• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pandangan Masyarakat Batak Toba Mengenai Perkawinan, Adat dan Kekerabatan

INTERPRETASI DATA 4.1. Setting Lokasi

1. Pandangan Masyarakat Batak Toba Mengenai Perkawinan, Adat dan Kekerabatan

Perkawinan bukanlah sekedar ritus untuk mengabsahkan hubungan seksual antara dua jenis manusia, tetapi hubungan yang masing-masing mempunyai peranan penting untuk menjaga keutuhan lembaga tersebut. Setiap perkawinan mempunyai tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Kebahagian lahir dan bathin menjadi dambaan setiap manusia.

Perkawinan pada hakikatnya merupakan bentuk kerjasama kehidupan antara pria dan wanita di dalam masyarakat di bawah satau peraturan khusus atau khas dan hal ini sangat diperhatikan baik oleh agama, negara maupun adat, artinya bahwa dari peraturan tersebut betujuan untuk mengumumkan status baru kepada orang lain sehingga pasangan ini diterima dan diakui statusnya sebagai pasangan yang sah menurut hukum, baik agama, Negara maupun adat dengan sederetan hak dan kewajiban untuk dijalankan oleh keduanya, sehingga pria itu bertindak sebagai suami

sedangakan wanita bertindak sebagai istri. Hasil temuan penelitian informan mempunyai pandangan yang berbeda mengenai pernikahan sebagimana yang dikemukakan oleh R.R (Pr, 42 thn) sebagai berikut :

Perkawinan menurut saya hal yang merepotkan, karena akan banyak yang diurus, suami, anak dan lain-lain.”

Hal ini sejalan juga dengan informan saya I.S (Pr, 38 thn), sebagai berikut : “ Bagi saya perkawinan penghambat karir, karena

setelah menikah wanita susah untuk bekerja, karena sudah sibuk mengurus keluarga.”

Hal yang serupa juga dikatakan J.S (Pr, 49 thn), yaitu :

Dengan menikah posisi saya sebagai wanita karir dapat tidak bebas lagi berinteraksi.”

Dengan demikian dapat disimpulkan dalam masyarakat Batak Toba, pernikahan merupakan hal yang penting, namun hal ini berbeda jauh dengan pandangan wanita karir yang memilih tidak menikah bahwa pernikahan menurut mereka dapat menghambat diri mereka untuk tetap eksis dalam sektor publik.

Menurut adat pada umumnya di Indonesia perkawinan itu bukan saja berarti sebagai “perikatan perdata”, tetapi juga merupakan “perikatan adat” dan sekaligus merupakan “perikatan kekerabatan dan kekeluargaan”. Perkawinan dalam arti “perikatan adat” adalah perkawinan yang mempunyai hukum adat yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Dalam hal ini pasangan yang telah menikah mendapat perhatian dari orangtua untuk dapat membina dan memelihara perkawinan yang mereka jalani agar tetap utuh.

Bagi masyarakat Batak Toba, perkawinan adalah upacara adat yang terpenting bagi orang Batak, oleh karena orang yang sudah menikah berhak mengadakan upacara

adat, dan upacara-upacara adat lainnya seperti menyambut lahirnya seorang anak dan sebagainya. Perkawinan orang Batak haruslah diresmikan secara adat berdasarkan Dalihan Natolu. Dalam masyarakat Batak Toba perkawinan juga mempengaruhi pola kekerabatan dan hubungan tertentu antara keluarga laki-laki dan keluarga perempuan. Ini terlihat pada masyarakat Batak Toba yang mempengaruhi pola kekerabatan dan hubungan tertentu antara kedua keluarga. Hal serupa juga dikatakan informan saya R.H (Lk, 58 thn), yaitu :

” Pernikahan bagi masyarakat Batak Toba merupakan ikatan antara dua keluarga saling menyatu, yaitu dari keluarga laki-laki dan keluarga perempuan, bukan hanya laki-laki dan perempuan yang mempunyai suatu ikatan.”

Hal yang serupa juga dikatakan informan saya R.N (Lk, 68 thn) ” Pernikahan merupakan hal yang sangat penting bagi

masyarakat Batak Toba, karena dapat mempersatukan dua keluarga antara keluarga laki-laki dan keluarga perempuan.”

Hal yang serupa juga dikatakan informan saya R. S (Pr, 67 thn), yaitu : ” Pernikahan bagi masyarakat Batak Toba berarti

menyatukan dua keluarga yang akhirnya menjadi satu bagian.”

Fakta sosial diatas menunjukkan perkawinan orang Batak perkawinan tidak hanya individu, tetapi perkawinan bagi orang Batak merupakan perkawinan dua keluarga yang nantinya akan berperan dalam adat.

Masyarakat Batak Toba memiliki sistem sosial yang khas dan hanya terdapat di masyarakat Batak saja yaitu yang disebut Dalihan Na Tolu. Dalihan Natolu merupakan ikatan kekerabatan adat-istiadat pada suku Batak. Dalihan Natolu merupakan tungku nan tiga, yang berarti dalihan itu di topang oleh 3 kaki agar dapat berdiri untuk dipakai

mengganjal periuk saat memasak nasi. Falsafah analogi alat memasak nasi dengan hubungan keluara, dalihan natolu berarti di topang oleh tiga struktur bahwa dalam mengadakan setiap acara dalam adat masing masing, memiliki peran agar acara tersebut bisa berjalan yaitu :

1. Boru/ putri : pihak keluarga menantu berfungsi sebagai parhobas/pelayan yang mengurus segala kepantingn acara "elek marboru" yang berarti harus perduli dan menyayangi pihak menantu.

2. Dongan sabutuha/teman seperut means dari rahim yang sama : kakak beradik, saudara setali-sedarah kakak beradik dalam garis patri, merupakan sumber utama pendanaan dari suatu acara misalnya pernikahan. "Manat mardongan sabutuha" harus hati2 menghadapi kakak beradik.

3. Hula-hula somba marhula-hula/ hormat terhadap besan dalam hal ini kita berada dalam pihak wanita atau istri. Seperti yang dikatakan informan saya bapak G.P (lk, 52 thn), yaitu :

Dalihan Natolu merupakan hula-hula, dongan tubu, boru/bere, yang ketiga ini harus selalu ada dalam

setiap acara/pesta yang diadakan untuk

melangsungkan adat”.

Keluarga bukan saja sebagai suatu wadah hubungan antara suami dan istri atau anak-anak dan orang tua, tapi juga sebagai suatu rangkaian tali hubungan antara jaringan sosial dan anggota-anggota keluarga, dan jaringan yang lebih besar yaitu masyarakat. Perkawinan antara keduanya adalah petunjuk yang terbaik, bahwa garis keluarga yang satu memandang yang lainnya kira-kira sama secara sosial dan ekonomis. Sebagaimana halnya dengan institusi lain, maka keluarga pun menjalankan fungsi. Para ilmuwan sosial ahli sosiologi mengidentifikasikan berbagai fungsi.

Menurut Horton dan Hunt dalam (Su’adah, 2005:36) mengidentifikasikan beberapa diantaranya, yaitu fungsi pengaturan seks, reproduksi, sosialisasi, afeksi, defenisi status, perlindungan, dan ekonomi.

Perkawinan merupakan lembaga yang dapat diartikan dengan terciptanya suatu ikatan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk hidup bersama dalam bentuk rumah tangga atau keluarga konjunggal/ keluarga yang lebih luas. Dengan menikah berarti mampu merealisasi salah satu tujuan hidup manusia yang paling utama, yaitu mempunyai keturunan (hagabeon). Para individu yang baru berkembang, yang dilahirkan ke dalam suatu keluarga, harus mengalami suatu proses belajar sehingga akan mengambil alih nilai-nilai yang umum berlaku dalam kelompoknya. Dan dalam masyarakat umum, ia diharapkan akan memiliki sifat-sifat yang menurut sekitarnya dimiliki oleh seorang pria atau wanita dewasa, sehingga dapat secara mandiri mengambil keputusan-keputusan yang sesuai dengan peranan mereka (Kamanto, 2000:49).

Bagi masyarakat Batak Toba pernikahan sebagai bagian identitas seseorang. Kehidupan dianggap lengkap jika seseorang sudah menikah. Fakta ini dapat dilihat dari hasil wawancara dengan informan saya R.S (Pr, 67 thn), sebagai berikut :

Bagi masyarakat Batak Toba, kehidupan akan lengkap jika seseorang telah menikah / berkeluarga.”

Hal yang serupa juga dikatakan informan saya R.H (Lk, 58 thn), yaitu : ” Pernikahan bagi masyarakat Batak Toba bertujuan

untuk memperoleh keturunan (hagabeon), karena bagi masyarakat Batak Toba, hidup lengkap itu ketika sudah menikah dan mempunyai keturunan.”

Pada masyarakat Batak Toba itu, dengan menikah berarti kehidupan seseorang dianggap sudah lengkap.”

Dengan demikian pada masyarakat Batak Toba, pernikahan bertujuan untuk memperoleh identitas yang baru, dan seseorang dianggap lengkap jika telah menikah dan juga telah mempunyai keturunan.

Membentuk keluarga ternyata juga keputusan yang sulit bagi seseorang. Para informan menganggap pernikahan merupakan langkah yang penting dalam kehidupan mereka, selain pilihan untuk seumur hidup juga sebagi perolehan status sekaligus jaminan bagi kebahagiaan keluarga itu nantinya. Sebagaimana yang diutarakan informan saya I.S (Pr, 38 thn), yaitu :

Butuh waktu yang lama untuk dapat mengambil suatu keputusan dalam menentukan pilihan untuk menikah, karena bukan hanya untuk memperoleh status, tetapi kebebasan juga akan terbatas.”

Hal yang serupa juga dikatakan informan saya R.R (Pr, 42 thn), yaitu : ” Pernikahan itu bukan suatu pilihan yang sangat

mudah untuk dilakukan, karena pernikahan itu hanya terjadi sekali dalam seumur hidup, jadi butuh waktu yang lama untuk menentukannya.”

Sebagaimana dari hasil observasi si peneliti secara umum, bahwa peneliti juga melihat adanya keengganan dari informan untuk menjawab pertanyaan yang diberikan mengenai pernikahan dan hubungannya dengan para informan melihat wanita yang belum menikah di usia yang sudah dewasa (Observasi, 15 Mei 2009, Pkl. 18.00).

A. Perempuan Batak Karir dan Perkawinan

Sebagian masyarakat masih menggunakan jenis kelamin sebagai kriteria utama dalam pembagian kerja sosial individu-individu. Dan pada umumnya semua

masyarakat mempunyai suatu pembagian kerja menurut jenis kelamin yang terstruktur, dan konsepsi-konsepsi ideologis mengenai laki-laki dan wanita. Dalam kebanyakan masyarakat demikian, kegiatan kaum wanita sangat ketat diawas dan sering mendapat perhatian khusus terhadap seksualitas kaum wanita. Status kaum wanita di dalam masyarakat agraris, pada umumnya demikian rendahnya sehingga mereka diperlakukan seperti orang yang belum dewasa dan yang selalu bergantung (Su’adah, 2005: 189).

Teori feminis pada umumnya, berpendapat bahwa struktur ekonomi masyarakatlah yang merupakan penentu status wanita yang penting, tetapi perspektif ini yakin bahwa ada faktor lain yang mungkin lebih penting. Faktor itu ialah patriarkhi, yakni seperangkat sifat perilaku dan ideologis yang kompleks yang membuat laki-laki menuntut dominasi atas wanita (Hamilton dalam George Ritzer 2007:403).

Secara sosiologis perkawinan atau pernikahan merupakan legalisasi penyatuan antara laki-laki dan perempuan sebagai suami isteri oleh institusi agama, pemerintah atau kemasyarakatan. Pada masyarakat luas pernikahan tetap dianggap sebagai momen terpenting yang masih senantiasa ditunggu sepanjang perjalanan hidup seseorang. Masyarakat kita masih melekatkan pernikahan sebagai bagian identitas seseorang. Kehidupan dianggap lengkap jika seseorang sudah menikah dan mempunyai keturunan, namun mampu membuat orang yang ditanya mengambil waktu panjang untuk berpikir masih ada sesuatu yang kurang dalam hidupnya.

Saat ini banyak wanita yang terlibat pada sektor industri yang mengakibatkan terjadinya pergeseren pada wanita yang memilih hidupnya tidak menikah atau hidup melajang. Peneliti juga melihat bagaimana kehidupan wanita karir dilalui dengan kesibukan dalam pekerjaan yang ada pada mereka, karena dengan bekerja wanita karir

dapat menghabiskan waktunya di luar dengan berbagai kegiatan yang mereka lakukan. (Observasi, 15-04-2009). Melalui cara seperti ini wanita karir tidak terlalu memikirkan kehidupan mereka yang selalu dibayang-bayangi untuk menikah. Hal ini juga yang dikatakan informan saya J.S (Pr, 49 thn) yaitu :

Kesibukan dalam bekerja dan kegiatan lainnya, dapat membuat diri lupa untuk menikah.”

Hal yang serupa juga dikatakan informan saya R.R (Pr, 42 thn) yaitu : ” Dengan saya bekerja, membuat diri lupa akan desakan

untuk menikah, karena dengan bekerja, perempuan akan lebih dihargai.”

Masyarakat perkotaan seperti kota Medan menganggap bahwa fenomena pilihan wanita karir untuk tidak menikah merupakan pilihan yang wajar bagi para wanita, ini dapat dilihat dari tanggapan perlakuan masyarakat yang tidak terlalu mempermasalahkan status mereka. Ini juga didorong oleh kehidupan mandiri, kemampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, bahkan juga membantu keluarganya. Hal ini juga yang menjadi alasan wanita mendapat kepuasan dan kebahagiaan tanpa memaksa mereka untuk menikah. Seperti yang dikatakan informan saya J.S (Pr, 49 thn), yaitu :

Menurut saya, kebahagian itu ada bukan karena kita telah menikah, tetapi ketika kita berada pada orang-orang yang menyayangi kita.”

Hal yang serupa juga dikatakan informan saya R.R (Pr, 42 thn ) yaitu : ” Ketika seseorang sudah bekerja dan dapat membantu

keluarga, itu merupakan kebahagiaan tersendiri, karena sudah mampu membiayai keluarga.”

Dengan demikian ukuran kebahagiaan dan keberhasilan dari beberapa informan yang diwawancarai sangat berbeda, mereka dapat mengekspresikan kebahagiannya

dengan berada di tengah-tengah keluarganya, memiliki kegiatan, pekerjaan yang layak yang secara tidak langsung bertujuan untuk kemapanan dalam sektor ekonomi. Walaupun terdapat informan yang mengatakan bahwa dengan menikah juga merupakan salah satu arah mendapatkan kebahagiaan. Seperti yang dikatakan informan saya R.N (Pr, 41 thn), yaitu :

Orang yang menikah tidak sama bahagianya dengan yang belum menikah. Ada perbedaan tersendiri bagi mereka yang telah menikah.”

Hal yang serupa juga dikatakan informan saya R.R (Pr, 42 thn), yaitu : ” Wanita yang menikah akan bahagia, karena telah

menemukan pasangannya.”

Dalam hal ini pernikahan menurut informan merupakan hal yang didambakan pada setiap pasangan untuk dapat memulai kehidupan yang baru dengan berkeluarga, namun pernikahan bagi wanita karir yang belum menikah bukan menjadi suatu masalah bagi mereka. Ini dapat dilihat dari keterangan informan saya I.S (Pr, 38 thn), yaitu :

Posisi saya karena tidak menikah di keluarga, biasa saja, tidak ada yang berubah sama sekali. Perhatian, dan kasih sayang dari mereka tetap saya dapatkan, dan keluarga saya tetap mendukung apapun yang saya lakukan.”

Hal ini juga sama dikatakan informan saya R.R (Pr, 42 thn), yaitu : ” Dengan saya tidak menikah, tidak membuat keluarga

saya untuk menjauh dari saya. Keluarga saya tetap memberi saya semangat untuk setiap yang saya lakukan.”

Dengan tidak menikah, para wanita karir masih dapat menikmati kehidupan mereka dengan kesendirian. Bagi wanita karir, dengan tidak menikah bukan berarti

perjalanan hidup mereka berhenti dengan begitu saja. Wanita yang memilih tidak menikah masih dapat melakukan kegiatan mereka seperti biasa.

B. Latar Belakang Pilihan Wanita Karir Tidak Menikah

Individu masyarakat akan mengalami proses sosialisasi agar ia dapat hidup dan bertingkah laku sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat di mana individu itu berada. Individu dapat menjadi makhluk sosial yang dipengaruhi oleh faktor keturunan atau alam (nature) dan faktor lingkungan (environment) atau asuhan (nurture). Faktor keturunan adalah faktor-faktor yang dibawa sejak lahir (ascribed) dan merupakan transmisi unsur-unsur dari orang tuanya melalui proses genetika, misalnya jenis kelamin, suku dan sebagainya. Sedangkan faktor lingkungan adalah faktor luar yang mempengaruhi organisme, yang membuat kehidupan bertahan, misalnya pendidikan, pekerjaan, dan sebagainya.

Kedua faktor ini sama pentingnya dan saling berinteraksi serta melengkapi dalam membentuk perilaku tertentu dari individu. Jadi perilaku tertentu itu tergantung pada faktor keturunan dan pada apa yang disediakan oleh lingkungannya. Perilaku tertentu tidak mungkin terbentuk hanya karena faktor keturunan saja tanpa pengaruh dari lingkungannya atau sebaliknya. Hanya saja setiap individu berbeda-beda dalam perkembangannya mana yang lebih dominan, apakah faktor keturunannya ataukah pengaruh lingkungannya (Su’adah, 2005:34-35).

Dalam hal ini dapat dilihat bagaimana wanita memilih hidupnya untuk tidak menikah. Kebanyakan saat ini wanita sudah memiliki pendidikan yang tinggi. Wanita tidak mau lagi menjadi bayang-bayang para laki-laki dan juga tidak mau ketinggalan

dari lawan jenisnya. Hal ini yang membuat para wanita tertarik dengan kehidupannya dan pekerjaannya.

Wanita dari dahulu sudah bekerja, tetapi baru pada masyarakat industri modernlah mereka itu berhak memasuki pasaran tenaga kerja sendiri untuk memperoleh pekerjaan dan promosi tanpa bantuan atau perkenan para laki-laki. Wanita dapat lebih bebas keluar atau masuk pasaran tenaga kerja, dan lebih diterima secara ikhlas sebagai pekerja. Wanita telah diberikan kedudukan yang tinggi dalam segala jenis pekerjaan. Banyak kemungkinan pada permulaan abad ini, sedikit sekali wanita bekerja kecuali mereka yang terdorong oleh rasa ingin tahu mereka dan juga untuk menaikkan jati diri mereka untuk dapat eksis di dunia publik atau menjadi wanita karir. Hal ini serupa yang dikatakan informan saya J.S (Pr, 49 thn) yaitu:

Saya bekerja supaya tidak dianggap remeh oleh orang lain.” Hal yang sama juga dikatakan informan saya R.R (Pr, 42 thn), yaitu :

dengan bekerja saya dapat membantu beban keluarga saya, dan saya juga tidak mau dikatakan perempuan yang lemah dengan tidak bekerja.”

Banyaknya streotipe negatif akan ditujukan bagi mereka yang belum menikah di usia yang dianggap sudah sepantasnya. Sebutan perawan tua tersedia bagi wanita yang belum menikah. Label perawan tua yang diberikan kepada perempuan hanya merupakan permulaan saja. Berbagai julukan juga akan didapati oleh perempuan, seperti sombong, judes, pemilih, tidak laku dan sebagainya. Meningkatnya eksistensi wanita dalam sektor industri membuat pola pikir perempuan semakin cerdas. Hal ini menuntut bahwa perempuan harus berada pada posisi tinggi, sama seperti para laki-laki. Jadi perbedaan antara pria dan wanita tidak ada lagi. Perbedaan hanya terdapat pada

faktor biologis, seperti dalam teori nature yang beranggapan bahwa perbedaan psikologis antara wanita dan pria disebabkan oleh faktor-faktor biologis, sedangkan dalam teori nurture beranggapan bahwa perbedaan tersebut terciptakan melalui proses belajar dari lingkungan (George Ritzer, 2007: 404-405). Hal ini juga dikatakan informan saya R.N (Pr, 42 thn) yaitu :

Pria dan wanita sudah tidak ada perbedaan dalam sektor publik, perbedaan laki-laki dan perempuan hanya ada dalam faktor biologis.”

Hal yang serupa juga dikatakan informan saya R.R (Pr, 42 thn), yaitu : “ Saat ini sudah banyak dijumpai wanita berada pada

sektor publik yang sudah tidak membedakan pekerjaan antara pria dan wanita.”

Kekuasaan adalah seluruh jaringan hubungan yang telah mempunyai model atau pola (struktur) yang mengandung sifat otoritas. Kekuasaan adalah hubungan, tetapi bukan sembarang hubungan. Kekuasaan dalam arti hubungan yang mengandung otoritas yang mempengaruhi kehidupan politik, baik dalam bentuk negara maupun komunitas-komunitas yang lebih kecil. Ada dua corak pengaruh yang ditimbulkan oleh kekuasaan. Pertama bilamana orang melihat politik pada dasarnya sebagai arena pertarungan atau medan pertempuran. Dalam hal ini kekuasaan memungkinkan mereka yang berhasi merebut dan mengontrolnya untuk berkuasa dan mempertahankan kekuasaannya di dalam masyarakat. di samping itu, ada pihak lain yamng menentang dan ingin merebut kekuasaan itu untuk tujuan yang sama. Disini kita lihat kekuasaan memainkan peranan sebagai biang konflik dan alat untuk menindas. Sejalan dengan itu, ini merupakan aspek dari antagonisme atau konflik dari kekuasaan atau politik (Maurice Duverger, 1989:XIII).

Wanita bukan seperti dulu lagi yang selalu berada di bawah kekuasaan laki-laki. Saat ini wanita sudah menduduki posisi yang sama dengan para laki-laki di dalam berbagai bidang. Karena kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) membuat semua manusia yang ada di lapisan masyarakat berlomba untuk bersaing dalam mencapai ambisi yang mereka ingini. Perkembangan IPTEK membuat semua manusia yang ada di lapisan masyarakat berlomba untuk bersaing dalam mencapai ambisi yang mereka ingini. Perkembangan IPTEK membuat kesibukan sendiri pada diri masing-masing individu. Hal ini yang membuat fungsi mereka sebagai manusia dalam pemenuhan kebutuhan terabaikan, salah satunya adalah perkawinan. Dengan status sebagai wanita karir memberi mereka kebahagiaan tersendiri dengan pekerjaan yang mereka jalani, karena pada dasarnya menjadi wanita karir jauh lebih dihargai.

Hal ini serupa dengan tanggapan informan saya R.N (Pr, 41 thn) yaitu : “ Pada umumnya semua wanita ingin berkarir, karena

wanita akan lebih dihargai bila sudah berkarir. Saya senang disebut dengan wanita karir .”

Hal ini juga diperkuat I.S (Pr, 38 thn) yaitu :

Menurut saya, wanita yang telah bekerja atau berkarir lebih dihargai dengan wanita yang tidak bekerja.

Manusia yang dari tadinya hanya sebagai makhluk yang bilologis melaui proses sosialisasi, belajar tentang nilai, norma, bahasa, simbol, ketrampilan, dan sebagainya untuk dapat diterima dalam masyarakat dimana ia berada. Untuk menjadi anggota masyarakat ”normal” atau diterima di dalam masyarakat, untuk ini diperlukan kemampuan untuk menilai secara obyektif perilaku kita sendiri dari sudut pandang orang lain. Kalau sudah memperoleh kemampuan tersebut berarti seseorang sudah

memiliki apa yang dinamakan self (diri). Self terbentuk dan berkembang melalui proses sosialisasi, dengan cara berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan. Ciri orang yang sudah memiliki self adalah orang yang sudah mampu merefleksikan atau memberlakukan dirinya sebagai obyek dan subyek sekaligus (Soetomo 2008: 172-173).

Cooley menjelaskan teori tentang konsep looking glass self dimana senantiasa dalam benak manusia terjadi suatu proses yang ditandai oleh tiga tahap terpisah yaitu ; 1) persepsi, dalam tahap ini kita membayangkan bagaimana orang melihat kita. Hal ini terjadi pada wanita karier khususnya pada wanita suku Batak Toba yang memilih untuk tidak menikah. Wanita karier yang tidak menikah dilihat dari lingkungan sekitar dimana para wanita berada. Pandangan lingkungan sekitar dapat disimpulkan ada yang bersifat positif dan negatif. Hal ini tergantung bagaimana wanita tersebut mengekspresikan dirinya di lingkungannya ;2) interpretasi dan defenisi, disini kita membayangkan bagaimana orang lain menilai penampilan kita; dan 3) respons, berdasarkan persepsi dan interpretasi individu tersebut menyusun respons. Ketiga tahap ini merupakan proses yang selalu terjadi pada diri kita (Robert M.Z Lawang, 1989: 28-29).

Pengaruh lingkungan terhadap individu berperan sangat besar dalam mengubah setiap pola tingkah laku manusia itu sendiri. Manusia mempengaruhi lingkungan dan sebaliknya lingkungan juga berperan aktif dalam proses pendewasaan manusia. Keberadaan lingkungan membuat pola pikir manusia untuk dapat berpikir lebih maju lagi. Ini membuat para wanita untuk tetap eksis di dunia pekerjaan mereka, yang pada akhirnya mereka hidup melajang. Berbagai alasan yang membuat mereka seperti itu, ada yang mengatakan sangat berkompeten, supaya dikagumi dan sebagainya. Karena

ketika wanita sudah bekerja secara otomatis akan mengubah gaya hidup dan kemandiriannya.

Hal ini juga dikatakan informan saya R.R (Pr, 42 thn) yaitu : ” Ketika sudah bekerja tentu segalanya akan berubah

Perempuan memang memang menerima tuntutan lebih besar untuk menikah, terutama dari keluarganya. Dalam teori feminis mengatakan banyak orangtua