• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

B. Paradigma Pedagogi Reflektif

Menurut Tim Penerbit Kanisius (2008: 39) PPR merupakan pola pikir dalam menumbuhkembangkan pribadi siswa menjadi pribadi kemanusiaan. Menurut Suparno (2015: 18) PPR bukan hanya sekedar metode pembelajaran melainkan suatu pedagogi. Pedagogi merupakan pendekatan, cara guru mendampingi siswa sehingga siswa berkembang menjadi pribadi yang utuh.

1. Komponen dalam proses PPR

Adapun komponen dalam PPR yang terdiri dari: konteks, pengalaman, refleksi, tindakan, dan evaluasi.

 Konteks

Menurut Tim P3MP-LPM (2012 : 13) konteks adalah deskripsi tentang “dengan siapa” berinteraksi, “bagaimana” latar belakang dan pengalaman hidupnya, “dimana” dan “seperti apa’” lingkungan

tempatnya berinteraksi, “apa” yang diharapkan muncul dari interaksi tersebut, serta “mengapa” mengikuti proses pembelajaran ini. Konteks

akan membantu guru menentukan bentuk dan cara pemberian pengalaman melalui pembelajaran agar siswa dapat menarik makna dari pengalamannya selama belajar, bagi hidupnya sendiri dan orang lain.

Menurut Suparno (2015: 21–22) guru perlu mengerti konteks siswa, lingkungan dan sekolah, tempat dimana akan dilakukan proses pembelajaran. Perbedaan konteks akan mempengaruhi pengalaman, model pembelajaran, metode pembelajaran dan pendekatan yang akan

dilakukan kepada siswa. Semakin pembelajaran sesuai dengan konteksnya, maka siswa akan semakin mudah menangkap dan mengerti apa yang guru ajarkan.

Berdasarkan dari kedua pendapat di atas mengenai konteks, maka dapat disimpulkan bahwa konteks adalah gambaran untuk guru mengenai latar belakang siswa agar proses pembelajaran dapat berlangsung dengan baik sehingga siswa dapat memahami pengajaran yang dilakukan oleh guru. Semakin pembelajaran sesuai dengan konteksnya, maka siswa akan semakin mudah menangkap dan mengerti apa yang guru ajarkan.

 Pengalaman

Menurut Tim P3MP-LPM (2012: 16) pada tahap pengalaman ini, siswa diajak untuk melakukan kegiatan yang memuat tidak hanya aspek kognitif (pemahaman materi) tetapi juga aspek afektif (perasaan/ penghayatan). Melalui pengalaman dalam proses belajar mengajar, siswa memperoleh fakta, ide, dan masukan baru baik dari guru maupun dari sesama siswa lain (P3MP-LPM, 2012: 18).

Pengalaman yang dikemukakan dalam Suparno (2015: 28) adalah suatu kejadian yang sungguh terjadi dilakukan dan dialami yang dapat menyentuh pikiran, hati, kehendak, perasaan, maupun hasrat siswa. Tanpa pengalaman dalam pembelajaran maka siswa tidak akan dapat memahami bahan/ materi yang dipelajari.

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa pengalaman adalah suatu kejadian dalam kegiatan siswa yang tidak hanya memuat aspek kognitif (pemahaman) saja melainkan aspek afektif (kehendak & perasaan) juga terlibat, dengan tujuan agar siswa dapat memahami materi pelajaran yang telah dialaminya. Tanpa pengalaman dalam pembelajaran maka siswa tidak akan dapat memahami bahan/ materi yang dipelajari.

 Refleksi

Refleksi berarti mengadakan pertimbangan seksama dengan menggunakan daya ingat, pemahaman, imajinasi, dan perasaan menyangkut bidang ilmu, pengalaman, ide, tujuan yang diinginkan atau reaksi spontan untuk menangkap makna dari apa yang dipelajari (P3MP-LPM, 2012: 18-19). Hal ini diperkuat oleh Suparno dalam tahap refleksi, siswa dibantu untuk menggali pengalaman mereka sedalam- dalamnya dan seluas-luasnya, dan mengambil makna bagi hidup pribadi, hidup bersama, dan hidup kemasyarakatan (Suparno, 2015: 33). Jadi dapat disimpulkan, refleksi adalah kegiatan mengambil makna serta nilai-nilai yang berpengaruh dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan bersama berdasarkan pengalaman.

 Aksi

Menurut Tim P3MP-LPM (2012: 29), aksi/tindakan adalah kegiatan yang mencerminkan pertumbuhan batin berdasarkan pengalaman yang telah direfleksikan. Tindakan selalu mencakup dua

tahap yaitu pilihan-pilihan batin (hasil dari refleksi pengalaman) dan manifestasi lahiriahnya (perwujudan nyata) yang dapat dipertanggungjawabkan.

Menurut Suparno (2015: 37), aksi adalah tindakan entah masih batin atau sudah tindakan psikomotorik yang dilakukan siswa setelah mereka merefleksikan pengalaman belajar mereka. Secara nyata aksi dapat berupa dua hal yaitu: sikap diri yang berubah menjadi lebih baik dan tindakan nyata yang dapat dilihat dan dirasakan orang lain.

Kesimpulan dari paparan di atas, aksi merupakan tindakan dari hasil refleksi pengalaman, baik dari dalam diri maupun tindakan nyata. Jika hasil refleksi negatif, maka aksi/tindakannya adalah berusaha untuk memperbaiki atau mengubahnya menjadi lebih baik. Jika hasil refleksinya positif, maka aksi/ tindakannya adalah berusaha untuk mempertahankan serta meningkatkan untuk tetap menjadi baik.

 Evaluasi

Tim P3MP-LPM (2012: 35) menyatakan bahwa evaluasi merupakan proses sistematis pengumpulan, pengolahan dan pengambilan keputusan atas data tentang suatu obyek untuk selanjutnya dipertimbangkan pemberian nilai atas obyek tersebut berdasarkan pada suatu kriteria tertentu. Obyek penilaian dalam evaluasi pembelajaran ini adalah proses dan hasil belajar.

Menurut Suparno (2015: 40), evaluasi dimaksudkan untuk melihat secara keseluruhan bagaimana seluruh proses PPR itu terjadi dan

berkembang. Semua proses PPR, terutama proses pengalaman, refleksi dan aksi, perlu dievaluasi untuk mengetahui apakah memang berjalan baik dan sudah dapat mengembangkan pribadi siswa menjadi lebih kompeten dalam bidang pengetahuan serta memiliki hati nurani yang benar dan kepekaan pada kebutuhan orang lain atau belum. Jadi, evaluasi adalah kegiatan pengukuran proses dan hasil belajar siswa serta untuk mengetahui apakah unsur-unsur dalam PPR semuanya dapat terlaksana sesuai rencana dengan baik atau tidak.

2. Competence, Conscience, Compassion (3C)

Competence menurut Suparno (2015: 19), secara sederhana setelah siswa mendalami dan mengolah bahan yang dipelajari, ia menjadi paham dalam bidang itu atau bahan itu. Menurut Tim P3MP-LPM (2012: 38), competence embraces a broad spectrum of abilities academic proficiency (including the ability to reason reflectively, logicaly, criticaly, imaginatively and creatively), technological and vocational skills, an appreciation of creative art, sport and leisure, and effective communication skills. Kalimat tersebut memiliki makna bahwa

competence mencakup kemampuan akademik seperti kemampuan untuk berpikir logis, kritis, penuh dengan imajinasi dan berpikir kreatif serta memiliki kemampuan dalam berkomunikasi.

Conscience menurut Suparno (2015: 19) berarti mempunyai hati nurani yang dapat membedakan baik dan tidak baik, sehingga memiliki kemampuan mengambil keputusan yang benar. Menurut P3MP-LPM

(2012: 38), a person of conscience discerns what is right, good, and true, and has the courage to do it, take a stand when necessary, has a passion for social justice and is an influential leader in their community. Such a person is a person of integrity. Pemaparan tersebut memiliki makna bahwa conscience merupakan kemampuan untuk dapat melihat apa yang baik dan benar dan memiliki keteguhan hati untuk melakukannya.

A compassionate person generously responds to those who are in greatest need who walk with other to enpower them, in solidarity snd empathy (P3MP-LPM, 2012: 39). Kalimat ini memiliki makna bahwa compassion merupakan kemampuan untuk memiliki rasa solidaritas dan empati.

Jadi berdasarkan pemaparan 3C diatas dapat diambil kesimpulan bahwa competence lebih mengarah pada aspek kognitif dan psikomotorik siswa. Conscience dan compassion lebih mengarah pada aspek afektif siswa.

Pada penelitian ini nilai-nilai yang diteliti untuk conscience

meliputi: kerja keras, teliti, percaya diri dan untuk compassion

meliputi: gotong royong, toleransi dan kepedulian. Menurut A. Koesoema (2010: 209) bangsa kita adalah sebuah bangsa yang bekerja keras. Dalam kerja keras dibutuhkan kesabaran, ketekunan, dan jerih payah. Menurut Kesuma (2011: 17) kerja keras adalah suatu istilah yang menunjukkan suatu upaya yang terus dilakukan dalam

menyelesaikan pekerjaan sampai tuntas. Jadi kerja keras merupakan suatu istilah yang menunjukkan suatu upaya dalam menyelesaikan pekerjaan dengan membutuhkan kesabaran, ketekunan, dan jerih payah.

Menurut Lilik Zubaidah (2016) orang yang teliti biasanya digambarkan teman-teman mereka sebagai seseorang yang well- organize, tepat waktu, dan ambisius. Menurut Gouw (2011: 39) orang yang percaya diri menyadari akan kemampuan terbaik yang dimilikinya, merasa nyaman dengan dirinya sendiri, memancarkan karisma, dan aura yang positif.

Gotong royong Menurut Udin (1989: 13) adalah nilai yang baik, terutama semangatnya. Semangat ini yang berkenaaan dengan konsep- konsep bahwa manusia tidak hidup sendiri, manusia perlu memelihara hubungan baik dengan sesama.

Toleransi menurut Syarbaini (2014: 21), salah satu nilai-nilai luhur yang harus kita perjuangkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kepedulian sosial merupakan suatu perasaan simpati yang mendalam terhadap penderitaan atau kemalangan orang lain, yang disertai oleh suatu hasrat untuk meringankan penderitaan tersebut atau untuk menghilangkan penyebabnya (Rich Devos, 1995: 136).

Jadi dapat disimpulkan bahwa PPR adalah suatu pendekatan dalam metode pembelajaran serta cara guru untuk mendampingi siswa menjadi

pribadi yang cerdas, memiliki kemauan untuk berkembang serta memiliki perilaku/ sikap yang baik serta mengandung komponen konteks, pengalaman, refleksi, aksi dan evaluasi. Evaluasi yang digunakan yaitu penilaian berdasarkan kognitif (competence) hati nurani (conscience) dan bela rasa (compassion).

Dokumen terkait