BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS
2.1 Kajian Pustaka
2.1.4 Paralisis Nervus Okular Motor Akibat Iskemik Mikrovaskular
Penyebab tersering paralisis nervus okular motor terisolasi pada pasien yang berusia diatas 50 tahun adalah iskemik mikrovaskular. Sanders dkk menemukan 93% kasus paralisis nervus okular motor akibat kelainan mikrovaskular terjadi diatas 50 tahun. Pasien dengan paralisis nervus okular motor terisolasi akibat iskemik mikrovaskular umumnya memiliki faktor risiko vaskulopati seperti DM, hipertensi, dislipidemia, stroke, penyakit jantung koroner, dan merokok. Studi oleh Jung dkk menunjukkan bahwa pasien dengan lebih dari satu faktor risiko vaskulopati memiliki waktu resolusi yang lebih lama. Paralisis nervus okular motor akibat iskemik mikrovaskular umumnya terjadi secara akut dan dapat mengalami perburukan dalam 1-2 minggu pertama. Mayoritas pasien datang berobat dalam 30 hari pertama setelah gejala klinis timbul. Gejala yang dikeluhkan dapat berupa diplopia, ptosis, sakit kepala atau pusing, serta nyeri pada mata. Diplopia timbul akibat adanya hambatan gerak bola mata yang menyebabkan bayangan yang diterima oleh mata tidak sama sehingga tidak dapat mengalami fusi di otak. Hambatan gerak bola mata dapat dinilai dari 0 sampai -4.
Nilai 0 diberikan apabila tidak ditemukan adanya hambatan gerak bola mata. Nilai -1 diberikan apabila terjadi 25% hambatan dari gerak bola mata sedangkan -2 bila
terjadi 50% hambatan gerak bola mata, dan -3 diberikan bila terjadi 75%
hambatan dari gerak bola mata. Apabila terjadi hambatan total dari gerak bola mata maka diberikan nilai -4.1,5,9,13,28
Galtrey dkk membagi iskemik mikrovaskular menjadi 2 tipe yaitu arteritik dan non arteritik. Tipe arteritik seringnya disebabkan oleh penyakit Giant Cell Arteritis (GCA). Tamhakar dkk menyebutkan bahwa kejadian iskemik mikrovaskular akibat GCA hanya berkisar 3%. Meskipun demikian setiap pasien yang berusia diatas 50 tahun disarankan melakukan pemeriksaan untuk menyingkirkan kemungkinan GCA baik dari gejala klinis maupun pemeriksaan penunjang. Adanya peningkatan laju endap darah (LED) dan C-reactive protein (CRP) serta ditemukannya gambaran patologis dari biopsi arteri temporalis akan mendukung diagnosis GCA. Galtrey dkk menyebutkan seseorang dapat dikatakan menderita paralisis nervus okular motor terisolasi akibat iskemik mikrovaskular non arteritik apabila memenuhi kriteria diagnosis sebagai berikut, yaitu paralisis nervus okulomotorius tanpa keterlibatan pupil, nervus troklearis, dan nervus abdusens terisolasi, berusia 50 tahun atau lebih, hasil LED ≤ 30 mm/jam dan CRP dalam batas normal, serta memiliki minimal satu faktor risiko vaskulopati meliputi DM, hipertensi, dislipidemia, dan merokok.3,11,13
Studi oleh Khadse dkk menyebutkan bahwa 79% pasien dengan paralisis nervus okulomotorius akibat iskemik mikrovaskular tidak menunjukkan adanya keterlibatan pupil. Paralisis nervus okulomotorius yang disertai dengan keterlibatan pupil lebih sering disebabkan oleh aneurisma, tumor maupun trauma.
Adanya tanda keterlibatan pupil merupakan salah satu tanda emergensi dari
aneurisma dan harus segera dilakukan pemeriksaan magnetic resonance angiography (MRA) atau computerized tomography angiography (CTA). Namun hal ini tidak menutup kemungkinan paralisis nervus okulomotorius dengan keterlibatan pupil disebabkan oleh iskemik mikrovaskular. Penelitian oleh Ogun dkk menunjukkan 1 dari 8 pasien dengan iskemik mikrovaskular menunjukan adanya paralisis nervus okulomotorius dengan keterlibatan pupil. Penelitian lain oleh Fang dkk juga menunjukkan 17% dari 145 kasus paralisis nervus okulomotorius dengan keterlibatan pupil disebabkan oleh iskemik mikrovaskular, namun umumnya anisokoria yang timbul kurang dari 1 mm.1,2,6,27,29,30
Sebanyak 70% atau lebih kasus paralisis nervus okular motor akibat iskemik mikrovaskular umumnya mengalami resolusi dalam 3 bulan dan pada beberapa kasus lainnya dapat mencapai 6-12 bulan. Adanya resolusi pada kasus paralisis nervus okular motor akibat iskemik mikrovaskular menunjukkan bahwa sistem saraf perifer memiliki kemampuan regenerasi yang lebih baik bila dibandingkan dengan sistem saraf pusat. Selubung mielin pada sistem saraf perifer diproduksi oleh sel Schwann yang memiliki kemampuan regenerasi yang jauh lebih baik dibandingkan sel oligodendrosit pada sistem saraf pusat. Ada lima perbedaan mendasar yang menyebabkan kemampuan regenerasi sistem saraf perifer lebih baik dari sistem saraf pusat. Pertama, pada saat terjadi cidera saraf, seluruh sel Schwann mampu bertahan hidup sedangkan sebanyak 30-40% sel oligodendrosit akan mengalami apoptosis. Baik sel Schwann maupun sel oligodendrosit sama-sama bertanggung jawab dalam pembentukan selubung mielin. Kedua, sel Schwann memiliki lamina basalis yang tidak dimiliki oleh sel oligodendrosit.
Lamina basalis mengandung protein seperti laminin yang akan berikatan dengan integrins dan akan mengaktivasi jalur Pi3 kinase dan Akt yang penting dalam pertumbuhan akson. Lamina basalis juga akan mengeluarkan enzim matriks metalloproteinase (MMP) 2 dan 9 yang akan mendegradasi chondroitin sulfate proteoglycan (CSPG). CSPG adalah substansi yang dilepaskan saat terjadi cidera saraf dan akan menghambat proses regenerasi akson.3,5,19,31,32
Ketiga, sel Schwann memiliki protein target derived trophic seperti BDNF, GDNF, dan CTNF yang berfungsi sebagai faktor prosurvival sel neuron sehingga tidak akan terjadi apoptosis sel neuron pada sistem saraf perifer saat terjadi cidera.
Keempat, sel astrosit pada sistem saraf pusat akan meningkatkan pelepasan CSPG pada matriks ekstraselular disertai dengan pelepasan neurite outgrowth inhibitor (Nogo-A), Oligodendrocyte myelin glycoprotein (OMgp), dan Myelin-associated glycoprotein (MAG) oleh sel oligodendrosit yang akan menghambat proses regenerasi akson. Kelima, proses regenerasi akson dimulai segera setelah debris akson dan mielin akibat cidera mampu dibersihkan dengan baik. Sel Schwann yang dibantu oleh sel makrofag mampu membersihkan debris mielin secara efektif sedangkan tidak demikian dengan sel astrosit dan sel oligodendrosit.
Adanya kesulitan sel makrofag menembus sawar darah otak pada sistem saraf pusat juga menjadi alasan mengapa proses fagositosis debris menjadi tidak efektif.
Adanya keterlambatan regenerasi akson akan memberi kesempatan sel astrosit memicu sel fibroblas untuk mengganti akson yang rusak dengan jaringan ikat.19,32,33
Hal yang perlu dicermati adalah sebanyak 15-20% kasus akibat iskemik mikrovaskular tidak menunjukan adanya resolusi sama sekali dan akan menyisakan gejala diplopia persisten pada pasien. Sampai saat ini belum ada penelitian mengenai intervensi yang dilakukan untuk mempercepat atau meningkatkan keberhasilan resolusi dari paralisis nervus okular motor terisolasi akibat iskemik mikrovaskular.Beberapa studi menyebutkan bahwa apabila pasien tidak mengalami resolusi total dalam 3 bulan, maka pasien disarankan untuk melakukan pemeriksaan penunjang lain guna menyingkirkan kemungkinan etiologi lainnya. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan neuroimaging seperti MRI atau CT scan orbita kepala dengan kontras, foto thorax, dan pungsi lumbal.3,5,8,11,21,30
Pemeriksaan neuroimaging MRI merupakan pemeriksaan baku emas yang digunakan untuk mengidentifikasi adanya kelainan pada sistem saraf. Tiga studi prospektif menunjukkan bahwa MRI orbita kepala mampu mengidentifikasi sebanyak 43 kasus (16.5%) yang disebabkan oleh neoplasma, infark batang otak, aneurisma, demielinisasi, dan apopleksi pituitary. Tamhakar et al juga menemukan 3 dari 64 kasus (4.7%) dengan paralisis nervus troklearis maupun nervus abdusen memiliki penyebab lain yaitu infark batang otak, limfoma, dan meningioma. Hasil CT scan orbita kepala yang normal tidak dapat menyingkirkan secara langsung adanya kemungkinan penyebab lain pada kasus paralisis nervus okular motor terisolasi. Studi oleh Nazerian et al menemukan bahwa CT scan orbita kepala tanpa kontras tidak dapat mengidentifikasi 13 kasus yang disebabkan oleh penyebab sekunder.7,8,11,30
Patomekanisme paralisis nervus okular motor akibat iskemik mikrovaskular dimulai dari adanya kerusakan mikrovaskular endoneurial seperti yang terlihat pada gambar 6. Kondisi hiperglikemia akan menyebabkan terjadinya disfungsi kapiler endoneurial yang ditandai dengan penebalan membran basalis, hilangnya perisit, dan hipertrofi sel endotel. Hasil otopsi juga menunjukan adanya hialinisasi pada dinding kapiler endoneurial tanpa disertai adanya tanda-tanda oklusi. Hal ini akan menyebabkan kebocoran sawar darah saraf sehingga makromolekul seperti protein dapat masuk ke ruang endoneurial dan mengganggu regulasi tekanan onkotik di dalam ruang endoneurial serta menimbulkan proses inflamasi.
Dampaknya akan menyebabkan edema endoneurial yang akan berakumulasi dan meningkatkan tekanan pada ruang endoneurial. Mekanisme ini mirip dengan mekanisme terjadinya edema vasogenik pada otak akibat kerusakan pada sawar darah otak. Edema vasogenik sendiri umumnya terjadi pada kasus trauma serebral, tumor, dan iskemik serebral tahap sekunder.5,12,13,34
Gambar 6. Kerusakan mikrovaskular pada diabetes Dikutip dari: Richner dkk.12
Peningkatan tekanan endoneurial akan menyebabkan perineurium meregang dan menekan pembuluh darah kecil di sekitar endoneurium dan perineurium sehingga mengakibatkan terjadinya iskemik saraf. Kondisi iskemik akan meningkatkan produksi mediator inflamasi seperti IL-1β, IL-6, TNFα, dan chemokine ligand-3 oleh makrofag dan menyebabkan proses demielinisasi saraf.
Studi oleh Lim dkk menunjukkan bahwa proliferasi sel Schwann dan aktivasi makrofag akan meningkatkan konsumsi oksigen dalam saraf yang mengalami cedera. Hal ini akan memperburuk kondisi iskemik yang ada akibat penumpukan asam laktat yang disebabkan oleh metabolisme anaerob yang terjadi. Kondisi iskemik yang kronis bahkan dapat menyebabkan kerusakan yang lebih hebat berupa degenerasi akson dan memperlama waktu penyembuhan saraf.12,18,19,24,35
2.1.5 Peranan Agen Farmakologis Terhadap Resolusi Cedera Saraf Perifer