BAB II KAJIAN TEORI
C. Paradigma Pedagogi Reflektif Sebagai Sarana Untuk Meningkatkan Keaktifan dan Berpikir Tingkat Tinggi
Proses pembelajaran pada hakekatnya untuk mengembangkan aktivitas dan kreaktifitas peserta didik melalui berbagai interaksi dan pengalaman belajar. Keaktifan belajar siswa merupakan unsur dasar yang penting bagi keberhasilan proses pembelajaran, kekaktifan adalah kegiatan yang bersifat fisik maupun mental, yaitu berbuat dan berpikir sebagai suatu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan Menurut Sardiman ( 2011:98)
menyatakan bahwa aktifitas tidak hanya di tentukan oleh aktifitas fisik semata tetapi juga di tentukan oleh aktifitas mental, intelektual dan emosional. Kekatifan yang dimaksud disini penekanannya adalah peserta didik, sebab dengan adanya kekaktifan peserta didik dalam proses pembelajaran akan tercipta situasi belajar aktif. Belajar yang berhasil harus melalui berbagai macam aktifitas, baik aktifitas fisik maupun psikis. Aktifitas fisik adalah giat aktif dengan anggota badan, membuat sesuatu, bermain maupun berkerja, ia tidak hanya duduk mendengarkan, melihat atau hanya pasif. Siswa yang memiliki aktifitas psikis (kejiwaan) adalah jika daya jiwanya bekerja sebanyak-banyaknya atau banyak berfungsi dalam rangka pembelajaran. Keaktifan siswa dalam kegiatan belajar tidak lain adalah untuk mengkonstruksi pengetahuan mereka sendiri. Mereka aktif membangun pemahaman atas persoalan atau sgala sesuatu yang mereka hadapi dalam proses pembelajaran.
1. Klasifikasi Keaktifan
Banyak jenis aktifitas yang dapat dilakukan siswa dikelas. Aktifitas siswa tidak hanya mendengarkan dan mencatat seperti yang lazim terdapt di sekolah – sekolah pada umumnya. Jenis – jenis aktifitas siswa dalam belajar menurut (Sardiman, 2011:99-100):
a. Visual Activities; membaca, melihat gambar-gambar, mengamati eksperimen, demonstrasi dan mengamati orang lain bekerja.
b. Oral Activities: mengemukakan suat fakta atau prinsip, menghubungkan suatu kejadian, mengajukan pertanyaan, memberi saran, mengemukakan pendapat, wawancara, diskusi dan intrupsi. c. Listening Activities: mendengarkan penyajian bahan, mendengarkan
percakapan atau diskusi kelompok, mendengarkan musik, pidato. d. Writting Activities: menulis cerita, menulis laporan, karangan,
angket, menyalin.
e. Drawwing Activities: menggambar, membuat grafik, diagram, peta. f. Motor Activities: melakukan percobaan, memilih alat-alat,
melaksanakan pameran, membuat model, menyelenggarakan permainan, menari dan berkebun.
g. Mental Activities: merenung, mengingat, memecahkan masalah, menganalisi faktor-faktor, melihat hubungan-hubungan dan membuat keputusan.
h. Emotional Activities: minat, semangat, berani, tenang dan lain-lain. 2. Faktor – faktor yang mempengaruhi keaktifan
Kekaktifan peserta didik dalam proses pembelajaran dapat merangsang mengembangkan bakat yang dimilikinya, peserta didik juga dapat berlatih untuk berpikir kritis, dan memecahkan permasalahan dalam kehidupan sehari – hari. Kekaktifan belajar menurut Sardiman (1988) dipengaruhi oleh faktor – faktor antara lan:
a. Memberikan motivasi atau menarik perhatian peserta didik, sehingga mereka berperan aktif dalaam kegiatan pembelajaran.
b. Menejelaskan tujuan instruksional (kemampuan dasar kepada pesrta didik).
c. Mengingatkan kompetensi belajar kepada peserta didik.
d. Memberikan petunjuk kepada peserta didik bagaimana mempelajari. e. Memberikan stimulus (masalah, topik dan konsep yang akan
dipelajari)
f. Memunculkan aktivitas, partisipasi peserta didik dalam kegiatan pembelajaran.
g. Memberikan umpan balik (feedback)
Dari uraian teori yang ada di atas upaya yang bisa dilakukan pendidik agar dapat meningkatkan keaktifan dan berpikir tingkat tinggi adalah dengan pembelajaran reflektif.
Istilah Refleksi dipakai dalam arti: mencermati kembali bahan studi tertentu, pengalaman, ide-ide, usul-usul, atau reaksi spontan supaya dapat menangkap maknanya lebih mendalam. Jadi, refleksi adalah suatu proses yang memunculkan makna dalam pengalaman manusiawi (Mursanto, 2012 :52-53). Pada tingkat refleksi, daya ingat, pemahaman, daya khayal, dan perasaan digunakan untuk menangkap arti dan nilai hakiki tentang apa yang sedang dipelajari. Juga untuk menemukan hubungan-hubungannya dengan segi-segi lain dari pengetahuan dan kegiatan insani, dan memahami implikasi-implikasinya dalam rangka mencari kebebasan dan kebenaran. Refleksi ini adalah sebuah proses yang membentuk orang dan membebaskannya.
Refleksi ini membentuk suara hati para murid (keyakinan, nilai, sikap, serta seluruh cara bernalar) sedemikian rupa sehingga mereka diantar melewati tahap mengerti ke tahap berbuat sesuai dengan pengertian mereka.
3. Dinamika Pendagogi Ignatian
Bila Pola hubungan antara pembimbing dan retretan dalam paradigma Ignatian diterapkan pada hubungan pengajar-murid dalam pendidikan jesuit, maka peran pertama seorang pengajar adalah memperlancar hubungan murid dengan kebenaran, khususnya kebenaran bidang studi yang dipelajari di bawah bimbingan pengajar tersebut dalam hal ini adalah pengajaran pembelajaran ekonomi. paradigma pedagogi ignatian yang komprehensif harus memerhatikan baik konteks belajar maupun proses pedagogisnya. Selain itu, paradigma tersebut harus menunjukkan cara-cara yang mendukung keterbukaan pada pertumbuhan bahkan saat murid telah menyelesaikan suatu siklus belajar tertentu. Menurut Ignatius dalam Mursanto(2012:40-62) terdapat lima langkah dalam pembelajaran pedagogi Ignatian
a. Konteks Belajar
Ignatius menekankan bahwa dalam latihan rohani, pengalaman-pengalaman retretan selalu harus menentukan benttuk latihan – latihan yang akan dijalankan dan konteksnya. Jadi seorang
pembimbing tidak hanya harus memilih mediasi yang paling baik dan cocok, tetapi juga menyesuaikan latihan – latihan itu sehingga secara langsung mengena pada diri retretan. Ignatius mendorong pembimbing menjadi seakrab mungkin dengan pengalaman hidup retretan sehingga ia siap membantu retretan menegaskan gerak-gerak Roh Kudus.
Demikian pula perhatian terhadap murid secara pribadi dan kepedulian terhadap mereka secara individual, soko guru pendidikan dan pengajaran Jesuit, menuntut bahwa si pengajar menjadi orang yang sungguh-sungguh mengetahui pengalaman hidup murid. Pendapat-pendapat dan pemahaman yang murid peroleh dari studi sebelumnya atau dari lingkungan hidup mereka merupakan konteks belajar yang harus diperhatikan. Selain itu juga perasaan mereka, sikap, dan nilai-nilai mereka mengenai bidang studi yang dipelajari merupakan konteks nyata proses belajar mereka.
b. Pengalaman
Bagi Ignatius pengalaman berarti mengenyam suatu hal dalam batin. Pertama-tama ini mengandaikan adanya fakta, pengertian dan asas. Selanjutnya orang dituntut untuk menyelidiki konotasi serta makna tambahan dari kata-kata ataupun kejadian-kejadian yang disimak, untuk menganalisis serta menilai ide-idenya, dan untuk bernalar. Namun pengalaman Ignatius tidak mentok hanya pada pemahaman intelektual saja, ignatius mendesak supaya
keseluruhan pribadi, budi, perasaan, dan kemauan masuk dalam pengalaman belajar. Pada tahap pengalaman pengajar menciptakan kondisi sedemikian rupa sehingga para murid dapat mengumpulkan dan mengingat pengalaman mereka untuk menyaring fakta, perasaan, nilai-nilai, pengertian, intuisi yang telah mereka kenal yang berhubungan dengan bidang studi yang sedang mereka pelajari dalam hal ini pelajaran ekonomi. Sesudah itu, pengajar membimbing para murid menyerap informasi baru dan menjalani pengalaman lebih lanjut sehingga pengetahuan mereka semakin lengkap dan benar. Pengajar meletakan dasar untuk mempelajari cara belajar, yakni membantu para murid memperoleh keterampilan dan teknik.
Jadi istilah pengalaman dipakai untuk menunjuk pada setiap kegiatan yang memuat pemahaman kognitif bahan yang disimak yang juga memuat unsur afektif yang dihayati oleh murid pada setiap pengalaman ada data yang diserap secara kognitif. Lewat menanyakan, membayangkan, menyelidiki unsur-unsurnya dan hubungan antara data tersebut, murid menyusun data membentuk gambaran mengenai yang disimak atau suatu hipotesis. Menurut Ignatius (Mursanto 2012 :50-51) terdapat dua macam pengalaman dalam situasi akademik yaitu:
pengalaman langsung di dalam suatu situasi akademik bisa berlangsung lewat pengalaman-pengalaman interpersonal, seperti pembicaraan atau diskusi, penelitian dalam laboratorium, kegiatan lintas alam proyek pelayanan,mengambil bagian dalam kegiatan olahraga dan sebagainya.
b) Pengalaman tidak langsung
pengalaman tidak langsung bisa melalui membaca atau mendengarkan. Untuk melibatkan para murid dalam pengalaman belajar sebagai kegiatan manusiawi, para pengajar ditantang untuk merangsang imajinasi dan pemakaian indera murid sehingga mereka dapat sungguh-sungguh memasuki kenyataan yang sedang dipelajari.
Pada tahap awal pengalaman baik langsung maupun tidak langsung para murid menyerap data sekaligus mengalami reaksi afektifnya namun hanya dengan menyusun dan mengatur data itu menjadi suatu kesatuan, pengalaman menjadi pengalaman sejati yang menjawab “apakah itu” dan “bagaimana reaksi saya atas hal itu”. Jadi para murid harus penuh perhatian dan aktif untuk memperoleh pemahaman dan pengertian tentang kenyataan insani di hadapan mereka.
Dalam refleksi ingatan, pemahaman, imajinasi, dan perasaan dipakai untuk menangkap arti dan nilai-nilai asasi yang sedang dipelajari dengan demikian mereka menemukan hubungan antara pengetahuan dan kegiatan manusiawi yang lain. Mereka akan menemukan dan memahami implikasi-implikasinya dalam usaha terus-menerus mencari kebenaran. refleksi harus menjadi suatu proses yang membentuk dan membebaskan. Refleksi seperti inilah yang membentuk hati nurani para murid, antara lain sikap hidup sehari-hari, nilai-nilai, dan keyakinan-keyakinan maupun cara berpikir. Dengan demikian mereka di dorong untuk bergerak melewati pengetahuan menuju aksi.
Istilah refleksi dipakai dalam arti:mencermati kembali bahan studi tertentu, pengalaman, ide-ide, usul-usul, atau reaksi spontan supaya dapat menagkap maknanya lebih mendalam. Jadi refleksi adalah suatu proses yang memunculkan makna dalam pengalaman manusiawi.
d. Aksi
Istilah aksi dipakai untuk menunjuk pertumbuhan batin seseorang berdasarkan penglaman yang teleh direfleksikan dan juga pada manifestasi lahiriyah. Istilah ini mencakup dua langkah sebagai berikut.
a) Pilihan-pilihan batin
Setelah mengadakan refleksi, murid mempertimbangkan pengalamannya dari sudut pandang pribadi dan manusiawi. Kemauan baru akan tergerakkan, setelah terjadi pemahaman kognitif mengenai pengalaman yang disertai perasaan-perasaan afektif. Makna yang dapat ditangkap dan dinilai menyajikan pilihan yang harus diambil. Pilihan-pilihan itu dapat muncul kalau seseorang memutuskan bahwa suatu kebenaran harus menjadi pegangan yang akan memengaruhi semua keputusan lebih lanjut. Hal ini dapat dilihat dalam prioritas-priorita murid. Inilah saat memilih kebenarans hidup miliknya sambil tetap membiarkan diri dibimbing oleh kebenaran itu
b) Pilihan yang dinyatakan secara lahir
Suatu saat, makna-makna hidup, sikap, nilai-nila yang telah menjadi bagian dari dirinya, mendorong murid untuk berbuat sesuatu secara konsisten dengan keyakinan yang baru. Jika makna itu positif, murid akan meningkatkan keadaan yang menimbulkan pengalaman positif tersebut. Jika pengalaman itu negatif, murid akan berusaha memperbaiki, mengubah, mengurangi, atau meghindari hal-hal yang menimbulkan pengalaman negatif itu.
e. Evaluasi
Evaluasi berkala mendorong pengajar dan murid memerhatikan pertumbuhan intelektual, juga kekurangan-kekurangan yang perlu ditangani. Umpan balik ini dapat menyadarkan pengajar untuk menari cara dan metoe mengajar yang lain. Selain itu umpan balik dapat membantu untuk lebih memperhatikan tiap-tiap murid dan upaya perbaikan dalam cara belajar mereka.
Tugas pengajar berikutnya adalah menyediakan kesempatan-kesempatan yang akan menantang kreaktivitas dan melatih kehendak para murid untuk memilih tindakan yang paling baik sebagai kesimpulan dan tindak lanjut dari apa yang mereka pelajari.
Interaksi yang terus – menerus antara pengalaman, refleksi, dan aksi dalam dinamika proses belajar mengajar di ruang kelas merupakan inti pendagogi Ignatian. Salah satu yang paling menentukan yang paling menentukan dalam paradigma Ignatian adalah dimasukkannya unsur refleksi sebagai salah satu unsur yang esensial.
Gambar 2.1 Paradigma Pedagogi Ignatian KONTEKS
Keterampilan berpikir reflektif merupakan proses berpikir kritis melalui penalaran untuk mengemukakan alasan – alasan dalam mendukung suatu keyakinan tersebut dengan sebaik mungkin. John Dewey (1910) dalam bukunya yang berjudul How We Think mengatakan bahwa perkembangan pribadi dan sosial seseorang terjadi melalui pengalaman dan pemecahan masalah secara reflektif dapat melatih individu belajar untuk mengenali dan mengidentifikasi masalah, merumuskan masalah, memilah informasi yang relevan dengan masalah untuk kemudian menyusun rancangan solusi (berpikir kritis), mengembangkan rancangan solusi dengan mengkombinasikan pengalaman dan pengetahuan yan dimiliki sehingga menjadi solusi khas (berpikir kritis), menjustifikasi kelayakan solusi yang disusun (berpikir kritis), serta mencari alternatif yang lebih efektif dan yang paling mudah
REFLEKSI
AKSI EVALUASI
dipahami (berpikir kritis), demikian seterusnya hingga menjadi solusi final. Proses yang demikian dikenal dengan proses interwoven dan
interdependent. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa individu yang
memiliki kemampuan berpikir yang tinggi akan senantiasa melakukan evaluasi terhadap proses mengontrol, memonitor, dan menyimpulkan hasil serta menemukan kekeliruan untuk memperoleh hasil yang optimal. Artinya, dengan melatihkan keterampilan berpikir reflektif pada individu belajar akan memberi peluang kepada mereka berlatih kemampuan untuk mengontrol, memonitor, dan menyimpulkan proses berpikirnya agar memberi keputusan final berupa ide maupun tindakan. ide dan tindakan tersebut bisa diartikan dan diwujudkan sebagai keaktifan dan berpikir tingkat tinggi dalam aktifitas di kelas.