansi pemikiran sebagai akibat perbedaan metodologi dan interpretasi di atas, menimbulkan polarisasi pemikiran politik Islam kontemporer.

Menurut Munawir Sjadzali berpendapat, bahwa ada tiga pendapat mengenai hubungan antara Islam dan negara, yaitu:67

(1) Pendapat bahwa Islam adalah agama yang lengkap dan mencakup semua aspek kehidupan, termasuk kehidupan bernegara. Pendapat ini merupakan pemikiran kelompok tradisionalis;

(2) Pendapat bahwa Islam hanya memuat prinsip-prinsip umum tentang kehidupan kenegaraan, sedangkan aturan-aturan operasionalnya bisa merupakan hasil pemikiran umat Islam sendiri atau mengadopsi dari umat lain (dalam hal ini Barat). Pendapat ini kemudian menjadi ciri khas kelompok modernis;

(3) Pendapat bahwa Islam, seperti halnya agama-agama lain, memisahkan persoalan-persoalan agama dan negara. Pendapat ini diikuti oleh kelompok sekularis.

66

Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Tranformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998), Cet. Ke-1, h. 12.

67

Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1990), h. 1.

Istilah “Fundamentalisme Islam” yang memandang bahwa Islam sebagai ajaran yang lengkap, mencakup bentuk dan sistem ketatanegaraan.68 Kaum fundamentalis, menurut Montgomery Watt memandang bahwa “Islam bukanlah menjadi dirinya yang sebenarnya, kecuali di dalam suatu negara Islam, yakni negara yang diperintah oleh kaum muslimin yang menerapkan syari’ah sebagai hukum”.69

Sementara “Modernisme Islam” lebih memusatkan perhatiannya kepada penafsiran kembali hukum Islam untuk mengakomodasi realitas modern tanpa mengorbankan nilai-nilai etik, spiritualitas, dan sosial Islam. Islam dan modernisme memang cenderung ke arah “sekularisme”, dimana gagasan sekular dan rasional ke dalam masyarakat Islam, menggantikan pandangan keagamaan pada umumnya sebagai akibat pengaruh Barat. Di samping itu, pengaruh umat Islam menurun, baik elit agama (ulama) maupun elit hukum (fuqaha) dalam proses politik. Sedangkan kaum sekular menekankan adanya keterpisahan yang nyata di antara keduanya, bagi mereka Islam dan politik merupakan dua hal yang berbeda. Mendirikan negara bukanlah suatu kewajiban agama, itu hanya kebutuhan duniawi yang lepas dari pengaruh agama. Oleh karena itu, menempatkan agama di satu pihak dan politik di pihak lain merupakan wujud dari tidak adanya hubungan antara Islam dan politik. 70

68

Lebih lengkap bisa dilihat rumusan al-Maududi tentang “Teori Khilafah” dalam Khilafah dan Kerajaan: Evaluasi Kritis terhadap Sistem Pemerintahan dalam Islam, (Bandung: Mizan, 1994), Cet. Ke-4, h. 19-21.

69

W. Montgomery Watt, Fundamentalisme Islam dan Modernitas, alih bahasa: Taufik Adnan Amal, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), Cet. Ke-1, h. 184.

70

Michael C. Hudson, Islam dan Perkembangan Politik”, dalam John L. Esposito, (ed.),

Identitas Islam pada Perubahan Sosial-Politik, alih bahasa: Zainuddin Rahman, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), Cet. Ke-1, h. 29-30.

liii C. Pengertian Khilafah Islamiyah

Sebelum menguraikan definisi tentang khilafah, penulis merasa perlu untuk memetakan beberapa kandungan al-Qur’an yang berkaitan dengan khilafah terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui dasar-dasar normatif-teologisnya.

Di dalam al-Qur’an, terdapat tiga derivasi yang digunakan untuk kata khalifah.

1. Dalam bentuk tunggal: Khalifah

☺ ⌧

⌧ ☺

Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (Q.S. Al-Baqarah: 30).

⌧ ⌧

Artinya: “Hai Daud, Sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah Keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, Karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.

Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, Karena mereka melupakan hari perhitungan.” (Q.S. Shaad: 26)

2. Dalam bentuk jamak: Khulafa’

Artinya: “Dan ingatlah olehmu di waktu Tuhan menjadikam kamu pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum 'Aad dan memberikan tempat bagimu di bumi. kamu dirikan istana-istana di tanah-tanahnya yang datar dan kamu pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan rumah; Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu merajalela di muka bumi membuat kerusakan.”

(Q.S. Shaad: 74) ☺

⌧ ⌧

Artinya: “Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan, apabila ia berdoa kepada-Nya, dan menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khulafa’ di bumi…” (Q.S. An-Naml: 62)

3. Dalam bentuk Jamak Kasrat71: khalaif

71

Bentuk ini digunakan untuk konotasi kuantitatif tak terbatas, Abdul Muin Salim, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Qur’an, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), Cet. Ke-2, h. 111.

lv

⌧ ☺

Artinya: “Kemudian kami jadikan kamu pengganti-pengganti (mereka) di muka bumi sesudah mereka, supaya kami memperhatikan bagaimana kamu berbuat.” (Q.S. Yunus: 14)

☺ ⌧ ⌧

Artinya: “Dialah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi barang siapa yang kafir, maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri. Dan kekafiran orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemakmuran pada sisi Tuhannya dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian mereka belaka.”(Q.S. Fathir: 39)

⌧ ⌧

Artinya: “Lalu mereka mendustakan Nuh, maka kami selamatkan dia dan orang-orang yang bersamanya di dalam bahtera, dan Kami jadikan mereka itu pemegang kekuasaan dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami. Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang diberi peringatan itu.”

(Q.S. Yunus: 73)

Dari ayat di atas, kata khalifah (

ﺔ ﺧ

) dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 30 dan Q.S. Shad [38]: 26 dihubungkan dengan Nabi Adam dan Nabi Daud yang diciptakan dan diutus Tuhan untuk menjadi wakil-Nya di muka bumi. Khusus yang berkaitan dengan Nabi Daud, Dien Syamsuddin menyatakan bahwa konsep khalifatullah membawa

implikasi makna yang bersifat universal, yaitu berlaku untuk setiap manusia.72 Sedang khulafa’ dalam Q.S. al-‘Araf [7]: 69 dan 74, dan Q.S. an-Naml [27]: 62, dipergunakan dalam konteks pembicaraan orang-orang kafir. Sementara khalaif

(

ﺋ ﺧ

) dalam Q.S. Yunus [10]: 14 dan 73; Q.S. al-An’am [6]: 165; Q.S. Fathir [35]: 39, menurut Abdul Muin Salim, dipergunakan dengan merujuk kepada umat manusia pada umumnya dan orang-orang beriman pada khususnya.73

Khalifah (

ﺔ ﺧ

) atau khalaif (

ﺋ ﺧ

) memiliki pengertian yang berbeda,74 terdapat tiga pengertian: (1) pengganti, (2) pemimpin, dan (3) penguasa. Kata

khalifah —yang berakar kata khalafa— mengandung kata dasar lain: menggantikan, mengikuti, datang kemudian. Menurut Dien Syamsuddin, khalifah (

ﺔ ﺧ

) dalam al-Qur’an menunjukkan arti “pengganti” atau “wakil”, seperti dalam ungkapan

khalifatullah fi al-ardl (wakil Tuhan di bumi).75

Baik dalam arti “pengganti”, “wakil Tuhan”, dan “penguasa”, kata khalifah (

ﺔ ﺧ

) melahirkan beberapa kecenderungan penafsiran. Di satu pihak ada yang menafsirkan hal-hal yang berkaitan dengan pengertian khalifah (

ﺔ ﺧ

) tertuju kepada manusia secara keseluruhan tanpa ada kaitannya dengan politik. Sementara di pihak lain, pengertian itu terkait erat dengan kekuasaan politik yang terwujud dalam bentuk

72

Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani.,h. 80.

73

Salim, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Qur’an.,h. 110.

74

Bentuk jamak lainnya adalah khawalif (“wakil-wakil”). M. Said Syaikh, Kamus Filsafat Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1991), Cet. Ke-1, h. 67.

75

lvii

lembaga kekuasaan negara. Berikut ini beberapa kecenderungan penafsiran dan argumentasinya masing-masing:

Menurut Dawam Raharjo, khalifah (

ﺔ ﺧ

) yakni kepala negara dalam pemerintahan Islam, memang merupakan istilah al-Qur’an. Tetapi dalam al-Qur’an kata ini memiliki banyak arti atau interpretasi. Oleh karena itu, ayat-ayat yang mengandung pengertian kata khalifah (

ﺔ ﺧ

) tersebut tidak dapat dijadikan dasar hukum mengenai wajibnya mendirikan suatu khalifah (

ﺔ ﺧ

) atau kekuasaan politik. Menurut Dawam, Allah telah mengisyaratkan suatu konsep tentang manusia, yaitu sebagai khalifah (

ﺔ ﺧ

). Khalifah adalah sebuah fungsi yang diemban manusia berdasarkan amanat yang diterimanya dari Allah Swt. Amanat ini pada intinya adalah tugas mengelola bumi secara bertanggung jawab, dengan menggunakan akal yang telah dianugrahkan Allah kepadanya.76

Al-Qur’an (Q.S. Al-Baqarah [2]: 30) menyebut perihal Nabi Adam AS. sebagai perwujudan dari fitrah atau sifat primordial dan sebagai khilafah Allah di muka bumi. Dengan demikian, manusia pada dasarnya berposisi sebagai khilafah Allah Swt. Hal yang sama juga terjadi pada Nabi Muhammad Saw. Di satu sisi Muhammad Saw adalah khalifah (penerus) fungsi kekhalifahan yang pertama kali diberikan oleh Allah Swt. kepada Nabi Adam AS. Di kemudian hari, beberapa sahabat juga mengklaim gelar ini setelah Muhammad Saw. wafat. Bahkan lebih jauh

76

M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci, (Jakarta: Paramadina, 1996), Cet. Ke-1, h. 363-364.

para sahabat mengaku sebagai wakil (pengganti) dan menjalankan fungsi sebagai pimpinan spiritual dan sekaligus sebagai penguasa temporal sebuah pemerintahan Islam.77

Senada dengan pendapat Dawam, Nurcholis Madjid juga mengemukakan pendapat yang sama. Dengan ide “sekularisasi” -nya, ia berpendapat bahwa peran kekhalifahan manusia, dimana ia sebagai pengganti Tuhan di bumi, mengandung arti bahwa segala urusan bumi ini diserahkan kepada umat manusia. Pemberian beban kekhalifahan kepada manusia ini didasari dengan pertimbangan bahwa manusia memiliki daya intelektualitas, akal dan pikiran. Dengan daya rasio itulah, manusia mengembangkan diri di dunia ini. Dalam kaitan ini yang dimaksud dengan sekularisasi adalah memecahkan dan memahami masalah duniawi ini, dengan mengerahkan kecerdasan atau rasio.78

Adapun khalifah yang sering digunakan dalam suatu konteks lembaga kepemimpinan berarti: (1) penggantian terhadap Rasulullah saw. dalam upaya menjaga dan memelihara agama serta mengatur urusan-urusan dunia; (2) suatu lembaga kekuasaan yang menjalankan tugas Rasulullah saw. untuk memelihara,

77

Cyrill Glasse, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), Cet. Ke-1, h. 208-209.

78

Nurcholis Madjid, Islam: Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1998), Cet. Ke-11, h.228-229.

lix

mengurus, mengembangkan dan menjaga agama serta mengatur urusan duniawi umat; (3) kepemimpinan atau pemerintahan. 79

Berkaitan dengan pengertian bahwa khalifah adalah suatu lembaga kekuasaan yang menjalankan tugas Rasulullah saw., Abul ‘Ala al-Maududi menyatakan doktrin tentang khalifah yang disebut dalam al-Qur’an menunjukkan bahwa segala sesuatu di atas bumi ini, hanyalah karunia Allah Swt.80 Menurut Maududi, bentuk pemerintahan yang benar adalah adanya pengakuan negara akan kepemimpinan dan kekuasaan Allah dan Rasul-Nya di bidang perundang-undangan menyerahkan segala kekuasaan legislatif dan kedaulatan hukum tertinggi kepda keduanya dan meyakini bahwa khilafahnya itu mewakili sang-hakim yang sebenarnya, yaitu Allah Swt.81

Sementara Ibn Khaldun dalam Muqaddimah-nya menyatakan bahwa khalifah berarti “memerintah rakyat sesuai dengan petunjuk agama, baik untuk soal-soal keakhiratan maupun soal-soal keduniawian. Sebab dalam pandangan pembuat undang-undang, semua soal keduniaan, harus dihukumi dari segi kepentingan hidup akhirat.82 Peranan manusia dalam berinteraksi menerapkan metodologi khilafah.

79

M. Abdul Mujieb, Kamus Istilah Fiqh, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1995), Cet. Ke-2, h. 60.

80

Abul ‘Ala al-Maududi, Khalifah dan Kerajaan: Evaluasi Kritis atas Sejarah Pemerintahan Islam, (Bandung: Mizan, 1994), Cet. Ke-4, h. 64..

81

Ibid, h. 63.

82

Menurut Abdul Majid an-Najar, mengacu pada wahyu ilahi dan akal kemanusiaan, yaitu nash (petunjuk-petunjuk wahyu) dan ‘aqli (peranan akal).83

Beberapa pandangan di atas menunjukkan bahwa sebagian ulama berpendapat bahwa konsep khilafah dalam al-Qur’an tidak ada hubungannya dengan khilafah

dalam arti lembaga kekuasaan politik. Sementara di sisi lain, berpendapat sebaliknya, bahwa peran kekhalifahan manusia dalam mengatur segala urusan —agama dan dunia akan tercapai jika ditegakkan dengan kekhalifahan yang bersandar pada wahyu Ilahi.