BAB II : PROF MAHADI : ORIENTASI KE HUKUM ADAT
3. Paradigma Baru Pengaturan Hak-hak Atas Tanah
Klaim masyarakat adat atas tanah (terhadap perusahaan- perusahaan perkebunan negara, para pengembang dan kawasan-kawasan komersial lainnya, termasuk kawasan industri) sebagai tanah ulayat, tidak bisa dijelaskan hanya dengan menggunakan visi Pemerintah (Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Kementerian Pertambangan dan Energi, Kementerian Kehutanan dan Kementerian terkait lainnya) semata-mata yakni dengan merujuk paradigma normatif menurut versi UUPA.131 Tanpa ada keinginan untuk membuka paradigma baru terhadap klaim masyarakat tersebut - paradigma ideologis/filosofis, paradigma empiris/sosiologis - maka kelak dikemudian hari semuanya akan menumbuhkan kesia-siaan, jika tidak ingin dikatakan bahwa pada tahap awal akan banyak ditemukan perlawanan-perlawanan dari anggota masyarakat dan disana sini akan
131 Sebuah visi yang sempit yakni menyoroti dan memberi makna terhadap
150
bermunculan kalangan spekulan baik dari kalangan anggota masyarakat itu sendiri maupun dari kalangan birokrat yang pada akhirnya melahirkan konflik yang berkepanjangan.
Hari ini, hal yang berkaitan dengan pertanahan mau tidak mau harus pula dikaitkan dengan undang-undang desa yang memiliki hak asal usul dan hak tradisional untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya. Dalam konsideran Undang-undang No. 6 Tahun 2014 yang dijadikan sebagai dasar lahirnya Undang-undang No. 6 Tahun 2014 disebutkan bahwa desa telah berkembang dalam berbagai bentuk sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera. Dalam kaitannya dengan potensi ekonomi masyarakat pedesaan, maka tanah adalah salah satu dari sumber daya ekonomi yang memiliki nilai dan peranan strategis bagi pemberdayaan masyarakat desa. Jika pengaturan tentang tanah tidak benar-benar berpihak kepada masyarakat desa yang sebahagian besar menggantungkan kehidupannya pada hasil-hasil pertanian maka dikhawatirkan dikemudian hari potensi konflik yang selama ini bersifat latent akan muncul (manifest) yang tidak hanya membahayakan stabilitas nasional tetapi lebih jauh akan menjadikan negeri ini terpecah belah dalam serpihak yang berkeping-keping.
Ketimpangan kehidupan masyarakat desa yang cenderung agraris dengan masyarakat kota yang tumbuh dan berkembang dari industri
151
haruslah dicarikan harmonisasinya. Dalam perspektif hukum, harmonisasi itu dapat dibangun dengan mensinkronisasikan berbagai peraturan perundang-undangan terkait terutama dalam konteks diskusi kita hari ini adalah dengan Undang-undang Desa. Masyarakat desa haruslah diberi peranan yang lebih banyak untuk bekerjasama dengan pihak ketiga seperti yang diisyaratkan dalam Pasal 91. Kerjasama ini dapat dilakukan dengan pihak Perguruan Tinggi dan dunia usaha. Kepemilikan tanah yang hari ini lebih banyak tersebar di pedesaan sudah saatnya diatur peruntukan penggunaan serta pendistribusiannya secara tepat agar tidak terjadi ketimpangan penguasaan tanah oleh pihak-pihak perkebunan besar dan pihak-pihak developer serta industri. Sumber keuangan desa hendaklah dikaitkan dengan berbagai pendapatan baik itu dari pajak maupun dari alokasi dana yang dikucurkan oleh Pemerintah Pusat. Oleh karena itu, sumber pendapatan desa tidaklah semata-mata digantungkan pada kedua sumber itu, tetapi juga adalah adanya provit sharing dari tiap usaha yang memanfaatkan tanah jengkal demi jengkal yang terdapat di kawasan desa tersebut. Tentu saja hal ini harus diatur secara cermat oleh pemerintah.
Apa yang perlu dicermati saat ini adalah kebijakan pertanahan yang tertuang dalam UUPA dan peraturan organik lainnya di disain dan didominasi untuk kepentingan pemerintah terlebih-lebih Pemerintah Pusat - yang muncul kemudian adalah bangunan hukum yang menaungi kepentingan pihak perusahaan perkebunan besar (baik perkebunan negara maupun swasta) yang berkembang berdasarkan fasilitas yang
152
diperolehnya dari orde pemerintahan yang satu ke orde pemerintahan selanjutnya dan hal itu berlanjut juga sampai hari ini.132
Sebagai negara yang menyatakan dirinya negara demokrasi, dalam proses pembuatan norma hukum dan proses penegakannya, seyogyanya sepenuhnya memberi muatan suara rakyat dalam arti menampung apa yang menjadi kehendak dan keinginan rakyat. Teori yang dikembangkan oleh Rouscoe Pound yang kemudian dimodifikasi oleh Muchtar Kusumaatmadja yang dimuat dalam ToR (Term of Reference) diskusi hari ini akan menjadi mengena bila rekayasa terhadap masyarakat itu dilakukan berdasarkan kenyataan hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat dengan menelusuri akar sejarahnya. Hukum sebagai tool untuk meng-enginering masyarakat hanya dapat efektif jika hukum itu bersumber dari nilai-nilai kehidupan masyarakat lokal tempat hukum itu diberlakukan. Nilai-nilai itu adalah yang hari ini terabstraksi dalam Pancasila yakni merupakan the original paradigmatic value of Indonesian culture and society.
Oleh karena itu, pembaharuan hukum agraria nasional mestilah melihat dan merujuk pada dasar filosofis yang dianut oleh negara. Pemegang kekuasaan legislatif (DPR) hendaklah memahami betul bahwa
132 Untuk menyebutkan beberapa konflik pertanahan di Sumatera dapat dilihat
dari kebijakan pemerintah terhadap tanah eks PT. Perkebunan Nusantara II dan untuk kasus perkebunan swasta, dapat dilihat pada kasus PT. Torganda. Konflik dengan masyarakat adat dan masyarakat lokal dapat dilihat pada kasus PT. Perkebunan Nusantara IV di Sosa Tapanuli Selatan. Demikian juga kasus-kasus mavia tanah di Sumatera Utara yang melibatkan para pengembang dengan pihak-pihak masyarakat lokal yang mengklaim tanahnya berdasarkan hak-hak adat.
153
lebel yang melekat pada dirinya sebagai anggota legislatif adalah beradal dari suara rakyat, namun itu tidak berarti ia dapat bertindak "mengambil alih" suara rakyat tersebut untuk kepentingan dirinya sendiri. Anggota legislatif harus terus-menerus dan senantiasa mendengarkan suara dan keluh-kesah rakyat untuk selanjutnya menterjemahkan "suara hati" rakyat itu dalam berbagai rumusan kebijakan (norma hukum) untuk kemudian dijalankan oleh eksekutif dan pelaksanannya diawasi oleh judikatif (selaku institusi hukum). 133
Oleh karena itu legislatif tidaklah semata-mata menjalankan peran politik dalam proses pembuatan hukum, dalam konteks ini pembaharuan hukum agraria nasional melainkan juga ia harus memainkan peran sebagai seorang idealis dalam arti memasukkan cita- cita atau keinginan rakyat (karena itu ia harus memiliki kearifan) dalam setiap produk hukum - tidak sebaliknya mengukuhkan kehendak penguasa - yang dilahirkan oleh institusi tersebut. Kepada legislatif juga terpikul dipundaknya kewajiban untuk merubah seluruh peraturan perundang-undangan yang tidak sejalan dengan kehendak atau perasaan hukum masyarakat. Tuntutan masyarakat hukum adat harus dielaborasi dan diakomodasi dengan baik, sebagaimana tertuang dalam Kongres Masyarakat Adat Nusantara yang diselenggarakan pada minggu kedua
133 Dalam terminologi pengawasan birokrasi legislatif berperan juga sebagai
154
bulan Maret 1999 di Hotel Indonesia dengan tema "Menggugat Posisi Masyarakat Adat Terhadap Negara". 134
Dari kongres tersebut diambil kesimpulan bahwa masyarakat di daerah-daerah sudah sadar akan hak-hak mereka untuk mengatur dan mengurus kepentingan mereka sendiri atas dasar adat yang mereka miliki dan menggunakan kekayaan alam di sekeliling mereka. Mereka tidak suka lagi kalau hidup mereka diatur dan dibatasi oleh suatu kekuasaan yang berada jauh dari tempat tinggal yang mereka warisi dari leluhur mereka serta kemudian mereka kembangkan mengikuti jalur-jalur kepentingan hidup mereka. Dengan perkataan lain, kebudayaan lokal mereka muncul dalam persaingan dengan nasionalisme Indonesia yang dirasakan kurang memuaskan. Secara umum dapat dikatakan bahwa sudah tiba waktunya Indonesia meninggalkan sistem pemerintahan yang sentralistis untuk diubah menjadi sistem yang desentralistis. Sasantri "Bhineka Tunggal Ika" dapat tetap kita junjung tinggi, tetapi dengan lebih mementingkan unsur Bhineka Tunggal Ika" dapat tetap kita
134 Kongres semacam ini yang sepanjang sejarah baru pertama kali diadakan di
tingkat nasional berhasil mengumpulkan 256 warga masyarakat adat dari hampir semua propinsi untuk berdiskusi bebas selama satu minggu tentang segala masalah yang mereka alami. Dengan suara yang keras dan penuh emosi para peserta secara langsung atau melalui penerjemah meluapkan isi hati mereka yang pada pokoknya menuntut agar Pemerintah Republik Indonesia mengakui mereka sepenuhnya sebagai warga negara dan tidak sebagai suku terasing. Lagipula mereka menghendaki Pemerintah benar-benar mempunyai pengertian dan pengharapan terhadap adat-istiadat serta hak-hak adat mereka, terutama mengenai hak ulayat atas tanah, hak atas hutan adat, hak atas kekayaan di dalam bumi dan hak atas pemerintahan (desa) yang berjiwa adat. Kongres ditutup dengan mendirikan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).
155
junjung tinggi, tetapi dengan lebih mementingkan unsur Bhineka (pluralisme) di atas unsur Tunggal (unitarisme). 135
Adalah sesuatu yang tidak "masuk akal" jika pengaturan tanah di Indonesia tunduk pada peraturan tunggal yakni Undang-undang Pokok Agraria, sebab jika demikian halnya maka ia termasuk pada pengabaikan "kebhinekaan" pluralisme hukum ; dimana masyarakat Indonesia sesungguhnya memiliki sistem hukum adatnya sendiri-sendiri.
Jika UUPA, konsekuen mengakui pengaturan hak-hak atas tanah tunduk pada hukum adat (vide Pasal 3 dan Pasal 5) maka seyogyanya UUPA mengacu pada Ipso facto, bukan ipso jure.
Konsep hukum adat yang mengacu pada ipso facto, pendudukan, penempatan, penguasaan dan pengusahaan, secara nyata adalah merupakan awal mula timbulnya hak. Menurut Soepomo, hubungan manusia dengan tanahnya sangat ditentukan oleh intensitas defacto penggunaan atau penggarapan manusia atas tanah tersebut. 136
Penguasaan dan pemilikan tanah secara individual diperoleh dengan cara membuka tanah. Van Setten van der Meer mengatakan bahwa hak untuk menguasai tanah berawal dan bersumber dari kerja
135 Selo Soemardjan, Menuju Tata Indonesia Baru, PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 2000, hal. xxi - xxii.
136 Soetandyo Wignjosoebroto, Perbedaan Konsep Tentang Dasar Hak Penguasaan Tanah Antara Apa yang Dianut Dalam Tradisi Pandangan Pribumi dan Apa Yang Dianut Dalam Hukum Positif Eropa, Makalah Seminar Hukum Agraria Dalam Rangka Memperingati Tri Dasa Warsa Lahirnya UUPA 1960-1990, 13 Oktober 1990, hal. 1.
156
seseorang membuka tanah yang sebelumnya tak tergarap. 137 Setiap orang yang dibolehkan membuka tanah liar (kosong) dan membuka hutan, ia dibolehkan mempunyai hak milik atas tanah (erfelijk individueel bezitsrecht).
Dalam konsep hukum adat, maka tumbuh berkembang dan menyusutnya hak milik tergantung pada interaksinya dengan hak ulayat. Makin kuat hak milik maka makin lemah intensitas hak ulayat, sebaliknya makin kuat hak ulayat maka makin mengecil intensitas hak milik. Sekuat apapun keadaan hak milik namun yang primer adalah hak ulayat, karena hak milik tumbuh dan berkembang dalam wadah hak ulayat.138
Konsep hak milik berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata Belanda mendasarkan pengertiannya pada personifikasi pemilikan tanah sebagai awal pemilikan yang berada di tangan penguasa pemerintahan. Berbeda dengan konsep hukum adat yang mengedepankan ipso facto - baik berupa kenyataan penguasaan, penempatan, permukiman, pendudukan maupun pengusahaan - sebagai awal mula
137 Van Setten van der Meer, Sawah Cultivation in Ancient Java, Oriental
Monograph Series, No. 22, Australian National University, Canberra, 1979, hal. 66.
138 Konsep hak ulayat pada peringkat nasional dinyatakan sebagai gambaran
hubungan antara bangsa Indonesia dengan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Adapun kekuasaan negara sampai seberapa jauh negara memberi kekuasaan kepada yang mempunyai untuk menggunakan haknya, sampai di situlah batas kekuasaan negara ; lihat Penjelasan UUPA angka II (2).
157
timbulnya hak, hukum Barat telah lama meninggalkan teori occupatio yang mempunyai banyak kelemahan. 139
Konsep Barat membalikkan konsep adat, yaitu ipso jure menimbulkan hak dan hak inilah yang melahirkan kekuasaan. Karena itu untuk dapat menyatakan bahwa negara menguasai tanah harus dinyatakan terlebih dahulu kepemilikannya yang disebut dengan domein verklaring. Dengan demikian, jika seseorang tidak dapat membuktikan bahwa tanah yang dikuasainya adalah miliknya, maka tanah yang bersangkutan adalah tanah negara (eigendom negara). Jika negara dapat memiliki tanah, maka dapat pula ia menjual atau menyewakan tanah tersebut. Dari sini lahir berbagai jenis hak tanah lainnya seperti hak erfpacht, eigendom dan sebagainya.