• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peluang Pergeseran Pilihan Wanita Karir Tidak Menikah Dalam Adat dan Keluarga

INTERPRETASI DATA 4.1. Setting Lokasi

3. Peluang Pergeseran Pilihan Wanita Karir Tidak Menikah Dalam Adat dan Keluarga

A. Keluarga

Keluarga merupakan kelompok orang-orang yang dipersatukan oleh ikatan-ikatan perkawinan, darah, maupun adopsi, yang membentuk satu rumah tangga, berinteraksi dan berkomunikasi antara satu dengan yang lainnya dan melalui perannya sendiri sebagai anggota keluarga dan mempertahankan kebudayaan masyarakat yang bersifat umum ataupun mengembangkannya sendiri

Tatanan sosial kekeluargaan atau sistem kekerabatan Batak Toba, dibakukan dalam sistem Dalihan Natolu (tiga tungku). Dari situlah sistem kekerabatan orang Batak Toba dirumuskan. Sistem ini menempatkan setiap orang Batak Toba dalam silsilah; hula-hula, dongan tubu dan boru. Dapat diartikan bahwa kedudukan hula-hula paling tertinggi dalam adat Batak Toba. Hula-hula adalah pihak marga dari mana suatu marga menikahi perempuan sebagai istri. Dongan tubu diartikan sebagai pihak yang tergolong sebagai saudara-saudara (semarga), sedangkan boru pihak marga kepada mana puteri dinikahkan. Dalam prinsip Dalihan Natolu setiap orang akan pernah berada pada posisi sebagai hula-hula, dongan tubu dan boru.

Cooley (dalam Robert Lawang, 1996:26), mengemukakan bahwa individu dan masyarakat saling berhubungan secara organis, tidak dapat dimengerti tanpa yang yang lain. Suatu gaya hidup atau pola-pola perilaku seseorang tidak merupakan hasil dari

insting-insting atau karakteristik biologis yang ditransmisikan lewat keturunan, tetapi perkembangan individu sebagai seorang manusia dengan suatu kepribadian tersendiri berbentuk perilaku tertentu merupakan hasil dari pengaruh warisan sosial yang ditransmisikan melalui komunikasi manusia. namun tujuan utamanya adalah untuk memperlihatkan bagaimana manusia dibentuk dalam konteks keteraturannya sosial yang terus berjalan.

Ketika orangtua berada dalam tradisi adat Batak, posisi mereka dapat sebagai hula-hula (yang tertinggi), dongan tubu, boru, dilihat dari siapa yang melaksanakan acara (pesta). Namun pada masyarakat Batak Toba tidak selamanya posisi mereka selalu sama. Peneliti juga melihat acara pesta yang diadakan, dimana orangtua langsung mengambil posisi mereka, mulai dari pihak hula-hula, dongan tubu, boru/bere, dan juga parhalado, (Observasi 13-05-2009). Hal ini disesuaikan pada peran mereka pada acara tersebut. Hal ini diperkuat oleh informan saya R.S (Pr, 67 thn ), yaitu :

Posisi orangtua dalam adat dapat berubah, dari hula-hula, ke posisi parboru, ini dilihat dari pihak siapa yang mengadakan acara/pesta.”

Hal yang serupa juga dikatakan informan saya R.H (Lk, 58 thn), yaitu : ” Pada umumnya posisi orangtua dalam adat selalu

berbeda, ini dilihat dari pihak siapa yang melakukan pesta. ”

Posisi orang tua dalam masyarakat luas dilihat ketika seseorang telah melakukan tanggung jawabnya dengan menikahkan semua anak-anaknya. Orangtua akan semakin dihargai bila anak-anaknya semua telah berumah tangga. Dalam masyarakat luas khususnya pada Batak Toba kedudukan orangtua itu untuk menuju kesempurnaan sangat diutamakan. Ini dapat dilihat dari kelengkapan orangtua akan

dihargai dari hasangapon, gagebeon, dan hamoraon. Orang tua mempunyai tugas untuk menikahkan semua anak-anaknya, dan hal itu merupakan tanggung jawab orangtua sampai mereka meninggal. Mengantar anak-anak sampai ke jenjang pernikahan, bagi masyarakat Batak secara umum adalah lebih merupakan kepentingan dan tanggung jawab orang tua yang bersangkutan. Sehingga jika dalam suatu keluarga terdapat anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan yang telah mencapai tingkat umur menikah tetapi tak kunjung menemukan teman hidupnya, hal itu selalu dianggap merupakan kekurangan dalam adat karena masih memiliki anak yang belum menikah. Hal ini juga dikatakan informan saya R.S (Pr, 67 thn), yaitu :

Kebahagian orangtua akan terlihat ketika semua anak-anaknya telah menikah, karena pada masyarakat Batak Toba dengan menikahkan semua anak-anaknya, orangtua telah sempurna dan ini dilihat ketika adat saur matua, acara kematian.”

Hal yang serupa juga dikatakan informan saya K.P (Lk, 68 thn), yaitu : ” Pada masyarakat Batak Toba, menikahkan semua

anak-anaknya berarti membuat posisi orangtua dalam adat akan lebih dihargai. ”

Posisi orang tua dalam masyarakat luas dilihat ketika seseorang telah melakukan tanggung jawabnya dengan menikahkan semua anak-anaknya. Orangtua akan semakin dihargai bila anak-anaknya semua telah berumah tangga. Dalam masyarakat luas khususnya pada Batak Toba kedudukan orangtua itu untuk menuju kesempurnaan sangat diutamakan. Ini dapat dilihat dari kelengkapan orangtua akan dihargai dari hasangapon, gagebeon, dan hamoraon.

Artinya secara adat yang ada masyarakat Batak Toba, setiap orangtua akan lebih dihormati bila tugasnya dalam menikahkan semua anak-anaknya telah selesai, karena

tanggung jawab orangtua telah selesai terhadap anak-anaknya. Perbedaan orangtua yang sudah selesai menikahkan semua anak-anaknya dengan yang belum menikahkan semua anak-anaknya akan tampak dalam aktualisasi diri mereka masing-masing. Ada suatu kebanggaan tersendiri pada diri mereka. Hal ini juga yang dikatakan informan saya R.N (Lk. 68 thn), yaitu :

Rasanya dengan menikahkan semua anak-anak, tanggung jawab orangtua itu sudah selesai. Dan setiap ke acara adat atau pesta, akan ada kebanggaan tersendiri pada diri masing-masing orangtua.

Hal yang sama juga dikatakan informan saya R.H (Lk, 58 thn), yaitu : ” Ketika sudah menikahkan semua anak-anaknya,

tanggung jawab itu sudah selesai. Tinggal menunngu kematiannya saja, biar disebut saur matua.”

Dalam masyarakat Batak Toba memiliki nilai prinsip budaya hidup. Nilai prinsip budaya hidup masyarakat Batak Toba dikelompokkan dalam tiga bagian yaitu :

1) Hamoraon, adalah kaya raya. Salah satu nilai budaya yang mendasari dari mendorong etnis Batak Toba untuk mencari harta benda yang banyak. Dengan memiliki harta yang banyak, pada umumnya masyarakat Batak Toba lebih dihormati.

2) Hasangapon, adalah kemuliaan, kewibawaan, kharisma, suatu nilai utama yang memberi dorongan kuat untuk meraih kejayaan dengan meraih jabatan atau pangkat.

3) Hagabeon, adalah banyak keturunan dan memperoleh panjang umur. Kekuatan yang tangguh hanya dapat dibangun dengan jumlah manusia yang banyak. Ketiga nilai tersebut berperan sangat besar pada masyarakat Batak Toba. Bagi orangtua terutama akan menantikan untuk dikatakan hasangapon, hagabeon, dan

hamoraon. Ini semua akan diperoleh ketika sudah bekerja, berkeluarga dan mempunyai keturunan. Ini juga dikatakan informan saya R.S (Pr, 68 thn) yaitu :

Seseorang disebut sangap, mora dan hagabeon, ketika seluruh anak-anaknya sudah bekerja, berumah tangga, dan juga telah mempunyai keturunan “.

Hal serupa juga dikatakan informan saya G.P (Lk, 50 thn), yaitu : ” Hasangapon, hagabeon, hamoraon, merupakan

kebanggaan yang dimiliki setiap pribadi yang ada pada masyarakat Batak Toba, ini dilihat ketika seseorang telah menikah dan juga telah mempunyai keturunan.”

Sehingga dapat dilihat bahwa kedudukan orangtua dalam adat diwarnai dari ketiga nilai tersebut, yaitu hamoraon, hagabeon dan hasangapon. Ini semua berhubungan dengan tugas orangtua dalam membesarkan anak-anaknya hingga memasuki ke jenjang pernikahan, yang pada akhirnya orangtua akan menuju kesempurnaan, dilihat ketika seseorang telah meninggal dunia.

B. Adat dan Perkawinan

Pada masyarakat Batak Toba dikenal memiliki kebudayaan atau adat yang cukup banyak yang hal ini dapat mempersatukan masyarakat Batak khususnya pada Batak Toba. Kebudayaan mencakup seluruh yang didapat atau dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Dalam lingkup cakupan ilmu sosiologi, menekankan bahwa kebudayaan sebagai alat yang digunakan manusia untuk berkeprilakuan dalam masyarakat, sebab pada dasarnya kebudayaan adalah untuk tujuan yang baik, mengatur tata kehidupan dan penghidupan dan dapat memanupulasi alam. Meliputi jiwa manusia, mewujudkan segala kaedah-kaedah dan nilai-nilai kemasyarakatan yang terkandung didalamnya. Seperti yang dikutip oleh Soekanto dari pendapat E.B Taylor yaitu bahwa kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan kepercayaan, kesenian,

moral, hukum, adat-istiadat dan lain-lain kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat (Soekanto, 1986:111).

Dalam konteks penelitian ini kebudayaan ditekankan pada aspek keluarga dan norma-norma kemasyarakatan dan agama yang dikhususkan pada adat istiadat acara kematian/ meninggal. Dalam hal ini adat-istiadat diperkecil lingkupnya hanya pada adat-istiadat kematian/ meninggal yang dihubungkan dengan pernikahan, yaitu anak yang belum menikah pada usia yang sudah matang. Dalam hal ini dikenal dengan istilah adat saur matua dan sari matua, yang dipakai ketika orang tua meninggal dunia yang dihubungkan dengan kehidupan anak-anaknya.

Batak Toba melaksanakan upacara adat dalam berbagai kegiatan. Adat sebagai bahagian dari kebudayaan elemen untuk mempertinggi kualitas kehidupan manusia dan merupakan identitas budaya dalam khasanah kebhinekaan di dalam negara tercinta ini. Pada dasarnya adat di dalam implementasinya berfungsi menciptakan dan memelihara keteraturan, ketentuan-ketentuan adat dalam jaringan hubungan sosial diadakan untuk menciptakan keteraturan. Dengan demikian adat adalah aturan hukum yang mengatur kehidupan manusia sehingga bisa menciptakan keteraturan, ketentraman dan keharmonisan (B Simanjuntak, 2001 dalam harian-sib.com, kamis, 22-09-2009 pkl.13.00).

Status sosial adalah kedudukan seseorang atau kelompok di dalam masyarakat yang berhubungan dengan status utama (master status), status yang diraih (achieved status) dan status yang diperoleh (ascribed status), sehingga mempengaruhi hak dan kewajiban mereka dalam masyarakat tersebut. Didalam hal ini mereka yang memperoleh sebutan sari matua dan saur matua mendapatkan kedudukan yang lebih

baik didalam status sosial masyarakat, khususnya masyarakat batak, disbanding mereka yang belum mendapatkan sebutan sari matua dan saur matua.

Status yang diperoleh menjadi lebih tinggi dengan sebutan sari matua dan saur matua, tingkat status ini juga berkaitan dengan pernikahan, seseorang yang sudah menikah dianggap lebih memiliki tanggung jawab dan kewajiban-kewajibannya selaku orang tua terhadap anak-anaknya demikian selanjutnya sampai anak-anaknya juga menikah dan memiliki anak yang disebut cucu sehingga tanggung jawabnya sebagai nenek dan kakek serta kewajibannya juga bertambah, keberhasilannya sebagai orang tua, bagi anak-anaknya dan kakek bagi cucu-cucunya akan membawa dirinya ke tahap saur matua dan sari matua disaat dia meninggal nanti (Kamanto, 2000; 54-55).

Upacara adat Batak untuk orangtua yang meninggal pada usia yang cukup lanjut dan sudah mencapai tingkat hagabeon atau telah berketurunan sampai tingkat cucu, disebut Ulaon Sarimatua atau Ulaon Saurmatua. Perbedaan diantara kedua tingkatan upacara itu ditentukan oleh status hagabeon yang telah dicapai pada saat meninggalnya orangtua itu. Hagabeon tentu saja tidak akan tercapai tanpa pernikahan anak-anak, sehingga dapat dibayangkan seberapa besar kesedihan yang akan menimpa keluarga jika orangtua itu meninggal dalam keadaan belum sempat mendapat cucu meskipun semua anak-anaknya telah mencapai umur-pantas-menikah sejak lama.

Seseorang disebut Saur Matua, ketika meninggal dunia dalam posisi “Titir maranak, titir marboru, marpahompu sian anak, marpahompu sian boru” (mempunyai anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki, dan juga cucu perempuan). Tetapi sebagai umat beragama, hagabeon seperti diuraikan diatas, belum tentu dimiliki seseorang. Artinya seseorang juga berstatus saur matua seandainya anaknya hanya

laki-laki atau hanya perempuan, namun sudah semuanya hot ripe dan punya cucu. Sedangkan Sari Matua adalah seseorang yang meninggal dunia apakah suami atau isteri yang sudah bercucu baik dari anak laki-laki atau putri atau keduanya, tetapi masih ada di antara anak-anaknya yang belum kawin (hot ripe). Pengertian Sari Matua, orang itu meninggal, sebelum tugasnya sebagai orang tua belum tuntas yakni mengawinkan anak-anaknya. Tidak diukur dari segi umur, pangkat, jabatan dan kekayaan.

Upacara adat saurmatua, secara nyata dapat dilihat sebuah suasana penuh sukacita, sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas segala berkat dan karunia yang dilimpahkan kepada orangtua itu selama hidupnya. Mendapat tingkat keturunan yang lengkap atau hagabeon na gok dalam arti karunia anak laki-laki dan perempuan, bahkan sampai karunia cicit atau buyut. Sehingga ulaon saurmatua juga disebut ulaon adat na gok.

Atas perbedaan hagabeon seperti tersebut di atas, yang merupakan harkat dan nilai kehidupan tertinggi dalam cita-cita filosofis hidup orang Batak, maka upacara adat sebagai upacara penghormatan terakhir bagi orangtua yang bersangkutan pun berbeda. Perbedaan itu juga dapat dirasakan secara emosional dalam tata laksana upacaranya. Ulaon sarimatua pada hakikatnya masih mengandung kesedihan oleh karena orangtua yang bersangkutan masih meninggalkan anak-anak yang belum berumahtangga. Berarti tanggung jawab orangtua untuk mengantarkan anak-anaknya ke jenjang mandiri dalam rumah tangga (manjae) belum terselesaikan dengan baik

Saur Matua dan Sari Matua merupakan adat yang digunakan apabila seseorang (orangtua) telah meninggal sebagai bentuk penghargaan yang diberikan kepada

orangtua dalam menjalankan tugasnya untuk membesarkan anak-anaknya hingga menikahkan anak-anaknya. Orangtua yang meninggal dengan menyelesaikan tugasnya dengan mnikahkan semua anak-anaknya dan juga telah mempunyai keturunan disebut Saur Matua. Saur Matua adalah penghargaan tertinggi kepada orangtua yang telah meninggal, dilihat dari anak-anaknya sudah menikah semua. Dalam hal ini pernikahan merupakan kunci utama agar kelak, jika orangtua telah meninggal akan mendapat penghargaan yang lebih, karena dengan menikah berarti mempunyai keturunan yang disebut dengan hagabeon.

Dengan demikian, pada masyarakat Batak Toba pernikahan merupakan dasar dari segala adat untuk dapat melangsungkan berbagai adat atau upacara lainnya. Pernikahan selalu dihubungkan dengan memperoleh keturunan (hagabeon). Dengan menikah, sebuah keluarga akan memperoleh anak atau keturunan, agar dapat disebut dengan istilah hagabeon. Jika seseorang mendapatkan keturunan/anak, dia akan dihormati dan dikagumi di dalam masyarakat dan juga di dalam keluarga sendiri. Seseorang yang telah menikah akan dapat menaikkan status seseorang yang pada akhirnya akan lebih dihormati dan dihargai, baik semasa hidup hingga pada saat kematian. Seperti yang dikatakan informan saya G.P (Lk, 52 thn), yaitu :

Seseorang ketika meninggal dunia sudah menyelesaikan kewajibannya yaitu dengan menikahkan seluruh anak-anaknya yang hingga akhirnya akan memperoleh keturunan.”

Namun dalam prakteknya, ketika hasuhuton “marpangidoan” (bermohon) kepada dongan sahuta, tulang, hula-hula dan semua yang berhadir pada acara ria raja atau pangarapotan, agar yang meninggal Sari Matua itu ditolopi (disetujui) menjadi Saur Matua. Hal ini disebabkan karena semua anak-anak mereka sudah bekerja dan

membiayayai orangtua mereka semasa hidup mereka. Ini dilihat dari pembicaraan tokoh adat dalam melakukan tradisi adat yang dijalankan. Pengertian Sari Matua, orang itu meninggal, sebelum tugasnya sebagai orang tua belum tuntas yakni mengawinkan anak-anaknya. Tidak diukur dari segi umur, pangkat, jabatan dan kekayaan. Hal ini juga dikatakan informan saya G.P (Lk, 52 thn) yaitu :

Adat yang ada di kota Medan sudah mengalami pergeseran. Seperti adat Sari Matua dapat dijadikan Saur Matua apabila ada kesepakatan dari keluarga, agar dapat dinaikkan jadi Saur Matua.”

Hal yang serupa juga dikatakan informan saya K.P (Lk, 68 thn), yaitu : ” Saur matua merupakan penghargaan tertinggi bila

seseorang telah meninggal. Saat ini, sari matua sudah dapat dibuat jadi saur matua, asal ada kesepakatan dari semua pihak.”

Hal yang serupa juga dikatakan informan saya R.S (Lk, 67 thn), yaitu : ” Sering sekali dari sarimatua diangkat menjadi

saurmatua, ini dilakukan agar membuat bahagia keluarga, walaupun sebenarnya bertentangan dengan pihak hula-hula, boru/bere, dan sebagainya.”

Dengan demikian pada masyarakat kota Medan upacara adat kematian sudah mengalami pergeseran, ini banyak dijumpai ketika seseorang telah meninggal belum menyelesaikan tanggung jawabnya dengan menikahkan semua anaknya seharusnya disebut sari matua, tetapi melihat situasi anak yang telah bekerja dan juga percakapan dengan pihak hula-hula, dongan tubu dan yang lainnya dari sari matua dapat dijadikan saur matua.